Laman

Showing posts with label iman. Show all posts
Showing posts with label iman. Show all posts

05 April 2017

MENGIKUT KRISTUS ADALAH MEMATIKAN KEINGINAN DIRI (Kolose 3:5)


Kekristenan bukanlah sebuah pilihan hidup yang mudah. Menjadi seorang yang beriman kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, menuntut sebuah pengorbanan yang sangat besar. Kekristenan menuntut umatnya untuk menjadi pribadi yang dewasa dalam hal keimanan dan karakter.
Adalah sebuah hal yang salah jika mengidentikkan kekristenan dengan kenyamanan, keamanan, berkat yang tiada berhenti, atau kehidupan sukacita tanpa derita. Justru sebaliknya. Iman kepada Kristus akan selalu berhadapan dengan kebalikan dari kondisi-kondisi tersebut. Hal tersebut juga bukan berarti bahwa mengikut Yesus hanya akan diisi dengan penderitaan. Proses pembentukan karakter adalah hal utama. Dalam proses tersebut tentunya melibatkan “latihan-latihan” dimana karakter yang dewasa akan terbentuk. Di tengah proses kehidupan, Tuhan juga selalu memberi waktu/kesempatan untuk “beristirahat.”
Para murid Tuhan Yesus telah merasakan hal yang sama, saat kita bicara mengenai proses pendewasaan rohani. Sebagaimana kita semua ketahui, latar belakang para murid Tuhan Yesus (dan bahkan Tuhan Yesus sendiri) adalah masyarakat Yahudi. Pada awalnya, mereka melihat pribadi Yesus sebagai calon pembebas masyarakat Yahudi dari tekanan penjajah Romawi. Mereka, dan kebanyakan masyarakat Yahudi kala itu, berharap bahwa bangsa Yahudi akan menjadi bangsa yang besar, berkuasa di seluruh dunia. Melalui Yesus yang dengan demonstrasi kuasa-Nya mereka percayai sebagai mesias, bangsa Yahudi akan dikembalikan kepada masa kejayaannya.
Kenyataan berbicara lain. Yesus yang awalnya diharapkan akan menjadi mesias pembebas bangsa Yahudi dari tekanan Romawi, terlihat menerapkan ajaran Taurat dengan sangat berbeda. Tuhan Yesus menekankan pada hakikat Taurat, lebih daripada praktik jasmaniahnya. Yesus terlihat tidak berminat untuk membangun kejayaan kerajaan Israel secara fisik. Mulai saat itu, banyak orang Yahudi yang menjadi murid dan mengikut Yesus, menjadi sangat kecewa dan meninggalkan-Nya. Hal tersebut tercatat dalam injil Yohanes 6:60-66.
Pada ayat 63 perikop tersebut, Tuhan Yesus berkata “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.” Konteks yang melatarbelakangi perikop tersebut adalah perbincangan mengenai posisi Yesus sebagai sumber kehidupan bagi manusia, yang digambarkan-Nya dengan penggambaran yang terkenal: “Roti Hidup.” Kembali Yesus menekankan bahwa berita yang dibawa-Nya bukanlah kemerdekaan secara fisik, melainkan secara rohani: hidup kekal bersama Tuhan, bukan kemerdekaan sementara di dunia.
Surat 1 Yohanes 2:18-19 menulis bahwa antikristus berasal dari kalangan umat percaya. Ayat 19 menulis demikian: “Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita. Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita.” Hal tersebut senada dengan catatan dalam Yohanes 6:66 “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.” Siapa yang dimaksud dengan antikristus? Yaitu para murid Yesus yang kecewa kepada Yesus karena tidak memenuhi keinginan atau harapan mereka.
Saat ini telah banyak ditemui pengajaran-pengajaran Kristen yang menyimpang. Dalam pengajaran menyimpang tersebut, rata-rata selalu mengedepankan tentang berkat tanpa batas yang seharusnya diterima oleh orang Kristen. Kebanyakan orang akan senang dengan model pengajaran seperti itu; pengajaran yang memenuhi keinginan pribadinya. Lantas apa hubungannya dengan topik yang sedang kita bicarakan?
Pengajaran yang salah akan menghasilkan pemahaman yang salah. Saat pemahaman yang salah terbentur dengan realita kehidupan, maka hal tersebut akan memunculkan orang-orang yang kecewa. Seperti halnya para murid yang meninggalkan Yesus karena pengajaran-Nya yang tidak seperti yang mereka harapkan, maka demikianlah konteks pengajaran menyimpang di masa sekarang ini. Antikristus akan muncul dari orang-orang yang salah memahami pengajaran firman Tuhan. Mereka kecewa dan menyalahkan Tuhan karena tidak memberikan apa yang mereka inginkan.
Kita disebut dewasa secara rohani, saat kita dapat memahami kehendak Tuhan dan hidup seturut dengannya. Alkitab dengan jelas mengarahkan kita untuk memindahkan fokus kehidupan: dari hal-hal atau keinginan duniawi kepada hal-hal atau keinginan surgawi. Orang-orang yang telah melakukan hal tersebut pasti akan menunjukkan sebuah kedewasaan karakter dan keimanan. Bukti nyata dari hal tersebut adalah pribadi dan kehidupan para murid Tuhan Yesus setelah Tuhan Yesus naik ke surga.
Para murid hidup dalam tekanan yang sangat besar dari bangsa Yahudi yang memusuhi mereka dan pemerintahan Romawi yang menganggap mereka sebagai pemberontak. Banyak dari mereka yang mati dibunuh dan diumpankan pada binatang buas. Dengan semua kejadian yang menyakitkan tersebut, tidak ada kekecewaan yang muncul dari mulut mereka. Sebaliknya, mereka menjalani penderitaan tersebut dengan sukacita dan kebanggaan.
Para murid Tuhan Yesus tersebut telah mati terhadap keinginan diri sendiri dan mereka menghidupi kehendak Tuhan. Demikianlah kita seharusnya hidup di masa sekarang ini. Kesenangan dunia, kelimpahan harta, tingginya jabatan dan kehormatan bukanlah ukuran berkat yang sesungguhnya. Tujuan hidup kita sebagai pengikut Yesus adalah mematikan keinginan daging dan fokus pada penyataan kebenaran firman Tuhan melalui keseharian. Amin.

"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi..." (Kolose 3:5)

13 January 2017

HARAPAN AKAN MASA DEPAN (Amsal 23:17-18)

Janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang berdosa, tetapi takutlah akan TUHAN senantiasa. Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.”
Amsal 23:17-18

Mungkin pernah terbersit dalam hati kita sebuah pertanyaan “Aku sudah berusaha keras hidup seturut kebenaran firman Tuhan,tapi kenapa hidupku penuh dengan kesusahan? Dan mengapa orang yang banyak sekali melakukan ketidakbenaran justru memiliki hidup berkelimpahan harta benda dan terlihat selalu senang?” 

Kenyataan hidup ini memang banyak yang memuat misteri. Orang baik yang hidup susah dan orang jahat yang hidup enak mungkin adalah salah satu ironi yang sering kali kita temui di dunia ini. Banyak sekali orang benar yang mati-matian berjuang keras untuk kehidupannya. Namun disaat yang sama, orang yang hidupnya sembarangan, tidak taat kepada firman Tuhan malah dengan mudahnya mendapatkan banyak harta. Lantas bagaimana kita memahami fenomena yang demikian itu?

