Laman

18 May 2025

GEMBALA SIDANG SEBAGAI PEMIMPIN KELUARGA

 

Dalam perspektif umum, menjadi seorang gembala sidang adalah panggilan ilahi yang diberikan secara khusus kepada seorang percaya untuk melayani jemaat Tuhan di sebuah gereja lokal. Tujuan dari panggilan penggembalaan tersebut adalah untuk mengajar dan melayani jemaat gereja dengan penuh kerelaan, keikhlasan, dedikasi dan pengabdian yang tulus. Keputusan untuk menjadi gembala sidang juga seharusnya tanpa adanya paksaan dan harus bersih dari motivasi mencari keuntungan pribadi. Tujuan dari panggilan ini adalah agar jemaat dapat bertumbuh dan berkembang secara rohani, sehingga jemaat yang dilayani, dapat bertumbuh sehat dalam hal iman dan karakternya.

 “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.”

Kutipan di atas adalah perkataan Rasul Petrus dalam 1 Petrus 5:2-3. Ia mendorong para gembala sidang untuk memelihara motivasi yang benar dalam melayani, dengan menekankan pentingnya menggembalakan kawanan domba (jemaat) Allah dengan sukarela, sesuai dengan kehendak-Nya, dan dengan sikap penuh pengabdian, bukan untuk kepentingan diri sendiri.

Nasehat ini membawa implikasi etika yang tinggi dalam pelayanan seorang gembala sidang. Pesannya sangat jelas: tugas utama dari pelayanan seorang gembala sidang adalah menggembalakan jemaat Tuhan. Fokusnya haruslah pada kawanan domba Allah yang dipercayakan Tuhan kepadanya, dan pelayanan tersebut harus dilakukan dengan penuh sukarela dan tanpa motif mencari keuntungan, melainkan dengan sepenuh hati dalam bingkai pengabdiannya kepada Allah.

Seorang gembala sidang juga harus menyadari sebuah hal penting. Sebelum ia menghadapi dan melayani jemaat gereja, ia terlebih dahulu harus menghadapi dan melayani keluarga intinya: istri dan anaknya. Keluarga gembala adalah saksi pertama mengenai kesejatian panggilan pelayanan sang gembala, pun juga adalah penguji dan pembukti pertama dari semua khotbah yang disuarakan sang gembala dari mimbar gerejanya. Hal inilah yang membuat keluarga inti gembala memiliki arti penting dalam panggilan pelayanannya.

Tuntutan dan Problematika Seorang Gembala Sidang

Saat seorang percaya merespon panggilan untuk menjadi gembala sidang atau pendeta. Disadari atau tidak, hal tersebut berarti ia harus siap memikul sebuah tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab itu juga membawa konsekuensi yang besar pula bersamanya.

Beban tanggung jawab dan konsekuensi besar ini tercermin dari banyak tulisan yang menuntut gembala sidang untuk memiliki karakter pribadi yang unggul dan keluarga yang sempurna.  Pembahasan yang mengangkat topik karakter gembala sidang, misalnya, ditulis oleh Lena Sembiring dan Simon. Dalam tulisannya, mereka berpendapat bahwa sebagai model bagi jemaat, gembala sidang diharapkan memiliki kehidupan dan rumah tangga yang menjadi contoh yang baik. Pernikahan dan rekam jejak hidup yang baik, kemampuan dalam kepemimpinan keluarga, bahkan mereka menyoroti gaya hidup istri gembala yang tidak menimbulkan hambatan bagi pelayanan sang gembala.

Hal senada diungkapkan oleh Dewi Morata yang membahas tentang aspek kepemimpinan seorang gembala. Dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa seorang gembala sebagai pemimpin harus memiliki fokus pada hidupnya agar tanpa cela, bertindak sebagai pelayan Allah yang hidup dalam penguasaan diri dan berperilaku baik. Dalam konteks hubungan keluarga, seorang gembala diharapkan menjadi suami yang setia dan mampu mengatur rumah tangganya. Selain itu, sebagai pemimpin, mereka diharapkan mampu memimpin dengan ramah, tanpa kecenderungan tamak uang, mampu mengajar dan memelihara kebenaran, serta menjadi saksi yang baik. Kunci dari karakter gembala sebagai pemimpin adalah kesetiaan dalam doa pribadi, menjaga prioritas, rendah hati, mengetahui kelemahan, dan bertanggung jawab.

