Laman

26 June 2025

DOA BAPA KAMI: BAPA KAMI YANG DI SURGA, DIKUDUSKANLAH NAMA-MU (II)

 BAPA KAMI

Yesus mengajarkan kita menyapa Allah sebagai Bapa, seperti yang Ia lakukan sendiri dalam doa-doa-Nya—baik di Getsemani maupun dalam doa Imam Besar di Yohanes 17, di mana Ia menyebut Allah sebagai “Bapa” sebanyak enam kali. Tapi ini menimbulkan pertanyaan: Yesus adalah Anak Allah dalam arti sejati, pribadi kedua dalam Tritunggal. Kita hanyalah makhluk ciptaan. Jadi, atas dasar apa kita bisa menyebut Allah sebagai Bapa? Apakah menjadi ciptaan berarti otomatis menjadi anak?

Jawabannya tidak sesederhana itu. Yesus tidak sedang menyatakan bahwa setiap manusia otomatis adalah anak Allah, melainkan bahwa mereka yang menjadi pengikut-Nya secara sadar telah diangkat menjadi anak melalui kasih karunia. Yohanes 1:12 menegaskan bahwa hanya mereka yang menerima Kristus dan percaya kepada-Nya diberi hak menjadi anak-anak Allah. Paulus dalam Galatia 4:4-5 juga menjelaskan bahwa inkarnasi Kristus bertujuan agar kita dapat menerima pengangkatan menjadi anak. Artinya, berdoa kepada Allah sebagai Bapa adalah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh orang Kristen sejati. Seperti yang dikatakan oleh John Calvin, “Kita tidak berani mendekati Allah sebagai Bapa kecuali melalui Kristus, yang telah membuka pintu bagi kita untuk memanggil-Nya demikian dengan penuh keberanian” (Institutes of the Christian Religion).

Mengapa dalam Doa Bapa Kami tidak disebutkan bahwa kita harus berdoa “dalam nama Yesus”? Sebenarnya, itu sudah tersirat dalam kata “Bapa.” Hanya mereka yang datang kepada Allah melalui Kristus sebagai Pengantara dan Penanggung dosa yang bisa memanggil-Nya Bapa. C.S. Lewis menegaskan, “Kita tidak berdoa kepada Allah sebagai Pencipta yang jauh, tetapi sebagai Bapa yang dekat, yang telah mengikat kita kepada-Nya melalui darah Anak-Nya” (Letters to Malcolm: Chiefly on Prayer).

Sebagai anak-anak yang diangkat oleh Allah, kita menikmati kasih yang sama seperti yang diterima oleh Anak yang dikasihi-Nya. Tidak ada diskriminasi seperti yang kadang terjadi dalam keluarga manusia antara anak kandung dan anak angkat. Ini adalah berita terbaik yang bisa kita terima: bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah di dalam Kristus (Roma 8:39). Allah tidak akan meninggalkan kita, bahkan ketika kita jatuh dan menjauh seperti anak yang hilang. Dia tetap setia sebagai Bapa yang sabar dan penuh pengampunan. Charles Spurgeon pernah berkata, “Kasih Bapa kepada kita adalah kasih yang tidak pernah redup, yang mengejar kita bahkan di saat kita tersesat, dan yang memeluk kita kembali dengan sukacita yang tak terucapkan” (Sermons on the Lord’s Prayer).

Kasih Bapa ini juga berarti bahwa Dia lebih siap mendengarkan doa kita daripada kita siap untuk berdoa. Yesus berkata, jika manusia yang berdosa saja tahu memberi yang baik kepada anak-anak mereka, apalagi Bapa kita di surga? Dia bahkan memberi Roh Kudus kepada mereka yang meminta—karunia terbesar yang mencakup semua yang kita butuhkan. Inilah dasar keyakinan kita bukan hanya dalam doa, tapi dalam seluruh hidup kita. A.W. Tozer menulis, “Allah tidak pernah terlalu sibuk untuk mendengar seruan anak-anak-Nya, karena hati-Nya selalu terbuka bagi mereka yang memanggil-Nya dengan iman” (The Pursuit of God).

Selain itu, sebagai anak Allah, kita adalah ahli waris. Dalam budaya kuno, adopsi sering kali berkaitan dengan hak waris. Demikian juga, kita yang diangkat menjadi anak memiliki warisan bersama dengan Kristus—kemuliaan Allah itu sendiri (Roma 8:17). Semua hal dalam hidup ini bekerja untuk kebaikan kita dan kemuliaan kita yang kekal (1 Korintus 3:21-23). Menyadari hal ini membuat kita sadar betapa kaya dan berharganya posisi kita, lebih dari semua harta duniawi.