Penulis Amsal menuliskan kata-kata hikmat yang terdapat dalam Amsal 23:17-18 “Janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang berdosa, tetapi takutlah akan TUHAN senantiasa. Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.” Kata-kata hikmat dari penulis Amsal ini secara jelas melarang kita untuk memiliki perasaan iri terhadap orang-orang berdosa, yang mungkin terlihat memiliki hidup berlimpah harta dan kesenangan. 

Dalam bahasa aslinya, ayat 17 ini bermakna lebih tajam. Secara literal, ayat 17 dapat berarti ”Jangan iri kepada orang berdosa, tapi irilah kepada Tuhan.” Nilai dari Amsal ini sungguhlah luar biasa. Sering kali kita dibuat khawatir dan kemudian mulai mengeluh dan bersungut-sungut saat melihat orang yang hidupnya jauh dari Tuhan justru terlihat bahagia. 

Kita lupa bahwa Alkitab berkata “Tetapi orang yang fasik tidak akan beroleh kebahagiaan dan seperti bayang-bayang ia tidak akan panjang umur, karena ia tidak takut terhadap hadirat Allah.” (Pengkhotbah 8:13). Ayat 17 dari Amsal 23 tadi menasehati kita supaya tidak berfokus pada kehidupan orang fasik, melainkan mengarahkan fokus hidup kita hanya kepada Tuhan saja, setiap saat. Kebahagiaan orang fasik seperti bayang-bayang yang sebentar saja lenyap karena sinar terang. Namun kebahagiaan sesungguhnya yang tidak akan pernah hilang adalah saat kita memfokuskan hidup kita kepada Tuhan.

Kisah keluarga Elimelekh yang beberapa waktu lalu kita pelajari bersama, mencerminkan nilai sebuah pengharapan kepada Tuhan. Elimelekh yang meninggalkan tanah Israel, dan berharap akan menemukan kebahagiaan di tanah Moab, justru menuai tragedi yang pahit, yaitu kehancuran keluarganya. Keluarga itu hanya menyisakan sang nyonya rumah Naomi dan sang menantu Rut yang akhirnya kembali ke tanah Israel. Batin Naomi begitu terpuruknya sehingga hanya kepahitan yang tersisa di dalamnya. Namun saat sang menantu, Rut, dengan setia mengikutinya kembali ke tanah Israel, dia mulai melihat ada harapan yang mengembang. Di akhir cerita kita melihat bahwa garis keluarga Elimelekh dipulihkan oleh Boas, yang dari garis keturunannya, Raja Daud diturunkan. Naomi melihat harapan itu nyata saat ia kembali ke “tanah perjanjian” yang Tuhan berikan kepadanya.

Kisah Abraham pun mengguratkan nilai yang sama mengenai harapan akan masa depan di dalam Tuhan. dalam usia tuanya, Abraham belum juga memiliki keturunan. Hingga suatu waktu dia berkata dengan putus asa kepada Tuhan bahwa ia tidak mungkin memiliki keturunan. Hartanya yang begitu banyak hanya akan dia berikan kepada Eliezer, pembantunya yang setia. Namun dengan tegas Tuhan berkata “Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu.” (Kejadian 15:4). 

Mungkin saat melihat usia tuanya, sempat terbersit keraguan dalam benak Abraham terhadap perkataan Tuhan tersebut. Namun dalam perjalanan hidupnya, janji Tuhan itu didengungkan lagi dan lagi, hingga kemudian dinyatakan. Ishak lahir dari rahim Sara yang seharusnya sudah kering dan mandul. Apakah kisah tersebut berhenti sampai di situ saja? 

Tidak! Harapan Abraham diuji. Janji keturunan yang akan seperti bintang di langit dan pasir di laut, mungkin berada di ambang jurang, waktu Abraham mendengar Tuhan menginginkan Ishak sebagai korban bakaran. Ada ruang dalam hati Abraham, yang didalamnya berisi imannya kepada Tuhan. Iman itulah yang menguatkan dia dan menyakinkan dia bahwa Tuhan pasti akan menggenapi janji-Nya, bahwa harapannya kepada Tuhan tidak akan sia-sia. Saat belati itu akan terayun untuk menyembelih Ishak, Tuhan menghentikannya. 

Tuhan menunjukkan diri-Nya sebagai Allah yang menyediakan. Menyediakan dalam bagian teks itu juga bermakna membuat jadi nyata. Janji Tuhan dinyatakan bahwa garis keturunan Abraham menjadi bangsa yang besar. Daripadanyalah Penebus kita, Tuhan Yesus Kristus, diturunkan.

Saat kita melihat bahwa Tuhan memperhatikan orang-orang yang hidup benar dan berfokus kepada-Nya, apa alasan kita untuk meragukan pribadi-Nya? Sukaria dalam gemerlapnya dunia ini hanyalah kerlipan yang sifatnya sementara saja. Seperti uap air dan bunga rumput yang sebentar saja lenyap saat terpapar sinar terik matahari, demikianlah gemerlap dunia dan kesenangan orang-orang yang memujanya. 

Manakah yang seharusnya lebih kita harapkan untuk miliki? Kesenangan sekarang yang semu dan kemudian menghilang atau kesenangan kelak yang kekal di dalam Tuhan? Orang benar hanya berharap kepada Tuhan saja. Kesukaran tidak akan mengalihkan pandangan hidupnya dari Tuhan. Tetapi justru melalui kesukaran di dunia ini, ia semakin jelas melihat penyertaan Tuhan di dalam kehidupannya.

30 December 2016

GEREJA ADALAH RUANG BELAJAR, HIDUP KESEHARIAN ADALAH LADANG UJIAN (Ibrani 10:24-25)

Masih banyak orang Kristen yang memandang aktivitas beribadah “terpisah” dari aktivitas hidup yang lain. Dalam pandangan mereka, gereja dan segala bentuk kegiatan rohani lainnya adalah ruang yang sakral sedangkan lingkup diluar hal tersebut kurang sakral. Dalam satu sisi, pandangan tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Namun jika diperhatikan dengan saksama, maka akan nampak kekurangannya.

Iman Kristen harus dipahami secara utuh. Jika hanya dipahami secara setengah-setengah, maka akan membawa kepada kesesatan. Istilah kesesatan disini janganlah hanya dipahami dalam konteks pengajaran agama, semisal diasumsikan dengan aliran/ajaran sesat seperti Saksi Yehova, Mormonisme, dll. Dalam kasus yang paling sederhana, mengambil atau melakukan sebuah prinsip yang terlihat berasal dari Alkitab – padahal hanya separuh kebenaran saja – adalah satu bentuk kesesatan. Untuk itulah diperlukan sebuah pemahaman yang utuh dan lengkap terhadap iman Kristiani, yang tentunya hal itu bersumber dari penafsiran Alkitab yang disiplin.

Lantas, apa yang seringkali menghambat kita, umat Kristen, untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh terhadap firman Tuhan dalam Alkitab? Apa pula yang harusnya kita upayakan untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tersebut?

