Laman

Showing posts with label Kebangkitan. Show all posts
Showing posts with label Kebangkitan. Show all posts

08 May 2025

“Jangan Sentuh Aku”: Eksegesa Yohanes 20:17


Yohanes 20:17 mencatat salah satu interaksi paling misterius dalam kisah kebangkitan Yesus: perintah-Nya kepada Maria Magdalena, “Jangan sentuh Aku” (Μή μου ἅπτου). Ayat ini menjadi pusat perdebatan teologis karena tampaknya bertentangan dengan ajakan Yesus kepada Tomas di ayat 27. Lebih dari sekadar catatan naratif, pernyataan Yesus kepada Maria mencerminkan realitas teologis yang dalam mengenai relasi antara tubuh kebangkitan, kenaikan, dan dimensi spiritual dalam Injil Yohanes. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri secara eksegetis dan teologis makna dari perintah tersebut, dengan memperhatikan latar belakang linguistik, budaya, dan teologis dari ayat ini.

Teks Yunani Yohanes 20:17 berbunyi:
Λέγει αὐτῇ Ἰησοῦς· Μή μου ἅπτου, οὔπω γὰρ ἀναβέβηκα πρὸς τὸν πατέρα· πορεύου δὲ πρὸς τοὺς ἀδελφούς μου καὶ εἰπὲ αὐτοῖς, Ἀναβαίνω πρὸς τὸν πατέρα μου καὶ πατέρα ὑμῶν καὶ θεόν μου καὶ θεὸν ὑμῶν.
Terjemahan LAI:TB:
"Kata Yesus kepadanya: 'Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa. Tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.'”


“Μή μου ἅπτου” (Jangan Sentuh Aku)

Momen pewahyuan seperti yang dialami Maria tentu membangkitkan emosi yang kuat, baik di masa lampau maupun masa kini. Tidak mengherankan jika Maria memeluk Yesus—sebuah tindakan yang tersirat dalam Yohanes 20:17—karena secara manusiawi, ia sedang mengekspresikan kasih dan kelegaan setelah menemukan kembali Pribadi yang dikiranya telah mati. Dalam konteks ini, istilah "menyentuh" sangat mungkin berarti “memeluk,” bukan sekadar sentuhan ringan seperti menyentuh lengan atau berjabat tangan, yang tidak selaras dengan suasana emosional saat itu (bandingkan dengan 20:25).

Para penafsir telah mengusulkan berbagai makna dari larangan Yesus agar Maria tidak menyentuh-Nya. Beberapa melihatnya sebagai simbol larangan menyentuh hal-hal kudus dalam momen teofani (lih. Kel. 19:12–13), meskipun larangan ini tampaknya tidak konsisten dengan kisah Tomas (20:27). Ada pula yang menduga larangan ini menyiratkan bahwa Yesus telah mengalami bentuk awal dari kenaikan sebelum akhirnya memperbolehkan Tomas menyentuh-Nya. Dalam kerangka ini, beberapa menautkannya dengan kisah dalam Apokalips Musa, di mana menyentuh tubuh Adam dalam kondisi tertentu bisa membahayakan. Namun, relevansi analogi ini bergantung pada asumsi yang tidak pasti tentang hubungan antara kisah itu dan Injil Yohanes.

Secara gramatikal, bentuk larangan yang digunakan Yesus dalam Yohanes 20:17—imperatif kini negatif—lebih tepat dipahami sebagai “Berhentilah menyentuh-Ku” atau “Berhentilah memeluk-Ku,” bukan larangan mutlak. Ini sejalan dengan kemungkinan bahwa Maria tengah berpegang erat pada Yesus dalam suasana haru yang mendalam (bdk. Mat. 28:9–10). Yohanes tampaknya ingin menekankan bahwa respons Maria berasal dari iman yang penuh kasih, kontras dengan Tomas yang membutuhkan bukti fisik untuk percaya.

Selain itu, teori tentang "kenaikan antara" kurang meyakinkan karena didasarkan pada asumsi teologis yang tidak ditegaskan oleh teks. Lebih mungkin bahwa Yesus membatasi pelukan Maria karena waktu-Nya di dunia akan segera berakhir. Karena Ia belum naik ke surga, Maria akan punya kesempatan lain untuk menjumpai-Nya setelah menyampaikan pesan kepada para murid. Atau, Yesus mungkin sedang mengarahkan Maria agar tidak terlalu bergantung pada kehadiran fisik-Nya, mengingat bahwa Roh Kudus akan tinggal bersama mereka sebagai pengganti-Nya (lih. Yoh. 20:22).

Pertanyaannya kemudian, ke “kenaikan” manakah Yohanes 20:17 merujuk? Referensi ke Yohanes 6:62 tidak membantu banyak, dan jika kita memahami “kenaikan” sebagai kemuliaan melalui salib (lih. Yoh. 3:13–15), maka ucapan Yesus di 20:17 menjadi sulit dipahami karena penyaliban sudah terjadi. Sebagian menafsirkan ucapan Yesus sebagai pertanyaan retoris, seolah berkata, “Bukankah Aku telah naik?” Namun pendekatan ini terdengar tidak alami dan tidak sesuai dengan cara Yohanes biasanya menyampaikan narasi teologisnya.

