Dalam perspektif umum, menjadi seorang gembala sidang adalah panggilan ilahi yang diberikan secara khusus kepada seorang percaya untuk melayani jemaat Tuhan di sebuah gereja lokal. Tujuan dari panggilan penggembalaan tersebut adalah untuk mengajar dan melayani jemaat gereja dengan penuh kerelaan, keikhlasan, dedikasi dan pengabdian yang tulus. Keputusan untuk menjadi gembala sidang juga seharusnya tanpa adanya paksaan dan harus bersih dari motivasi mencari keuntungan pribadi. Tujuan dari panggilan ini adalah agar jemaat dapat bertumbuh dan berkembang secara rohani, sehingga jemaat yang dilayani, dapat bertumbuh sehat dalam hal iman dan karakternya.
“Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.”
Kutipan di atas adalah perkataan Rasul Petrus dalam 1 Petrus 5:2-3. Ia
mendorong para gembala sidang untuk memelihara motivasi yang benar dalam
melayani, dengan menekankan pentingnya menggembalakan kawanan domba (jemaat)
Allah dengan sukarela, sesuai dengan kehendak-Nya, dan dengan sikap penuh
pengabdian, bukan untuk kepentingan diri sendiri.
Nasehat ini membawa implikasi etika yang tinggi dalam pelayanan seorang
gembala sidang. Pesannya sangat jelas: tugas utama dari pelayanan seorang
gembala sidang adalah menggembalakan jemaat Tuhan. Fokusnya haruslah pada
kawanan domba Allah yang dipercayakan Tuhan kepadanya, dan pelayanan tersebut harus
dilakukan dengan penuh sukarela dan tanpa motif mencari keuntungan, melainkan
dengan sepenuh hati dalam bingkai pengabdiannya kepada Allah.
Seorang gembala sidang juga harus menyadari sebuah hal penting. Sebelum ia menghadapi dan melayani jemaat gereja, ia terlebih dahulu harus menghadapi dan melayani keluarga intinya: istri dan anaknya. Keluarga gembala adalah saksi pertama mengenai kesejatian panggilan pelayanan sang gembala, pun juga adalah penguji dan pembukti pertama dari semua khotbah yang disuarakan sang gembala dari mimbar gerejanya. Hal inilah yang membuat keluarga inti gembala memiliki arti penting dalam panggilan pelayanannya.
Tuntutan dan Problematika Seorang Gembala Sidang
Saat seorang percaya merespon panggilan untuk menjadi gembala sidang
atau pendeta. Disadari atau tidak, hal tersebut berarti ia harus siap memikul
sebuah tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab itu juga membawa konsekuensi
yang besar pula bersamanya.
Beban tanggung jawab dan konsekuensi besar ini tercermin dari banyak
tulisan yang menuntut gembala sidang untuk memiliki karakter pribadi yang
unggul dan keluarga yang sempurna. Pembahasan
yang mengangkat topik karakter gembala sidang, misalnya, ditulis oleh Lena Sembiring
dan Simon. Dalam tulisannya, mereka berpendapat
bahwa sebagai model bagi jemaat, gembala sidang diharapkan memiliki kehidupan
dan rumah tangga yang menjadi contoh yang baik. Pernikahan dan rekam jejak
hidup yang baik, kemampuan dalam kepemimpinan keluarga, bahkan mereka menyoroti
gaya hidup istri gembala yang tidak menimbulkan hambatan bagi pelayanan sang
gembala.
Hal senada diungkapkan oleh Dewi Morata yang membahas tentang aspek
kepemimpinan seorang gembala. Dalam tulisannya, ia mengatakan
bahwa seorang gembala sebagai pemimpin harus memiliki fokus pada hidupnya agar tanpa
cela, bertindak sebagai pelayan Allah yang hidup dalam penguasaan diri dan
berperilaku baik. Dalam konteks hubungan keluarga, seorang gembala diharapkan
menjadi suami yang setia dan mampu mengatur rumah tangganya. Selain itu,
sebagai pemimpin, mereka diharapkan mampu memimpin dengan ramah, tanpa
kecenderungan tamak uang, mampu mengajar dan memelihara kebenaran, serta
menjadi saksi yang baik. Kunci dari karakter gembala sebagai pemimpin adalah
kesetiaan dalam doa pribadi, menjaga prioritas, rendah hati, mengetahui
kelemahan, dan bertanggung jawab.