Ø  Cherry-picking dan Proof-texting
Saat ini kita akan sedikit membahas satu kesalahan yang hingga saat ini masih sering kali dan mungkin yang paling umum terjadi di kalangan orang Kristen (khususnya, sejauh pengamatan saya, di aliran Pentakosta dan Kharismatik), berkenaan dengan cara memahami Alkitab. Kesalahan tersebut adalah kebiasaan MEMBACA dan lantas MENGAMINI SEBUAH AYAT ALKITAB.

Kesalahan ini disebut cherry-picking, dan dalam istilah hermeneutik dikenal juga sebuah istilah yang lebih terkesan teknis yakni proof-texting. Cherry picking adalah kesalahan logika dimana seseorang membangun argument atau pemahamannya hanya berdasar atas pendapat atau data yang menyokong apa yang diklaimnya saja, tanpa mempertimbangkan keseluruhan data (konteks), yang sebenarnya sebagian data yang diambil tersebut justru kadang melemahkan atau bahkan membantah klaimnya sendiri; biasa disebut cocokmologi. Pengertian proof-texting adalah kesalahan metodologis dimana seseorang mengambil bagian kecil dari Alkitab, seringkali hanya sebuah ayat, kemudian digunakan untuk mendukung sebuah pemikiran atau membangun sebuah doktrin tanpa mempedulikan konteks sastranya. Dengan ungkapan yang sederhana, cherry-picking dan proof-texting adalah kebiasaan pilih-pilih ayat Alkitab.

Cherry-picking dan proof-texting akan menghasilkan sebuah pengajaran kekristenan yang salah serta lemah. Prinsip-prinsip pengajaran yang dibangun dengan pola tersebut kemungkinan besar tidak konsisten bahkan seringkali kontradiktif. Membangun fondasi kehidupan dengan dasar pengajaran yang didapat dengan pola tersebut seperti membangun rumah di atas pasir. Jika ingin membangun iman Kristen yang kuat, lakukan di atas batu karang. Membangun di atas batu karang berbicara tentang memahami firman Tuhan secara benar dan mendasar sehingga membuat kita mampu merumuskan tindakan nyata dari prinsip kebenaran firman Tuhan tersebut.

Lebih buruk lagi, kebiasaan pilih-pilih ayat tersebut seringkali juga dilakukan secara setengah-setengah. Maksudnya seperti ini: Ayat-ayat yang memiliki isi yang menyenangkan, menenangkan, menguatkan, memotifasi serta “memberkati” seringkali menjadi ayat-ayat favorit banyak umat Kristen. Jarang kita dapati seseorang yang menggunakan ayat-ayat yang berisi teguran dan kritikan sebagai ayat nats atau ayat emas favoritnya.

Ø  Gereja (juga) merupakan lembaga pendidikan
Gereja seharusnya tidak lagi dipandang hanya sebagai tempat suci atau tempat ibadah dalam kehidupan umat Kristen. Gereja seharusnya juga menjadi wadah umat Kristen untuk belajar dan mendulang pemahaman yang benar terhadap firman Tuhan, serta relefansinya dalam kehidupan sehari-hari. Memahami prinsip firman Tuhan dengan benar serta mengerjakan prinsip kebenaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari – dengan segala keterbatasan kemampuan – akan membawa kita, umat Kristen, mengenal Tuhan dengan benar.

Dalam konteks membangun dasar-dasar iman, gereja harusnya menghindarkan jemaat dari kebiasaan cherry-picking atau proof-texting tersebut di atas. Teknisnya, Gereja harus mulai membiasakan jemaat untuk menggunakan cara pembacaan Alkitab yang lebih menyeluruh; tidak lagi membaca satu ayat saja, melainkan membaca paling tidak satu paragraf utuh atau satu perikop. Akan lebih baik lagi jika kebiasan membaca tuntas Alkitab digalakkan di kalangan jemaat gereja. Membaca Alkitab hingga tuntas (mulai dari kitab Kejadian hingga Wahyu) akan memberi kita sekilas gambaran besar mengenai alur penulisan Alkitab.

Selain Alkitab, gereja seharusnya juga harus mampu mengedukasi anggota jemaat untuk membaca buku-buku atau sumber-sumber bacaan yang lain. Hal tersebut penting sekali untuk memperluas cakrawala berpikir anggota gereja.

Ø  Dengarkan saja, maka imanmu akan bertumbuh. Oh really? Come on….!!
Dalam sebuah ibadah formal hari minggu, mimbar gereja memang merupakan sebuah mimbar monolog. Melalui mimbar tersebut seorang pendeta atau hamba Tuhan menyampaikan renungan dari sebuah bagian dari Alkitab. Kita tentu saja tidak akan mendapati adanya dialog yang terjadi antara jemaat dengan sang pengkhotbah dalam kesempatan tersebut. Hal itu adalah semacam aturan tidak tertulis yang umum berlaku dalam sebuah ibadah. Namun apakah mimbar gereja hanya diisi oleh kegiatan ibadah semacam itu saja?

Gereja harus menyediakan ruang untuk pendalaman pemahaman akan firman Tuhan bagi jemaat. Kata Ruang yang saya maksudkan disini lebih mengarah pada waktu atau kesempatan. Yang harus ditentukan oleh para gembala jemaat atau majelis gereja adalah kapan pelaksanaanya. Itu hanyalah masalah teknis dari jadwal kegiatan gereja. Permasalah yang lebih mendesak sebenarnya adalah ada atau tidaknya kesempatan tersebut, bukan?

Saat kita mendengarkan khotbah yang disampaikan pada waktu ibadah umum, tidak jarang muncul tanggapan di dalam pikiran kita. Tanggapan tersebut dapat berupa pertanyaan atau bahkan pendapat atau pemahaman yang tidak jarang justru berseberangan dengan apa yang telah dikatakan oleh sang pengkhotbah.

Tanggapan tersebut muncul karena kita mungkin saja telah menerima sebuah informasi yang berhubungan dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang pengkhotbah. Bisa saja kita pernah membaca sebuah buku atau artikel tertentu, mendengarkan khotbah dari internet, atau teringat percakapan dengan seorang teman, atau mungkin saja kita pernah mengalami “serangan” terhadap iman kita dari orang yang beragama lain dan kita tidak dapat menjawabnya. Tanggapan-tanggapan yang ada dalam pikiran kita tersebut, saya yakin, membutuhkan jawaban atau tanggapan balik.

Jadi, memang mendengarkan khotbah saja tidaklah dapat membuat iman seseorang bertumbuh. Lantas kenapa ada ayat Alkitab yang berkata bahwa “iman timbul dari pendengaran akan firman Kristus?” (Roma 10:17) Apakah artinya ayat tersebut salah?

Ada minimal dua ayat yang menurut saya menarik untuk diperhatikan, berkenaan dengan pertumbuhan iman yang didasarkan pada pengajaran firman Tuhan. Ayat yang pertama sebenarnya secara tidak langsung telah saya kutip di atas, yakni Matius 7:24-27. Dalam bagian tersebut, Tuhan Yesus memberikan penakanan bahwa saat seseorang “mendengarkan” firman Tuhan dan melakukannya, maka ia akan memiliki iman yang kuat untuk menghadapi gempuran pengaruh dunia serta dapat bertahan dalam pergumulan hidupnya. Rasul Paulus menulis dalam surat Roma 10:17 bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”

Kedua bagian kutipan ayat Alkitab tersebut memuat sebuah kata yang sama, yakni mendengarkan. Bahasa Inggris membedakan kata hear dan kata listen, yang dalam Bahasa Indonesia sama-sama diterjemahkan dengan dengar atau mendengarkan. Kata hear bermakna sekadar mendengar sebuah suara, namun kata listen memiliki makna memperhatikan dengan saksama. Kata “mendengarkan” dalam bahasa Yunani yang digunakan penulis kitab, dalam hal ini adalah Rasul Matius dan Rasul Paulus, adalah kata dasar yang sama yang dibaca akoe.