Brian dan Cara Croft mendefinisikan sebuah permasalahan besar yang mendasar yang dialami oleh gembala secara pribadi. Para gembala sidang secara umum sering menemui dan menggumuli permasalahan ini. Permasalahan tersebut adalah “Tuntutan.” Seorang gembala menerima banyak sekali tuntutan, baik tuntutan yang berasal dari dirinya sendiri, maupun yang dialamatkan oleh banyak kelompok di sekelilingnya, kepada dirinya. Dengan menyandang predikat sebagai gembala/pendeta di suatu jemaat maka berbagai tuntutan tersebut mulai bermunculan.

Tuntutan untuk menjadi paling benar dan bermoral, menjadi figur suci, memiliki iman yang sempurna, mentalitas yang kokoh, intelektualitas dan kekuatan akademik yang tinggi, dan berbagai macam tuntutan yang lain mulai terlihat tidak masuk akal untuk dialamatkan kepada seorang manusia. Memang kita harus mengakui bahwa di satu sisi tuntutan tersebut terasa masuk akal dalam konteks bidang kerja seorang gembala yang berada dalam ranah pendidikan moral dan spiritual. Namun mengabaikan sisi kemanusiaan seorang gembala dan memberi tuntutan untuk selalu berada di titik kesempurnaan jelas adalah hal yang tidak relistis.

Berikut beberapa contoh tuntutan yang sering kali dirasakan oleh seorang gembala menurut Brian dan Cara Croft:

1.      Tuntutan Persetujuan dan Penerimaan

Tuntutan akan persetujuan dan penerimaan dari orang lain ini adalah hal yang umum diinginkan oleh semua orang. Hal ini juga berlaku bagi para gembala, terutama ketika berkaitan dengan orang-orang yang dipercayakan untuk dilayani. Namun, bagaimana jika seorang gembala menemukan bahwa jemaatnya (orang-orang yang dia gembalakan) tidak menunjukkan memberikan persetujuan dan penerimaan terhadap dirinya? Bagaimanapun juga, seseorang memiliki kecenderungan mengikuti keinginannya untuk disukai dan diterima oleh orang lain dalam komunitasnya. Demi untuk disetujui dan diterima, seorang gembala dapat melakukan apa saja demi mendapatkannya dari jemaat dan orang-orang yang dia layani. Contohnya adalah terlalu mengakomodir dan mengikuti saran jemaat dan melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Dalam prosesnya, sang gembala sering kali tergoda untuk mengorbankan prinsip atau keyakinannya sendiri. Bagi banyak gembala, pendapatan finansial dan posisi mereka di masyarakat berada di bawah kendali jemaat mereka. Bahkan jika ini bukan masalahnya, kehidupan seorang gembala seringkali dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang dilayaninya. Banyak pengorbanan yang dilakukan oleh seorang gembala adalah untuk mereka.

2.      Tuntututan Pencitraan

Terkadang, apa yang orang lain pikirkan tentang kita dapat memengaruhi tindakan kita secara signifikan. Sebagai seorang gembala, perhatian dari jemaat yang dia layani bisa menjadi beban tersendiri. Meskipun penting untuk memprioritaskan kekudusan pribadi dan hidup bertanggung jawab, terlalu memperhatikan penilaian orang lain bisa menghalangi kejujuran kita dalam melihat kesalahan dan kekurangan diri sendiri. tekanan untuk mendapatkan persetujuan dari jemaat bisa mengorbankan integritas dan mengabaikan masalah-masalah nyata. Sebagai contoh, dalam situasi ketidakbahagiaan dalam pernikahan, seorang gembala mungkin merasa terpaksa menyembunyikan pergumulannya itu daripada menghadapinya secara transparan, karena takut akan penilaian dari jemaat yang ia layani. Semua ini bisa mengakibatkan pengabaian terhadap pola-pola dosa dalam hidup mereka. Oleh karena itu, penting bagi seorang gembala untuk menemukan keseimbangan antara perhatian terhadap orang lain dan keteguhan memegang prinsip kebenaran serta kesetiaan pada panggilannya untuk menggembalakan jemaat Tuhan.