Brian dan Cara Croft mendefinisikan sebuah permasalahan besar yang mendasar
yang dialami oleh gembala secara pribadi. Para gembala sidang secara
umum sering menemui dan menggumuli permasalahan ini. Permasalahan tersebut
adalah “Tuntutan.” Seorang gembala menerima banyak sekali tuntutan, baik
tuntutan yang berasal dari dirinya sendiri, maupun yang dialamatkan oleh banyak
kelompok di sekelilingnya, kepada dirinya. Dengan menyandang predikat sebagai
gembala/pendeta di suatu jemaat maka berbagai tuntutan tersebut mulai
bermunculan.
Tuntutan untuk menjadi paling benar dan bermoral, menjadi figur suci,
memiliki iman yang sempurna, mentalitas yang kokoh, intelektualitas dan
kekuatan akademik yang tinggi, dan berbagai macam tuntutan yang lain mulai
terlihat tidak masuk akal untuk dialamatkan kepada seorang manusia. Memang kita
harus mengakui bahwa di satu sisi tuntutan tersebut terasa masuk akal dalam
konteks bidang kerja seorang gembala yang berada dalam ranah pendidikan moral
dan spiritual. Namun mengabaikan sisi kemanusiaan seorang gembala dan memberi
tuntutan untuk selalu berada di titik kesempurnaan jelas adalah hal yang tidak
relistis.
Berikut beberapa contoh tuntutan yang sering kali dirasakan oleh seorang gembala menurut Brian dan Cara Croft:
1. Tuntutan
Persetujuan dan Penerimaan
Tuntutan akan persetujuan dan penerimaan dari orang lain ini adalah hal
yang umum diinginkan oleh semua orang. Hal ini juga berlaku bagi para gembala,
terutama ketika berkaitan dengan orang-orang yang dipercayakan untuk dilayani. Namun,
bagaimana jika seorang gembala menemukan bahwa jemaatnya (orang-orang yang dia
gembalakan) tidak menunjukkan memberikan persetujuan dan penerimaan terhadap
dirinya? Bagaimanapun juga, seseorang memiliki kecenderungan mengikuti
keinginannya untuk disukai dan diterima oleh orang lain dalam komunitasnya.
Demi untuk disetujui dan diterima, seorang gembala dapat melakukan apa saja
demi mendapatkannya dari jemaat dan orang-orang yang dia layani. Contohnya
adalah terlalu mengakomodir dan mengikuti saran jemaat dan melakukan hal-hal
yang mereka inginkan. Dalam prosesnya, sang gembala sering kali tergoda untuk
mengorbankan prinsip atau keyakinannya sendiri. Bagi banyak gembala, pendapatan
finansial dan posisi mereka di masyarakat berada di bawah kendali jemaat
mereka. Bahkan jika ini bukan masalahnya, kehidupan seorang gembala seringkali
dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang dilayaninya. Banyak
pengorbanan yang dilakukan oleh seorang gembala adalah untuk mereka.
2. Tuntututan
Pencitraan
Terkadang, apa yang orang lain pikirkan tentang kita dapat memengaruhi
tindakan kita secara signifikan. Sebagai seorang gembala, perhatian dari jemaat
yang dia layani bisa menjadi beban tersendiri. Meskipun penting untuk
memprioritaskan kekudusan pribadi dan hidup bertanggung jawab, terlalu
memperhatikan penilaian orang lain bisa menghalangi kejujuran kita dalam
melihat kesalahan dan kekurangan diri sendiri. tekanan untuk mendapatkan
persetujuan dari jemaat bisa mengorbankan integritas dan mengabaikan
masalah-masalah nyata. Sebagai contoh, dalam situasi ketidakbahagiaan dalam
pernikahan, seorang gembala mungkin merasa terpaksa menyembunyikan
pergumulannya itu daripada menghadapinya secara transparan, karena takut akan
penilaian dari jemaat yang ia layani. Semua ini bisa mengakibatkan pengabaian
terhadap pola-pola dosa dalam hidup mereka. Oleh karena itu, penting bagi
seorang gembala untuk menemukan keseimbangan antara perhatian terhadap orang
lain dan keteguhan memegang prinsip kebenaran serta kesetiaan pada panggilannya
untuk menggembalakan jemaat Tuhan.