Walaupun Yohanes menekankan eskatologi yang kini-berlangsung (“realized eschatology”), ia tetap mengakui adanya dimensi masa depan, seperti dalam Yohanes 5:28–29 dan 6:39–54. Fakta bahwa Yesus secara fisik tidak lagi bersama komunitas Yohanes mendukung pemahaman bahwa kenaikan telah terjadi, meskipun Yohanes tidak menceritakannya secara eksplisit. Tradisi kenaikan lebih gamblang dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, serta ditegaskan dalam surat-surat seperti Efesus, Kolose, dan Ibrani.

Secara teologis, ketidakhadiran fisik Yesus dipahami sebagai akibat dari kenaikan-Nya kepada Bapa, sementara kehadiran-Nya kini dilanjutkan melalui Roh Kudus. Ini selaras dengan janji Yesus tentang “Penghibur yang lain,” yang akan menyertai murid-murid-Nya secara rohani (lih. Yoh. 14:16–26). Maka, Yohanes tampaknya menekankan kesinambungan kehadiran dan pelayanan Yesus melalui Roh Kudus ketimbang narasi spasial tentang perpisahan.

Dalam konteks sastra kuno, tidak semua peristiwa harus diceritakan secara eksplisit agar dianggap terjadi. Banyak karya besar seperti Iliad, Odyssey, dan Argonautica mengisyaratkan peristiwa penting tanpa menyajikannya langsung. Demikian juga Yohanes—ia tampaknya menganggap audiensnya sudah memahami tradisi kenaikan Yesus. 

Kisah-kisah kenaikan sangat dikenal di dunia kuno, baik dalam bentuk mitos, apokrifa Yahudi, maupun kisah tentang tokoh-tokoh seperti Henokh dan Elia. Namun, dalam Kekristenan, kebangkitan tubuh Yesus dan kenaikan-Nya memiliki makna yang jauh lebih dalam dan unik secara teologis. Yohanes memang menerima konsep kenaikan dan eskatologi masa depan, namun penekanannya adalah pada puncak pengangkatan Yesus melalui salib dan pemuliaan-Nya, yang berpuncak pada pencurahan Roh Kudus. Maka, tidak mengejutkan jika Yesus berkata bahwa Ia “akan naik” dengan bentuk kata kerja waktu kini dalam Yohanes 20:17—sebab dalam pandangan teologi Yohanes, pengangkatan Kristus sudah dimulai dari salib dan mencapai kepenuhannya dalam kehadiran Roh Kudus.

Ungkapan “μή μου ἅπτου” secara gramatikal menggunakan bentuk imperatif present negatif, yang biasanya mengindikasikan tindakan yang sedang berlangsung atau ingin dihentikan. Dengan demikian, kemungkinan besar perintah ini sebaiknya diterjemahkan: “Berhentilah menyentuh-Ku” atau “Jangan terus-menerus memegang-Ku.” Ini bukan larangan absolut terhadap sentuhan, melainkan sebuah peringatan terhadap penahanan atau keterikatan yang berlebihan.

Bentuk ini kontras dengan undangan Yesus kepada Tomas (20:27) yang justru memperbolehkan dan bahkan mendorong tindakan fisik. Kontras ini mengindikasikan bahwa masalah dalam Yohanes 20:17 bukanlah “sentuhan” itu sendiri.


Konteks Naratif dan Nuansa Emosional

Maria, yang baru saja mengalami kehilangan dan kini bertemu kembali dengan Yesus yang bangkit, kemungkinan besar merespons dengan pelukan penuh emosi. Dalam budaya Palestina abad pertama, seorang perempuan yang meratap dapat dengan bebas mengekspresikan kesedihan dan kasih, termasuk dalam bentuk pelukan atau memegang tubuh orang yang dikasihi. Maka tindakan Maria adalah respons manusiawi yang tulus.

Namun, Yesus menghentikannya bukan karena tubuh kebangkitan-Nya belum “siap disentuh,” tetapi karena Ia hendak mengarahkan Maria kepada tugas yang lebih penting: menjadi saksi kebangkitan kepada “saudara-saudara-Nya.” Keterikatan Maria pada kehadiran fisik Yesus harus digantikan dengan kepercayaan kepada kehadiran-Nya yang akan dinyatakan melalui Roh Kudus (20:22). Maka, perintah itu juga menjadi transisi pedagogis dari iman berbasis fisik kepada iman berbasis pewahyuan dan pengutusan.

Makna “Aku Belum Pergi kepada Bapa”

Frasa ini, yang dalam bahasa Yunani berbentuk “οὔπω γὰρ ἀναβέβηκα πρὸς τὸν πατέρα” (“sebab Aku belum naik kepada Bapa”), menjadi pusat interpretasi kenaikan dalam Injil Yohanes. Secara teologis, kenaikan dalam Yohanes tidak hanya menunjuk kepada peristiwa tubuh Yesus naik ke surga, tetapi merupakan puncak dari rangkaian peristiwa: salib, kebangkitan, dan penganugerahan Roh Kudus (lih. Yoh 14–16). Yohanes cenderung menafsirkan “kenaikan” sebagai bagian dari proses “pengangkatan” (ὑψωθῆναι) yang dimulai di salib (Yoh 3:14; 12:32).

