“Janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang
berdosa, tetapi takutlah akan TUHAN senantiasa. Karena masa depan sungguh ada,
dan harapanmu tidak akan hilang.”
Amsal 23:17-18
Mungkin pernah terbersit dalam hati kita sebuah pertanyaan
“Aku sudah berusaha keras hidup seturut kebenaran firman Tuhan,tapi kenapa
hidupku penuh dengan kesusahan? Dan mengapa orang yang banyak sekali melakukan
ketidakbenaran justru memiliki hidup berkelimpahan harta benda dan terlihat
selalu senang?”
Kenyataan hidup ini memang banyak yang memuat misteri. Orang
baik yang hidup susah dan orang jahat yang hidup enak mungkin adalah salah satu
ironi yang sering kali kita temui di dunia ini. Banyak sekali orang benar yang
mati-matian berjuang keras untuk kehidupannya. Namun disaat yang sama, orang
yang hidupnya sembarangan, tidak taat kepada firman Tuhan malah dengan mudahnya
mendapatkan banyak harta. Lantas bagaimana kita memahami fenomena yang demikian
itu?
Penulis Amsal menuliskan kata-kata hikmat yang terdapat
dalam Amsal 23:17-18 “Janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang
berdosa, tetapi takutlah akan TUHAN senantiasa. Karena masa depan sungguh ada,
dan harapanmu tidak akan hilang.” Kata-kata hikmat dari
penulis Amsal ini secara jelas melarang kita untuk memiliki perasaan iri
terhadap orang-orang berdosa, yang mungkin terlihat memiliki hidup berlimpah
harta dan kesenangan.
Dalam bahasa aslinya, ayat 17 ini bermakna lebih tajam.
Secara literal, ayat 17 dapat berarti ”Jangan iri kepada orang berdosa, tapi irilah kepada Tuhan.” Nilai dari Amsal
ini sungguhlah luar biasa. Sering kali kita dibuat khawatir dan kemudian mulai
mengeluh dan bersungut-sungut saat melihat orang yang hidupnya jauh dari Tuhan
justru terlihat bahagia.
Kita lupa bahwa Alkitab berkata “Tetapi
orang yang fasik tidak akan beroleh kebahagiaan dan seperti bayang-bayang ia
tidak akan panjang umur, karena ia tidak takut terhadap hadirat Allah.” (Pengkhotbah 8:13). Ayat 17 dari Amsal 23
tadi menasehati kita supaya tidak berfokus pada kehidupan orang fasik,
melainkan mengarahkan fokus hidup kita hanya kepada Tuhan saja, setiap saat.
Kebahagiaan orang fasik seperti bayang-bayang yang sebentar saja lenyap karena
sinar terang. Namun kebahagiaan sesungguhnya yang tidak akan pernah hilang
adalah saat kita memfokuskan hidup kita kepada Tuhan.
Kisah keluarga Elimelekh yang beberapa waktu
lalu kita pelajari bersama, mencerminkan nilai sebuah pengharapan kepada Tuhan.
Elimelekh yang meninggalkan tanah Israel, dan berharap akan menemukan
kebahagiaan di tanah Moab, justru menuai tragedi yang pahit, yaitu kehancuran
keluarganya. Keluarga itu hanya menyisakan sang nyonya rumah Naomi dan sang
menantu Rut yang akhirnya kembali ke tanah Israel. Batin Naomi begitu
terpuruknya sehingga hanya kepahitan yang tersisa di dalamnya. Namun saat sang
menantu, Rut, dengan setia mengikutinya kembali ke tanah Israel, dia mulai
melihat ada harapan yang mengembang. Di akhir cerita kita melihat bahwa garis
keluarga Elimelekh dipulihkan oleh Boas, yang dari garis keturunannya, Raja
Daud diturunkan. Naomi melihat harapan itu nyata saat ia kembali ke “tanah
perjanjian” yang Tuhan berikan kepadanya.
Kisah Abraham pun mengguratkan nilai yang sama
mengenai harapan akan masa depan di dalam Tuhan. dalam usia tuanya, Abraham
belum juga memiliki keturunan. Hingga suatu waktu dia berkata dengan putus asa
kepada Tuhan bahwa ia tidak mungkin memiliki keturunan. Hartanya yang begitu
banyak hanya akan dia berikan kepada Eliezer, pembantunya yang setia. Namun
dengan tegas Tuhan berkata “Orang ini tidak
akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi
ahli warismu.” (Kejadian 15:4).
Mungkin saat melihat usia tuanya, sempat
terbersit keraguan dalam benak Abraham terhadap perkataan Tuhan tersebut. Namun
dalam perjalanan hidupnya, janji Tuhan itu didengungkan lagi dan lagi, hingga
kemudian dinyatakan. Ishak lahir dari rahim Sara yang seharusnya sudah kering
dan mandul. Apakah kisah tersebut berhenti sampai di situ saja?
Tidak! Harapan
Abraham diuji. Janji keturunan yang akan seperti bintang di langit dan pasir di
laut, mungkin berada di ambang jurang, waktu Abraham mendengar Tuhan
menginginkan Ishak sebagai korban bakaran. Ada ruang dalam hati Abraham, yang
didalamnya berisi imannya kepada Tuhan. Iman itulah yang menguatkan dia dan
menyakinkan dia bahwa Tuhan pasti akan menggenapi janji-Nya, bahwa harapannya
kepada Tuhan tidak akan sia-sia. Saat belati itu akan terayun untuk menyembelih
Ishak, Tuhan menghentikannya.
Tuhan menunjukkan diri-Nya sebagai Allah yang
menyediakan. Menyediakan dalam bagian teks itu juga bermakna membuat jadi
nyata. Janji Tuhan dinyatakan bahwa garis keturunan Abraham menjadi bangsa yang
besar. Daripadanyalah Penebus kita, Tuhan Yesus Kristus, diturunkan.
Saat kita melihat bahwa Tuhan memperhatikan orang-orang
yang hidup benar dan berfokus kepada-Nya, apa alasan kita untuk meragukan
pribadi-Nya? Sukaria dalam gemerlapnya dunia ini hanyalah kerlipan yang
sifatnya sementara saja. Seperti uap air dan bunga rumput yang sebentar saja
lenyap saat terpapar sinar terik matahari, demikianlah gemerlap dunia dan
kesenangan orang-orang yang memujanya.
Manakah yang seharusnya lebih kita
harapkan untuk miliki? Kesenangan sekarang yang semu dan kemudian menghilang
atau kesenangan kelak yang kekal di dalam Tuhan? Orang benar hanya berharap
kepada Tuhan saja. Kesukaran tidak akan mengalihkan pandangan hidupnya dari
Tuhan. Tetapi justru melalui kesukaran di dunia ini, ia semakin jelas melihat
penyertaan Tuhan di dalam kehidupannya.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.