Lebih dari itu, kita memiliki Roh Kudus yang tinggal di dalam hati kita. Pengangkatan menjadi anak selalu diiringi oleh kelahiran baru, yaitu perubahan arah dan hasrat hidup. Orang percaya telah “dilahirkan dari Roh” (Yohanes 3), dan karena itu, Roh mendorong kita memanggil Allah dengan seruan penuh kasih: “Abba, Bapa!” Bahkan ketika kita merasa tidak mampu berdoa dengan benar, Roh Kudus berdoa bersama kita dan untuk kita (Roma 8:26), sebagai bukti nyata kehadiran-Nya yang meneguhkan dan menghibur. Dietrich Bonhoeffer menegaskan, “Roh Kudus adalah jaminan bahwa kita tidak pernah berdoa sendirian; Dia adalah suara Bapa di dalam hati kita” (The Cost of Discipleship).

Sebagai anak, kita juga dipanggil untuk menaati Bapa dan mengutamakan kehendak-Nya: menguduskan nama-Nya, memajukan kerajaan-Nya, dan melaksanakan kehendak-Nya. Kita juga dipanggil untuk saling mengasihi sesama saudara seiman, dengan berdoa dan memperhatikan kebutuhan mereka. Doa Bapa Kami dipenuhi oleh kata “kami,” bukan hanya “saya”—karena doa Kristen sejati selalu mencakup kasih terhadap komunitas tubuh Kristus.

Jadi, ketika kita menyebut Allah sebagai “Bapa,” kita sebenarnya sedang mengakui iman kita kepada Kristus, keyakinan akan kasih Allah, sukacita dalam Roh Kudus, tekad untuk taat, dan perhatian kepada sesama orang percaya. Inilah cara yang benar untuk menjawab maksud Yesus ketika mengajarkan kita doa ini.

 

YANG ADA DI SURGA

Kekuatan sebuah doa sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kita mengenal Allah yang kepada-Nya kita berdoa. Gambaran yang sempit dan kabur tentang Allah akan membuat doa kita dingin dan hambar. Sebaliknya, kesadaran akan kebesaran Allah akan membangkitkan semangat doa. Semua doa besar, baik dalam Alkitab maupun dalam sejarah gereja, lahir dari pengenalan akan Tuhan yang agung. John Piper menulis, “Doa yang kuat dimulai dari hati yang kagum akan keagungan Allah, karena hanya ketika kita melihat Dia sebagaimana adanya, kita dapat berdoa dengan iman yang sejati” (Desiring God).

Ketika Yesus mengajarkan kita menyapa “Bapa kami yang ada di surga,” Dia sedang membawa kita kepada dua hal sekaligus: keintiman dan kekaguman. “Bapa” menunjukkan kedekatan dan kasih yang pribadi; “yang di surga” menekankan keagungan, kemuliaan, dan kekekalan Allah. Dia bukan hanya dekat, tapi juga Mahabesar, tak terbatas, dan Mahakuasa. Gabungan ini membuat kita yakin bahwa kasih-Nya tidak akan berubah dan kuasa-Nya sanggup menangani semua kebutuhan kita. R.C. Sproul menjelaskan, “Menyebut Allah sebagai Bapa yang di surga adalah pengakuan bahwa Dia adalah Raja yang berdaulat sekaligus Bapa yang penuh kasih—keduanya sempurna dalam harmoni” (The Prayer of the Lord).

“Surga” di sini tidak berbicara tentang lokasi fisik yang jauh dari bumi, sebab Allah adalah Roh. Dalam Alkitab, surga lebih menunjuk pada dimensi keberadaan-Nya yang berbeda—lebih tinggi, lebih suci. Dan meski Dia “bersemayam di surga,” Dia tetap dekat dengan anak-anak-Nya di bumi. Ini adalah dasar dari keintiman doa Kristen: Allah Mahabesar tidak pernah terlalu sibuk untuk mendengarkan.

Mengenal keagungan Allah ini seharusnya menumbuhkan kerendahan hati dan mendorong kita untuk menyembah-Nya. Doa tidak hanya tentang permintaan, tetapi juga tentang pengakuan akan siapa Allah itu—dan memberi Dia tempat yang layak dalam hati kita. Jika para malaikat dan orang kudus di surga memuliakan Allah sebagai Bapa, maka kita pun dipanggil melakukan hal yang sama. Tim Keller menulis, “Doa adalah percakapan dengan Allah yang mengubah kita, karena dalam doa kita belajar untuk melihat dunia dari perspektif-Nya yang kekal” (Prayer: Experiencing Awe and Intimacy with God).

