Laman

15 July 2025

DOA BAPA KAMI: Jangan Membawa Kami Dalam Pencobaan (VI)

 

Memohon Perlindungan dari Pencobaan

Setelah meminta rezeki dan pengampunan dalam doa, permohonan berikutnya dalam Doa Bapa Kami adalah perlindungan, yang merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia. Permohonan ini terdiri dari dua bagian: “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari yang jahat” (yang dapat merujuk pada dosa, kesulitan, atau bahkan kuasa jahat yang memanfaatkan tantangan hidup untuk mendorong kita ke dalam dosa). Meskipun terdiri dari dua kalimat, keduanya mengungkapkan satu pesan utama: “Kehidupan ini penuh dengan ancaman rohani; di tengah bahaya tersebut, kami tidak mampu mengandalkan kekuatan sendiri; Tuhan, lindungilah kami.” Doa ini mencerminkan pandangan hidup yang ditemukan dalam kitab Mazmur, yang ditandai dengan sikap realistis, rendah hati, dan ketergantungan penuh pada Tuhan—sesuatu yang perlu kita teladani.

Ujian dalam Kehidupan

Konsep bahwa Tuhan dapat membawa umat-Nya ke dalam “pencobaan” sering kali membingungkan atau bahkan mengejutkan. Namun, istilah “pencobaan” di sini lebih tepat dipahami sebagai “ujian” atau “cobaan”—yaitu, situasi yang mengungkap sejauh mana kita mampu memilih yang benar dan menolak yang salah. Bayangkan ujian ini seperti tes mengemudi, yang dirancang untuk mengevaluasi kemampuan kita melakukannya dengan baik. Dalam konteks rohani, ujian serupa diperlukan untuk mengukur pertumbuhan iman kita. Lulus dalam ujian semacam ini dapat memotivasi kita untuk terus bertumbuh. Dalam rencana Tuhan, ujian rohani memiliki tujuan positif: untuk memperkuat iman dan membantu kita berkembang. Contohnya, Tuhan menguji Abraham dengan memintanya mengorbankan Ishak (Kejadian 22:1, 18), dan setelah Abraham menunjukkan ketaatannya, Tuhan memberikan janji berkat yang besar. Ujian ini menunjukkan isi hati kita dan sejauh mana kita telah bertumbuh dalam iman.

Mengapa Berdoa agar Terhindar dari Pencobaan?

Jika ujian memiliki manfaat rohani, mengapa kita diajarkan untuk memohon agar terhindar darinya? Ada tiga alasan utama. Pertama, setiap kali Tuhan menguji kita untuk kebaikan kita, Setan—yang disebut “si pencoba” (Matius 4:3; 1 Tesalonika 3:5)—berusaha memanfaatkan situasi tersebut untuk menjerumuskan kita. Alkitab memperingatkan bahwa Iblis “berkeliling seperti singa yang mengaum, mencari mangsa untuk ditelannya” (1 Petrus 5:8). Dari pengalaman-Nya di padang gurun, Yesus mengetahui kelicikan Setan dan memperingatkan kita untuk tidak meremehkannya atau sengaja mencari masalah dengannya.
Kedua, ujian rohani sering kali membawa beban yang berat, sehingga wajar jika kita ingin menghindarinya, sebagaimana kita menghindari pikiran tentang penyakit serius. Yesus sendiri, di Taman Getsemani, berdoa, “Bapa, lepaskan Aku dari cawan ini,” meskipun Ia menyerahkan diri pada kehendak Bapa (Matius 26:39). Pencobaan bukanlah pengalaman yang menyenangkan.
Ketiga, kesadaran akan kerapuhan kita—sifat keras kepala, kelemahan rohani, dan kerentanan terhadap godaan—mendorong kita untuk berdoa dengan rendah hati: “Tuhan, jika mungkin, hindarkan aku dari ujian! Aku tidak ingin jatuh ke dalam dosa dan mencemarkan nama-Mu.” Meskipun pencobaan adalah bagian dari kehidupan, hanya orang yang kurang bijaksana yang menginginkannya. Seperti nasihat Paulus, “Barang siapa yang menyangka dirinya berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh” (1 Korintus 10:12).

Kewaspadaan dan Doa

Yesus mengingatkan murid-murid-Nya di Getsemani, “Berjagalah dan berdoalah, supaya kamu tidak jatuh ke dalam pencobaan; roh memang bersedia, tetapi daging lemah” (Matius 26:41). Pernyataan ini muncul di tengah pergumulan batin Yesus menghadapi salib, sementara murid-murid-Nya tertidur meskipun diminta untuk berjaga dan berdoa. Doa “janganlah membawa kami ke dalam pencobaan” menuntut kesiapan kita untuk tetap waspada dan berdoa agar tidak terjebak dalam godaan tanpa disadari.
“Berjaga” berarti bersikap seperti prajurit yang selalu waspada terhadap ancaman musuh. Kita perlu mengenali situasi, hubungan, atau pengaruh yang dapat menyeret kita ke dalam pencobaan, dan menghindarinya sebisa mungkin. Seperti yang pernah dikatakan Martin Luther, kita tidak bisa menghentikan burung terbang di atas kepala kita, tetapi kita bisa mencegah mereka membuat sarang di rambut kita. Kenali apa yang membahayakan imanmu, dan jangan bermain-main dengan itu!
“Berdoa” berarti memohon kekuatan Tuhan untuk tetap setia, bahkan ketika hati kita merasa berat atau godaan menggoda kita untuk menyimpang, sebagaimana Yesus mencontohkan dalam doa-Nya.

Menghadapi Pencobaan dengan Iman

Meskipun pencobaan tidak dapat dihindari sepenuhnya karena merupakan bagian dari pertumbuhan rohani kita (Yakobus 1:2-12), kita dapat memohon perlindungan Tuhan dan mempersiapkan diri dengan kewaspadaan serta doa. Dengan berdoa untuk dihindarkan dari pencobaan dan melawan taktik Setan, kita akan menghadapi lebih sedikit godaan daripada yang seharusnya terjadi (Wahyu 3:10). Ketika pencobaan datang, Tuhan menjanjikan kekuatan untuk menghadapinya (1 Korintus 10:13) dan kuasa untuk menjaga kita dari kejatuhan (Yudas 24). Oleh karena itu, janganlah lengah dengan tidak mempersiapkan diri, tetapi juga jangan nekat mencari pencobaan. Saat kita merasa aman, berdoalah, “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan.” Saat godaan melanda, berdoalah, “Bebaskanlah kami dari yang jahat.” Dengan demikian, kita dapat menjalani kehidupan iman dengan baik, mengandalkan Tuhan untuk memimpin dan melindungi kita.

Menghadapi Pencobaan dan Ujian Rohani

Dalam perjalanan iman, pencobaan dan ujian adalah bagian tak terpisahkan yang menguji keteguhan hati dan ketaatan kita kepada Tuhan. Doa Bapa Kami, khususnya permohonan “Janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari yang jahat” (Matius 6:13), mencerminkan kerendahan hati dan ketergantungan penuh pada Tuhan di tengah ancaman rohani. Doa ini selaras dengan pengajaran Alkitab tentang kewaspadaan dan kebergantungan pada firman Tuhan, sebagaimana terlihat dalam kisah Hawa (Kejadian 3:1-7), Abraham (Kejadian 22:1-19), dan Yesus (Lukas 4:1-15). Ketiga kisah ini menggambarkan dinamika pencobaan dan ujian—baik yang bertujuan menghancurkan dari Setan maupun yang membangun dari Tuhan—serta pelajaran penting tentang bagaimana kita dapat menghadapinya dengan iman dan ketaatan.