3.      Tuntutan Signifikansi

Para gembala sering kali bergumul dengan keinginan untuk menjadi seseorang yang penting dan diharapkan kehadirannya dalam banyak hal dalam hidup jemaatnya. Hal yang paling jelas terlihat adalah kecenderungan seorang gembala untuk secara sukarela melakukan semua pekerjaan. Hal ini menciptakan pola pelayanan yang tidak sehat dimana perasaan dibutuhkan ini akan membuat jemaat gereja terlalu bergantung padanya dalam segala hal. Seorang gembala harus melakukan setiap kunjungan pada jemaat. Dia yang harus berkhotbah setiap hari Minggu. Dia juga harus hadir di setiap pertemuan. Dia harus memimpin setiap pernikahan dan pemakaman. Oleh karena tuntutan itu, ia tidak berani mendelegasikan tugasnya kepada orang lain. Dia juga akan takut mengambil waktu liburannya – meskipun dia sangat membutuhkan waktu bersama keluarganya. Dia tidak akan membiarkan orang lain membantunya - meskipun dia hampir kehabisan tenaga ketika dia mencoba menyeimbangkan tuntutan gereja dan keluarga.

Keinginannya untuk dibutuhkan menuntunnya secara tidak sadar menciptakan budaya gereja yang di dalamnya ia seolah tak tergantikan. Hal ini dapat dengan mudah disamarkan sebagai kesetiaan kepada Tuhan atau sebagai semangat untuk bekerja keras dalam pekerjaan pelayanan, namun hal ini pada akhirnya membawa pada dua akibat yang umum: kelelahan dan pengabaian keluarga.

4.      Tuntutan Ekspektasi

Di setiap gereja lokal, terdapat dua ekspektasi yang berbeda: (a) ekspektasi yang dipegang oleh jemaat terhadap gembalanya dan (b) ekspektasi yang dibuat sendiri oleh sang gembala. Harapan-harapan ini sering kali berbeda, bahkan tak jarang bertolak belakang secara prinsip, sehingga menimbulkan ketegangan dan tantangan. Misalnya, seorang gembala mungkin mendengar komentar yang bertentangan dari anggota jemaat yang berbeda terhadap dirinya, seperti kritik tentang kurangnya kehadiran gembala di kantor gereja dan kurangnya mengunjungi anggota jemaat yang lanjut usia. Dihadapkan pada tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan ini, seorang gembala yang bijaksana berusaha untuk menetapkan harapan-harapan yang realistis melalui dialog daripada mencoba hal-hal yang mustahil.

Meskipun ekspektasi eksternal dari jemaat dapat menjadi hal yang menakutkan, para gembala sering kali mendapati bahwa ekspektasi yang paling sulit untuk dipenuhi adalah ekspektasi yang mereka berikan pada diri mereka sendiri. Merasakan adanya tekanan untuk mewujudkan peran sebagai seorang manusia super, para gembala mungkin bergumul dengan ketidakmampuan mereka sendiri untuk memenuhi semua kewajiban yang dirasakan. Perjuangan internal dalam diri gembala ini, ditambah dengan tekanan eksternal, dapat menyebabkan pengabaian yang merugikan terhadap keluarga pendeta itu sendiri.

 DAMPAK PADA ISTRI DAN ANAK GEMBALA SIDANG

Istri Gembala

Istri dan anak gembala jelas mengalami dampak dari panggilan pelayanan gembala. Pergumulan yang dialami gembala dalam pelayanan penggembalaannya pasti juga dirasakan dan dialami oleh keluarganya: istri dan anaknya.

Dalam buku yang sama, Cara Croft menuliskan sebuah judul bagian yang menarik yang menggambarkan pergumulannya menjadi istri gembala. Bagian itu diberi judul I Don’t Recall Saying ‘I Do’ to This! (terj. Saya tidak ingat mengatakan ‘Saya bersedia’ untuk ini). Dia menunjukkan beberapa hal pergumulan yang dia alami.