Namun demikian, pernyataan Yesus bahwa Ia belum naik menunjukkan adanya suatu interval teologis. Interval ini penting karena di dalamnya Maria diutus untuk memberitakan, dan para murid disiapkan untuk menerima kehadiran-Nya dalam bentuk Roh (20:22). Maka, tindakan “menaik kepada Bapa” menandakan transformasi eskatologis dalam cara kehadiran ilahi dialami oleh komunitas murid.


Peran Maria Sebagai Rasul kepada Para Rasul

Yesus tidak hanya melarang Maria memegang-Nya, tetapi juga memberinya misi: “Pergilah kepada saudara-saudara-Ku…” (20:17b). Dalam konteks sosial abad pertama, penugasan ini sangat luar biasa karena perempuan bukanlah saksi sah dalam banyak pengadilan Yahudi dan Romawi. Namun dalam narasi kebangkitan, Maria menjadi saksi pertama dan pembawa berita kepada para rasul. Gelar yang kemudian diberikan oleh tradisi Gereja, Apostola Apostolorum (“Rasul kepada para Rasul”), secara tepat mencerminkan makna peran ini.

Penekanan Yohanes di sini bukan apologetik, melainkan didaktik—mengajar bahwa pewartaan iman adalah panggilan siapa saja yang telah bertemu Sang Tuhan yang bangkit, tanpa batasan gender. Kesaksian Maria sejajar dengan pola kesaksian yang direkomendasikan bagi semua murid dalam Injil Yohanes (bdk. 1:46; 4:39–42; 20:30–31).


Kesimpulan

Yohanes 20:17 bukanlah teguran terhadap ekspresi kasih Maria, melainkan pengarahan kembali kasih itu menuju pengutusan. Dalam konteks Injil Yohanes, kenaikan bukanlah akhir naratif, melainkan momen transformatif di mana kehadiran Yesus ditransisikan dari kehadiran fisik menuju kehadiran spiritual melalui Roh Kudus. Dengan menolak untuk terus-menerus dipegang, Yesus mengajak Maria—dan para murid setelahnya—untuk mengenal kehadiran-Nya secara baru, dan mewartakan kabar itu kepada dunia.

Ayat ini sekaligus menegaskan bahwa kesaksian perempuan—yang secara sosial tidak sah—menjadi sah oleh mandat Kristus sendiri. Dalam hal ini, Yohanes 20:17 adalah deklarasi eskatologis dan eklesiologis: perjumpaan dengan Kristus yang bangkit harus mengarah kepada pengutusan, dan iman yang dewasa harus melepaskan keterikatan pada bentuk lama demi menerima kehadiran Kristus yang baru dalam Roh.

24 April 2025

Kebangkitan Kristus dan Kebangkitan Kita* (1 Korintus 15:1-11)

            Bagi Paulus, kebangkitan di akhir zaman (1 Korintus 15:1–58) merupakan doktrin Yudaisme yang umum, namun memiliki konsekuensi moral (lihat 6:13–14; 15:32–34, 58), sebagaimana juga terdapat dalam pembelaan Yahudi awal lainnya mengenai penghakiman eskatologis atas dasar moralitas (atau kecaman bangsa-bangsa terhadap kaum Epikurean yang “amoral” karena menolak kehidupan setelah kematian).

Untuk mendukung kebangkitan akhir zaman, Paulus memulai di 1 Korintus 15:1–11 dengan bagian dari doktrin tersebut yang telah diterima oleh pendengarnya—yakni pemberitaan Injil (kerygma)—dan meneguhkan poin tersebut dengan menyebut daftar saksi mata. Penerimaan mereka terhadap kerygma merupakan undangan untuk menerima kerangka keselamatan-historis Yahudi yang menjadi bagian darinya.

Retorika yang baik biasanya dimulai dari kesamaan dasar. Maka Paulus memulai dengan mengacu pada pesan yang telah membawa mereka kepada pertobatan, yang telah mereka setujui (15:1–2; bandingkan dengan 2:1–5; Galatia 3:2–5; 1 Tesalonika 2:1; 3:4). Paulus memperingatkan bahwa jika Kristus tidak dibangkitkan, maka iman mereka sia-sia (15:2, 14, 17; bandingkan dengan 2 Korintus 6:1; Galatia 2:2; 3:4; 4:11; Filipi 2:16; 1 Tesalonika 2:1; 3:5), namun ia juga meyakinkan mereka bahwa hal tersebut tidak terjadi (15:10, 58). Keselamatan mereka bergantung pada hal itu (15:2).