Pencobaan dan Ujian: Pengertian dan Tujuan

Secara teologis, “pencobaan” (atau “ujian” dalam beberapa terjemahan) merujuk pada situasi yang menguji kemampuan kita untuk bertindak benar dan menolak yang salah. Dalam Alkitab, ujian dari Tuhan bertujuan positif: untuk menguatkan iman dan memajukan pertumbuhan rohani, seperti terlihat dalam kisah Abraham. Sebaliknya, pencobaan dari Setan dirancang untuk menyesatkan dan menghancurkan, seperti yang dialami Hawa dan Yesus. Doa “janganlah membawa kami ke dalam pencobaan” mencerminkan kesadaran akan kelemahan manusia dan bahaya rohani yang mengintai, mendorong kita untuk memohon perlindungan Tuhan dengan rendah hati.

Pencobaan Hawa: Bahaya Ketidaktaatan

Kisah Hawa dalam Kejadian 3:1-7 menggambarkan pola dasar pencobaan oleh Setan. Ular, yang diidentifikasi sebagai Setan (Wahyu 12:9), memulai dengan mempertanyakan firman Tuhan: “Apakah Allah benar-benar berfirman...?” (Kejadian 3:1). Ia kemudian mendistorsi kebenaran dan menawarkan janji palsu tentang kebijaksanaan dan otonomi jika Hawa memakan buah terlarang. Hawa tergoda oleh “nafsu mata, nafsu daging, dan keangkuhan hidup” (lihat 1 Yohanes 2:16), yang membawanya pada ketidaktaatan. Menurut John MacArthur, dosa Hawa berakar pada ketidakpercayaan terhadap kebaikan dan otoritas Tuhan, yang dimanipulasi oleh Setan melalui keraguan dan kebohongan. Wayne Grudem menambahkan bahwa godaan untuk “menjadi seperti Tuhan” mencerminkan akar semua dosa: keinginan untuk otonomi yang semu. Kisah ini mengajarkan kita untuk waspada terhadap taktik Setan yang sering kali dimulai dengan keraguan halus terhadap firman Tuhan dan dorongan untuk mengutamakan keinginan pribadi di atas ketaatan.

Ujian Abraham: Kekuatan Iman

Berbeda dengan pencobaan Hawa, ujian Abraham dalam Kejadian 22:1-19 berasal dari Tuhan dan bertujuan untuk menguatkan iman serta menegaskan ketaatannya. Tuhan memerintahkan Abraham untuk mempersembahkan Ishak, anak yang dijanjikan, sebagai korban bakar—perintah yang tampak bertentangan dengan janji Tuhan tentang keturunan melalui Ishak (Kejadian 17:19). Dengan iman, Abraham menaati, percaya bahwa Tuhan mampu membangkitkan Ishak dari kematian (Ibrani 11:19). Tuhan menghentikan Abraham dan menyediakan domba jantan sebagai gantinya, menegaskan kesetiaan-Nya pada janji-Nya. D.A. Carson menjelaskan bahwa ujian ini bukan untuk mengungkap sesuatu yang tidak diketahui Tuhan, melainkan untuk menunjukkan iman Abraham bagi kebaikannya sendiri dan generasi mendatang. John Piper menambahkan bahwa ketaatan Abraham didasarkan pada keyakinan akan kuasa dan kesetiaan Tuhan. Kisah ini mengajarkan bahwa ujian dari Tuhan, meski sulit, bertujuan untuk memperkuat iman dan memuliakan Tuhan, serta menunjuk pada pengorbanan Kristus sebagai “Anak Domba” (Yohanes 1:29).

Pencobaan Yesus: Teladan Kemenangan

Dalam Lukas 4:1-15, Yesus menghadapi pencobaan Setan di padang gurun setelah berpuasa 40 hari. Setan menyerang identitas Yesus sebagai Anak Allah melalui tiga godaan: mengubah batu menjadi roti, menawarkan kuasa duniawi, dan meminta Yesus melompat dari Bait Allah untuk membuktikan perlindungan Tuhan. Yesus menolak setiap godaan dengan mengutip Kitab Suci (Ulangan 8:3, 6:13, 6:16), menunjukkan bahwa firman Tuhan adalah senjata utama melawan pencobaan. R.C. Sproul menegaskan bahwa kemenangan Yesus menunjukkan kecukupan firman Tuhan dan kemampuan-Nya untuk memahami pergumulan kita sebagai manusia (Ibrani 4:15). Darrell L. Bock menambahkan bahwa pencobaan ini menargetkan misi mesianik Yesus, namun ketaatan-Nya kepada Bapa memastikan kemenangan-Nya. Sebagai “Adam Kedua” (1 Korintus 15:45), Yesus berhasil di mana Hawa gagal, memberikan teladan bagi kita untuk melawan godaan dengan kebenaran Alkitab dan ketergantungan pada Roh Kudus.

Ketiga kisah mengenai pencobaan ini memberikan pelajaran praktis untuk menghadapi pencobaan dan ujian:

  1. Berpaut pada Firman Tuhan: Hawa gagal karena mengabaikan perintah Tuhan, sementara Yesus menang dengan mengutip Kitab Suci. Menghafal dan menerapkan Alkitab membantu kita melawan kebohongan Setan.
  2. Iman dalam Ketidakpastian: Abraham menunjukkan bahwa iman pada kesetiaan Tuhan memungkinkan ketaatan, bahkan ketika perintah-Nya tampak sulit.
  3. Kewaspadaan dan Doa: Doa Bapa Kami mengajarkan kita untuk memohon perlindungan dan kekuatan, sementara kewaspadaan membantu kita menghindari jebakan rohani.
  4. Ketergantungan pada Tuhan: Meski pencobaan tidak dapat dihindari sepenuhnya (1 Korintus 10:13), Tuhan berjanji untuk memberikan kekuatan dan jalan keluar, serta menjaga kita dari kejatuhan (Yudas 24).

Pencobaan dan ujian rohani adalah bagian dari kehidupan iman, tetapi hasilnya bergantung pada respons kita terhadap Tuhan dan firman-Nya. Hawa mengingatkan kita akan bahaya ketidaktaatan, Abraham menunjukkan kekuatan iman, dan Yesus memberikan teladan kemenangan melalui ketergantungan pada Tuhan. Dengan berdoa “janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari yang jahat,” kita menyatakan kerendahan hati dan kebergantungan pada Tuhan. Dengan berjaga, berdoa, dan berpaut pada kebenaran Alkitab, kita dapat menghadapi pencobaan dengan keyakinan bahwa Tuhan setia untuk membebaskan dan meneguhkan kita (Wahyu 3:10).

10 July 2025

DOA BAPA KAMI: Ampunilah Kesalahan Kami (V)

 

Inti kehidupan Kristen terletak pada pengampunan. Doktrin pembenaran oleh iman menegaskan bahwa tanpa pengorbanan Kristus yang menanggung hukuman dosa-dosa kita, kita tidak akan memiliki kehidupan atau harapan di hadapan Allah (Rm. 5:1). Namun, bahkan sebagai orang percaya, kita tetap jatuh dalam dosa setiap hari, sehingga pengampunan menjadi kebutuhan harian. Dalam Doa Bapa Kami, Yesus dengan sengaja menempatkan permohonan untuk pengampunan (Mat. 6:12) di antara doa untuk kebutuhan jasmani dan perlindungan rohani, menegaskan urgensinya bagi kita. Permohonan ini tidak mencerminkan doa Yesus sendiri, karena Ia tanpa dosa (Yoh. 8:46); ini ada untuk kita, anak-anak Allah yang masih bergumul dengan kelemahan. John Calvin menulis,

“Dalam doa ini, kita diajak untuk mengakui kerapuhan kita sebagai orang berdosa, namun juga untuk berlindung pada kasih karunia Allah yang tak pernah habis” (Commentary on a Harmony of the Evangelists).

