Laman

Showing posts with label saksi kebangkitan. Show all posts
Showing posts with label saksi kebangkitan. Show all posts

08 May 2025

“Jangan Sentuh Aku”: Eksegesa Yohanes 20:17


Yohanes 20:17 mencatat salah satu interaksi paling misterius dalam kisah kebangkitan Yesus: perintah-Nya kepada Maria Magdalena, “Jangan sentuh Aku” (Μή μου ἅπτου). Ayat ini menjadi pusat perdebatan teologis karena tampaknya bertentangan dengan ajakan Yesus kepada Tomas di ayat 27. Lebih dari sekadar catatan naratif, pernyataan Yesus kepada Maria mencerminkan realitas teologis yang dalam mengenai relasi antara tubuh kebangkitan, kenaikan, dan dimensi spiritual dalam Injil Yohanes. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri secara eksegetis dan teologis makna dari perintah tersebut, dengan memperhatikan latar belakang linguistik, budaya, dan teologis dari ayat ini.

Teks Yunani Yohanes 20:17 berbunyi:
Λέγει αὐτῇ Ἰησοῦς· Μή μου ἅπτου, οὔπω γὰρ ἀναβέβηκα πρὸς τὸν πατέρα· πορεύου δὲ πρὸς τοὺς ἀδελφούς μου καὶ εἰπὲ αὐτοῖς, Ἀναβαίνω πρὸς τὸν πατέρα μου καὶ πατέρα ὑμῶν καὶ θεόν μου καὶ θεὸν ὑμῶν.
Terjemahan LAI:TB:
"Kata Yesus kepadanya: 'Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa. Tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.'”


“Μή μου ἅπτου” (Jangan Sentuh Aku)

Momen pewahyuan seperti yang dialami Maria tentu membangkitkan emosi yang kuat, baik di masa lampau maupun masa kini. Tidak mengherankan jika Maria memeluk Yesus—sebuah tindakan yang tersirat dalam Yohanes 20:17—karena secara manusiawi, ia sedang mengekspresikan kasih dan kelegaan setelah menemukan kembali Pribadi yang dikiranya telah mati. Dalam konteks ini, istilah "menyentuh" sangat mungkin berarti “memeluk,” bukan sekadar sentuhan ringan seperti menyentuh lengan atau berjabat tangan, yang tidak selaras dengan suasana emosional saat itu (bandingkan dengan 20:25).

Para penafsir telah mengusulkan berbagai makna dari larangan Yesus agar Maria tidak menyentuh-Nya. Beberapa melihatnya sebagai simbol larangan menyentuh hal-hal kudus dalam momen teofani (lih. Kel. 19:12–13), meskipun larangan ini tampaknya tidak konsisten dengan kisah Tomas (20:27). Ada pula yang menduga larangan ini menyiratkan bahwa Yesus telah mengalami bentuk awal dari kenaikan sebelum akhirnya memperbolehkan Tomas menyentuh-Nya. Dalam kerangka ini, beberapa menautkannya dengan kisah dalam Apokalips Musa, di mana menyentuh tubuh Adam dalam kondisi tertentu bisa membahayakan. Namun, relevansi analogi ini bergantung pada asumsi yang tidak pasti tentang hubungan antara kisah itu dan Injil Yohanes.

Secara gramatikal, bentuk larangan yang digunakan Yesus dalam Yohanes 20:17—imperatif kini negatif—lebih tepat dipahami sebagai “Berhentilah menyentuh-Ku” atau “Berhentilah memeluk-Ku,” bukan larangan mutlak. Ini sejalan dengan kemungkinan bahwa Maria tengah berpegang erat pada Yesus dalam suasana haru yang mendalam (bdk. Mat. 28:9–10). Yohanes tampaknya ingin menekankan bahwa respons Maria berasal dari iman yang penuh kasih, kontras dengan Tomas yang membutuhkan bukti fisik untuk percaya.

Selain itu, teori tentang "kenaikan antara" kurang meyakinkan karena didasarkan pada asumsi teologis yang tidak ditegaskan oleh teks. Lebih mungkin bahwa Yesus membatasi pelukan Maria karena waktu-Nya di dunia akan segera berakhir. Karena Ia belum naik ke surga, Maria akan punya kesempatan lain untuk menjumpai-Nya setelah menyampaikan pesan kepada para murid. Atau, Yesus mungkin sedang mengarahkan Maria agar tidak terlalu bergantung pada kehadiran fisik-Nya, mengingat bahwa Roh Kudus akan tinggal bersama mereka sebagai pengganti-Nya (lih. Yoh. 20:22).