3. Tuntutan
Signifikansi
Para gembala sering kali bergumul dengan keinginan untuk menjadi
seseorang yang penting dan diharapkan kehadirannya dalam banyak hal dalam hidup
jemaatnya. Hal yang paling jelas terlihat adalah kecenderungan seorang gembala
untuk secara sukarela melakukan semua pekerjaan. Hal ini menciptakan pola
pelayanan yang tidak sehat dimana perasaan dibutuhkan ini akan membuat jemaat gereja
terlalu bergantung padanya dalam segala hal. Seorang gembala harus melakukan
setiap kunjungan pada jemaat. Dia yang harus berkhotbah setiap hari Minggu. Dia
juga harus hadir di setiap pertemuan. Dia harus memimpin setiap pernikahan dan
pemakaman. Oleh karena tuntutan itu, ia tidak berani mendelegasikan tugasnya
kepada orang lain. Dia juga akan takut mengambil waktu liburannya – meskipun
dia sangat membutuhkan waktu bersama keluarganya. Dia tidak akan membiarkan
orang lain membantunya - meskipun dia hampir kehabisan tenaga ketika dia
mencoba menyeimbangkan tuntutan gereja dan keluarga.
Keinginannya untuk dibutuhkan menuntunnya secara tidak sadar
menciptakan budaya gereja yang di dalamnya ia seolah tak tergantikan. Hal ini
dapat dengan mudah disamarkan sebagai kesetiaan kepada Tuhan atau sebagai
semangat untuk bekerja keras dalam pekerjaan pelayanan, namun hal ini pada
akhirnya membawa pada dua akibat yang umum: kelelahan dan pengabaian keluarga.
4. Tuntutan
Ekspektasi
Di setiap gereja lokal, terdapat dua ekspektasi yang berbeda: (a) ekspektasi
yang dipegang oleh jemaat terhadap gembalanya dan (b) ekspektasi yang dibuat
sendiri oleh sang gembala. Harapan-harapan ini sering kali berbeda, bahkan tak
jarang bertolak belakang secara prinsip, sehingga menimbulkan ketegangan dan
tantangan. Misalnya, seorang gembala mungkin mendengar komentar yang
bertentangan dari anggota jemaat yang berbeda terhadap dirinya, seperti kritik
tentang kurangnya kehadiran gembala di kantor gereja dan kurangnya mengunjungi
anggota jemaat yang lanjut usia. Dihadapkan pada tuntutan-tuntutan yang saling
bertentangan ini, seorang gembala yang bijaksana berusaha untuk menetapkan
harapan-harapan yang realistis melalui dialog daripada mencoba hal-hal yang
mustahil.
Meskipun ekspektasi eksternal dari jemaat dapat menjadi hal yang
menakutkan, para gembala sering kali mendapati bahwa ekspektasi yang paling
sulit untuk dipenuhi adalah ekspektasi yang mereka berikan pada diri mereka
sendiri. Merasakan adanya tekanan untuk mewujudkan peran sebagai seorang manusia
super, para gembala mungkin bergumul dengan ketidakmampuan mereka sendiri untuk
memenuhi semua kewajiban yang dirasakan. Perjuangan internal dalam diri gembala
ini, ditambah dengan tekanan eksternal, dapat menyebabkan pengabaian yang
merugikan terhadap keluarga pendeta itu sendiri.
Istri Gembala
Istri dan anak gembala jelas mengalami dampak dari panggilan pelayanan
gembala. Pergumulan yang dialami gembala dalam pelayanan penggembalaannya pasti
juga dirasakan dan dialami oleh keluarganya: istri dan anaknya.
Dalam buku yang sama, Cara Croft menuliskan
sebuah judul bagian yang menarik yang menggambarkan pergumulannya menjadi istri
gembala. Bagian itu diberi judul I Don’t Recall Saying ‘I Do’ to This! (terj.
Saya tidak ingat mengatakan ‘Saya bersedia’ untuk ini). Dia menunjukkan
beberapa hal pergumulan yang dia alami.