Dosa sebagai Utang
Yesus menggambarkan dosa sebagai “utang” (Mat. 6:12), sebuah metafora yang kaya akan makna teologis. Kita berutang kepada Allah kesetiaan total—kasih yang penuh semangat kepada-Nya dan sesama, setiap saat, mengikuti teladan Yesus. Dosa, dalam perspektif ini, adalah kegagalan kita untuk “membayar” utang tersebut, terutama melalui kelalaian dalam melakukan kebaikan yang seharusnya kita lakukan. Mazmur 51, doa pertobatan Daud setelah dosanya dengan Batsyeba, menangkap realitas ini dengan mendalam. Daud berseru, “Kepada-Mu, ya Tuhan, aku telah berdosa… bersihkanlah aku dari pada kesalahanku” (Mzm. 51:2-4). Ia mengakui dosa bukan hanya sebagai pelanggaran hukum, tetapi sebagai pengkhianatan pribadi terhadap Allah yang setia. Teks ini menegaskan bahwa dosa adalah pelanggaran relasional, sebuah “utang” yang merusak hubungan kita dengan Allah. Tim Keller menjelaskan,

“Mazmur 51 mengajarkan bahwa dosa adalah kegagalan untuk mencerminkan kemuliaan Allah; pertobatan adalah pengakuan rendah hati bahwa kita berutang segalanya kepada-Nya, namun hanya kasih karunia-Nya yang dapat memulihkan kita” (The Songs of Jesus).

Dosa sebagai kelalaian lebih mendasar daripada pelanggaran aktif. Dalam Book of Common Prayer edisi 1662 dari gereja Anglikan dengan tepat mengakui dosa kelalaian—“kami telah meninggalkan apa yang seharusnya kami lakukan”—sebagai prioritas dalam pengakuan dosa. Ketika Uskup Agung Ussher, di ambang kematian, berdoa, “Tuhan, ampunilah terutama dosa-dosa kelalaianku,” ia menunjukkan pemahaman yang tajam tentang realitas rohani ini. Pemeriksaan diri yang jujur selalu akan mengungkap bahwa dosa terberat kita sering kali adalah kebaikan yang kita abaikan—kasih yang tidak kita wujudkan, pelayanan yang kita hindari, atau kesempatan untuk memuliakan Allah yang kita sia-siakan.

Anak-anak yang Berdosa
Sebuah pertanyaan teologis muncul: Jika kematian Kristus telah menebus semua dosa—masa lalu, kini, dan masa depan (Ibr. 10:12-14)—dan pembenaran kita kekal, mengapa kita perlu meminta pengampunan setiap hari? Jawabannya terletak pada perbedaan antara Allah sebagai Hakim dan sebagai Bapa, serta antara status kita sebagai orang berdosa yang dibenarkan dan anak-anak yang diangkat. Doa Bapa Kami adalah doa keluarga, di mana anak-anak Allah berbicara kepada Bapa mereka. Meskipun dosa-dosa harian kita tidak membatalkan pembenaran kita, hubungan kita dengan Bapa akan terganggu hingga kita, seperti anak yang hilang, kembali dengan mengatakan, “Maaf,” dan memohon pengampunan atas cara kita mengecewakan-Nya. Mazmur 51:17 menegaskan bahwa “persembahan kepada Allah ialah jiwa yang patah; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.” Pertobatan Daud menggambarkan kerendahan hati yang dibutuhkan untuk memulihkan persekutuan dengan Allah, bukan sekadar status hukum kita. J.I. Packer menegaskan,

“Sebagai anak-anak Allah, kita tidak meminta pengampunan untuk memperoleh keselamatan, tetapi untuk memelihara hubungan intim dengan Bapa yang telah mengadopsi kita” (Praying the Lord’s Prayer).

Pemeriksaan diri adalah disiplin yang tak terhindarkan bagi orang Kristen. Tanpa itu, doa kita bisa menjadi kosong, seperti doa orang Farisi dalam Lukas 18:9-14. Kaum Puritan menghargai khotbah yang “membongkar” hati nurani, dan kebutuhan akan pengajaran semacam itu tetap relevan hari ini. Allah, sebagai Bapa yang kudus, tidak mengabaikan kegagalan anak-anak-Nya, sebagaimana orang tua manusia sering kali (dan dengan tidak bijaksana) lakukan. Mazmur 51:10-12 mengungkapkan kerinduan Daud akan pembaruan batin—“jadikanlah hatiku tahir… janganlah mengambil Roh Kudus-Mu dari padaku”—menunjukkan bahwa pemeriksaan diri harus diikuti oleh pertobatan aktif dan ketergantungan pada Roh Allah. Charles Spurgeon menulis,

“Mazmur 51 adalah cermin jiwa Kristen; ia menunjukkan noda dosa kita, namun juga menawarkan air pembersih kasih karunia Allah” (The Treasury of David).

Dosa orang Kristen sangat menyinggung justru karena kita memiliki alasan terbesar—kasih Allah dalam Kristus—dan sumber daya terbesar—Roh Kudus yang tinggal di dalam kita—untuk hidup kudus. Mereka yang menganggap pembenaran membebaskan mereka dari kewajiban menaati hukum Allah telah salah memahami Injil (Rm. 6:1-2). Hosea 1–3 menggambarkan kedalaman luka Allah ketika umat-Nya tidak setia, serupa dengan kesedihan seorang suami terhadap istri yang berzinah. Tuhan menghendaki kekudusan kita (1 Tes. 4:3), dan kegagalan kita untuk mengejarnya adalah pengkhianatan terhadap kasih-Nya. Dietrich Bonhoeffer menegaskan, “Kasih karunia yang murah tidak membebaskan kita dari tanggung jawab untuk hidup kudus; sebaliknya, itu menuntut kita untuk menyangkal diri dan mengikuti Kristus” (The Cost of Discipleship).

Hanya yang Mengampuni yang akan Diampuni

Yesus menegaskan bahwa mereka yang mengharapkan pengampunan Allah harus dapat berkata bahwa mereka juga telah mengampuni orang lain yang berutang kepada mereka (Mat. 6:12). Ini bukan soal memperoleh pengampunan melalui perbuatan, tetapi soal kualifikasi melalui pertobatan. Pertobatan—perubahan pikiran—menempatkan kemurahan dan pengampunan sebagai pusat gaya hidup baru kita. Matius 18:23-35, perumpamaan tentang hamba yang tidak berbelas kasihan, mengilustrasikan kebenaran ini dengan tajam. Dalam perumpamaan tersebut, seorang hamba yang diampuni utang besar oleh rajanya menolak mengampuni utang kecil dari sesama hambanya. Akibatnya, pengampunan yang telah diberikan kepadanya dicabut (Mat. 18:34-35). Yesus menegaskan, “Demikian juga Bapaku yang di sorga akan berbuat kepadamu, jika kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Mat. 18:35). Perumpamaan ini bukanlah penyangkalan pembenaran oleh iman, melainkan penegasan bahwa iman sejati menghasilkan buah pertobatan, termasuk sikap memaafkan. Orang yang hidup dari pengampunan Allah harus mencerminkan pengampunan itu; jika tidak, mereka menunjukkan kemunafikan. John Stott menulis,

“Perumpamaan ini mengingatkan kita bahwa pengampunan yang kita terima dari Allah menuntut kita untuk mengampuni orang lain; menolak mengampuni adalah menolak kasih karunia yang telah menyelamatkan kita” (The Message of the Sermon on the Mount).