Kata akoe ini hanya akan menunjukkan perbedaan makna saat dimasukkan ke dalam konteks kalimatnya. Dalam hal ini, kata akoe memiliki makna memperhatikan karena perkataan tersebut merupakan paket pengajaran yang diberikan oleh seorang pengajar firman.

Tuhan Yesus dan Rasul Paulus sudah sangat terbiasa dengan kalimat tersebut. Secara meyakinkan, mereka pastilah mendasari pemahamannya dengan ayat yang berasal dari kitab Keluaran 15:26 “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan (listen – KJV) suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan engkau.” Masyarakat Yahudi sangatlah mengenal bagian ini. Bagi mereka, firman Tuhan sangatlah sakral dan mereka harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh ketika firman Tuhan tersebut diajarkan.

Tidak sekedar didengarkan, firman Tuhan haruslah dipahami. Ukuran dari paham atau tidaknya kita terhadap prinsip kebenaran firman Tuhan adalah saat kita mampu merumuskan tindakan nyata untuk kita kerjakan dalam kehidupan kita sehari-hari, berdasarkan prinsip kebenaran dari bagian firman Tuhan yang kita renungkan tersebut. Di sisi yang lain, seorang hamba Tuhan harus dapat memberikan pengertian yang mendasar kepada jemaat dari bagian firman Tuhan yang dia bawakan dalam khotbahnya.

Ø  Gereja adalah kelas belajar seumur hidup
Mari kita sejenak mengingat proses pendidikan kita saat berada, misalnya, di sekolah dasar. Di kelas 1 sekolah dasar, kita diajar untuk menghafalkan perkalian 1 x 1 hingga 10 x 10. Adakah diantara kita yang mampu menghafalkan sekian banyak perkalian tersebut hanya dalam satu kali pertemuan pelajaran matematika? Mustahil, bukan? Mari kita bayangkan ada berapa banyak persoalan kehidupan yang kita hadapi. Apakah mungkin semua permasalah tersebut dapat terjawab dengan satu atau dua kali pergi beribadah ke gereja? Jawabannya akan sama, yakni mustahil.

Gereja harusnya menjadi tempat untuk kita menimba pemahaman mengenai prinsip-prinsip kebenaran Tuhan. Seperti halnya ruang kelas, pola pembelajaran di gereja haruslah dinamis dan holistik, artinya prinsip kebenaran yang dipelajari dapat menjangkau dan diterapkan di semua sudut kehidupan kita.

Jika kita hanya mengandalkan pertemuan ibadah sekali seminggu pada waktu ibadah umum saja, sejauh mana prinsip kebenaran yang akan kita pahami? Tentunya akan sangat dangkal bukan? Belum lagi jika kita tidak memiliki semangat untuk belajar, dan disaat yang sama ada begitu banyak permasalahan kehidupan yang tidak mungkin kita abaikan begitu saja.

Pertemuan-pertemuan ibadah dalam komunitas gereja seharusnya mengusung pemahaman mengenai pendidikan warga gereja ini dengan lebih serius. Pertemuan ibadah selain ibadah umum minggu seharusnya dapat menjadi wadah yang mengasyikkan bagi jemaat untuk berkumpul dan menggali kebenaran firman Tuhan.

Ø  Siapa yang bertanggung jawab? Seluruh warga gereja.
Seorang Kristen yang dewasa dan bertanggung jawab terhadap iman Kristennya, akan berusaha dengan keras untuk bertumbuh dengan baik. Ada dua aspek kehidupan orang Kristen: aspek pribadi dan komunal. Kita dituntut untuk sadar akan konsekuensi iman kita secara pribadi. Berani mempertanggungjawabkan iman kita dalam hal pola pikir, perkataan dan tingkah laku.

Dalam konteks komunal, gereja sebenarnya memiliki pengertian komunitas orang beriman, bukan sekedar sebuah bangunan tempat ibadah. Jadi sebagai komunitas, semua anggota dari komunitas tersebut mengemban tanggung jawab yang sama, yakni untuk terus memastikan kebenaran Tuhan tetap ditegakkan di dalamnya. Dari sinilah muncul tanggung jawab untuk bertumbuh bersama, saling membangun, saling menjaga dan saling menasihati. Dalam hal ini, penulis surat Ibrani menuliskan demikian: “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:24-25)

SIKAP KRITIS DALAM KEIMANAN (1 Yohanes 4:1)

“Saudara-saudara yang tercinta! Janganlah percaya kepada semua orang yang mengaku mempunyai Roh Allah, tetapi ujilah dahulu mereka untuk mengetahui apakah roh yang ada pada mereka itu berasal dari Allah atau tidak.”
1 Yohanes 4:1 - IBIS

  Problematika Kekristenan Modern
Bagi kita yang mengikuti perkembangan teknologi informasi dewasa ini, pastinya akan merasa kagum dan disaat yang sama terselip kekhawatiran. Kita akan kagum karena banyak informasi dapat kita peroleh dengan sangat mudah dan cepat. Kita mungkin juga akan menjadi khawatir karena sangat sulitnya membedakan apakah informasi tersebut benar atau salah. Mari perhatikan beberapa contoh informasi yang sering kita temui beredar di media sosial. Informasi tentang khasiat tanaman obat atau buah seringkali disaling-bagikan oleh banyak orang tanpa melihat apakah informasi tersebut sudah teruji secara medis atau belum. Informasi yang seperti inilah yang justru paling sering dipercaya banyak orang.

Kekristenan mengalami problematika yang sama, dalam konteks yang berkenaan dengan pengajaran keimanan. Banyak sekali pengajaran yang beredar, yang secara substansial (isi pengajarannya) saling bertentangan. Parahnya, tidak sedikit juga pengajaran yang beredar tersebut secara esensial (inti pengajarannya) bahkan bertentangan dengan Alkitab. Permasalahan seperti ini bukanlah sebuah permasalahan yang baru dalam kekristenan. Sejak masa awal berdirinya gereja Kristen yang universal, yakni pada momentum Pentakosta di Kisah Rasul pasal 2, banyak sekali muncul pengajaran-pengajaran yang menyimpang. Penyimpangan-penyimpangan pengajaran tersebut rata-rata bersumber dari pencampuran antara pengajaran Kristen dengan pengajaran-pengajaran lain. Sebut saja salah satunya paham Gnostik yang usianya lebih tua dari kekristenan itu sendiri, seringkali menyusup masuk dalam jemaat mula-mula. Para pengajar Gnostik ini memang secara sengaja menentang kekristenan. Mereka seringkali membuat orang Kristen kala itu terkesan dengan khotbah-khotbah mereka, yang kemudian mempengaruhi cara pandang jemaat dan kemudian jalan hidupnya. Ada lebih banyak lagi pengajaran-pengajaran yang membingungkan jemaat gereja kala itu, yang memang berniat menghancurkan kekristenan.

