Laman

Showing posts with label Abraham. Show all posts
Showing posts with label Abraham. Show all posts

13 January 2017

HARAPAN AKAN MASA DEPAN (Amsal 23:17-18)

Janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang berdosa, tetapi takutlah akan TUHAN senantiasa. Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.”
Amsal 23:17-18

Mungkin pernah terbersit dalam hati kita sebuah pertanyaan “Aku sudah berusaha keras hidup seturut kebenaran firman Tuhan,tapi kenapa hidupku penuh dengan kesusahan? Dan mengapa orang yang banyak sekali melakukan ketidakbenaran justru memiliki hidup berkelimpahan harta benda dan terlihat selalu senang?” 

Kenyataan hidup ini memang banyak yang memuat misteri. Orang baik yang hidup susah dan orang jahat yang hidup enak mungkin adalah salah satu ironi yang sering kali kita temui di dunia ini. Banyak sekali orang benar yang mati-matian berjuang keras untuk kehidupannya. Namun disaat yang sama, orang yang hidupnya sembarangan, tidak taat kepada firman Tuhan malah dengan mudahnya mendapatkan banyak harta. Lantas bagaimana kita memahami fenomena yang demikian itu?

Penulis Amsal menuliskan kata-kata hikmat yang terdapat dalam Amsal 23:17-18 “Janganlah hatimu iri kepada orang-orang yang berdosa, tetapi takutlah akan TUHAN senantiasa. Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang.” Kata-kata hikmat dari penulis Amsal ini secara jelas melarang kita untuk memiliki perasaan iri terhadap orang-orang berdosa, yang mungkin terlihat memiliki hidup berlimpah harta dan kesenangan. 

Dalam bahasa aslinya, ayat 17 ini bermakna lebih tajam. Secara literal, ayat 17 dapat berarti ”Jangan iri kepada orang berdosa, tapi irilah kepada Tuhan.” Nilai dari Amsal ini sungguhlah luar biasa. Sering kali kita dibuat khawatir dan kemudian mulai mengeluh dan bersungut-sungut saat melihat orang yang hidupnya jauh dari Tuhan justru terlihat bahagia. 

Kita lupa bahwa Alkitab berkata “Tetapi orang yang fasik tidak akan beroleh kebahagiaan dan seperti bayang-bayang ia tidak akan panjang umur, karena ia tidak takut terhadap hadirat Allah.” (Pengkhotbah 8:13). Ayat 17 dari Amsal 23 tadi menasehati kita supaya tidak berfokus pada kehidupan orang fasik, melainkan mengarahkan fokus hidup kita hanya kepada Tuhan saja, setiap saat. Kebahagiaan orang fasik seperti bayang-bayang yang sebentar saja lenyap karena sinar terang. Namun kebahagiaan sesungguhnya yang tidak akan pernah hilang adalah saat kita memfokuskan hidup kita kepada Tuhan.

Kisah keluarga Elimelekh yang beberapa waktu lalu kita pelajari bersama, mencerminkan nilai sebuah pengharapan kepada Tuhan. Elimelekh yang meninggalkan tanah Israel, dan berharap akan menemukan kebahagiaan di tanah Moab, justru menuai tragedi yang pahit, yaitu kehancuran keluarganya. Keluarga itu hanya menyisakan sang nyonya rumah Naomi dan sang menantu Rut yang akhirnya kembali ke tanah Israel. Batin Naomi begitu terpuruknya sehingga hanya kepahitan yang tersisa di dalamnya. Namun saat sang menantu, Rut, dengan setia mengikutinya kembali ke tanah Israel, dia mulai melihat ada harapan yang mengembang. Di akhir cerita kita melihat bahwa garis keluarga Elimelekh dipulihkan oleh Boas, yang dari garis keturunannya, Raja Daud diturunkan. Naomi melihat harapan itu nyata saat ia kembali ke “tanah perjanjian” yang Tuhan berikan kepadanya.

Kisah Abraham pun mengguratkan nilai yang sama mengenai harapan akan masa depan di dalam Tuhan. dalam usia tuanya, Abraham belum juga memiliki keturunan. Hingga suatu waktu dia berkata dengan putus asa kepada Tuhan bahwa ia tidak mungkin memiliki keturunan. Hartanya yang begitu banyak hanya akan dia berikan kepada Eliezer, pembantunya yang setia. Namun dengan tegas Tuhan berkata “Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu.” (Kejadian 15:4). 

Mungkin saat melihat usia tuanya, sempat terbersit keraguan dalam benak Abraham terhadap perkataan Tuhan tersebut. Namun dalam perjalanan hidupnya, janji Tuhan itu didengungkan lagi dan lagi, hingga kemudian dinyatakan. Ishak lahir dari rahim Sara yang seharusnya sudah kering dan mandul. Apakah kisah tersebut berhenti sampai di situ saja? 

Tidak! Harapan Abraham diuji. Janji keturunan yang akan seperti bintang di langit dan pasir di laut, mungkin berada di ambang jurang, waktu Abraham mendengar Tuhan menginginkan Ishak sebagai korban bakaran. Ada ruang dalam hati Abraham, yang didalamnya berisi imannya kepada Tuhan. Iman itulah yang menguatkan dia dan menyakinkan dia bahwa Tuhan pasti akan menggenapi janji-Nya, bahwa harapannya kepada Tuhan tidak akan sia-sia. Saat belati itu akan terayun untuk menyembelih Ishak, Tuhan menghentikannya. 

Tuhan menunjukkan diri-Nya sebagai Allah yang menyediakan. Menyediakan dalam bagian teks itu juga bermakna membuat jadi nyata. Janji Tuhan dinyatakan bahwa garis keturunan Abraham menjadi bangsa yang besar. Daripadanyalah Penebus kita, Tuhan Yesus Kristus, diturunkan.

Saat kita melihat bahwa Tuhan memperhatikan orang-orang yang hidup benar dan berfokus kepada-Nya, apa alasan kita untuk meragukan pribadi-Nya? Sukaria dalam gemerlapnya dunia ini hanyalah kerlipan yang sifatnya sementara saja. Seperti uap air dan bunga rumput yang sebentar saja lenyap saat terpapar sinar terik matahari, demikianlah gemerlap dunia dan kesenangan orang-orang yang memujanya. 

Manakah yang seharusnya lebih kita harapkan untuk miliki? Kesenangan sekarang yang semu dan kemudian menghilang atau kesenangan kelak yang kekal di dalam Tuhan? Orang benar hanya berharap kepada Tuhan saja. Kesukaran tidak akan mengalihkan pandangan hidupnya dari Tuhan. Tetapi justru melalui kesukaran di dunia ini, ia semakin jelas melihat penyertaan Tuhan di dalam kehidupannya.