Bayangkan betapa menakjubkannya ini: Tuhan atas alam semesta selalu tersedia bagi kita. Pandangan-Nya menjangkau segala sesuatu, namun setiap kali kita berseru, Dia memberi perhatian penuh kepada kita. Ini adalah keajaiban doa Kristen—“hotline” pribadi dengan Allah yang Mahatinggi.

Untuk meresapinya, kita bisa memulai dari dua arah: Pertama, pikirkan keagungan Allah sebagai Pencipta yang kekal, lalu kagum bahwa Allah yang begitu agung itu memilih tinggal bersama orang yang rendah hati dan bertobat (Yesaya 57:15). Kedua, renungkan kasih kebapaan Allah, lalu kagum bahwa Bapa itu adalah juga Allah yang sempurna, tanpa kekurangan seperti orang tua di dunia. Keduanya akan memperkuat kekaguman dan keintiman kita. “Dia Bapa saya, dan Dia Allah di surga”—ini bukan hal kecil; ini kebenaran yang mengubah hidup.

 

DIKUDUSKANLAH NAMA-MU

Secara alami, kecenderungan kita adalah berdoa dengan fokus pada diri sendiri. Bahkan banyak doa “rohani” tetap berpusat pada kepentingan pribadi. Namun Yesus mengajarkan kita untuk memulai doa bukan dengan kebutuhan kita, tetapi dengan Allah—agar kita menyadari bahwa Dia jauh lebih penting daripada kita. Tiga permohonan pertama dalam doa ini dimulai dengan “Engkau,” dan yang pertama adalah: “Dikuduskanlah nama-Mu.” Ini bukan hanya permintaan pertama, tapi yang paling penting dan mendasar dari semuanya.

Ketika kita berdoa agar nama Allah dikuduskan, kita meminta agar Allah dikenal, dihormati, dan dimuliakan sebagai pribadi yang kudus. Dalam Alkitab, “nama” berarti siapa Allah itu. “Kudus” mengacu pada keunikan Allah dalam kekudusan, kuasa, dan kemurnian-Nya. Maka, permintaan ini adalah seruan agar seluruh hidup kita—dan hidup orang lain juga—memuliakan dan meninggikan Allah. Jonathan Edwards menulis, “Menguduskan nama Allah adalah tindakan tertinggi dari hati yang telah melihat kemuliaan-Nya dan terpikat oleh keindahan-Nya” (A Treatise Concerning Religious Affections).

Setiap aliran teologi Kristen sejati, apapun latar belakangnya, mengakui bahwa tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah. Mazmur 115:1 berkata, “Bukan kepada kami, ya Tuhan, tetapi kepada nama-Mu-lah kemuliaan.”

Namun, siapa yang bisa benar-benar berdoa seperti ini? Hanya mereka yang memandang seluruh hidup sebagai sarana untuk memuliakan Allah. Mereka tidak mengabaikan dunia ciptaan, tapi melihat keindahan dan kebaikan dari semua hal: seni, musik, anak-anak, makanan, seks, alam, maupun gereja—semuanya adalah hadiah dari Sang Pencipta. Dan mereka hidup dengan rasa syukur agar orang lain juga memuliakan Allah karenanya. Augustinus pernah berkata, “Kita diciptakan untuk Allah, dan hati kita tidak akan tenang sampai kita memuliakan Dia dengan seluruh keberadaan kita” (Confessions).

Menguduskan nama Allah juga berarti memuliakan karya penebusan-Nya. Dalam hikmat, Allah menyediakan jalan keselamatan yang adil; dalam kasih, Ia menyerahkan Anak-Nya; dalam keadilan, Ia menghukum dosa di dalam Kristus; dalam kuasa, Ia membangkitkan dan mempersatukan kita dengan Kristus; dan dalam kesetiaan, Ia menjaga kita sampai akhir. Keselamatan adalah karya penuh Allah—dan kita diminta untuk mengakui dan memuliakan Dia karenanya.

Selain itu, nama Allah dimuliakan ketika kita mempercayai penyelenggaraan-Nya atas hidup kita dan menghormati Firman-Nya. Allah telah meninggikan Firman-Nya di atas segala nama (Mzm. 138:2), dan kita menghina nama-Nya bila hidup kita dipenuhi ketakutan dan kebimbangan, seolah-olah Dia kehilangan kendali atas dunia ini. J.I. Packer menegaskan, “Menguduskan nama Allah berarti hidup dengan keyakinan bahwa Dia adalah Tuhan yang berdaulat, yang tidak pernah gagal dalam rencana-Nya yang sempurna” (Knowing God).