Surat 1 Yohanes adalah perwujudan perlawanan Rasul Yohanes terhadap pengajaran-pengajaran yang menyesatkan umat Tuhan kala itu. Yudaisme, Gnostisisme, Doketisme, dan pengajaran Cerintus, adalah pengajaran yang banyak berkembang di kawasan Asia, dimana jemaat Tuhan yang digembalakan oleh Rasul Yohanes ada dan berkembang. Pengajaran tersebut pada intinya membawa jemaat untuk mengecilkan pribadi Tuhan Yesus Kristus. Mereka mendorong jemaat untuk tetap melaksanakan ritual Taurat. Gnostisisme menganggap Yesus adalah allah yang terperangkap dalam tubuh hina manusia. Doketisme percaya bahwa tubuh jasmani Yesus hanyalah sebuah ilusi, demikian halnya dengan penyaliban-Nya. Dan ada banyak macam pengajaran sesat lagi yang beredar kala itu, yang banyak mempengaruhi gereja. Jika itu semua dibiarkan, maka jemaat Tuhan akan banyak yang terhilang.[1]

Memiliki sikap kritis terhadap pengajaran
Sikap kritis dan berhati-hati dalam gereja yang dewasa ini banyak dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas, justru merupakan sikap yang dikembangkan oleh para pemimpin gereja mula-mula. Hal tersebut semata-mata bertujuan menjaga kemurnian pengajaran Tuhan Yesus yang mereka turunkan dari generasi ke generasi. Ironisnya, karena ada embel-embel bahwa pengajaran tersebut berasal dari Tuhan, maka orang tidak mau lagi memperhatikan dan memikirkannya dengan kritis. Ditambah lagi dengan adanya anggapan bahwa orang yang banyak bertanya dan mendiskusikan pengajaran, adalah orang yang cenderung memberontak dan tidak taat. Pandangan seperti inilah yang harus kita hilangkan dari gereja. Dengan adanya sikap kritis ini, iman kita akan terus dapat dijaga dan bertumbuh dengan sehat, dalam jalur kebenaran firman Tuhan.

1 Yohanes 4:1 ini memberikan prinsip kepada kita bahwa kita hendaknya tidak mudah percaya kepada pengajaran-pengajaran yang mengatasnamakan Tuhan. Realita yang saat ini dihadapi oleh umat beragama adalah apa yang telah Rasul Paulus tuliskan dalam 2 Timotius 4:3-4:

“Sebab akan sampai waktunya orang tidak mau lagi menerima ajaran yang benar. Sebaliknya, mereka akan menuruti keinginan mereka sendiri, dan mengumpulkan banyak guru guna diajarkan hal-hal yang enak didengar di telinga mereka. ...menutup telinga terhadap yang benar, ...memasang telinga terhadap cerita-cerita dongeng.” – IBIS

Dalam bahasa Yunani, kata roh juga digunakan untuk mengacu pada pikiran yang rasional, jiwa yang menggerakkan seseorang,[2] yang kemudian makna tersebut digunakan dalam konsep bahasa Inggris dalam kata spirit yang diartikan semangat. Kata ini kemudian juga diasosiasikan dengan motivasi dari sebuah tindakan. Hal itu berarti bahwa kita juga harus berhati-hati terhadap motivasi sebuah pemberitaan firman Tuhan. Tidak dapat disangkal bahwa ada juga pemberita firman yang memiliki motivasi yang salah. Materi dan popularitas mungkin adalah daftar teratas dari sekian banyak motivasi yang salah tersebut. Pemberita firman disini juga tidak hanya dari kelompok pendeta. Dewasa ini telah banyak muncul orang-orang yang terlihat rohani dan memiliki kecakapan mengajar firman Tuhan, namun dengan prinsip-prinsip yang salah. Sekalipun mungkin mereka memiliki ketulusan motivasi, namun pengajaran tersebut harus menggunakan prinsip yang tepat juga.

Rasul Yohanes mengukur kebenaran ilahi firman Tuhan yang diberitakan berdasarkan isinya, yakni memberitakan Tuhan Yesus Kristus yang berinkarnasi menjadi manusia, yang menanggung hukuman salib untuk menebus dosa manusia. Jika pengajaran yang ada tidak mengarahkan pendengarnya untuk menyembah Yesus Kristus sebagai Tuhan (theos – Yun.) dan Tuan (kurios – Yun.), maka itu pasti bukanlah pengajaran yang benar. Jika motivasi sebuah pengajaran tidak membuat pendengarnya datang menyembah dan mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan Yesus Kristus, kemudian menggerakkan aktivitas kesehariannya sebagai tindakan nyata ibadahnya, maka dapat dipastikan itu adalah sebuah pengajaran yang salah.

Kritis dalam memahami kebenaran Firman Tuhan dan menjalankannya

“Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia.”

1 Yohanes 4:4 telah lama menjadi ayat favorit banyak orang Kristen, namun dengan pemaknaan yang telah bergeser dari aslinya. Jadi jika ayat tersebut dipahami dalam konteksnya, maka kita akan mendapat kesimpulan yang berbeda. Pengajaran yang benarlah yang akan membuat kita kuat. Kekuatan rohani yang kita miliki pastilah memiliki dasar yang kuat, dan dasar itu adalah pengertian yang benar terhadap kebenaran firman Tuhan. Dalam surat Roma 10:17 Rasul Paulus mengatakan “No one can have faith without hearing the message about Christ.”[3] Membaca Alkitab tanpa tahu maksudnya tidak akan dapat merubah apapun dalam kehidupan kita. Untuk dapat menggunakan Alkitab sebagai sandaran kebenaran, kita harus tahu maksud yang sebenarnya dari setiap ayat yang kita baca. Paulus menggunakan kata Yunani rhema, yang kemudian diterjemahkan dengan kata firman dalam ayat ini. Kata rhema memiliki arti sebuah ujaran atau pernyataan yang jelas. Namun bukan sekedar perkataan, rhema adalah rangkuman dari seluruh pemikiran yang ingin dijelaskan. Sebuah pesan yang jelas dari firman Tuhan, yang dibangun dengan dasar pemahaman yang benar, akan membangun iman seseorang dengan kuat.

Pengajaran yang benar berasal dari sebuah pencarian dan penggalian spiritual akan firman Tuhan, yang kemudian dinyatakan dalam tindakan keseharian. “Roh yang lebih besar” adalah Roh Tuhan yang menggerakkan roh kita untuk menggunakan standart/dasar hidup yang terbaik, yaitu firman Tuhan. Roh Tuhan membuat kita memiliki motivasi yang murni, yakni melayani Tuhan melalui segala aktivitas kita. Motivasi untuk memuliakan Tuhan Yesus Kristus melalui setiap aspek kehidupan kita.

