BAPA KAMI
Yesus mengajarkan kita menyapa Allah sebagai
Bapa, seperti yang Ia lakukan sendiri dalam doa-doa-Nya—baik di Getsemani
maupun dalam doa Imam Besar di Yohanes 17, di mana Ia menyebut Allah sebagai
“Bapa” sebanyak enam kali. Tapi ini menimbulkan pertanyaan: Yesus adalah Anak
Allah dalam arti sejati, pribadi kedua dalam Tritunggal. Kita hanyalah makhluk
ciptaan. Jadi, atas dasar apa kita bisa menyebut Allah sebagai Bapa? Apakah
menjadi ciptaan berarti otomatis menjadi anak?
Jawabannya tidak sesederhana itu. Yesus tidak sedang menyatakan bahwa setiap manusia otomatis adalah anak Allah, melainkan bahwa mereka yang menjadi pengikut-Nya secara sadar telah
diangkat menjadi anak melalui kasih karunia. Yohanes 1:12 menegaskan bahwa hanya mereka yang menerima Kristus dan percaya kepada-Nya diberi hak menjadi anak-anak Allah. Paulus dalam Galatia 4:4-5 juga menjelaskan bahwa inkarnasi Kristus bertujuan agar kita dapat menerima pengangkatan menjadi anak. Artinya, berdoa kepada Allah sebagai Bapa adalah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh
orang Kristen sejati. Seperti yang dikatakan oleh John Calvin, “Kita tidak berani mendekati Allah sebagai Bapa kecuali melalui Kristus, yang telah membuka pintu bagi kita untuk memanggil-Nya demikian dengan penuh keberanian” (Institutes of the Christian Religion).
Mengapa dalam Doa Bapa Kami tidak disebutkan bahwa kita harus berdoa “dalam nama Yesus”? Sebenarnya, itu sudah tersirat dalam kata “Bapa.” Hanya mereka yang datang kepada Allah melalui Kristus sebagai Pengantara dan Penanggung dosa yang bisa memanggil-Nya Bapa. C.S.
Lewis menegaskan, “Kita tidak berdoa kepada Allah sebagai Pencipta yang jauh, tetapi sebagai Bapa yang dekat, yang telah mengikat kita kepada-Nya melalui darah Anak-Nya” (Letters to Malcolm: Chiefly on Prayer).
Sebagai anak-anak yang diangkat oleh Allah, kita menikmati kasih yang sama seperti yang diterima oleh Anak yang dikasihi-Nya. Tidak ada diskriminasi seperti yang kadang terjadi dalam keluarga manusia antara anak kandung dan anak angkat. Ini adalah berita terbaik yang bisa kita terima: bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah di dalam Kristus (Roma 8:39). Allah tidak akan meninggalkan kita, bahkan ketika kita jatuh dan menjauh seperti anak yang hilang. Dia tetap setia sebagai Bapa yang sabar dan penuh pengampunan. Charles Spurgeon pernah berkata, “Kasih Bapa kepada kita adalah kasih yang tidak pernah redup, yang mengejar kita bahkan di saat kita tersesat, dan yang memeluk kita kembali dengan sukacita yang tak terucapkan” (Sermons on the Lord’s Prayer).
Kasih Bapa ini juga berarti bahwa Dia lebih siap mendengarkan doa kita daripada kita siap untuk berdoa. Yesus berkata, jika manusia yang berdosa saja tahu memberi yang baik kepada anak-anak mereka, apalagi Bapa kita di surga? Dia bahkan memberi Roh Kudus kepada mereka yang meminta—karunia terbesar yang mencakup semua yang kita butuhkan. Inilah dasar keyakinan kita bukan hanya dalam doa, tapi dalam seluruh hidup kita. A.W. Tozer menulis, “Allah tidak pernah terlalu sibuk untuk mendengar seruan anak-anak-Nya, karena hati-Nya selalu terbuka bagi mereka yang memanggil-Nya dengan iman” (The Pursuit of God).
Selain itu, sebagai anak Allah, kita adalah ahli waris. Dalam budaya kuno, adopsi sering kali berkaitan dengan hak waris. Demikian juga, kita yang diangkat menjadi anak memiliki warisan bersama dengan Kristus—kemuliaan Allah itu sendiri (Roma 8:17). Semua hal dalam hidup ini bekerja untuk kebaikan kita dan kemuliaan kita yang kekal (1 Korintus 3:21-23). Menyadari hal ini membuat kita sadar betapa kaya dan berharganya posisi kita, lebih dari semua harta duniawi.
Lebih dari itu, kita memiliki Roh Kudus yang tinggal di dalam hati kita. Pengangkatan menjadi anak selalu diiringi oleh kelahiran baru, yaitu perubahan arah dan hasrat hidup. Orang percaya telah “dilahirkan dari Roh” (Yohanes 3), dan karena itu, Roh mendorong kita memanggil Allah dengan seruan penuh kasih: “Abba, Bapa!” Bahkan ketika kita merasa tidak mampu berdoa dengan benar, Roh Kudus berdoa bersama kita dan untuk kita (Roma 8:26), sebagai bukti nyata kehadiran-Nya yang meneguhkan dan menghibur. Dietrich Bonhoeffer menegaskan, “Roh Kudus adalah jaminan bahwa kita tidak pernah berdoa sendirian; Dia adalah suara Bapa di dalam hati kita” (The Cost of Discipleship).