Penghormatan sejati kepada nama Allah muncul dari hati yang bersyukur dan taat. Paulus mengidentifikasi ketidakbersyukuran sebagai akar kejatuhan manusia (Rm. 1:21). Karena itu, menguduskan nama Allah berarti menjalani hidup dengan penuh ucapan syukur dan kesetiaan yang nyata dalam tindakan.

Alkitab menyebut sikap ini sebagai “takut akan Tuhan”—rasa hormat yang dalam, bukan ketakutan yang panik. Mazmur 111 adalah contoh klasik, menggambarkan pujian atas perbuatan dan firman Allah sebagai bentuk awal dari hikmat sejati. Orang yang sungguh menghormati nama Allah akan menjadi pribadi yang bijak, seimbang, dan matang.

Katekismus Westminster merumuskan: “Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati-Nya selamanya.” Memuliakan dan menikmati adalah dua sisi dari satu koin. Tuhan menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kebahagiaan kita yang terdalam ditemukan justru dalam menyenangkan hati-Nya. Menjadikan pengudusan nama Allah sebagai tujuan hidup tidak akan membuat hidup menjadi membosankan—justru sebaliknya, hidup akan menjadi jalan penuh sukacita. C.S. Lewis menegaskan, “Kita paling memuliakan Allah ketika kita paling menikmati Dia, karena dalam sukacita sejati kita menemukan tujuan sejati kita” (Reflections on the Psalms). Cobalah, dan buktikan sendiri.

DOA BAPA KAMI - Sebuah perenungan (I)

Banyak orang zaman sekarang merasa doa itu membingungkan. Ada yang melakukannya hanya karena rutinitas, tanpa makna. Ada juga yang menggantinya dengan meditasi atau “waktu tenang,” dan tak sedikit yang meninggalkannya sama sekali. Mengapa? Karena mereka belum mengenal siapa Tuhan yang mereka doakan.

Kalau Anda tidak yakin apakah Tuhan itu benar-benar ada, peduli, atau mendengar, tentu saja berdoa terasa sia-sia. Tapi ketika Anda percaya bahwa Yesus adalah gambaran sejati Tuhan, maka doa bukan lagi kewajiban—doa menjadi kebutuhan.

“Tuhan tidak jauh dari kita. Ia dekat, seperti seorang Bapa yang merindukan anak-anak-Nya datang dan berbicara.”
A.W. Tozer

Doa Adalah Percakapan, Bukan Upacara

Bayangkan Anda punya sahabat yang sangat bijak, selalu hadir untuk mendengar, dan tak pernah bosan mendengar cerita Anda. Anda pasti akan mencari waktu untuk berbicara dengannya, bukan?

Doa seharusnya seperti itu—sebuah percakapan yang jujur dengan Tuhan yang mengasihi Anda. Billy Bray, seorang pengkhotbah sederhana dari Inggris, sering berkata, “Saya harus berbicara dengan Bapa tentang hal itu.” Kalimat ini menggambarkan hubungan yang nyata, bukan formalitas.

Seorang anak kecil jatuh dan lututnya berdarah. Ia tidak mencoba menjelaskan luka itu dengan kata-kata indah kepada ayahnya. Ia hanya menangis dan berkata, “Ayah, sakit!” Dan ayahnya langsung menggendongnya.

Begitulah doa—kadang kita hanya bisa berkata, “Tuhan, tolong aku.” Dan itu cukup.

Apakah Tuhan Menjawab?

Jawabannya: Ya. Tapi bukan selalu dalam bentuk suara atau perasaan yang dramatis. Seringkali, saat kita jujur mengungkapkan isi hati, mengingat firman-Nya, dan membiarkan Roh Kudus bekerja, Tuhan menjawab dalam bentuk damai yang tak bisa dijelaskan.

“Doa bukanlah memaksa Tuhan untuk mengikuti kehendak kita, tapi menyerahkan kehendak kita untuk mengikuti-Nya.”
Oswald Chambers

Kita mungkin tidak tahu semua alasan di balik kejadian hidup, tapi kita akan tahu apa yang perlu kita lakukan sekarang—melayani dan memuliakan Tuhan di tempat kita berada.

Kita Diciptakan untuk Berdoa

Doa bukan tambahan. Doa adalah bagian dari rancangan Tuhan bagi kita. Bahkan bisa dikatakan, doa adalah ukuran hidup rohani seseorang.