Kata dunia dalam bahasa aslinya memiliki pengertian sistem dan standart/dasar kehidupan masyarakat pada umumnya. Dalam proses pengiringan kita kepada Tuhan, kita akan dibawa Roh Kudus untuk memiliki pola pikir yang ilahi, yang berfokus kepada kekekalan. Pola pikir ilahi tersebut bukan hanya diterapkan di lingkup gereja saja tapi harus dapat diterapkan dalam keseharian kita. Kita dituntut menjadi pribadi-pribadi yang memiliki standart lebih tinggi dari orang-orang pada umumnya.[4] Misalnya, kejujuran kita, kedisiplinan, kecintaan kepada lingkungan, rasa welas asih, penghormatan terhadap sesama manusia, harusnya melebihi orang-orang pada umumnya. Itulah contoh nyata pribadi Kristen yang memiliki “roh lebih besar dari dunia ini.”

Mari kita terus mendorong diri kita masing-masing sebagai seorang Kristen, untuk memahami kebenaran firman Tuhan yang murni. Kita pergunakan setiap waktu yang kita miliki untuk mempelajari firman Tuhan dengan sungguh-sungguh. Selain harus memberikan waktu untuk duduk diam dan mempelajari Firman Tuhan, kita juga dapat memahami firman Tuhan dengan lebih baik saat kita menerapkannya dalam keseharian. Jangan mudah terbawa arus pengajaran yang mistis dan seolah-olah lebih rohani dari yang lain, namun tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan kita. Kebenaran firman Tuhan yang murni harusnya merubah karakter kita secara pribadi, dan dapat menginspirasi orang-orang di sekitar kita. Tuhan Yesus memberkati kita semua.



[1] Constable, Thomas L., Notes on 1 John 2005 Edition (E-book Published by Sonic Light, http://www.soniclight.com/) 1-5
[2] The Complete Word Study Dictionary (©1992 By AMG International, Inc. Chattanooga, TN 37422, U.S.A. Revised edition, 1993) keyword: pneuma.
[3] Terjemahan Contemporary English Version.
[4] Smalley, Stephen S., WBC: 1,2,3 John vol. 51 (New York: Word Inc. 1984) 220-33



MENANG MELAWAN PENCOBAAN

”Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.”
Matius 4:4

     Semua manusia pasti pernah merasakan berada ditengah-tengah pencobaan. Masalah yang terasa pelik, berat dan silih berganti datang dalam kehidupan kita. Tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang sama sekali tidak pernah merasakan pencobaan. Tidak ada satu manusiapun yang kebal terhadap pencobaan. Bahkan seperti yang kita ketahui, Tuhan Yesus Kristus sendiripun seringkali dicobai oleh iblis. Kisah yang paling kita kenal tentang pencobaan yang dialami oleh Tuhan Yesus ditulis dalam injil Matius 4:1-11.

     Kisah dicobainya Tuhan Yesus oleh iblis bermula saat Tuhan Yesus selesai dibabtis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembabtis. Matius 4:1 menulis “Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis.” Dalam Markus 1:12 dikatakan segera sesudah Tuhan Yesus dibabtis, Roh Kudus menuntun Tuhan Yesus untuk pergi ke padang gurun dan berpuasa disana selama 40 hari. Diakhir masa puasanya iblis menemui Tuhan Yesus dan kemudian mencobainya. Mari kita belajar bagaimana cara Tuhan Yesus mengalahkan pencobaan-pencobaan yang dilancarkan oleh iblis tersebut. 

I. UBAHLAH BATU MENJADI ROTI (Matius 4:1-4)
     Pencobaan yang pertama yang dilancarkan iblis kepada Tuhan Yesus berkenaan dengan rasa lapar dan haus-Nya setelah 40 hari berpuasa. Kita dapat membayangkan betapa sangat lapar dan hausnya Tuhan Yesus kala itu. Ditengah rasa lapar yang mendera tersebut, iblis seolah-olah mengingatkan Tuhan Yesus bahwa Ia memiliki kuasa untuk mencipta. Tentu bukan hal yang mustahil dilakukan bagi Tuhan Yesus untuk mengubah batu menjadi roti. Namun kita ketahui bahwa Tuhan Yesus tidak menuruti perkataan si iblis tersebut.

     Kebutuhan daging memang bagian dari kehidupan manusia. Rasa lapar dan haus adalah bagian dari kehidupan jasmaniah manusia. Hal tersebut tidak dapat dielakkan. Namun yang perlu kita perhatikan disini adalah bagaimana Tuhan Yesus memandang kebutuhan jasmani tersebut. Dalam Matius 4:4, Tuhan Yesus menjawab si iblis dengan mengutip kisah perjalanan bangsa Israel di padang gurun yang tertulis dalam kitab Ulangan 8:3 “Jadi Ia merendahkan hatimu, membiarkan engkau lapar dan memberi engkau makan manna, yang tidak kaukenal dan yang juga tidak dikenal oleh nenek moyangmu, untuk membuat engkau mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN.” Tujuan Tuhan memberkati dan memelihara kita sebenarnya adalah supaya kita mengerti (artinya mengetahui, belajar, merasakan, melihat dengan cerdas, mengalami, mengakui, mempertimbangkan, tahu cara melakukan, dan menjadi ahli) tentang Firman Tuhan. Firman Tuhanlah yang sebenarnya menghidupkan kita. Kita tidak boleh menjadikan pemenuhan kebutuhan daging / hawa nafsu sebagai prioritas kita. Namun kita harus fokus dalam memperagakan kebenaran firman Tuhan dalam hidup kita di dunia ini. 

II. JATUHKANLAH DIRI-MU (Matius 4:5-7)
     Pencobaan yang kedua ini bicara tentang mencobai Tuhan. Dalam pencobaan ini, iblis bahkan mengutip Mazmur 91:11-12 untuk “membenarkan” perkataannya. Kita melihat bahwa jika kita secara asal-asalan mencomot firman Tuhan, yang kemudian kita gunakan untuk membenarkan tindakan kita, itu menjurus kepada mencobai Tuhan. Firman Tuhan adalah dasar hidup. Dan tujuan kita melakukan atau mempraktekkan Firman Tuhan dalam kehidupan kita bukanlah demi kepentingan kita atau keuntungan kita sendiri, melainkan demi kepentingan Tuhan. saat kita menggunakan firman Tuhan demi keuntungan kita sendiri, kita sedang mencobai Tuhan. Kisah pemberontakan Yudas Iskariot hendaknya menjadi pelajaran berharga untuk kita. Karena berpikir dapat memaksa Tuhan Yesus menyatakan dirinya sebagai Mesias, Yudas mengkhianati Tuhan Yesus. Semua rencananya gagal saat ternyata Tuhan Yesus ditangkap dan dihukum salib oleh pemerintahan Roma. Yudas gagal memahami inti rencana Allah yang sebenarnya, yang sedang dikerjakan oleh Tuhan Yesus. 

III. SEMUANYA KUBERIKAN…JIKA SUJUD MENYEMBAH AKU (Matius 4:8-10)
     Pencobaan iblis yang terakhir ini adalah serangan langsung kepada hukum yang pertama dari 10 hukum dasar (Dasa Firman/ Dekalog). Iblis ingin dirinya disembah. Dia mengiming-imingi orang yang mau menyembahnya dengan kekuasaan atas dunia ini (harta, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dsb.). Tidak mengherankan jika banyak kita lihat orang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan, salah satunya dengan cara menjual hidupnya kepada iblis dan kuasa kegelapan. Ingatlah bahwa hanya Tuhanlah yang layak disembah, karena DIA adalah penguasa sejati jagad raya ini. Saat kita merendahkan diri dihadapan Tuhan, maka Tuhanlah yang akan meninggikan kita pada waktu-Nya.