Matius 18:23-35 menekankan kontras antara utang kita yang tak terbayar kepada Allah dan utang kecil yang orang lain miliki terhadap kita. Pengampunan Allah terhadap kita adalah tindakan kasih karunia yang luar biasa, menghapus utang yang tak mungkin kita lunasi. Sebaliknya, ketidakmampuan kita untuk mengampuni orang lain mengungkapkan hati yang belum sepenuhnya dipahami oleh kasih karunia itu. Doa Bapa Kami, dengan frasa “seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami,” mengikat pengampunan yang kita terima dengan pengampunan yang kita berikan. Ini bukan syarat legalistik, tetapi bukti teologis bahwa iman sejati menghasilkan perubahan hidup. C.S. Lewis menegaskan, 

“Mengampuni bukanlah soal menghapus rasa sakit, tetapi soal melepaskan kebencian agar kasih Allah mengalir melalui kita” (Letters to Malcolm: Chiefly on Prayer).

Permohonan ini menantang kita untuk memeriksa hati kita. Bisakah kita dengan tulus mengucapkan Doa Bapa Kami, mengakui pengampunan Allah sambil memegang dendam terhadap orang lain? Baris-baris berikut, yang diadaptasi dari himne karya Rosamond Eleanor Herklots, menangkap pergumulan ini:

Ampunkanlah dosa-dosa kami sebagaimana kami mengampuni,” Engkau ajarkan, ya Tuhan, untuk kami doakan;Namun hanya Engkau yang dapat memberikan kasih karunia agar kami hidup sesuai kata-kata itu. Bagaimana pengampunan-Mu dapat menjangkau hati yang tak memaafkan, Yang memendam luka dan tak melepaskan kepahitan lama?

Doa ini adalah seruan agar Allah “membersihkan kedalaman jiwa kami” dan menghapus kebencian, sehingga hidup kita menyebarkan damai-Nya.

09 July 2025

DOA BAPA KAMI: Berikanlah Kami Makanan Kami yang Secukupnya (IV)

Renungan tentang Ketergantungan pada Pemeliharaan Allah 

Setelah berfokus pada nama Allah, kerajaan-Nya, dan kehendak-Nya, Doa Bapa Kami beralih ke kebutuhan makanan kita. Apakah ini terasa seperti penurunan hanya karena frasa ini menyinggung tentang kebutuhan jasmaniah? Sama sekali tidak: ini adalah perkembangan yang sangat wajar dalam hidup seorang manusia. Mengapa demikian?

Pertama, mereka yang dengan tulus berdoa untuk tiga permohonan pertama dengan demikian berkomitmen untuk hidup sepenuhnya bagi Allah, dan permintaan berikutnya yang logis adalah untuk makanan guna memberi mereka energi untuk ini.

Kedua, kita memang bergantung setiap saat pada Bapa-Pencipta kita untuk menjaga kita dan seluruh alam semesta tetap ada (karena tanpa kehendak-Nya, tidak ada yang bisa terus eksis), dan untuk memelihara fungsi ritmis alam sehingga setiap tahun ada musim tanam, panen, dan makanan (bandingkan Kejadian 8:22). Adalah tepat bagi kita untuk secara teratur mengakui ketergantungan ini dalam doa, terutama di zaman seperti sekarang yang menganggap alam bersifat mandiri, sehingga mengalami masalah dengan realitas Allah.

Beberapa orang menganggap doa untuk kebutuhan sehari-hari, seperti kebutuhan materi, sebagai sesuatu yang kurang rohani, seolah-olah Allah tidak peduli dengan aspek fisik kehidupan kita dan kita pun seharusnya tidak memikirkannya. Namun, sikap yang terlalu memisahkan spiritualitas dari kebutuhan jasmani justru bisa menjadi bentuk keegoisan yang tidak selaras dengan kehendak Allah. Dalam Kolose 2:23, Paulus mengingatkan bahwa asketisme buatan manusia tidak mampu mengatasi sifat berdosa kita. Sebaliknya, doa yang mengakui Allah sebagai sumber segala kebutuhan—bahkan yang paling sederhana—mencerminkan kebenaran. Dengan menyadari ketidakmampuan kita dan bergantung sepenuhnya kepada Allah, kita merendahkan diri dan memuliakan-Nya. Hati dan pikiran kita baru selaras dengan kehendak-Nya ketika kita memahami bahwa berdoa untuk kebutuhan sehari-hari, seperti roti, sama pentingnya dengan berdoa untuk pengampunan dosa.

Ketiga, Allah benar-benar peduli bahwa hamba-hamba-Nya agar memiliki makanan yang mereka butuhkan, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus saat memberi makan 4.000 dan 5.000 orang. Allah peduli pada kebutuhan fisik tidak kurang dari kebutuhan rohani; bagi-Nya, kategori dasar adalah kebutuhan manusia, yang mencakup keduanya.

Tubuh Jasmani
Permohonan ini menunjukkan bagaimana kita harus memandang tubuh kita. Cara Kristen bukanlah memuja tubuh, menjadikan kesehatan dan kecantikan sebagai tujuan akhir, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang modern; juga bukan meremehkan tubuh, menjadikan kekusutan sebagai kebajikan, seperti yang pernah dilakukan oleh beberapa orang (dan sayangnya, juga beberapa orang Kristen). Sebaliknya, kita harus menerima tubuh sebagai bagian dari ciptaan Allah yang baik, bertindak sebagai pengelola dan pengurusnya, dan dengan rasa syukur menikmatinya saat melakukannya. Dengan demikian, kita memuliakan Penciptanya. Kenikmatan semacam itu sama sekali tidak tidak rohani bagi murid-murid Kristus; bagi mereka, itu seperti keselamatan mereka, anugerah gratis dari Tuhan.

Alkitab menentang semua asketisme yang muram dengan mengatakan bahwa jika Anda menikmati kesehatan, nafsu makan yang baik, kelincahan fisik, dan pernikahan dalam arti bahwa semua itu telah diberikan kepada Anda, Anda harus menikmatinya dalam arti lebih lanjut, yaitu bersukacita di dalamnya. Sukacita semacam itu adalah (bukan keseluruhan, tetapi) bagian dari tugas dan pelayanan kita kepada Allah, karena tanpa itu kita hanya tidak bersyukur atas anugerah-anugerah baik. Seperti yang dikatakan Screwtape dengan benar (dengan jijik), “Dia seorang hedonis di hati”: Allah menghargai kesenangan, dan kesenangan-Nya adalah memberikan kesenangan. Beberapa rabi mengajarkan dengan baik bahwa pada penghakiman, Allah akan menuntut pertanggungjawaban atas setiap kesenangan yang Dia tawarkan kepada kita dan yang kita abaikan. Apakah kita sudah tahu cara menikmati diri kita sendiri—ya, secara fisik juga—untuk kemuliaan Allah?

Kebutuhan Material
Perhatikan bahwa kita harus berdoa untuk “roti kami sehari-hari.” atau "Makanan kami yang secukupnya" dalam terjemahan bahasa Indonesia. Di sini ada syafaat untuk orang-orang Kristen lain serta permohonan untuk diri sendiri. Dan “roti,” makanan pokok manusia di dunia kuno dan modern, di sini melambangkan semua kebutuhan hidup dan cara untuk memenuhinya. Jadi, “roti” mencakup semua makanan; sehingga doa ini adalah untuk petani dan melawan kelaparan. Selain itu, doa ini mencakup pakaian, tempat tinggal, dan kesehatan fisik; sehingga doa ini menjadi syafaat untuk pelayanan sosial dan medis. Atau lagi, doa ini mencakup uang dan kemampuan untuk menghasilkan, sehingga menjadi seruan melawan kemiskinan, pengangguran, dan kebijakan nasional yang menghasilkan atau memperpanjang keduanya. Luther berharap para penguasa menempatkan roti daripada singa pada lambang mereka, untuk mengingatkan diri mereka bahwa kesejahteraan rakyat harus didahulukan, dan ia mendesak bahwa di bawah klausul ini dalam Doa Bapa Kami, doa untuk mereka yang berwenang paling tepat dimasukkan.