Seorang istri gembala menerima beban moral yang sama yang dipikul suaminya dari jemaat yang digembalakan. Jemaat seringkali membayangkan dan mengharapkan seorang istri gembala memiliki kemampuan yang sama dengan suaminya. Hal ini adalah sebuah harapan yang jelas tidak realistis. Orang-orang di gereja jelas memiliki harapan yang tinggi terhadap seorang istri gembala. Mereka mengharapkan agar dia memimpin pelayanan anak-anak, hadir di setiap kegiatan gereja, serta menghadiri berbagai acara seperti kebaktian, pemakaman, dan pernikahan. Selain dari tugas-tugas gerejawi, ada juga harapan mengenai gaya berpakaian, cara mendidik anak, dan bahkan cara berbicara di depan umum. Daftar ekspektasi ini tampaknya tak berkesudahan dan terus berubah seiring waktu. Sebagai istri seorang gembala, dia tidak dapat menghindari beban ekspektasi ini, dan tidak mungkin berpura-pura bahwa ekspektasi tersebut tidak ada.

Ekspektasi yang sama tidak hanya datang dari luar, melainkan dari dalam diri sang istri gembala itu sendiri. Saat jemaat menuntut sebuah citra yang harus disandang oleh gembalanya, sang istri berusaha untuk mengimbangi dan mewujudkan tuntutan itu juga terhadap dirinya demi menjaga nama baik suaminya. Hal tersebut tentunya akan membwa dampak bagi pribadinya. Ada dampak yang dihasilkan dari ekspektasi eksternal dan internal dari posisi seorang istri seorang gembala tersebut.

 Anak Gembala

Kita sudah melihat gembala dengan segala beban problematika yang dialaminya, diikuti dengan gambaran singkat mengenai pergumulan seorang istri gembala dalam mendampingi pelayanan suaminya. Satu pihak lain yang harus diperhatikan adalah anak gembala.

Kehidupan anak gembala sidang sering kali menjadi sorotan dari berbagai lingkungan, termasuk keluarga, gereja, dan sekolah. Sorotan ini tidak selalu mudah, karena seringkali berubah menjadi tuntutan yang memaksa mereka untuk hidup lebih sempurna daripada anak-anak sebaya mereka. Dalam masa pertumbuhan, anak-anak gembala menghadapi pergumulan khusus terkait identitas diri dan spiritualitas.

Panggilan menjadi gembala sidang adalah sebuah panggilan mulia yang menuntut pengabdian total dan ketulusan hati. Seorang gembala dipanggil untuk melayani jemaat dengan kasih, tanpa pamrih, dan dengan motivasi yang murni, demi pertumbuhan rohani jemaat yang sehat. Pelayanan ini bukan hanya mencakup tugas-tugas di mimbar atau di lingkungan gereja, tetapi juga dimulai dari rumahnya sendiri—keluarga inti menjadi panggung pertama di mana keaslian panggilan dan integritas pelayanan diuji dan disaksikan. Karena itu, panggilan ini menuntut keselarasan hidup antara apa yang dikhotbahkan dan apa yang dijalani sehari-hari.

Namun dalam kenyataannya, gembala sidang menghadapi beragam tuntutan yang berat, baik dari jemaat, dari dirinya sendiri, maupun dari sistem budaya gereja yang kadang tidak realistis. Tekanan untuk selalu tampil sempurna, menjaga citra, dan memenuhi ekspektasi bisa menggerogoti kesehatan rohani, mental, bahkan relasi keluarga sang gembala. Istri dan anak-anak gembala pun turut menanggung beban ini, sering kali tanpa pilihan atau persiapan yang memadai. Oleh sebab itu, penting bagi jemaat dan komunitas gereja untuk menyadari sisi kemanusiaan seorang gembala dan memberikan ruang serta dukungan agar mereka, bersama keluarganya, dapat tetap sehat, otentik, dan berbuah dalam panggilan pelayanan yang Tuhan percayakan.


Sumber bacaan:

Croft, B, and C Croft. The Pastor’s Family: Shepherding Your Family through the Challenges of Pastoral Ministry. Zondervan, 2013.

Morata, Dewi. “Karakter Gembala Sebagai Pemimpin.” Ginosko: Jurnal Teologi Praktika 1, no. 2 (2020): 118–34.

Sembiring, Lena Anjarsari, and Simon. “Rumah Tangga Gembala Sidang Menjadi Role Model Bagi Jemaat.” Jurnal Teologi Praktika 1, no. 2 (2020): 106–20.


