Laman

10 July 2025

DOA BAPA KAMI: Ampunilah Kesalahan Kami (V)

 

Inti kehidupan Kristen terletak pada pengampunan. Doktrin pembenaran oleh iman menegaskan bahwa tanpa pengorbanan Kristus yang menanggung hukuman dosa-dosa kita, kita tidak akan memiliki kehidupan atau harapan di hadapan Allah (Rm. 5:1). Namun, bahkan sebagai orang percaya, kita tetap jatuh dalam dosa setiap hari, sehingga pengampunan menjadi kebutuhan harian. Dalam Doa Bapa Kami, Yesus dengan sengaja menempatkan permohonan untuk pengampunan (Mat. 6:12) di antara doa untuk kebutuhan jasmani dan perlindungan rohani, menegaskan urgensinya bagi kita. Permohonan ini tidak mencerminkan doa Yesus sendiri, karena Ia tanpa dosa (Yoh. 8:46); ini ada untuk kita, anak-anak Allah yang masih bergumul dengan kelemahan. John Calvin menulis,

“Dalam doa ini, kita diajak untuk mengakui kerapuhan kita sebagai orang berdosa, namun juga untuk berlindung pada kasih karunia Allah yang tak pernah habis” (Commentary on a Harmony of the Evangelists).

Dosa sebagai Utang
Yesus menggambarkan dosa sebagai “utang” (Mat. 6:12), sebuah metafora yang kaya akan makna teologis. Kita berutang kepada Allah kesetiaan total—kasih yang penuh semangat kepada-Nya dan sesama, setiap saat, mengikuti teladan Yesus. Dosa, dalam perspektif ini, adalah kegagalan kita untuk “membayar” utang tersebut, terutama melalui kelalaian dalam melakukan kebaikan yang seharusnya kita lakukan. Mazmur 51, doa pertobatan Daud setelah dosanya dengan Batsyeba, menangkap realitas ini dengan mendalam. Daud berseru, “Kepada-Mu, ya Tuhan, aku telah berdosa… bersihkanlah aku dari pada kesalahanku” (Mzm. 51:2-4). Ia mengakui dosa bukan hanya sebagai pelanggaran hukum, tetapi sebagai pengkhianatan pribadi terhadap Allah yang setia. Teks ini menegaskan bahwa dosa adalah pelanggaran relasional, sebuah “utang” yang merusak hubungan kita dengan Allah. Tim Keller menjelaskan,

“Mazmur 51 mengajarkan bahwa dosa adalah kegagalan untuk mencerminkan kemuliaan Allah; pertobatan adalah pengakuan rendah hati bahwa kita berutang segalanya kepada-Nya, namun hanya kasih karunia-Nya yang dapat memulihkan kita” (The Songs of Jesus).

Dosa sebagai kelalaian lebih mendasar daripada pelanggaran aktif. Dalam Book of Common Prayer edisi 1662 dari gereja Anglikan dengan tepat mengakui dosa kelalaian—“kami telah meninggalkan apa yang seharusnya kami lakukan”—sebagai prioritas dalam pengakuan dosa. Ketika Uskup Agung Ussher, di ambang kematian, berdoa, “Tuhan, ampunilah terutama dosa-dosa kelalaianku,” ia menunjukkan pemahaman yang tajam tentang realitas rohani ini. Pemeriksaan diri yang jujur selalu akan mengungkap bahwa dosa terberat kita sering kali adalah kebaikan yang kita abaikan—kasih yang tidak kita wujudkan, pelayanan yang kita hindari, atau kesempatan untuk memuliakan Allah yang kita sia-siakan.

Anak-anak yang Berdosa
Sebuah pertanyaan teologis muncul: Jika kematian Kristus telah menebus semua dosa—masa lalu, kini, dan masa depan (Ibr. 10:12-14)—dan pembenaran kita kekal, mengapa kita perlu meminta pengampunan setiap hari? Jawabannya terletak pada perbedaan antara Allah sebagai Hakim dan sebagai Bapa, serta antara status kita sebagai orang berdosa yang dibenarkan dan anak-anak yang diangkat. Doa Bapa Kami adalah doa keluarga, di mana anak-anak Allah berbicara kepada Bapa mereka. Meskipun dosa-dosa harian kita tidak membatalkan pembenaran kita, hubungan kita dengan Bapa akan terganggu hingga kita, seperti anak yang hilang, kembali dengan mengatakan, “Maaf,” dan memohon pengampunan atas cara kita mengecewakan-Nya. Mazmur 51:17 menegaskan bahwa “persembahan kepada Allah ialah jiwa yang patah; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.” Pertobatan Daud menggambarkan kerendahan hati yang dibutuhkan untuk memulihkan persekutuan dengan Allah, bukan sekadar status hukum kita. J.I. Packer menegaskan,

“Sebagai anak-anak Allah, kita tidak meminta pengampunan untuk memperoleh keselamatan, tetapi untuk memelihara hubungan intim dengan Bapa yang telah mengadopsi kita” (Praying the Lord’s Prayer).