"Pada Hari Ini": Bergantung pada Tuhan di Setiap Hari
J. B. Phillips dengan benar menerjemahkan frasa ini, “berikanlah kami hari ini (setiap hari) roti yang kami butuhkan.” Kita diperintahkan untuk meminta roti, seperti orang Israel diperintahkan untuk mengumpulkan manna, secara harian: cara Kristen adalah hidup dalam ketergantungan yang konstan kepada Allah, sehari demi sehari. Juga, kita harus meminta roti yang kita butuhkan; yaitu, untuk pemenuhan kebutuhan, bukan kemewahan yang bisa kita lewatkan. Permohonan ini tidak menguduskan ketamakan! Selain itu, saat kita berdoa, kita harus siap untuk Allah menunjukkan kepada kita, melalui tanggapan providensial-Nya dengan tidak memberikan apa yang kita cari, bahwa kita sebenarnya tidak membutuhkannya.

Sekarang datang ujian iman yang sebenarnya. Anda, sebagai orang Kristen, telah berdoa untuk roti hari ini. Apakah Anda sekarang akan percaya bahwa apa yang datang kepada Anda, banyak atau sedikit, adalah jawaban Allah, sesuai dengan janji Matius 6:33? Dan apakah Anda akan puas dengan itu, dan bersyukur karenanya? Sekarang giliran Anda.

Mazmur 104: Ketergantungan pada Pencipta yang Murah Hati
Mazmur 104 adalah nyanyian puji-pujian yang megah tentang kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya, menggambarkan Dia sebagai Pencipta yang tidak hanya menciptakan dunia tetapi juga secara aktif memelihara keberadaannya. Mazmur ini merayakan penyediaan Allah bagi semua makhluk hidup, termasuk manusia, hewan, dan bahkan alam itu sendiri. Ayat 14-15 menyatakan, “Engkau yang menumbuhkan rumput untuk hewan, dan tumbuh-tumbuhan untuk keperluan manusia, supaya ia menghasilkan makanan dari dalam tanah, dan anggur yang menyukakan hati manusia, dan minyak yang membuat muka berseri, dan roti yang menyokong jiwa manusia.” Di sini, kita melihat Allah sebagai sumber segala kebutuhan fisik, termasuk “roti” yang mencerminkan permohonan dalam Doa Bapa Kami.

Menurut D.A. Carson, Mazmur 104 menegaskan bahwa “Allah bukan dewa yang jauh, tetapi Pencipta yang terus-menerus terlibat dalam memelihara ciptaan-Nya dengan kasih dan kuasa” (dalam The Expositor’s Bible Commentary). Carson menekankan bahwa mazmur ini mengajarkan ketergantungan total pada Allah untuk kebutuhan sehari-hari, sekaligus mengundang kita untuk memuji-Nya atas kemurahan-Nya. John Piper, dalam khotbahnya tentang mazmur ini, mengatakan bahwa Mazmur 104 mengingatkan kita bahwa “segala sesuatu yang kita miliki—dari udara yang kita hirup hingga makanan yang kita makan—adalah anugerah dari Allah, yang diberikan untuk membawa kita kembali kepada-Nya dalam ucapan syukur dan penyembahan” (Desiring God).

Mazmur 104 juga menyinggung ritme alam yang diatur Allah (ayat 19-23), yang mendukung pernyataan dalam tulisan di atas bahwa Allah “memelihara fungsi ritmis alam sehingga setiap tahun ada musim tanam, panen, dan makanan di toko-toko.” Craig Keener mencatat bahwa mazmur ini mencerminkan teologi penciptaan yang kaya, di mana Allah tidak hanya menciptakan tetapi juga “mengatur harmoni alam untuk kebaikan makhluk-Nya” (The IVP Bible Background Commentary). Ini selaras dengan permohonan “berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya,” yang mengakui bahwa Allah adalah penyedia utama dari semua kebutuhan sehari-hari kita.

Dari perspektif Bapak Gereja, Augustinus menulis dalam Komentar atas Mazmur bahwa Mazmur 104 mengajarkan kita untuk melihat ciptaan sebagai “cerminan kemuliaan Allah,” di mana setiap kebutuhan yang dipenuhi adalah kesempatan untuk bersyukur. Yohanes Krisostomus menambahkan bahwa mazmur ini mengingatkan kita bahwa “Allah tidak hanya memberi kita apa yang kita butuhkan, tetapi Dia melakukannya dengan cara yang memperlihatkan kebaikan-Nya yang berlimpah” (Homili atas Mazmur).

Matius 6:19-34: Jangan Kuatir, Percaya pada Penyediaan Allah
Matius 6:19-34, bagian dari Khotbah di Bukit, menangani kecemasan manusia tentang kebutuhan material dan menegaskan prioritas mencari Kerajaan Allah. Yesus mengajarkan untuk tidak menimbun harta di bumi (ayat 19-21) dan untuk tidak kuatir tentang makanan, minuman, atau pakaian (ayat 25-32), karena Bapa di sorga mengetahui kebutuhan kita. Ayat 33 yang mengatakan, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu,” adalah inti dari pengajaran ini, yang langsung berkaitan dengan permohonan untuk roti sehari-hari dalam Doa Bapa Kami.

Tim Keller dalam The Songs of Jesus menjelaskan bahwa Matius 6:25-34 adalah panggilan untuk mempercayakan kebutuhan kita kepada Allah, bukan karena kebutuhan itu tidak penting, tetapi karena Allah jauh lebih besar daripada kekuatiran kita. Keller menulis, “Yesus tidak mengatakan bahwa kebutuhan material tidak penting, tetapi Dia mengatakan bahwa kepercayaan kepada Allah membebaskan kita dari kecemasan yang menghancurkan.” R.C. Sproul menambahkan bahwa ayat ini menunjukkan “hierarki prioritas rohani”: dengan mencari Allah terlebih dahulu, kita menempatkan kebutuhan kita dalam perspektif yang benar, mempercayai bahwa Allah akan menyediakan (The Reformation Study Bible).

J.I. Packer dalam Knowing God menegaskan bahwa Matius 6:33 adalah “undangan untuk hidup dalam iman yang sederhana dan penuh syukur,” di mana kita belajar untuk menerima apa yang Allah berikan sebagai cukup, bahkan ketika itu berbeda dari harapan kita. Ini mencerminkan poin dalam tulisan di atas bahwa kita harus siap menerima tanggapan providensial Allah, yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang kita minta, sebagai pelajaran bahwa kita tidak benar-benar membutuhkan apa yang kita pikir kita butuhkan.

Basilius Agung dalam Homili tentang Kekayaan menekankan bahwa Matius 6:19-34 mengajarkan kita untuk tidak terikat pada harta duniawi, tetapi untuk mempercayakan hidup kita kepada Allah, yang “memberi makan burung-burung di udara dan melengkapi bunga-bunga di padang.” Gregorius dari Nyssa menambahkan bahwa pengajaran Yesus di sini adalah tentang “kebebasan dari ketakutan material, yang hanya dapat dicapai melalui iman kepada Bapa yang penuh kasih” (Khotbah tentang Khotbah di Bukit).