Orang-orang Kristen awal melihat bahwa peristiwa-peristiwa Injil diramalkan atau digambarkan sebelumnya dalam Kitab Suci (15:4), dan kemungkinan besar Paulus merujuk pada teks-teks seperti Mazmur 16:10–11 dan Yesaya 53:4–12, yang juga digunakan oleh orang Kristen lainnya. Jika frasa “pada hari ketiga” (dihitung secara inklusif, seperti kebiasaan zaman kuno—yakni dari Jumat sampai Minggu) termasuk dalam “menurut Kitab Suci”, maka Paulus mungkin memikirkan Hosea 6:2 atau Yunus 1:17. Namun, bisa jadi maksud utamanya adalah bahwa Yesus dibangkitkan sebelum tubuh-Nya mengalami pembusukan (Mazmur 16:10; bandingkan dengan 3 Henokh 28:10).

Paulus dan Kerygma Kebangkitan

Paulus meringkas Injil yang telah ia beritakan kepada jemaat (15:1–2); ia tidak menciptakannya sendiri, sebab ia “menyampaikannya” dan mereka “menerimanya” (yakni sebagai tradisi terdahulu; lihat komentar pada 11:23). Beberapa ahli, berdasarkan kosakata non-Paulin dan penggunaan bahasa Aram, meyakini bahwa bagian ini adalah pengakuan iman pra-Paulin. Meski Paulus mungkin menyusun ulang ringkasannya, informasi dasarnya kemungkinan berasal dari tradisi sebelum dirinya.

Meski banyak kemiripan dengan Injil-injil, penghilangan saksi perempuan oleh Paulus sangat mencolok. Mengingat adanya prasangka budaya terhadap kesaksian perempuan, kecil kemungkinan Injil mengarang kesaksian tersebut, dan sangat masuk akal secara budaya bahwa Paulus memilih untuk menghilangkannya.

Sebagaimana dalam narasi Perjanjian Lama mengenai sejarah keselamatan, Paulus menyampaikan tindakan-tindakan ilahi—dalam hal ini, yang paling utama adalah kematian Yesus “bagi dosa-dosa kita” (mungkin dengan makna yang sama seperti dalam 8:11; Roma 5:6, 8; 14:15; 2 Korintus 5:14–15; Galatia 1:4; 1 Tesalonika 5:10; bandingkan juga 1 Petrus 3:18), sebagai korban atau pengganti (bandingkan dengan Ibrani 7:27; 10:12; Roma 4:25; 5:9–10; Galatia 2:20). Paulus tentu memiliki dasar dalam tradisi Yesus sendiri untuk mempercayai hal ini (11:23–25; bandingkan Markus 10:45; 14:22–24).

Fokus Paulus di sini adalah kebangkitan Yesus. Meski ia menekankan bahwa tubuh yang dibangkitkan adalah berbeda (mulia, surgawi, mungkin seperti malaikat), kebangkitan secara jasmani tetap menjadi aspek penting (15:35–44). Meski tidak menyebut kubur kosong, ada indikasi bahwa tubuh Yesus bertransformasi, bukan membusuk: Ia dikuburkan (15:4); makna “kebangkitan” dalam pemahaman Yahudi; dan diskusi Paulus selanjutnya (15:35–37, 51).

Sekadar penglihatan akan roh atau malaikat (bandingkan 2 Makabe 3:24–26) tidak sesuai dengan konsep Yahudi tentang kebangkitan, tidak mencerminkan pusat pemberitaan kerasulan, dan tidak memicu oposisi publik. Penglihatan roh bukanlah hal yang kontroversial dan tidak menegaskan ancaman eskatologis apa pun.

Saksi Kebangkitan dan Retorika Paulus

Orang-orang zaman kuno sering mencatat saksi untuk “penampakan ilahi,” namun biasanya berbentuk mimpi atau pembebasan—berbeda dari skala yang dijabarkan Paulus. Paulus menyebut enam individu atau kelompok yang mengalami penampakan (15:5–8):

  1. Kefas (bandingkan Lukas 24:34);
  2. Kedua belas murid (meskipun jumlahnya tidak persis, gelar ini tetap dipertahankan karena makna eskatologisnya);
  3. Lima ratus saudara, sebagian besar masih hidup saat itu (mungkin sebagai undangan untuk diverifikasi);
  4. Yakobus (disebut tanpa perkenalan karena mereka telah mengenalnya dari tradisi Injil);
  5. Semua rasul (lebih luas dari keduabelas);
  6. Paulus sendiri, yang disebut terakhir.

Paulus menggambarkan dirinya sebagai yang terlahir “tidak pada waktunya” (15:8 – seperti bayi mati yang lahir di luar musim – sebuah penggambaran yang selalu digunakan sebagai perbandingan dalam LXX: Bil 12:12; Pkh 6:3; Ayb 3:16) namun secara ironi, menerima kehidupan melalui kebangkitan. Ia memakai metafora dramatis untuk menegaskan realitas klaimnya.

Suatu halusinasi massal dari lima ratus orang sekaligus sangat sulit untuk dijelaskan. Paulus menyebut saksi dari para pemimpin gereja yang dihormati dan telah menderita karena kesaksian mereka, serta dirinya sendiri (dan mungkin juga Yakobus) yang sebelumnya adalah skeptis.