Pertanyaannya kemudian, ke “kenaikan” manakah Yohanes 20:17 merujuk? Referensi ke Yohanes 6:62 tidak membantu banyak, dan jika kita memahami “kenaikan” sebagai kemuliaan melalui salib (lih. Yoh. 3:13–15), maka ucapan Yesus di 20:17 menjadi sulit dipahami karena penyaliban sudah terjadi. Sebagian menafsirkan ucapan Yesus sebagai pertanyaan retoris, seolah berkata, “Bukankah Aku telah naik?” Namun pendekatan ini terdengar tidak alami dan tidak sesuai dengan cara Yohanes biasanya menyampaikan narasi teologisnya.

Walaupun Yohanes menekankan eskatologi yang kini-berlangsung (“realized eschatology”), ia tetap mengakui adanya dimensi masa depan, seperti dalam Yohanes 5:28–29 dan 6:39–54. Fakta bahwa Yesus secara fisik tidak lagi bersama komunitas Yohanes mendukung pemahaman bahwa kenaikan telah terjadi, meskipun Yohanes tidak menceritakannya secara eksplisit. Tradisi kenaikan lebih gamblang dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, serta ditegaskan dalam surat-surat seperti Efesus, Kolose, dan Ibrani.

Secara teologis, ketidakhadiran fisik Yesus dipahami sebagai akibat dari kenaikan-Nya kepada Bapa, sementara kehadiran-Nya kini dilanjutkan melalui Roh Kudus. Ini selaras dengan janji Yesus tentang “Penghibur yang lain,” yang akan menyertai murid-murid-Nya secara rohani (lih. Yoh. 14:16–26). Maka, Yohanes tampaknya menekankan kesinambungan kehadiran dan pelayanan Yesus melalui Roh Kudus ketimbang narasi spasial tentang perpisahan.

Dalam konteks sastra kuno, tidak semua peristiwa harus diceritakan secara eksplisit agar dianggap terjadi. Banyak karya besar seperti Iliad, Odyssey, dan Argonautica mengisyaratkan peristiwa penting tanpa menyajikannya langsung. Demikian juga Yohanes—ia tampaknya menganggap audiensnya sudah memahami tradisi kenaikan Yesus. 

Kisah-kisah kenaikan sangat dikenal di dunia kuno, baik dalam bentuk mitos, apokrifa Yahudi, maupun kisah tentang tokoh-tokoh seperti Henokh dan Elia. Namun, dalam Kekristenan, kebangkitan tubuh Yesus dan kenaikan-Nya memiliki makna yang jauh lebih dalam dan unik secara teologis. Yohanes memang menerima konsep kenaikan dan eskatologi masa depan, namun penekanannya adalah pada puncak pengangkatan Yesus melalui salib dan pemuliaan-Nya, yang berpuncak pada pencurahan Roh Kudus. Maka, tidak mengejutkan jika Yesus berkata bahwa Ia “akan naik” dengan bentuk kata kerja waktu kini dalam Yohanes 20:17—sebab dalam pandangan teologi Yohanes, pengangkatan Kristus sudah dimulai dari salib dan mencapai kepenuhannya dalam kehadiran Roh Kudus.

Ungkapan “μή μου ἅπτου” secara gramatikal menggunakan bentuk imperatif present negatif, yang biasanya mengindikasikan tindakan yang sedang berlangsung atau ingin dihentikan. Dengan demikian, kemungkinan besar perintah ini sebaiknya diterjemahkan: “Berhentilah menyentuh-Ku” atau “Jangan terus-menerus memegang-Ku.” Ini bukan larangan absolut terhadap sentuhan, melainkan sebuah peringatan terhadap penahanan atau keterikatan yang berlebihan.

Bentuk ini kontras dengan undangan Yesus kepada Tomas (20:27) yang justru memperbolehkan dan bahkan mendorong tindakan fisik. Kontras ini mengindikasikan bahwa masalah dalam Yohanes 20:17 bukanlah “sentuhan” itu sendiri.