Baik Mazmur 104 maupun Matius 6:19-34 memberikan penguatan gagasan bahwa permohonan untuk roti sehari-hari atau makanan yang secukupnya dalam Doa Bapa Kami bukanlah doa yang rendah, melainkan pengakuan mendalam akan ketergantungan kita pada Allah. Mazmur 104 menunjukkan Allah sebagai Penyedia yang setia bagi seluruh ciptaan, sementara Matius 6:19-34 mengajarkan kita untuk mempercayai penyediaan-Nya tanpa kecemasan. Bersama-sama, mereka membentuk teologi ketergantungan yang seimbang: kita mengakui kebutuhan fisik kita, tetapi kita melakukannya dengan iman, mengetahui bahwa Allah peduli pada setiap aspek kehidupan kita.

Seperti yang dikatakan John Piper, “Doa untuk roti sehari-hari adalah pengakuan bahwa kita adalah makhluk yang bergantung, dan Allah adalah Pencipta yang murah hati yang menyenangkan dalam memenuhi kebutuhan anak-anak-Nya” (A Hunger for God). Craig Keener menambahkan bahwa doa ini adalah “tindakan kerendahan hati rohani, yang menghubungkan kita dengan realitas kebutuhan kita dan kasih Allah yang tak pernah gagal” (Matthew: A Commentary).

Permohonan untuk makanan yang secukupnya dalam Doa Bapa Kami, sebagaimana diterangi oleh Mazmur 104 dan Matius 6:19-34, adalah undangan untuk hidup dalam ketergantungan penuh pada Allah, dengan iman dan syukur. Mazmur 104 mengingatkan kita akan kemurahan Allah dalam memelihara ciptaan, sementara Matius 6:19-34 menantang kita untuk melepaskan kekuatiran dan mempercayai penyediaan-Nya. Seperti yang ditegaskan oleh Augustinus, “Dalam meminta roti kita sehari-hari, kita tidak hanya meminta makanan, tetapi juga meminta iman untuk percaya bahwa Allah cukup bagi kita” (Khotbah tentang Doa Tuhan). Dengan demikian, doa ini menjadi jembatan antara kebutuhan fisik dan rohani kita, mengarahkan kita kepada Allah sebagai sumber segala sesuatu.

08 July 2025

DOA BAPA KAMI: DATANGLAH KERAJAANMU, JADILAH KEHENDAKMU, DI BUMI SEPERTI DI SURGA (III)

 Datanglah Kerajaan-Mu: Kerinduan Akan Pemerintahan Kasih Karunia

Seluruh Alkitab mengakui bahwa Tuhan adalah Raja—Dia berdaulat penuh atas ciptaan-Nya. Namun, penting untuk membedakan antara kedaulatan Allah dan kerajaan-Nya. Kedaulatan adalah aspek penciptaan—bahwa segala sesuatu tunduk kepada-Nya oleh karena Dia adalah Sang Pencipta—sering disebut sebagai providensia. Sementara itu, kerajaan-Nya adalah realitas penebusan, yakni pemerintahan kasih karunia dalam hati dan hidup umat yang diselamatkan.

Seperti yang dikatakan oleh teolog Abraham Kuyper, “Tidak ada satu inci pun dari seluruh wilayah keberadaan kita yang tidak diproklamasikan Kristus sebagai milik-Nya.” Namun, meski seluruh bumi tunduk pada providensia Allah, tidak semua orang hidup dalam kerajaan kasih karunia-Nya. Ini menjelaskan mengapa dalam Doa Bapa Kami, Yesus mengajar kita berdoa: "Datanglah Kerajaan-Mu"—bukan karena kerajaan belum ada, tetapi karena realitas penebusannya belum digenapi sepenuhnya dalam diri setiap orang dan di seluruh bumi.

Agustinus dari Hippo menulis dalam The City of God, “Dua kerajaan ada di dunia ini: satu dari manusia yang hidup menurut daging, dan satu dari manusia yang hidup menurut Roh. Kerajaan Allah adalah kota Allah, yang ditandai oleh cinta kepada Allah hingga pengabaian terhadap diri sendiri.” Dengan kata lain, kerajaan Allah adalah pemerintahan kasih yang mengubah natur manusia dari cinta diri menjadi cinta kepada Tuhan.

Kedaulatan dan Penebusan: Dua Wajah Pemerintahan Ilahi

Dalam Perjanjian Lama dan Baru, kata kerajaan merujuk baik pada kedaulatan universal Allah maupun relasi penebusan-Nya dengan umat-Nya. Dalam konteks Doa Bapa Kami, permohonan "Kerajaan-Mu datanglah" adalah seruan agar pemerintahan kasih karunia Allah dinyatakan lebih luas dan dalam dalam kehidupan umat manusia. Sebaliknya, pernyataan "Milik-Mulah Kerajaan" mengafirmasi kedaulatan universal-Nya atas segala ciptaan.

Kisah Yusuf menjadi contoh kuat: meskipun ia dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya, Allah menyatakan kedaulatan-Nya di balik tindakan jahat itu, sehingga Yusuf dapat berkata: "Kamu memang telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan..." (Kej. 50:20). Demikian pula, dalam peristiwa salib, Allah memakai kejahatan manusia untuk menggenapi maksud penebusan-Nya (Kis. 2:23).

Namun, seperti dikatakan oleh D.A. Carson, “Kerajaan Allah tidak hanya berkaitan dengan kuasa, tetapi dengan kuasa dalam belas kasih.” Kerajaan ini tidak semata menaklukkan, tetapi mengundang pertobatan dan kesediaan untuk ditaklukkan oleh kasih dan kebenaran.

John Calvin menulis, “Kerajaan Allah adalah pemerintahan rohani yang menyatakan dirinya di dalam kita oleh kekuatan Roh dan Firman, untuk menjadikan kita suci dan tak bercela.” (Institutes, III.20.42). Maka, permohonan akan kerajaan-Nya adalah permohonan agar Allah berkuasa secara aktif dalam hidup kita melalui Firman dan Roh Kudus.

Yesus dan Pemerintahan-Nya: Raja yang Merangkul dan Menyelamatkan

Kerajaan Allah bukanlah wilayah geografis, tetapi relasi yang hidup dan dinamis antara Raja dan umat-Nya. Di mana Yesus dimuliakan sebagai Tuhan, di situlah kerajaan itu hadir. Ketika Yesus memberitakan bahwa “Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk. 1:15), Ia mengundang manusia untuk masuk ke dalam keselamatan melalui iman dan ketaatan sebagai murid.

Masuk ke dalam kerajaan berarti menjadi milik Kristus—memberi diri dibentuk oleh-Nya, menerima pengampunan-Nya, dan hidup dalam kasih kepada-Nya yang melampaui segala hal lain. Dalam bahasa Paulus: iman yang bekerja oleh kasih (Gal. 5:6). Ini bukan hanya pengakuan lisan, tetapi hidup yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Yesus sebagai Tuhan.

Seperti ditegaskan Dietrich Bonhoeffer dalam The Cost of Discipleship: “Ketika Kristus memanggil seseorang, Ia memanggilnya untuk datang dan mati.” Artinya, mengikuti Raja Yesus berarti bersedia meninggalkan hidup lama dan menerima hidup baru di bawah pemerintahan kasih karunia.

Martin Luther, dalam penjelasan Doa Bapa Kami di Katekismus Kecil, menyatakan bahwa ketika kita berdoa "Datanglah Kerajaan-Mu", kita memohon agar “kerajaan Allah datang kepada kita juga, yaitu bahwa Bapa Surgawi memberi kita Roh Kudus agar melalui anugerah-Nya kita percaya pada Firman-Nya dan hidup kudus di dunia ini dan dalam kekekalan.” Maka, kerajaan Allah dimulai dalam hati yang dihidupkan oleh Roh dan Firman.