Namun, semua bukti ini dimunculkan Paulus untuk mendukung sesuatu yang sebenarnya tidak diragukan oleh pendengarnya (15:1–2, 11). Ia menggunakan premis bersama ini untuk meyakinkan bahwa kebangkitan Yesus menjamin kebangkitan umat Allah (15:12).

Pandangan Kuno Tentang Kebangkitan

Orang Korintus terpelajar kemungkinan mengikuti pandangan para filsuf: jiwa bersifat kekal, tubuh fana. Banyak yang memandang tubuh sebagai unsur duniawi dan jiwa sebagai unsur surgawi (Heraklitos, Seneca), bahkan sebagian orang Yahudi juga (Keb. Salomo 9:15–16; Sifre Ul. 306.28.2). Filsuf melihat jiwa abadi sebagai bagian ilahi dari manusia; beberapa pemikir Yahudi-Helenistik juga setuju (Philo).

Berlawanan dengan dugaan banyak sarjana PB modern, mayoritas orang Yahudi saat itu menerima kebangkitan tubuh di masa depan, selain keabadian jiwa. Beberapa orang Yunani (seperti kaum Epikurean) menolak kehidupan setelah kematian, dan bahkan mereka yang mempercayai kelangsungan jiwa tidak bisa membayangkan kebangkitan tubuh (yang mereka anggap seperti mayat bangkit dari kubur).

Analogi terdekat dalam budaya Yunani adalah:

  • Dewa-dewa dunia bawah yang kembali setiap musim semi,
  • Tukang sihir yang menghidupkan kembali orang mati,
  • Bangkitnya orang yang ternyata hanya pingsan dalam kisah-kisah novel.

Namun, Yudaisme Palestina menekankan kebangkitan tubuh, seperti terlihat dalam Daniel 12:2 – “Dan banyak dari antara orang-orang yang telah tidur di dalam debu tanah, akan bangun, sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan kengerian yang kekal. Para rabi kemudian percaya bahwa orang Saduki kehilangan bagian dalam kehidupan setelah kematian karena mereka menolak kebangkitan. Sebagian orang Yahudi diaspora juga menerima konsep ini, meskipun sering kali disesuaikan dengan pemikiran Hellenistik tentang keabadian.

Karenanya, konsep Paulus tentang kebangkitan tubuh mungkin tidak hanya ditentang oleh orang non-Yahudi, tapi juga oleh elemen Yahudi dalam jemaat. Paulus mencoba mengakomodasi sebisa mungkin (frasa “tubuh rohaniah”, “tubuh surgawi” dlm 15:40,44) tanpa mengorbankan keyakinan utamanya bahwa pengharapan masa depan bersifat jasmani, sebagai wujud dari kebaikan ciptaan Allah.


*Craig Keener on 1 Corinthians 15:1-11.

18 April 2025

PEMBUKTIAN KEBANGKITAN KRISTUS: 8 ALASAN

1. Yesus Disalibkan dan Mati di Bawah Pemerintahan Pontius Pilatus

Bukti:

  • Disepakati secara luas oleh para sejarawan Kristen dan non-Kristen.
  • Dikonfirmasi dalam keempat Injil dan surat-surat Paulus (misalnya, 1 Korintus 15:3).
  • Didukung oleh sumber non-Kristen seperti:
    • Tacitus (sejarawan Romawi): Menyebutkan bahwa Kristus dieksekusi oleh Pontius Pilatus.
    • Josephus (sejarawan Yahudi): Referensi tentang penyaliban Yesus (dengan beberapa bagian dianggap sebagai interpolasi Kristen, tetapi sebagian besar diterima sebagai autentik).

Alasan Historis:

  • Penyaliban adalah metode eksekusi Romawi yang umum bagi pemberontak dan penjahat.
  • Fakta ini sangat memalukan bagi para pengikut-Nya, sehingga kecil kemungkinan diciptakan sebagai legenda. (Prinsip criterion of embarrassment dalam historiografi.)

Kematian Yesus melalui penyaliban adalah salah satu fakta sejarah yang paling sedikit diperdebatkan, baik oleh sejarawan Kristen maupun non-Kristen. Keempat Injil menyampaikan narasi yang konsisten mengenai penyaliban ini, dan surat-surat Paulus juga secara eksplisit menyebutkannya, termasuk dalam 1 Korintus 15:3. Selain itu, penulis non-Kristen seperti Tacitus dan Josephus mengonfirmasi bahwa Yesus dieksekusi di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Penyaliban itu sendiri adalah bentuk hukuman Romawi yang umum untuk pemberontak dan penjahat besar, dan karena sifatnya yang memalukan, kecil kemungkinan hal ini diciptakan oleh para pengikut Yesus untuk membangun legenda. Fakta bahwa murid-murid menempatkan Mesias mereka di kayu salib—sebuah simbol kutukan dan kehinaan dalam budaya Yahudi—justru memperkuat keaslian historisnya. Jika para murid ingin menciptakan pemujaan pada figur Yesus, tentunya mereka akan menghilangkan hal-hal yang memalukan dan menggantikannya dengan narasi-narasi yang hebat yang lebih menarik. Kenyataannya tidak demikian.