“Apa yang seseorang lakukan saat dia berlutut di hadapan Tuhan, itulah dia—dan tidak lebih.”
Robert Murray McCheyne

Tak heran para murid Yesus suatu kali berkata, “Tuhan, ajarilah kami berdoa.” (Lukas 11:1). Dan Yesus menjawab mereka dengan Doa Bapa Kami, bukan hanya untuk dihafal, tapi untuk dijadikan pola.

Doa Itu Latihan Hati

Seperti belajar menyanyi, Anda tidak akan bisa hanya dengan membaca teori. Anda harus melatihnya, mencobanya, dan terus mengasahnya. Demikian juga dengan doa.

Alkitab penuh dengan contoh doa—Mazmur adalah buku doa yang paling kaya, berisi luapan hati yang jujur. Tapi yang paling utama adalah Doa Bapa Kami.

Doa ini berisi tujuh unsur penting:

  1. Mendekat dengan hormat dan percaya
  2. Menyembah Tuhan
  3. Mengaku dosa dan minta ampun
  4. Memohon kebutuhan hidup
  5. Bergumul demi berkat Tuhan (seperti Yakub)
  6. Menerima rencana Tuhan
  7. Berpegang teguh meski dalam badai

Doa ini bukan teori. Ini adalah napas hidup rohani.

Seorang musisi pemula belajar memainkan lagu klasik. Awalnya dia meniru mentah-mentah. Tapi seiring waktu, ia menemukan sentuhannya sendiri. Doa juga begitu. Kita mulai dari teladan, tapi kemudian berkembang menjadi percakapan pribadi yang dalam.

Mengupas Struktur Doa Bapa Kami

Yesus mengajarkan kita menyapa Tuhan sebagai “Bapa kami yang di surga.” Ini luar biasa! Di budaya Yahudi, menyebut Tuhan sebagai “Bapa” secara pribadi adalah hal yang tak lazim. Tapi Yesus membuka jalan: Tuhan itu dekat seperti Bapa, sekaligus Mahakuasa karena Ia di surga.

Lalu ada tiga permohonan yang berpusat pada Tuhan:

  • Nama-Mu dikuduskan → hormati Tuhan.
  • Kerajaan-Mu datang → rindu kedaulatan Tuhan nyata.
  • Kehendak-Mu jadi → taat sepenuh hati.

Kemudian tiga permohonan untuk kita:

  • Beri kami roti → kebutuhan jasmani.
  • Ampuni kami → kebutuhan rohani.
  • Lindungi kami → kebutuhan perlindungan.

Dan ditutup dengan pujian:
“Karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.”

“Ketika kita belajar berdoa dengan kata-kata Yesus, kita mulai melihat dunia dengan mata-Nya dan hidup dengan kekuatan dari surga.”
N.T. Wright

Tuhan yang Menuntun Percakapan

Terkadang kita berdoa dengan pikiran kacau, tidak tahu harus berkata apa. Tapi seperti sahabat bijak yang berkata, “Coba ceritakan ulang pelan-pelan. Apa yang sebenarnya kamu rasakan?”, Doa Bapa Kami menolong kita mengurutkan isi hati.

Bayangkan Tuhan bertanya:

  • “Siapa Aku bagimu?” → Bapa kami di surga.
  • “Apa yang paling kamu rindukan?” → Nama-Mu dimuliakan, kehendak-Mu jadi.
  • “Apa yang kamu butuhkan sekarang?” → Roti, pengampunan, perlindungan.
  • “Mengapa kamu yakin Aku mendengarmu?” → Karena Engkau berkuasa dan layak dimuliakan.

Doa ini menyentuh hati kita secara mendalam karena ia merangkum isi hati anak kepada Bapanya.

Ilustrasi: Seperti gambar anak-anak yang menyembunyikan bentuk tertentu. Awalnya kita tak melihat apa-apa, tapi saat kita tahu gambarnya, bentuk itu menjadi jelas. Doa Bapa Kami seperti itu—semakin kita menggunakannya, semakin terlihat betapa dalam dan indahnya doa ini.

Doa Adalah Sekolah Seumur Hidup

Doa Bapa Kami bukan sekadar pelajaran pertama. Ini adalah landasan semua pelajaran doa. Kita tidak akan pernah selesai belajar dari doa ini.

Jika Anda merasa buntu dalam berdoa, ulangi satu permintaan sederhana para murid itu:

“Tuhan, ajarilah aku berdoa.”

Itu adalah langkah awal yang paling jujur dan paling kuat.

 

Sumber bacaan: Praying The Lord’s Prayer oleh J.I. Packer