Konteks Naratif dan Nuansa Emosional

Maria, yang baru saja mengalami kehilangan dan kini bertemu kembali dengan Yesus yang bangkit, kemungkinan besar merespons dengan pelukan penuh emosi. Dalam budaya Palestina abad pertama, seorang perempuan yang meratap dapat dengan bebas mengekspresikan kesedihan dan kasih, termasuk dalam bentuk pelukan atau memegang tubuh orang yang dikasihi. Maka tindakan Maria adalah respons manusiawi yang tulus.

Namun, Yesus menghentikannya bukan karena tubuh kebangkitan-Nya belum “siap disentuh,” tetapi karena Ia hendak mengarahkan Maria kepada tugas yang lebih penting: menjadi saksi kebangkitan kepada “saudara-saudara-Nya.” Keterikatan Maria pada kehadiran fisik Yesus harus digantikan dengan kepercayaan kepada kehadiran-Nya yang akan dinyatakan melalui Roh Kudus (20:22). Maka, perintah itu juga menjadi transisi pedagogis dari iman berbasis fisik kepada iman berbasis pewahyuan dan pengutusan.

Makna “Aku Belum Pergi kepada Bapa”

Frasa ini, yang dalam bahasa Yunani berbentuk “οὔπω γὰρ ἀναβέβηκα πρὸς τὸν πατέρα” (“sebab Aku belum naik kepada Bapa”), menjadi pusat interpretasi kenaikan dalam Injil Yohanes. Secara teologis, kenaikan dalam Yohanes tidak hanya menunjuk kepada peristiwa tubuh Yesus naik ke surga, tetapi merupakan puncak dari rangkaian peristiwa: salib, kebangkitan, dan penganugerahan Roh Kudus (lih. Yoh 14–16). Yohanes cenderung menafsirkan “kenaikan” sebagai bagian dari proses “pengangkatan” (ὑψωθῆναι) yang dimulai di salib (Yoh 3:14; 12:32).

Namun demikian, pernyataan Yesus bahwa Ia belum naik menunjukkan adanya suatu interval teologis. Interval ini penting karena di dalamnya Maria diutus untuk memberitakan, dan para murid disiapkan untuk menerima kehadiran-Nya dalam bentuk Roh (20:22). Maka, tindakan “menaik kepada Bapa” menandakan transformasi eskatologis dalam cara kehadiran ilahi dialami oleh komunitas murid.


Peran Maria Sebagai Rasul kepada Para Rasul

Yesus tidak hanya melarang Maria memegang-Nya, tetapi juga memberinya misi: “Pergilah kepada saudara-saudara-Ku…” (20:17b). Dalam konteks sosial abad pertama, penugasan ini sangat luar biasa karena perempuan bukanlah saksi sah dalam banyak pengadilan Yahudi dan Romawi. Namun dalam narasi kebangkitan, Maria menjadi saksi pertama dan pembawa berita kepada para rasul. Gelar yang kemudian diberikan oleh tradisi Gereja, Apostola Apostolorum (“Rasul kepada para Rasul”), secara tepat mencerminkan makna peran ini.

Penekanan Yohanes di sini bukan apologetik, melainkan didaktik—mengajar bahwa pewartaan iman adalah panggilan siapa saja yang telah bertemu Sang Tuhan yang bangkit, tanpa batasan gender. Kesaksian Maria sejajar dengan pola kesaksian yang direkomendasikan bagi semua murid dalam Injil Yohanes (bdk. 1:46; 4:39–42; 20:30–31).


Kesimpulan

Yohanes 20:17 bukanlah teguran terhadap ekspresi kasih Maria, melainkan pengarahan kembali kasih itu menuju pengutusan. Dalam konteks Injil Yohanes, kenaikan bukanlah akhir naratif, melainkan momen transformatif di mana kehadiran Yesus ditransisikan dari kehadiran fisik menuju kehadiran spiritual melalui Roh Kudus. Dengan menolak untuk terus-menerus dipegang, Yesus mengajak Maria—dan para murid setelahnya—untuk mengenal kehadiran-Nya secara baru, dan mewartakan kabar itu kepada dunia.

Ayat ini sekaligus menegaskan bahwa kesaksian perempuan—yang secara sosial tidak sah—menjadi sah oleh mandat Kristus sendiri. Dalam hal ini, Yohanes 20:17 adalah deklarasi eskatologis dan eklesiologis: perjumpaan dengan Kristus yang bangkit harus mengarah kepada pengutusan, dan iman yang dewasa harus melepaskan keterikatan pada bentuk lama demi menerima kehadiran Kristus yang baru dalam Roh.