2. Makam Yesus Yang Kosong

Bukti:

  • Dicatat dalam semua empat Injil.
  • Para wanita sebagai saksi pertama adalah bukti keaslian, sebab kesaksian mereka tidak dihargai secara legal pada zaman itu.
  • Tidak ada catatan historis bahwa pihak berwenang menunjukkan tubuh Yesus sebagai sanggahan.

Pandangan Sarjana:

  • Bahkan beberapa skeptis seperti James Crossley dan John A. T. Robinson menganggap kubur kosong sebagai fakta yang layak dipertimbangkan secara serius.
  • Tokoh seperti William Lane Craig dan Gary Habermas menunjukkan bahwa narasi ini memenuhi beberapa kriteria keotentikan sejarah (multiple attestation, embarrassment, enemy attestation secara tidak langsung).

Keempat Injil menyampaikan bahwa pada pagi hari Minggu, kubur Yesus ditemukan kosong. Yang menarik adalah bahwa para saksi pertama yang disebut dalam narasi tersebut adalah perempuan, terutama Maria Magdalena. Dalam konteks budaya abad pertama, kesaksian perempuan tidak memiliki bobot hukum yang signifikan, sehingga kecil kemungkinan kisah ini diciptakan untuk memperkuat klaim teologis. Beberapa sarjana skeptis pun mengakui bahwa keberadaan cerita makam kosong ini memiliki akar yang cukup tua dan pantas dipertimbangkan secara serius. Fakta bahwa pihak berwenang tidak pernah secara historis membantah kebangkitan dengan menunjukkan tubuh Yesus juga memperkuat argumen bahwa memang tidak ada jenazah yang bisa diperlihatkan—suatu kondisi yang mendesak untuk dijelaskan secara rasional.

3. Para Murid Meyakini Mereka Melihat Yesus yang Bangkit

Bukti:

  • Dicatat dalam 1 Korintus 15:3–8, yang menyebut penampakan kepada:
    • Petrus
    • Kedua belas rasul
    • Lebih dari 500 saudara sekaligus
    • Yakobus
    • Paulus sendiri
  • Muncul juga di Injil dan Kisah Para Rasul: Yesus makan bersama murid, menunjukkan luka-luka-Nya, dan berbicara dengan mereka.

Analisis:

  • Creed dalam 1 Korintus diperkirakan sudah beredar dalam 3–5 tahun setelah peristiwa kebangkitan.
  • Hal ini terlalu dini untuk menjadi legenda.
  • Konsistensi pengakuan saksi di berbagai sumber menambah bobot historis.

Salah satu bagian paling awal dalam Perjanjian Baru, yaitu 1 Korintus 15:3–8, memuat daftar penampakan Yesus pasca-kebangkitan kepada individu-individu dan kelompok, termasuk Petrus, para rasul, lebih dari lima ratus orang sekaligus, Yakobus, dan akhirnya Paulus sendiri. Sumber ini berbentuk pengakuan iman (creed) yang sangat kuno, yang dipercaya oleh banyak sarjana ditulis tidak lama setelah peristiwa kebangkitan itu sendiri. Klaim-klaim ini bukanlah sesuatu yang muncul berabad-abad kemudian, melainkan berasal dari saksi mata atau orang yang sangat dekat dengan mereka. Artinya, para murid benar-benar percaya bahwa mereka telah melihat Yesus hidup kembali dalam wujud fisik, bukan sekadar mengalami kesan spiritual atau pengaruh psikologis.

4. Perubahan Drastis dalam Diri Para Murid

Konteks:

  • Sebelum kebangkitan: murid-murid melarikan diri, bersembunyi, ketakutan (lihat Markus 14:50, Yohanes 20:19).
  • Setelah kebangkitan: tampil penuh semangat, bersaksi di depan umum, dan rela mati.

Signifikansi Historis:

  • Tidak logis jika perubahan besar ini terjadi hanya karena “keyakinan spiritual” atau “halusinasi.”
  • Mereka percaya sungguh-sungguh telah bertemu Yesus secara fisik dan hidup.

Setelah kematian Yesus, para murid digambarkan sebagai orang-orang yang takut, putus asa, dan sembunyi dari otoritas Yahudi dan Romawi. Namun, setelah mereka mengaku melihat Yesus yang bangkit, terjadi transformasi luar biasa. Mereka menjadi pemberani, tampil di depan umum, dan rela dianiaya serta dibunuh karena iman mereka. Perubahan ini tidak masuk akal jika hanya didasarkan pada delusi atau keyakinan emosional. Sesuatu yang nyata dan sangat kuat harus terjadi untuk membuat mereka berubah total. Dalam banyak kasus, orang mungkin bisa mempertahankan kebohongan untuk keuntungan, tapi sangat jarang seseorang rela mati untuk sesuatu yang mereka tahu adalah kebohongan.