Seorang istri gembala menerima beban moral yang sama yang dipikul
suaminya dari jemaat yang digembalakan. Jemaat seringkali membayangkan dan
mengharapkan seorang istri gembala memiliki kemampuan yang sama dengan
suaminya. Hal ini adalah sebuah harapan yang jelas tidak realistis. Orang-orang di gereja
jelas memiliki harapan yang tinggi terhadap seorang istri gembala. Mereka
mengharapkan agar dia memimpin pelayanan anak-anak, hadir di setiap kegiatan
gereja, serta menghadiri berbagai acara seperti kebaktian, pemakaman, dan
pernikahan. Selain dari tugas-tugas gerejawi, ada juga harapan mengenai gaya
berpakaian, cara mendidik anak, dan bahkan cara berbicara di depan umum. Daftar
ekspektasi ini tampaknya tak berkesudahan dan terus berubah seiring waktu.
Sebagai istri seorang gembala, dia tidak dapat menghindari beban ekspektasi
ini, dan tidak mungkin berpura-pura bahwa ekspektasi tersebut tidak ada.
Ekspektasi yang sama tidak hanya datang dari luar, melainkan dari dalam
diri sang istri gembala itu sendiri. Saat jemaat menuntut sebuah citra yang
harus disandang oleh gembalanya, sang istri berusaha untuk mengimbangi dan
mewujudkan tuntutan itu juga terhadap dirinya demi menjaga nama baik suaminya.
Hal tersebut tentunya akan membwa dampak bagi pribadinya. Ada dampak yang
dihasilkan dari ekspektasi eksternal dan internal dari posisi seorang istri
seorang gembala tersebut.
Kita sudah melihat gembala dengan segala beban problematika yang
dialaminya, diikuti dengan gambaran singkat mengenai pergumulan seorang istri
gembala dalam mendampingi pelayanan suaminya. Satu pihak lain yang harus
diperhatikan adalah anak gembala.
Kehidupan anak
gembala sidang sering kali menjadi sorotan dari berbagai lingkungan,
termasuk keluarga, gereja, dan sekolah. Sorotan ini tidak selalu mudah, karena
seringkali berubah menjadi tuntutan yang memaksa mereka untuk hidup lebih
sempurna daripada anak-anak sebaya mereka. Dalam masa pertumbuhan, anak-anak gembala
menghadapi pergumulan khusus terkait identitas diri dan spiritualitas.
Panggilan
menjadi gembala sidang adalah sebuah panggilan mulia yang menuntut pengabdian
total dan ketulusan hati. Seorang gembala dipanggil untuk melayani jemaat
dengan kasih, tanpa pamrih, dan dengan motivasi yang murni, demi pertumbuhan
rohani jemaat yang sehat. Pelayanan ini bukan hanya mencakup tugas-tugas di
mimbar atau di lingkungan gereja, tetapi juga dimulai dari rumahnya
sendiri—keluarga inti menjadi panggung pertama di mana keaslian panggilan dan
integritas pelayanan diuji dan disaksikan. Karena itu, panggilan ini menuntut
keselarasan hidup antara apa yang dikhotbahkan dan apa yang dijalani
sehari-hari.
Namun dalam
kenyataannya, gembala sidang menghadapi beragam tuntutan yang berat, baik dari
jemaat, dari dirinya sendiri, maupun dari sistem budaya gereja yang kadang
tidak realistis. Tekanan untuk selalu tampil sempurna, menjaga citra, dan
memenuhi ekspektasi bisa menggerogoti kesehatan rohani, mental, bahkan relasi
keluarga sang gembala. Istri dan anak-anak gembala pun turut menanggung beban
ini, sering kali tanpa pilihan atau persiapan yang memadai. Oleh sebab itu,
penting bagi jemaat dan komunitas gereja untuk menyadari sisi kemanusiaan
seorang gembala dan memberikan ruang serta dukungan agar mereka, bersama
keluarganya, dapat tetap sehat, otentik, dan berbuah dalam panggilan pelayanan
yang Tuhan percayakan.
Sumber bacaan:
Croft, B, and C Croft. The Pastor’s Family:
Shepherding Your Family through the Challenges of Pastoral Ministry.
Zondervan, 2013.
Morata, Dewi. “Karakter Gembala Sebagai Pemimpin.” Ginosko:
Jurnal Teologi Praktika 1, no. 2 (2020): 118–34.
Sembiring, Lena Anjarsari, and Simon. “Rumah Tangga
Gembala Sidang Menjadi Role Model Bagi Jemaat.” Jurnal Teologi Praktika
1, no. 2 (2020): 106–20.