Sebagai anak, kita juga dipanggil untuk menaati Bapa dan mengutamakan kehendak-Nya: menguduskan nama-Nya, memajukan kerajaan-Nya, dan melaksanakan kehendak-Nya. Kita juga dipanggil untuk saling mengasihi sesama saudara seiman, dengan berdoa dan memperhatikan kebutuhan mereka. Doa Bapa Kami dipenuhi oleh kata “kami,” bukan hanya “saya”—karena doa Kristen sejati selalu mencakup kasih terhadap komunitas tubuh Kristus.
Jadi, ketika kita menyebut Allah sebagai “Bapa,” kita sebenarnya sedang mengakui iman kita kepada Kristus, keyakinan akan kasih Allah, sukacita dalam Roh Kudus, tekad untuk taat, dan perhatian kepada sesama orang percaya. Inilah cara yang benar untuk menjawab maksud Yesus ketika mengajarkan kita doa ini.
YANG ADA DI SURGA
Kekuatan sebuah doa sangat dipengaruhi oleh
sejauh mana kita mengenal Allah yang kepada-Nya kita berdoa. Gambaran yang
sempit dan kabur tentang Allah akan membuat doa kita dingin dan hambar.
Sebaliknya, kesadaran akan kebesaran Allah akan membangkitkan semangat doa.
Semua doa besar, baik dalam Alkitab maupun dalam sejarah gereja, lahir dari
pengenalan akan Tuhan yang agung. John Piper menulis, “Doa
yang kuat dimulai dari hati yang kagum akan keagungan Allah, karena hanya
ketika kita melihat Dia sebagaimana adanya, kita dapat berdoa dengan iman yang
sejati” (Desiring God).
Ketika Yesus mengajarkan kita menyapa “Bapa kami
yang ada di surga,” Dia sedang membawa kita kepada dua hal sekaligus: keintiman
dan kekaguman. “Bapa” menunjukkan kedekatan dan kasih yang pribadi; “yang di
surga” menekankan keagungan, kemuliaan, dan kekekalan Allah. Dia bukan hanya
dekat, tapi juga Mahabesar, tak terbatas, dan Mahakuasa. Gabungan ini membuat
kita yakin bahwa kasih-Nya tidak akan berubah dan kuasa-Nya sanggup menangani
semua kebutuhan kita. R.C. Sproul menjelaskan, “Menyebut Allah
sebagai Bapa yang di surga adalah pengakuan bahwa Dia adalah Raja yang
berdaulat sekaligus Bapa yang penuh kasih—keduanya sempurna dalam harmoni” (The
Prayer of the Lord).
“Surga” di sini tidak berbicara tentang lokasi fisik yang jauh dari bumi, sebab Allah adalah Roh.
Dalam Alkitab, surga lebih menunjuk pada dimensi keberadaan-Nya yang berbeda—lebih tinggi, lebih suci. Dan meski Dia “bersemayam di surga,” Dia tetap dekat dengan anak-anak-Nya di bumi. Ini adalah dasar dari keintiman doa Kristen: Allah Mahabesar tidak pernah terlalu sibuk untuk mendengarkan.
Mengenal keagungan Allah ini seharusnya menumbuhkan kerendahan hati dan mendorong kita untuk menyembah-Nya. Doa tidak hanya tentang permintaan, tetapi juga tentang pengakuan akan siapa
Allah itu—dan memberi Dia tempat yang layak dalam hati kita. Jika para malaikat dan orang kudus di surga memuliakan Allah sebagai Bapa, maka kita pun dipanggil melakukan hal yang sama. Tim Keller menulis, “Doa adalah percakapan dengan Allah yang mengubah kita, karena dalam doa kita belajar untuk melihat dunia dari perspektif-Nya yang kekal” (Prayer: Experiencing Awe and Intimacy with God).
Bayangkan betapa menakjubkannya ini: Tuhan atas alam semesta selalu tersedia bagi kita. Pandangan-Nya menjangkau segala sesuatu, namun setiap kali kita berseru, Dia memberi perhatian penuh kepada kita. Ini adalah keajaiban doa Kristen—“hotline” pribadi dengan Allah yang Mahatinggi.
Untuk meresapinya, kita bisa memulai dari dua arah: Pertama, pikirkan keagungan Allah sebagai Pencipta yang kekal, lalu kagum bahwa Allah yang begitu agung itu memilih tinggal bersama orang yang rendah hati dan bertobat (Yesaya 57:15). Kedua, renungkan kasih kebapaan Allah, lalu kagum bahwa Bapa itu adalah juga Allah yang sempurna, tanpa kekurangan seperti orang tua di dunia. Keduanya akan memperkuat kekaguman dan keintiman kita. “Dia Bapa saya, dan Dia Allah di surga”—ini bukan hal kecil; ini kebenaran yang mengubah hidup.