‍5. Pertobatan Yakobus, Saudara Yesus

Bukti:

  • Yohanes 7:5: "Sebab saudara-saudara-Nya sendiri pun tidak percaya kepada-Nya."
  • 1 Korintus 15:7: Yesus menampakkan diri secara khusus kepada Yakobus.
  • Kisah Para Rasul: Yakobus kemudian menjadi pemimpin gereja Yerusalem (Kisah 15).

Analisis:

  • Mengapa seseorang yang awalnya tidak percaya tiba-tiba menjadi pemimpin penting dan rela mati demi keyakinannya?
  • Penjelasan paling logis: Ia meyakini bahwa Yesus benar-benar bangkit dan menampakkan diri kepadanya.

Sebelum kebangkitan, Yakobus tidak percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Yohanes 7:5 menyatakan bahwa saudara-saudara-Nya sendiri pun tidak percaya kepada-Nya. Namun, setelah kebangkitan, Yakobus menjadi salah satu pemimpin gereja Yerusalem dan martir karena imannya. Menurut 1 Korintus 15:7, Yesus secara khusus menampakkan diri kepada Yakobus. Perubahan total dari skeptisisme menjadi keyakinan yang begitu kuat ini tidak dapat dijelaskan hanya sebagai tekanan sosial atau pengaruh kelompok. Bukti menunjukkan bahwa pengalaman pribadi yang sangat kuat—penampakan Yesus yang hidup—adalah satu-satunya penjelasan yang cukup masuk akal.

6. Pertobatan Paulus

Bukti:

  • Paulus adalah penganiaya gereja (Kisah Para Rasul 8–9).
  • Ia mengalami penampakan Kristus yang bangkit dalam perjalanannya ke Damsyik.
  • Menjadi penginjil terbesar dan penulis utama dalam Perjanjian Baru.

Signifikansi:

  • Pertobatannya tidak bisa dijelaskan dengan motivasi psikologis biasa.
  • Ia bukanlah pengikut Yesus yang kecewa, tapi justru seorang oposisi keras.
  • Pengakuannya sebagai saksi mata (1 Kor 15:8) memperkuat daftar penampakan.

Paulus adalah seorang penganiaya gereja yang sangat militan. Ia mengejar, menangkap, dan bahkan menyetujui pembunuhan pengikut Yesus. Namun dalam perjalanan ke Damsyik, ia mengklaim mengalami perjumpaan langsung dengan Yesus yang telah bangkit. Pertobatannya begitu mendalam sehingga ia menjadi salah satu tokoh utama dalam penyebaran Injil dan penulis utama surat-surat Perjanjian Baru. Tidak ada motivasi psikologis atau keuntungan pribadi yang dapat menjelaskan transformasi seperti ini. Dari musuh menjadi misionaris, dari pembenci menjadi martir, perjalanan hidup Paulus hanya masuk akal jika ia benar-benar mengalami sesuatu yang luar biasa dan nyata.


7. Tradisi Kebangkitan Muncul Sangat Awal

Bukti:

  • 1 Korintus 15:3–8 adalah sebuah creed (kredo/pengakuan iman) yang berasal dari tradisi Yahudi-Kristen paling awal.
  • Banyak sarjana menempatkannya dalam waktu tiga tahun setelah penyaliban.

Arti Penting:

  • Kemunculan kredo yang terbilang masih sangat dekat dengan masa penyaliban Yesus ini terlalu dini untuk dijadikan alasan bahwa kisah kebangkitan Yesus adalah sebuah legenda.
  • Membantah gagasan bahwa kepercayaan akan kebangkitan muncul secara bertahap seiring waktu.
  • Diterima secara luas oleh komunitas Kristen awal, termasuk mereka yang langsung mengenal saksi mata.

Pengakuan iman dalam 1 Korintus 15 dianggap sebagai tradisi Kristen paling awal yang mendokumentasikan kebangkitan Yesus. Banyak sarjana, termasuk yang skeptis, menempatkan asal mula kredo ini dalam waktu tiga hingga lima tahun setelah penyaliban. Ini penting, karena menyingkirkan argumen bahwa cerita kebangkitan berkembang sebagai mitos yang lambat laun disisipkan dalam ajaran Kristen. Fakta bahwa komunitas Kristen awal menerima kredo ini secara luas menunjukkan bahwa keyakinan akan kebangkitan bukanlah elemen tambahan, melainkan fondasi utama sejak mula.


8. Kebangkitan Menjadi Inti Pewartaan Gereja Mula-Mula

Bukti:

  • Kisah Para Rasul penuh dengan khotbah tentang kebangkitan Yesus (Kisah 2, 3, 10, 13).
  • Paulus berulang kali menjadikan kebangkitan sebagai dasar iman (Roma 10:9, 1 Korintus 15:14).
  • Martir mula-mula bersaksi tentang Yesus yang hidup, bukan sekadar pengajar agung.

Analisis:

  • Jika kebangkitan hanyalah mitos atau ilusi, tidak akan menjadi inti pesan para rasul.
  • Gereja tidak dimulai dari ajaran Yesus, melainkan dari keyakinan bahwa Ia telah hidup kembali.