08 May 2025

“Jangan Sentuh Aku”: Eksegesa Yohanes 20:17


Yohanes 20:17 mencatat salah satu interaksi paling misterius dalam kisah kebangkitan Yesus: perintah-Nya kepada Maria Magdalena, “Jangan sentuh Aku” (Μή μου ἅπτου). Ayat ini menjadi pusat perdebatan teologis karena tampaknya bertentangan dengan ajakan Yesus kepada Tomas di ayat 27. Lebih dari sekadar catatan naratif, pernyataan Yesus kepada Maria mencerminkan realitas teologis yang dalam mengenai relasi antara tubuh kebangkitan, kenaikan, dan dimensi spiritual dalam Injil Yohanes. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri secara eksegetis dan teologis makna dari perintah tersebut, dengan memperhatikan latar belakang linguistik, budaya, dan teologis dari ayat ini.

Teks Yunani Yohanes 20:17 berbunyi:
Λέγει αὐτῇ Ἰησοῦς· Μή μου ἅπτου, οὔπω γὰρ ἀναβέβηκα πρὸς τὸν πατέρα· πορεύου δὲ πρὸς τοὺς ἀδελφούς μου καὶ εἰπὲ αὐτοῖς, Ἀναβαίνω πρὸς τὸν πατέρα μου καὶ πατέρα ὑμῶν καὶ θεόν μου καὶ θεὸν ὑμῶν.
Terjemahan LAI:TB:
"Kata Yesus kepadanya: 'Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa. Tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.'”


“Μή μου ἅπτου” (Jangan Sentuh Aku)

Momen pewahyuan seperti yang dialami Maria tentu membangkitkan emosi yang kuat, baik di masa lampau maupun masa kini. Tidak mengherankan jika Maria memeluk Yesus—sebuah tindakan yang tersirat dalam Yohanes 20:17—karena secara manusiawi, ia sedang mengekspresikan kasih dan kelegaan setelah menemukan kembali Pribadi yang dikiranya telah mati. Dalam konteks ini, istilah "menyentuh" sangat mungkin berarti “memeluk,” bukan sekadar sentuhan ringan seperti menyentuh lengan atau berjabat tangan, yang tidak selaras dengan suasana emosional saat itu (bandingkan dengan 20:25).

Para penafsir telah mengusulkan berbagai makna dari larangan Yesus agar Maria tidak menyentuh-Nya. Beberapa melihatnya sebagai simbol larangan menyentuh hal-hal kudus dalam momen teofani (lih. Kel. 19:12–13), meskipun larangan ini tampaknya tidak konsisten dengan kisah Tomas (20:27). Ada pula yang menduga larangan ini menyiratkan bahwa Yesus telah mengalami bentuk awal dari kenaikan sebelum akhirnya memperbolehkan Tomas menyentuh-Nya. Dalam kerangka ini, beberapa menautkannya dengan kisah dalam Apokalips Musa, di mana menyentuh tubuh Adam dalam kondisi tertentu bisa membahayakan. Namun, relevansi analogi ini bergantung pada asumsi yang tidak pasti tentang hubungan antara kisah itu dan Injil Yohanes.

Secara gramatikal, bentuk larangan yang digunakan Yesus dalam Yohanes 20:17—imperatif kini negatif—lebih tepat dipahami sebagai “Berhentilah menyentuh-Ku” atau “Berhentilah memeluk-Ku,” bukan larangan mutlak. Ini sejalan dengan kemungkinan bahwa Maria tengah berpegang erat pada Yesus dalam suasana haru yang mendalam (bdk. Mat. 28:9–10). Yohanes tampaknya ingin menekankan bahwa respons Maria berasal dari iman yang penuh kasih, kontras dengan Tomas yang membutuhkan bukti fisik untuk percaya.

Selain itu, teori tentang "kenaikan antara" kurang meyakinkan karena didasarkan pada asumsi teologis yang tidak ditegaskan oleh teks. Lebih mungkin bahwa Yesus membatasi pelukan Maria karena waktu-Nya di dunia akan segera berakhir. Karena Ia belum naik ke surga, Maria akan punya kesempatan lain untuk menjumpai-Nya setelah menyampaikan pesan kepada para murid. Atau, Yesus mungkin sedang mengarahkan Maria agar tidak terlalu bergantung pada kehadiran fisik-Nya, mengingat bahwa Roh Kudus akan tinggal bersama mereka sebagai pengganti-Nya (lih. Yoh. 20:22).