Kerajaan yang Hadir dan Akan Datang

Kerajaan Allah telah hadir dalam pribadi Yesus Kristus. Sebagai Putra Allah, Ia adalah manifestasi kerajaan itu secara pribadi. Namun, kerajaan itu juga belum datang dalam kepenuhannya. Ada dimensi sudah dan belum dari kerajaan ini—kita hidup di antara kedatangan pertama dan kedua Kristus. Itulah sebabnya kita terus berdoa, “Datanglah Kerajaan-Mu.”

N.T. Wright menyatakan bahwa “Kerajaan Allah adalah realitas yang sedang berkembang di tengah dunia ini, tetapi akan mencapai puncaknya saat Kristus datang kembali.” Maka, setiap pembaruan gereja, pertobatan seorang berdosa, atau tindakan kasih dalam nama Kristus adalah bentuk jawaban awal atas doa itu.

Agustinus juga menulis, “Sepanjang hidup ini, Gereja merindukan kedatangan penuh kerajaan Allah, yang sekarang telah dimulai dalam diri umat kudus.” (Enchiridion, bab 56). Maka, Gereja hidup dengan ketegangan suci: sudah mengalami kebenaran kerajaan, namun menanti kemuliaannya yang sempurna.

Doa yang Menantang: Apakah Kita Bersedia Menjadi Jawabannya?

Berdoa “Kerajaan-Mu datanglah” adalah permohonan yang menuntut hati yang rela tunduk dan bertransformasi. Itu adalah komitmen untuk berkata, “Tuhan, mulailah dari saya.” Dengan kata lain, “Jadikan saya alat dalam tangan-Mu untuk memperluas pemerintahan kasih karunia-Mu di dunia.”

John Stott pernah menulis, “Kita tidak bisa berdoa ‘Datanglah Kerajaan-Mu’ dan kemudian menjalani hidup seolah-olah kita adalah raja atas kerajaan kita sendiri.” Doa ini menguji kesediaan kita untuk hidup taat, mengangkat salib, dan berpartisipasi dalam misi Allah.

Paulus menyebut rekan-rekan pelayan Injil sebagai “pekerja bagi Kerajaan Allah” (Kol. 4:11). Maka, berdoa seperti ini berarti membuka diri untuk dipakai oleh Tuhan—dalam pekerjaan, keluarga, gereja, dan masyarakat—untuk menjadi duta kerajaan-Nya.

 “Kerajaan-Mu datanglah” bukan sekadar harapan bagi masa depan, melainkan seruan agar kasih karunia Allah membentuk hari ini—dimulai dari hati kita, menyebar melalui hidup kita, dan digenapi kelak saat Sang Raja kembali. Hendaknya kita mengucapkannya bukan hanya dengan mulut, tetapi dengan hidup yang ditundukkan kepada Kristus, Sang Raja yang murah hati dan adil.


Jadilah Kehendak-Mu: Doa Penyerahan yang Mengubahkan

Setiap kata dalam Doa Bapa Kami mencerminkan visi Yesus tentang bagaimana hidup kita seharusnya—sebuah respons menyeluruh terhadap kasih Bapa di surga. Doa ini bukan sekadar pengucapan kata-kata religius, melainkan pengundangan kuasa surgawi ke dalam kehidupan kita. Ketika kita berdoa, “Kehendak-Mu jadilah,” kita sedang menyatakan kerinduan terdalam agar hidup ini tidak lagi dikendalikan oleh keinginan pribadi, tetapi oleh kehendak Allah yang kudus dan sempurna.

Agustinus pernah berkata, “Doa adalah latihan dalam hasrat, bukan dalam kata-kata.” Maka, kata-kata “Kehendak-Mu jadilah” bukanlah mantra, melainkan ekspresi dari hasrat rohani yang telah diubah oleh kasih karunia.

Doa ini menunjukkan bahwa tujuan utama doa bukanlah memaksa Allah melakukan kehendak kita—yang mirip dengan praktik sihir kuno—melainkan menyelaraskan hati dan kehendak kita dengan kehendak-Nya. Itulah inti dari spiritualitas Kristiani yang sejati.

Bukan Kehendakku, Tetapi Kehendak-Mu

Berdoa “Kehendak-Mu jadilah” adalah latihan dalam menyangkal diri. Ini bukan ungkapan pasrah tanpa pengharapan, tetapi bentuk ketaatan aktif yang menuntut kerendahan hati dan keberanian rohani. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, keinginan kita sering berbenturan dengan kehendak Allah. Namun, kita dipanggil untuk terus berkata seperti Yesus: “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi” (Mat. 26:39).

Martin Luther, dalam Katekismus Kecil, menjelaskan: “Biarlah kehendak-Mu terjadi, ya Bapa, bukan kehendak iblis atau mereka yang akan menggagalkan firman-Mu yang kudus… berikanlah agar segala yang harus kami tanggung demi firman-Mu dapat kami terima dengan sabar.” Dalam terang ini, kehendak Allah bukan hanya rencana besar-Nya atas dunia, tetapi juga perjuangan sehari-hari orang percaya untuk tetap setia, bahkan saat dunia memusuhi Injil.

Di taman Getsemani, Yesus—Tuhan yang menjelma menjadi manusia—berdoa dengan air mata dan keringat darah: “Jika cawan ini tidak mungkin lalu daripada-Ku, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu.” (Mat. 26:42). Apa yang Yesus hadapi bukan sekadar penderitaan fisik, tetapi kenyataan rohani yang mengerikan: dipisahkan dari Bapa demi menanggung dosa dunia. Luther menulis, “Tidak pernah ada manusia yang takut akan kematian seperti manusia ini,” karena hanya Kristus yang tahu apa arti sebenarnya menjadi dosa bagi kita.

Menerima dan Melakukan Kehendak Allah

Kata Yunani untuk “jadilah” dalam frasa ini secara harfiah berarti “terjadi,” dan menunjuk pada dua aspek: (1) rencana Allah atas peristiwa hidup, dan (2) perintah-Nya bagi umat-Nya. Maka, ketika kita berdoa, “Kehendak-Mu jadilah,” kita sedang menyerahkan diri baik kepada providensia Allah maupun kepada perintah-Nya. Kita berkata: “Tuhan, aku bersedia menerima apa pun yang Engkau izinkan, dan aku rindu melakukan apa pun yang Engkau kehendaki.”

John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion, menulis bahwa “ketaatan adalah jiwa dari agama.” Dengan kata lain, kita tidak mengenal Allah dengan benar jika tidak bersedia mengikuti-Nya dengan taat. Doa ini membentuk karakter kita, bukan hanya situasi kita.

Berdoa seperti ini tidak mudah. Tapi seperti kata Agustinus, “Perintahkan apa yang Engkau kehendaki, dan berikanlah apa yang Engkau perintahkan.” Artinya, kita menyadari bahwa bahkan kemampuan untuk menaati kehendak Allah berasal dari kasih karunia-Nya semata.

Menemukan dan Mengikuti Kehendak Allah

Bagaimana kita mengetahui kehendak Allah? Pertama, melalui Firman-Nya—Alkitab adalah wahyu kehendak Allah yang tertulis. Kedua, melalui bimbingan Roh Kudus dalam hati nurani yang ditebus. Ketiga, melalui nasihat orang percaya lain dan situasi kehidupan yang Allah izinkan terjadi.

Yesus berkata, “Jika seseorang berkehendak untuk melakukan kehendak Allah, ia akan tahu...” (Yoh. 7:17). Sikap hati yang bersedia tunduk akan menerima terang dan kejelasan dalam waktu Tuhan. Dan seperti janji Yesaya: “Telingamu akan mendengar suara di belakangmu berkata: ‘Inilah jalan, berjalanlah di dalamnya’” (Yes. 30:21).