Pemeriksaan diri adalah disiplin yang tak terhindarkan bagi orang Kristen. Tanpa itu, doa kita bisa menjadi kosong, seperti doa orang Farisi dalam Lukas 18:9-14. Kaum Puritan menghargai khotbah yang “membongkar” hati nurani, dan kebutuhan akan pengajaran semacam itu tetap relevan hari ini. Allah, sebagai Bapa yang kudus, tidak mengabaikan kegagalan anak-anak-Nya, sebagaimana orang tua manusia sering kali (dan dengan tidak bijaksana) lakukan. Mazmur 51:10-12 mengungkapkan kerinduan Daud akan pembaruan batin—“jadikanlah hatiku tahir… janganlah mengambil Roh Kudus-Mu dari padaku”—menunjukkan bahwa pemeriksaan diri harus diikuti oleh pertobatan aktif dan ketergantungan pada Roh Allah. Charles Spurgeon menulis,

“Mazmur 51 adalah cermin jiwa Kristen; ia menunjukkan noda dosa kita, namun juga menawarkan air pembersih kasih karunia Allah” (The Treasury of David).

Dosa orang Kristen sangat menyinggung justru karena kita memiliki alasan terbesar—kasih Allah dalam Kristus—dan sumber daya terbesar—Roh Kudus yang tinggal di dalam kita—untuk hidup kudus. Mereka yang menganggap pembenaran membebaskan mereka dari kewajiban menaati hukum Allah telah salah memahami Injil (Rm. 6:1-2). Hosea 1–3 menggambarkan kedalaman luka Allah ketika umat-Nya tidak setia, serupa dengan kesedihan seorang suami terhadap istri yang berzinah. Tuhan menghendaki kekudusan kita (1 Tes. 4:3), dan kegagalan kita untuk mengejarnya adalah pengkhianatan terhadap kasih-Nya. Dietrich Bonhoeffer menegaskan, “Kasih karunia yang murah tidak membebaskan kita dari tanggung jawab untuk hidup kudus; sebaliknya, itu menuntut kita untuk menyangkal diri dan mengikuti Kristus” (The Cost of Discipleship).

Hanya yang Mengampuni yang akan Diampuni

Yesus menegaskan bahwa mereka yang mengharapkan pengampunan Allah harus dapat berkata bahwa mereka juga telah mengampuni orang lain yang berutang kepada mereka (Mat. 6:12). Ini bukan soal memperoleh pengampunan melalui perbuatan, tetapi soal kualifikasi melalui pertobatan. Pertobatan—perubahan pikiran—menempatkan kemurahan dan pengampunan sebagai pusat gaya hidup baru kita. Matius 18:23-35, perumpamaan tentang hamba yang tidak berbelas kasihan, mengilustrasikan kebenaran ini dengan tajam. Dalam perumpamaan tersebut, seorang hamba yang diampuni utang besar oleh rajanya menolak mengampuni utang kecil dari sesama hambanya. Akibatnya, pengampunan yang telah diberikan kepadanya dicabut (Mat. 18:34-35). Yesus menegaskan, “Demikian juga Bapaku yang di sorga akan berbuat kepadamu, jika kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu” (Mat. 18:35). Perumpamaan ini bukanlah penyangkalan pembenaran oleh iman, melainkan penegasan bahwa iman sejati menghasilkan buah pertobatan, termasuk sikap memaafkan. Orang yang hidup dari pengampunan Allah harus mencerminkan pengampunan itu; jika tidak, mereka menunjukkan kemunafikan. John Stott menulis,

“Perumpamaan ini mengingatkan kita bahwa pengampunan yang kita terima dari Allah menuntut kita untuk mengampuni orang lain; menolak mengampuni adalah menolak kasih karunia yang telah menyelamatkan kita” (The Message of the Sermon on the Mount).

Matius 18:23-35 menekankan kontras antara utang kita yang tak terbayar kepada Allah dan utang kecil yang orang lain miliki terhadap kita. Pengampunan Allah terhadap kita adalah tindakan kasih karunia yang luar biasa, menghapus utang yang tak mungkin kita lunasi. Sebaliknya, ketidakmampuan kita untuk mengampuni orang lain mengungkapkan hati yang belum sepenuhnya dipahami oleh kasih karunia itu. Doa Bapa Kami, dengan frasa “seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami,” mengikat pengampunan yang kita terima dengan pengampunan yang kita berikan. Ini bukan syarat legalistik, tetapi bukti teologis bahwa iman sejati menghasilkan perubahan hidup. C.S. Lewis menegaskan, 

“Mengampuni bukanlah soal menghapus rasa sakit, tetapi soal melepaskan kebencian agar kasih Allah mengalir melalui kita” (Letters to Malcolm: Chiefly on Prayer).

Permohonan ini menantang kita untuk memeriksa hati kita. Bisakah kita dengan tulus mengucapkan Doa Bapa Kami, mengakui pengampunan Allah sambil memegang dendam terhadap orang lain? Baris-baris berikut, yang diadaptasi dari himne karya Rosamond Eleanor Herklots, menangkap pergumulan ini:

Ampunkanlah dosa-dosa kami sebagaimana kami mengampuni,” Engkau ajarkan, ya Tuhan, untuk kami doakan;Namun hanya Engkau yang dapat memberikan kasih karunia agar kami hidup sesuai kata-kata itu. Bagaimana pengampunan-Mu dapat menjangkau hati yang tak memaafkan, Yang memendam luka dan tak melepaskan kepahitan lama?

Doa ini adalah seruan agar Allah “membersihkan kedalaman jiwa kami” dan menghapus kebencian, sehingga hidup kita menyebarkan damai-Nya.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.