Pertanyaannya kemudian, ke “kenaikan” manakah Yohanes 20:17 merujuk? Referensi ke Yohanes 6:62 tidak membantu banyak, dan jika kita memahami “kenaikan” sebagai kemuliaan melalui salib (lih. Yoh. 3:13–15), maka ucapan Yesus di 20:17 menjadi sulit dipahami karena penyaliban sudah terjadi. Sebagian menafsirkan ucapan Yesus sebagai pertanyaan retoris, seolah berkata, “Bukankah Aku telah naik?” Namun pendekatan ini terdengar tidak alami dan tidak sesuai dengan cara Yohanes biasanya menyampaikan narasi teologisnya.

Walaupun Yohanes menekankan eskatologi yang kini-berlangsung (“realized eschatology”), ia tetap mengakui adanya dimensi masa depan, seperti dalam Yohanes 5:28–29 dan 6:39–54. Fakta bahwa Yesus secara fisik tidak lagi bersama komunitas Yohanes mendukung pemahaman bahwa kenaikan telah terjadi, meskipun Yohanes tidak menceritakannya secara eksplisit. Tradisi kenaikan lebih gamblang dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, serta ditegaskan dalam surat-surat seperti Efesus, Kolose, dan Ibrani.

Secara teologis, ketidakhadiran fisik Yesus dipahami sebagai akibat dari kenaikan-Nya kepada Bapa, sementara kehadiran-Nya kini dilanjutkan melalui Roh Kudus. Ini selaras dengan janji Yesus tentang “Penghibur yang lain,” yang akan menyertai murid-murid-Nya secara rohani (lih. Yoh. 14:16–26). Maka, Yohanes tampaknya menekankan kesinambungan kehadiran dan pelayanan Yesus melalui Roh Kudus ketimbang narasi spasial tentang perpisahan.

Dalam konteks sastra kuno, tidak semua peristiwa harus diceritakan secara eksplisit agar dianggap terjadi. Banyak karya besar seperti Iliad, Odyssey, dan Argonautica mengisyaratkan peristiwa penting tanpa menyajikannya langsung. Demikian juga Yohanes—ia tampaknya menganggap audiensnya sudah memahami tradisi kenaikan Yesus. 

Kisah-kisah kenaikan sangat dikenal di dunia kuno, baik dalam bentuk mitos, apokrifa Yahudi, maupun kisah tentang tokoh-tokoh seperti Henokh dan Elia. Namun, dalam Kekristenan, kebangkitan tubuh Yesus dan kenaikan-Nya memiliki makna yang jauh lebih dalam dan unik secara teologis. Yohanes memang menerima konsep kenaikan dan eskatologi masa depan, namun penekanannya adalah pada puncak pengangkatan Yesus melalui salib dan pemuliaan-Nya, yang berpuncak pada pencurahan Roh Kudus. Maka, tidak mengejutkan jika Yesus berkata bahwa Ia “akan naik” dengan bentuk kata kerja waktu kini dalam Yohanes 20:17—sebab dalam pandangan teologi Yohanes, pengangkatan Kristus sudah dimulai dari salib dan mencapai kepenuhannya dalam kehadiran Roh Kudus.

Ungkapan “μή μου ἅπτου” secara gramatikal menggunakan bentuk imperatif present negatif, yang biasanya mengindikasikan tindakan yang sedang berlangsung atau ingin dihentikan. Dengan demikian, kemungkinan besar perintah ini sebaiknya diterjemahkan: “Berhentilah menyentuh-Ku” atau “Jangan terus-menerus memegang-Ku.” Ini bukan larangan absolut terhadap sentuhan, melainkan sebuah peringatan terhadap penahanan atau keterikatan yang berlebihan.

Bentuk ini kontras dengan undangan Yesus kepada Tomas (20:27) yang justru memperbolehkan dan bahkan mendorong tindakan fisik. Kontras ini mengindikasikan bahwa masalah dalam Yohanes 20:17 bukanlah “sentuhan” itu sendiri.


Konteks Naratif dan Nuansa Emosional

Maria, yang baru saja mengalami kehilangan dan kini bertemu kembali dengan Yesus yang bangkit, kemungkinan besar merespons dengan pelukan penuh emosi. Dalam budaya Palestina abad pertama, seorang perempuan yang meratap dapat dengan bebas mengekspresikan kesedihan dan kasih, termasuk dalam bentuk pelukan atau memegang tubuh orang yang dikasihi. Maka tindakan Maria adalah respons manusiawi yang tulus.