    Tuhan Yesus menang melawan pencobaan dengan cara berpegang teguh dan melakukan firman Tuhan dengan tepat. Diakhir dari pergumulan-Nya tersebut, Bapa mengirim malaikat-Nya untuk melayani Tuhan Yesus. Menyediakan apa yang diperulak oleh Tuhan Yesus. Kenyang tanpa merubah batu menjadi roti, malaikat datang melayani tanpa menjatuhkan diri dari bumbungan bait Allah, dan menerima kekuasaan atas bumi dan surga tanpa menyembah kepada iblis.

21 February 2016

MENGHADAPI PENDERITAAN SEBAGAI KONSEKUENSI IMAN (Renungan dari kitab Wahyu 2:8-11)

Saudara, tentu kita semua seringkali mendengar pemberitaan tentang Islamic State (IS) atau mungkin lebih dikenal dengan nama ISIS. Mereka adalah kelompok militan radikal yang ingin mendirikan sebuah negara Islam di wilayah Iraq dan Siria. Demi menjalankan rencana tersebut, mereka menggunakan cara-cara yang kejam dan sadis. Sampai hari ini mereka telah banyak membunuh orang-orang yang berseberangan paham dan kepercayaan dengan mereka. Beberapa waktu yang lalu, para militan ISIS telah menyandera 230 orang Kristen Siria. 230 orang tersebut terdiri dari 51 anak-anak, 84 orang wanita, dan 95 pria (sumber: europe.newsweek.com, 1 Mei 2015, pukul 2:44 PM). Para sandera ini telah ditangkap ISIS sejak bulan Februari lalu. Demi membebaskan mereka penduduk Siria telah mengumpulkan uang untuk menebus mereka. Uang yang telah terkumpul sebesar 1,1 juta dolar Amerika. Sebuah angka yang fantastis. Namun diluar dugaan, kelompok ISIS menolak uang tebusan tersebut. Alasan mereka menolak uang itu karena mereka berharap dengan menyandera 230 orang tersebut, meraka dapat menarik perhatian yang besar dari negara-negara barat. Kondisi saudara-saudara seiman di Siria tersebut tentunya harus terus kita doakan. Mereka berada dalam tekanan yang luar biasa demi mempertahankan iman mereka kepada Tuhan Yesus Kristus.
Bentuk-bentuk tekanan seperti itu sebenarnya kita dapati juga di Indonesia, walaupun tidak seekstrem kondisi di Timur Tengah tersebut. Saudaraku, tentunya kita bertanya-tanya bukan? Kenapa mereka, dan mungkin juga kita, diijinkan Tuhan mengalami penderitaan yang sedemikian berat? Saudaraku, kadangkala penderitaan harus kita alami sebagai konsekuensi ketika kita mempertahankan iman Kristen kita. Lantas, Apa yang Tuhan ingin kita lakukan ketika penderitaan tersebut datang sebagai konsekuensi kita mempertahankan iman Kristen kita?

I.     Tuhan ingin supaya kita tidak takut, karena penderitaan yang kita alami bersifat sementara (ayt. 10a).
Saudaraku, saya rasa rasa takut adalah perasaan yang normal dialami oleh banyak orang saat sedang mengalami ancaman bahaya. Bahkan, kita pun tentu akan merasa takut saat kita berada di posisi yang sama seperti saudara-saudara seiman kita yang ada di Siria dan Iraq tersebut, yang karena mempertahankan iman mereka kepada Kristus, nyawa mereka menjadi taruhannya.
Alkitab menyatakan dalam jemaat Smirna juga mengalami tekanan yang hebat. Wahyu 2:9 menyinggung tentang kondisi yang dihadapi oleh jemaat Smirna tersebut demikian:
“Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu--namun engkau kaya--dan fitnah mereka, yang menyebut dirinya orang Yahudi, tetapi yang sebenarnya tidak demikian: sebaliknya mereka adalah jemaah Iblis.”
Kala itu di Smirna, sekarang ini adalah kota Ishmir – Siria, Yudaisme dianggap sebagai sebuah sekte kuno yang lebih dulu ada. Mereka juga memiliki pengaruh yang kuat sehingga pemerintahan Roma mengijinkan mereka untuk tidak terlibat dalam aktifitas religius Romawi, yang biasanya diharuskan bagi negara jajahannya. Pemerintah Roma tidak terlalu berusaha untuk mengetahui bahwa sebenarnya kekristenan dan Yudaisme memiliki akar yang sama. Hal tersebut menjadikan jemaat Kristen di Smirna terhimpit oleh peraturan Roma. Oleh pemerintahan Romawi, mereka diharuskan terlibat dalam upacara penyembahan dewa-dewa Roma, namun jemaat Kristen ini menolak. Penolakan orang Kristen inilah yang kemudian membuat mereka dianiaya. Saat itu, jika masyarakat mengetahui bahwa seseorang adalah pengikut Kristus, mereka akan ditangkap, dianiaya atau mereka akan dikucilkan dari masyarakat. Para pedagang Kristen kemungkinan diboikot barang dagangannya sehingga tidak ada yang mau membeli barang mereka. Sehingga banyak dari mereka menjadi jatuh miskin.
Merupakan sebuah penghiburan bagi jemaat Smirna bahwa Kristus mengetahui semua penderitaan mereka: Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu--namun engkau kaya! Selain menderita aniaya, mereka juga mengalami kemiskinan. Kata Yunani dari kemiskinan yang diugunakan dalam ayat 9 ini berarti sebuah kondisi miskin yang sangat parah. Namun walaupun sangat miskin, mereka kaya akan janji-janji yang Kristus berikan kepada mereka. Mereka dianiaya tidak hanya oleh orang kafir penyembah berhala, tapi juga oleh orang Yahudi. Sedangkan kata kesusahan berarti hidup dalam penganiayaan dan kesulitan yang begitu menghimpit. Penganiayaan menghasilkan kemiskinan karena pekerjaan dan sumber-sumber penghasilan jemaat dirampas. Jadi orang percaya di Smirna mungkin telah mengalami penyitaan harta benda.
Rupanya jemaat Yahudi setempat disebut oleh Tuhan – dalam penglihatan Rasul Yohanes yang diterima rasul Yohanes di pulau Patmos tersebut – sebagai jemaah Iblis. Hal tersebut dapat kita bandingkan dalam pasal 3:9. Setan disebut dalam empat dari tujuh surat: 2:9, 13, 24; 3:9. Dalam sejarah gereja, penganiayaan yang keras justru dilakukan oleh orang-orang beragama.
Kalimat “sapaan” Tuhan Yesus kepada jemaat Smirna di atas bermakna bahwa Tuhan Yesus sepenuhnya menyadari kesusahan dan kemiskinan orang Kristen di sana yang harus bertekun karena nama Kristus.
Kita melihat di ayat 10, Tuhan Yesus menyerukan kepada jemaat Smirna Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita! Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari.Rata-rata penafsir Alkitab setuju bahwa arti dari frasa sepuluh hari di bagian ayat ini adalah penganiayaan yang hanya sementara atau jangka waktu yang pendek. Jadi, disini kita melihat bahwa Tuhan ingin supaya kita tidak takut, karena penderitaan yang kita alami hanya akan bersifat sementara.
Saudaraku, tentunya kita semua pasti mengetahui proses kehamilan hingga pada saat persalinan bukan? Ibu-ibu pastilah sangat memahami hal ini. Dalam proses kehamilan, seorang ibu tentunya akan terus berusaha untuk merawat kandungannya selama kurang lebih sembilan bulan, hingga tiba saat untuk melahirkan. Nah, bagian persalinan inilah yang paling menegangkan dan sangat menakutkan karena resikonya yang sangat besar, yaitu kematian. Pada puncak proses persalinan, rasa sakit yang dialami oleh seorang wanita yang melahirkan begitu hebatnya. Kemudian saat sang bayi sudah dilahirkan, pastilah sang ibu akan mengalami kelegaan yang luar biasa. Penderitaan dan rasa sakit ibu tersebut seolah terbayar lunas saat mendengar tangis sang jabang bayi. Dengan rasa sakit yang luar biasa tersebut, kita patut bersyukur kepada Tuhan bukan, bahwa proses persalinan tidak memakan waktu yang sangat lama, hingga satu minggu misalnya…
Saudaraku, mungkin banyak diantara kita masih merasa takut saat membayangkan mengalami penderitaan seperti jemaat di Smirna, ditekan karena iman kepada Kristus. Itu adalah hal yang wajar. Namun kita telah melihat bersama bahwa tekanan dan penderitaan seperti itu hanya bersifat sementara saja. Seperti halnya jemaat Smirna, saat kita diijinkan oleh Tuhan mengalami penderitaan karena mempertahankan iman Kristen kita, kita akan menjadi pribadi yang kaya secara rohani.