Ketika ragu, kita bisa menunggu. Namun jika harus bertindak, lakukanlah yang terbaik menurut penilaian yang saleh, dan percayalah bahwa Allah akan menuntun dan menegur bila perlu. Ignatius dari Loyola menambahkan satu prinsip bijak: “Saat dalam kegelapan, jangan ubah keputusan yang dibuat dalam terang.”

Perjanjian Penyerahan: Milik-Mu, Tuhan

Pada akhirnya, doa “Kehendak-Mu jadilah” adalah sebuah perjanjian rohani. Sebuah sumpah bahwa hidup ini bukan milik kita lagi, melainkan milik Allah sepenuhnya. Liturgi Perjanjian Gereja Methodis menyatakan dengan indah:

“Kami dengan sukacita menerima kuk ketaatan, dan mengikat diri kami, karena kasih kepada-Mu, untuk mencari dan melakukan kehendak-Mu yang sempurna.”

Kata-kata ini, diadaptasi oleh John Wesley dari doa Richard Alleine, merangkum isi hati orang percaya yang menyerahkan diri:

“Saya bukan lagi milik saya sendiri, tetapi milik-Mu. Taruh saya di mana Engkau kehendaki... untuk dipekerjakan atau disisihkan bagi-Mu, ditinggikan atau direndahkan... biarkan saya memiliki segalanya atau tidak memiliki apa pun...”

Ini bukan sekadar syair. Ini adalah doa yang mengubah arah hidup seseorang. Jika didoakan dengan jujur, kalimat ini bisa menjadi fondasi dari panggilan hidup, pengabdian pelayanan, bahkan pengorbanan sejati.

Berdoa “Kehendak-Mu jadilah” menuntut lebih dari sekadar mulut yang mengucapkan kata-kata—ia membutuhkan hati yang rela dibentuk, kehendak yang berserah, dan hidup yang siap diatur oleh Allah. Ini adalah doa yang membawa kita ke dalam inti dari pengikutan Kristus: “Barangsiapa mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.”

Doa ini adalah titik temu antara langit dan bumi: kehendak Allah di surga mulai dijalankan di bumi—melalui hidup kita yang mau taat. Dan di sanalah, kita sungguh-sungguh menjadi anak-anak Allah, hamba yang setia, dan saksi kerajaan-Nya.

Di Bumi Seperti di Surga

Doa Bapa Kami diikat oleh tiga pilar doktrinal yang saling berkaitan: Allah adalah Bapa umat Kristen, Dia bersemayam di surga, dan kehendak-Nya terlaksana dengan sempurna di sana. Kebenaran pertama menggemakan kasih penebusan Allah melalui salib Kristus, yang mengangkat kita sebagai anak-anak-Nya (Yoh. 1:12). Dua kebenaran berikutnya menegaskan kedaulatan dan kuasa-Nya yang tak terbatas, menjamin bahwa rencana-Nya tak pernah gagal. Bersama-sama, ketiga kebenaran ini menyingkapkan harapan Kristen: Bapa kita telah berjanji untuk mengasihi kita hingga kekekalan, dan kuasa-Nya memastikan janji itu terpenuhi. John Calvin menegaskan, 

“Dengan menyebut Allah sebagai Bapa di surga, kita diingatkan akan kasih-Nya yang penuh rahmat sekaligus kuasa-Nya yang tak terbatas, yang menjamin bahwa kehendak-Nya selalu terlaksana” (Institutes of the Christian Religion).

Konsep “surga” dalam Doa Bapa Kami bukan sekadar lokasi kosmik, melainkan realitas kehadiran Allah yang transenden, bebas dari keterbatasan ruang-waktu yang mengikat ciptaan. Di surga, kehendak Allah terlaksana dengan sempurna, tidak hanya karena kedaulatan-Nya, tetapi juga melalui ketaatan penuh sukacita dari komunitas makhluk cerdas—malaikat dan orang-orang kudus—yang hidup dalam persekutuan erat dengan-Nya. Ibrani 12:22-24 memperjelas visi ini, menggambarkan surga sebagai “kota Allah yang hidup, Yerusalem surgawi,” tempat “malaikat-malaikat yang tak terhitung banyaknya” dan “roh-roh orang benar yang telah disempurnakan” berkumpul dalam ibadah yang harmonis. Teks ini menempatkan kita di hadapan realitas eskatologis: surga adalah persekutuan yang sempurna, di mana kehendak Allah bukan sekadar perintah, tetapi sukacita kolektif yang mengalir dari hubungan dengan Kristus, “Pengantara perjanjian baru” (Ibr. 12:24). Tim Keller menulis, 

“Surga adalah tempat di mana kehendak Allah menjadi sukacita penuh bagi semua yang ada di dalamnya, sebuah komunitas yang dipersatukan oleh kasih Kristus” (Prayer: Experiencing Awe and Intimacy with God).

Ketika Yesus mengajarkan kita berdoa “Kehendak-Mu jadilah di bumi seperti di surga,” Dia menanamkan dua tujuan teologis yang mendalam. Pertama, Dia membangkitkan harapan. Dunia ini, dengan kekacauan dan pemberontakannya, seolah mengejek permohonan ini. Namun, Ibrani 12 mengingatkan kita bahwa Allah telah menetapkan realitas surgawi di mana kehendak-Nya berkuasa sepenuhnya, memberikan jaminan bahwa Dia mampu menciptakan tatanan serupa di bumi. Pertanyaan retoris dalam Kejadian 18:14, “Adakah sesuatu yang terlalu sulit bagi Tuhan?” bergema di sini, mendorong kita untuk percaya bahwa Allah dapat mengubah dunia melalui kasih karunia-Nya. Kedua, Yesus mengundang kita untuk memuji. Di tengah permohonan yang melelahkan, Dia menyisipkan momen pujian—“di surga, kehendak-Mu terlaksana, ya Bapa!”—yang menyegarkan jiwa kita. Charles Spurgeon menegaskan, 

“Pujian adalah napas doa; ketika kita memuji Allah atas kedaulatan-Nya, kita menemukan kekuatan baru untuk memohon dengan iman” (Sermons on the Lord’s Prayer). Ibrani 12:28 menegaskan panggilan ini, mengajak kita untuk “mengucap syukur” dan “beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya,” karena kita telah menerima “kerajaan yang tidak dapat digoncangkan.”

 Dengan demikian, doa ini bukan hanya permohonan, tetapi juga pujian yang mengokohkan iman kita.

Permohonan ini menantang kita untuk merenungkan implikasi praktisnya. Jika kehendak Allah di surga adalah sukacita ketaatan yang penuh kasih, maka berdoa “seperti di surga” berarti kita memohon transformasi batin agar hidup kita mencerminkan ketaatan serupa di bumi. Ibrani 12:1-2 mengingatkan kita untuk “menanggalkan semua beban dan dosa” dan “berlari dengan tekun dalam perlombaan,” dengan memandang kepada Yesus, “yang memimpin kita dalam iman dan yang menyempurnakannya.” Doa ini, seperti yang digambarkan dalam Ibrani, bukanlah pelarian dari dunia, tetapi panggilan untuk hidup dalam disiplin ilahi, menyerahkan diri kepada kehendak Allah meski kadang itu menyakitkan (Ibr. 12:11). C.S. Lewis menulis, 

“Surga bukanlah mimpi kosong, tetapi realitas di mana kehendak Allah menjadi sukacita terbesar; doa kita adalah agar bumi mulai mencerminkan kemuliaan itu” (Letters to Malcolm: Chiefly on Prayer).