DIKUDUSKANLAH NAMA-MU
Secara alami, kecenderungan kita adalah berdoa
dengan fokus pada diri sendiri. Bahkan banyak doa “rohani” tetap berpusat pada
kepentingan pribadi. Namun Yesus mengajarkan kita untuk memulai doa bukan
dengan kebutuhan kita, tetapi dengan Allah—agar kita menyadari bahwa Dia jauh
lebih penting daripada kita. Tiga permohonan pertama dalam doa ini dimulai
dengan “Engkau,” dan yang pertama adalah: “Dikuduskanlah nama-Mu.” Ini bukan
hanya permintaan pertama, tapi yang paling penting dan mendasar dari semuanya.
Ketika kita berdoa agar nama Allah dikuduskan, kita meminta agar Allah dikenal, dihormati, dan dimuliakan sebagai pribadi yang kudus. Dalam Alkitab, “nama” berarti siapa Allah itu. “Kudus” mengacu pada keunikan Allah dalam kekudusan, kuasa, dan kemurnian-Nya. Maka, permintaan ini adalah seruan agar seluruh hidup kita—dan hidup orang lain juga—memuliakan dan meninggikan Allah. Jonathan Edwards menulis, “Menguduskan nama Allah adalah tindakan tertinggi dari hati yang telah melihat kemuliaan-Nya dan terpikat oleh keindahan-Nya” (A Treatise Concerning Religious Affections).
Setiap aliran teologi Kristen sejati, apapun latar belakangnya, mengakui bahwa tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah. Mazmur 115:1 berkata, “Bukan kepada kami, ya Tuhan, tetapi kepada nama-Mu-lah kemuliaan.”
Namun, siapa yang bisa benar-benar berdoa seperti ini? Hanya mereka yang memandang seluruh hidup sebagai sarana untuk memuliakan Allah. Mereka tidak mengabaikan dunia ciptaan, tapi melihat keindahan dan kebaikan dari semua hal: seni, musik, anak-anak, makanan, seks, alam, maupun gereja—semuanya adalah hadiah dari Sang Pencipta. Dan mereka hidup dengan rasa syukur agar orang lain juga memuliakan Allah karenanya. Augustinus pernah berkata, “Kita diciptakan untuk Allah, dan hati kita tidak akan tenang sampai kita memuliakan Dia dengan seluruh keberadaan kita” (Confessions).
Menguduskan nama Allah juga berarti memuliakan karya penebusan-Nya. Dalam hikmat, Allah menyediakan jalan keselamatan yang adil; dalam kasih, Ia menyerahkan Anak-Nya; dalam keadilan, Ia
menghukum dosa di dalam Kristus; dalam kuasa, Ia membangkitkan dan mempersatukan kita dengan Kristus; dan dalam kesetiaan, Ia menjaga kita sampai akhir. Keselamatan adalah karya penuh Allah—dan kita diminta untuk mengakui dan memuliakan Dia karenanya.
Selain itu, nama Allah dimuliakan ketika kita mempercayai penyelenggaraan-Nya atas hidup kita dan menghormati Firman-Nya. Allah telah meninggikan Firman-Nya di atas segala nama (Mzm. 138:2), dan kita menghina nama-Nya bila hidup kita dipenuhi ketakutan dan kebimbangan, seolah-olah Dia kehilangan kendali atas dunia ini. J.I. Packer menegaskan, “Menguduskan nama Allah berarti hidup dengan keyakinan bahwa Dia adalah Tuhan yang berdaulat, yang tidak pernah gagal dalam rencana-Nya yang sempurna” (Knowing God).
Penghormatan sejati kepada nama Allah muncul dari hati yang bersyukur dan taat. Paulus mengidentifikasi ketidakbersyukuran sebagai akar kejatuhan manusia (Rm. 1:21). Karena itu, menguduskan nama Allah berarti menjalani hidup dengan penuh ucapan syukur dan kesetiaan yang nyata dalam tindakan.
Alkitab menyebut sikap ini sebagai “takut akan Tuhan”—rasa hormat yang dalam, bukan ketakutan yang panik. Mazmur 111 adalah contoh klasik, menggambarkan pujian atas perbuatan dan firman Allah sebagai bentuk awal dari hikmat sejati. Orang yang sungguh menghormati nama Allah akan menjadi pribadi yang bijak, seimbang, dan matang.
Katekismus Westminster merumuskan: “Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati-Nya selamanya.” Memuliakan dan menikmati adalah dua sisi dari satu koin. Tuhan menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kebahagiaan kita yang terdalam ditemukan justru dalam menyenangkan hati-Nya. Menjadikan pengudusan nama Allah sebagai tujuan hidup tidak akan membuat hidup menjadi membosankan—justru sebaliknya, hidup akan menjadi jalan penuh sukacita. C.S. Lewis menegaskan, “Kita paling memuliakan Allah ketika kita paling menikmati Dia, karena dalam sukacita sejati kita menemukan tujuan sejati kita” (Reflections on the Psalms). Cobalah, dan buktikan sendiri.