II.  Tuhan ingin supaya kita tetap setia sampai mati, karena Dia akan memberikan kepada kita mahkota kehidupan (ayt. 10b).
Saudaraku, akhir-akhir ini kesetiaan adalah sebuah kualitas yang mulai langka. Selain dalam hal pernikahan, lunturnya kesetiaan juga mulai terlihat dalam hal keimanan. Banyak orang Kristen yang meninggalkan iman mereka demi hal-hal duniawi.
Dalam penderitaan mereka, jemaat Smirna didorong untuk “setia sampai mati.” Ketika para penganiaya tubuh mereka dapat merenggut tubuh jasmani, saat itulah jemaat akan menerima “mahkota kehidupan.” Rupanya hingga pada waktu surat tersebut diterima oleh jemaat Smirna, belum ada jemaat yang meninggal. Namun beberapa waktu kemudian, sejarah menuliskan bahwa Polikarpus yang adalah uskup dari gereja Smirna, mati sebagai martir pertama disana, yang tidak diragukan lagi disusul oleh banyak anggota jemaat yang lain.
Kesetiaan yang ditulis dalam bagian ayat 10 ini menggunakan kata πιστος, yang sebenarnya juga bermakna iman. Jadi dalam terjemahan bebas, kalimat setia sampai mati dapat kita pahami sebagai beriman (kepada Kristus) sampai mati. Berdasarkan denah Smirna, para penafsir tidak sulit melihat kaitan antara Mahkota Smirna dengan mahkota yang dijanjikan bagi para pengikut Kristus yang setia. Tetapi Tuhan Yesus berbicara tentang “mahkota kehidupan,” yang membuatnya berbeda dan penuh arti. Istilah “mahkota kehidupan” ini mungkin merupakan suatu idiom, muncul pula pada Yakobus 1:12 dan bisa diterjemahkan sebagai “mahkota, yaitu kepenuhan hidup.” Kata itu melambangkan “sukacita dan kegembiraan kemuliaan dan kekekalan yang paling tinggi.” Jika orang-orang kudus di Smirna membayar kesaksian Kristus dengan hidup mereka, maka mereka akan memperoleh hidup yang tidak bisa binasa dalam kemuliaan kekal.
Tuhan Yesus telah menunjukkan sebuah sikap kesetiaan yang luar biasa, yang harusnya kita teladani bersama. Tuhan Yesus tahu bahwa keberadaan-Nya di dunia adalah demi mewujudkan rencana Bapa-Nya, yakni rencana penebusan manusia dari dosa. Ada sebuah perjalanan yang panjang yang Ia tempuh. Ujung dari perjalananan tersebut juga sudah Ia ketahui, yakni siksaan dan kematian di kayu salib. Namun kita dapat melihat Kesetiaan Tuhan Yesus menjalani panggilan tersebut. Dalam surat Filipi 2:8-9, Rasul Paulus menuliskan demikian: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,” Kesetiaan Tuhan Yesus terhadap keinginan Bapa-Nya inilah yang membuat Bapa meninggikan Dia dan mengaruniakan pada-Nya nama diatas segala nama.
Saudaraku, ada berapa banyak di antara kita yang sudah menikah? Ingkatkah Saudara akan janji pernikahan yang saudara ikrarkan pada waktu itu? Dihadapan Allah dan jemaat, saya.......menerima engkau........menjadi isteriku yang sah dan aku berjanji untuk setia baik dalam suka/duka, sehat/sakit, kaya/miskin sampai kematian memisahkan kita. Bukankah itu adalah sebuah janji setia yang indah, Saudara? Sebuah janji yang jika diwujudnyatakan akan membentuk sebuah keluarga yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan.
Demikian juga halnya dengan kita, Saudara. Kita juga harus setia kepada Tuhan, baik dalam suka atau duka, sehat atau sakit, kaya atau miskin. Ada banyak hal yang dunia tawarkanuntuk membeli iman kita. Apakah itu pangkat, jabatan, status sosial, kekayaan, atau pasangan hidup. Bahkan, dunia mungkin juga akan memaksa kita dengan kekerasan, supaya kiat meninggalkan iman Kristen kita. Akan tetapi Saudaraku, kita harus tetap setia dan berpegang teguh kepada Tuhan Yesus Kristus. Kita harus tetap setia beriman kepada Kristus, dan tidak akan menukarnya dengan apapun juga.
 Saudaraku, kita telah melihat bersama bahwa penganiayaan yang dialami oleh jemaat Smirna bukanlah karena mereka melakukan kesalahan, namun karena mereka bertahan untuk tetap beriman kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus dalam kitab Matius pernah mengatakan bahwa mengikut Dia bukan membuat kita senang. Mengikut dia artinya menderita bagi dia. Penderitaan sudah pasti tidak bisa kita elakkan. Oleh karena itu, mari kita tetap setia. Karena Yesus tahu dan peduli dengan segala yang kita derita. Ia tidak akan tinggal diam. Bahkan saat ini, Ia sudah menyiapkan sebuah mahkota kehidupan, bagi setiap orang yang mau setia dalam iman kepada-Nya. Mahkota kehidupan adalah kehidupan kekal bersama dengan Tuhan Yesus di Kerajaan Sorga yang permai. Mari, janganlah takut menderita demi iman kita kepada Kristus, melainkan tetaplah setia kepada-Nya.

*tulisan ini adalah tugas kuliah Homiletika 1, yang dibimbing oleh Bapak Dr. Benny Solihin, di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, Jawa Timur.