Namun, Yesus menghentikannya bukan karena tubuh kebangkitan-Nya belum “siap disentuh,” tetapi karena Ia hendak mengarahkan Maria kepada tugas yang lebih penting: menjadi saksi kebangkitan kepada “saudara-saudara-Nya.” Keterikatan Maria pada kehadiran fisik Yesus harus digantikan dengan kepercayaan kepada kehadiran-Nya yang akan dinyatakan melalui Roh Kudus (20:22). Maka, perintah itu juga menjadi transisi pedagogis dari iman berbasis fisik kepada iman berbasis pewahyuan dan pengutusan.

Makna “Aku Belum Pergi kepada Bapa”

Frasa ini, yang dalam bahasa Yunani berbentuk “οὔπω γὰρ ἀναβέβηκα πρὸς τὸν πατέρα” (“sebab Aku belum naik kepada Bapa”), menjadi pusat interpretasi kenaikan dalam Injil Yohanes. Secara teologis, kenaikan dalam Yohanes tidak hanya menunjuk kepada peristiwa tubuh Yesus naik ke surga, tetapi merupakan puncak dari rangkaian peristiwa: salib, kebangkitan, dan penganugerahan Roh Kudus (lih. Yoh 14–16). Yohanes cenderung menafsirkan “kenaikan” sebagai bagian dari proses “pengangkatan” (ὑψωθῆναι) yang dimulai di salib (Yoh 3:14; 12:32).

Namun demikian, pernyataan Yesus bahwa Ia belum naik menunjukkan adanya suatu interval teologis. Interval ini penting karena di dalamnya Maria diutus untuk memberitakan, dan para murid disiapkan untuk menerima kehadiran-Nya dalam bentuk Roh (20:22). Maka, tindakan “menaik kepada Bapa” menandakan transformasi eskatologis dalam cara kehadiran ilahi dialami oleh komunitas murid.


Peran Maria Sebagai Rasul kepada Para Rasul

Yesus tidak hanya melarang Maria memegang-Nya, tetapi juga memberinya misi: “Pergilah kepada saudara-saudara-Ku…” (20:17b). Dalam konteks sosial abad pertama, penugasan ini sangat luar biasa karena perempuan bukanlah saksi sah dalam banyak pengadilan Yahudi dan Romawi. Namun dalam narasi kebangkitan, Maria menjadi saksi pertama dan pembawa berita kepada para rasul. Gelar yang kemudian diberikan oleh tradisi Gereja, Apostola Apostolorum (“Rasul kepada para Rasul”), secara tepat mencerminkan makna peran ini.

Penekanan Yohanes di sini bukan apologetik, melainkan didaktik—mengajar bahwa pewartaan iman adalah panggilan siapa saja yang telah bertemu Sang Tuhan yang bangkit, tanpa batasan gender. Kesaksian Maria sejajar dengan pola kesaksian yang direkomendasikan bagi semua murid dalam Injil Yohanes (bdk. 1:46; 4:39–42; 20:30–31).


Kesimpulan

Yohanes 20:17 bukanlah teguran terhadap ekspresi kasih Maria, melainkan pengarahan kembali kasih itu menuju pengutusan. Dalam konteks Injil Yohanes, kenaikan bukanlah akhir naratif, melainkan momen transformatif di mana kehadiran Yesus ditransisikan dari kehadiran fisik menuju kehadiran spiritual melalui Roh Kudus. Dengan menolak untuk terus-menerus dipegang, Yesus mengajak Maria—dan para murid setelahnya—untuk mengenal kehadiran-Nya secara baru, dan mewartakan kabar itu kepada dunia.

Ayat ini sekaligus menegaskan bahwa kesaksian perempuan—yang secara sosial tidak sah—menjadi sah oleh mandat Kristus sendiri. Dalam hal ini, Yohanes 20:17 adalah deklarasi eskatologis dan eklesiologis: perjumpaan dengan Kristus yang bangkit harus mengarah kepada pengutusan, dan iman yang dewasa harus melepaskan keterikatan pada bentuk lama demi menerima kehadiran Kristus yang baru dalam Roh.