Kisah Para Rasul secara konsisten menunjukkan bahwa pesan utama yang disampaikan para rasul adalah kebangkitan Yesus. Petrus, dalam khutbah pertamanya, berbicara tentang kubur yang kosong dan Yesus yang telah dibangkitkan oleh Allah (Kisah 2). Paulus menulis bahwa jika Kristus tidak bangkit, maka iman orang Kristen sia-sia (1 Korintus 15:14). Gereja mula-mula tidak berdiri hanya atas ajaran moral Yesus, melainkan atas keyakinan bahwa Ia telah mengalahkan maut. Pesan ini menjadi pusat kehidupan gereja awal dan kekuatan di balik pertumbuhan gerakan Kristen di tengah penganiayaan dan penolakan.

 

PENOLAKAN TERHADAP KEBANGKITAN KRISTUS

DAN ALASAN UNTUK MENOLAK KLAIM PENOLAKAN ITU

Setidaknya ada dua teori alternatif yang paling sering diajukan untuk menolak kebangkitan Yesus secara historis—teori halusinasi dan teori mitos—beserta keberatannya secara mendalam:

1. Teori Halusinasi

Klaim: Para saksi mata sebenarnya tidak melihat Yesus yang bangkit secara fisik, tetapi mengalami halusinasi karena trauma, harapan, atau keyakinan religius yang mendalam.

Keberatan Historis:

  • Halusinasi bersifat pribadi, bukan kolektif: Psikologi modern menjelaskan bahwa halusinasi adalah pengalaman subjektif yang tidak bisa dibagikan. Namun, laporan dalam Injil dan 1 Korintus 15 menunjukkan bahwa Yesus menampakkan diri kepada banyak orang sekaligus, termasuk 500 orang dalam satu waktu. Itu tidak dapat dijelaskan sebagai halusinasi.
  • Variasi situasi penampakan: Yesus menampakkan diri di tempat berbeda, kepada orang-orang dengan karakter dan latar belakang berbeda (skeptis seperti Tomas dan Yakobus, wanita, kelompok murid), pada waktu dan konteks yang berbeda. Halusinasi massal secara simultan dalam berbagai kondisi ini sangat tidak mungkin.
  • Skeptis tidak memiliki harapan: Orang-orang seperti Yakobus (saudara Yesus) dan Paulus (seorang penganiaya Gereja) tidak dalam keadaan rindu atau berharap Yesus bangkit. Jadi mereka bukan kandidat yang logis untuk halusinasi karena mereka bahkan tidak percaya sebelumnya.
  • Interaksi fisik bertentangan dengan halusinasi: Para murid menyentuh Yesus dan makan bersama-Nya (Lukas 24:39–43; Yohanes 21). Hal ini tidak bisa dijelaskan oleh halusinasi, yang hanya berupa persepsi visual atau auditori.
  • Kubur kosong tetap menjadi masalah: Jika Yesus tidak sungguh-sungguh bangkit, jenazah-Nya akan tetap ada di kubur. Tapi faktanya, kubur itu kosong. Halusinasi tidak bisa mengosongkan kubur.

2. Teori Mitos (Legenda)

Klaim: Cerita kebangkitan Yesus adalah hasil perkembangan mitos yang tumbuh seiring waktu setelah kematian-Nya.

Keberatan Historis:

  • Waktu penulisan terlalu dekat dengan peristiwa: Surat 1 Korintus ditulis sekitar tahun 55 M, hanya sekitar 20 tahun setelah kematian Yesus. Dan kredo dalam 1 Korintus 15:3–8 diyakini berasal dari tahun 30–36 M, hanya beberapa tahun setelah peristiwa salib. Ini terlalu singkat bagi mitos untuk berkembang.
  • Kredo purba menyebut saksi mata: Dalam 1 Korintus 15, disebutkan nama-nama individu (Petrus, Yakobus, para rasul) yang masih hidup pada masa itu, sehingga orang bisa langsung mengkonfirmasi kesaksian mereka. Ini adalah gaya penulisan sejarah, bukan mitos.
  • Kisah kebangkitan tidak memiliki ciri mitos klasik: Mitologi Yunani atau dewa-dewa Romawi penuh dengan simbolisme dan gaya puisi. Sebaliknya, narasi kebangkitan Yesus sangat sederhana, langsung, dan bersifat historis, menyebutkan tempat, waktu, dan saksi-saksi nyata.
  • Pengorbanan saksi mata: Murid-murid tidak hanya menyebarkan berita ini, tetapi juga rela mati karena meyakininya. Tidak masuk akal bahwa banyak orang akan mengorbankan hidup mereka untuk sesuatu yang mereka tahu hanyalah mitos yang mereka buat sendiri.

Baik teori halusinasi maupun teori mitos tidak dapat menjelaskan secara komprehensif seluruh fakta sejarah seputar kebangkitan Yesus: kubur kosong, perubahan drastis pada murid-murid, kesaksian saksi mata, dan perkembangan sangat awal dari pengakuan bahwa Yesus benar-benar bangkit. Oleh karena itu, banyak sejarawan dan filsuf menyimpulkan bahwa hipotesis "kebangkitan sungguh terjadi" adalah penjelasan yang paling masuk akal secara historis.