Laman

08 July 2025

DOA BAPA KAMI: DATANGLAH KERAJAANMU, JADILAH KEHENDAKMU, DI BUMI SEPERTI DI SURGA (III)

 Datanglah Kerajaan-Mu: Kerinduan Akan Pemerintahan Kasih Karunia

Seluruh Alkitab mengakui bahwa Tuhan adalah Raja—Dia berdaulat penuh atas ciptaan-Nya. Namun, penting untuk membedakan antara kedaulatan Allah dan kerajaan-Nya. Kedaulatan adalah aspek penciptaan—bahwa segala sesuatu tunduk kepada-Nya oleh karena Dia adalah Sang Pencipta—sering disebut sebagai providensia. Sementara itu, kerajaan-Nya adalah realitas penebusan, yakni pemerintahan kasih karunia dalam hati dan hidup umat yang diselamatkan.

Seperti yang dikatakan oleh teolog Abraham Kuyper, “Tidak ada satu inci pun dari seluruh wilayah keberadaan kita yang tidak diproklamasikan Kristus sebagai milik-Nya.” Namun, meski seluruh bumi tunduk pada providensia Allah, tidak semua orang hidup dalam kerajaan kasih karunia-Nya. Ini menjelaskan mengapa dalam Doa Bapa Kami, Yesus mengajar kita berdoa: "Datanglah Kerajaan-Mu"—bukan karena kerajaan belum ada, tetapi karena realitas penebusannya belum digenapi sepenuhnya dalam diri setiap orang dan di seluruh bumi.

Agustinus dari Hippo menulis dalam The City of God, “Dua kerajaan ada di dunia ini: satu dari manusia yang hidup menurut daging, dan satu dari manusia yang hidup menurut Roh. Kerajaan Allah adalah kota Allah, yang ditandai oleh cinta kepada Allah hingga pengabaian terhadap diri sendiri.” Dengan kata lain, kerajaan Allah adalah pemerintahan kasih yang mengubah natur manusia dari cinta diri menjadi cinta kepada Tuhan.

Kedaulatan dan Penebusan: Dua Wajah Pemerintahan Ilahi

Dalam Perjanjian Lama dan Baru, kata kerajaan merujuk baik pada kedaulatan universal Allah maupun relasi penebusan-Nya dengan umat-Nya. Dalam konteks Doa Bapa Kami, permohonan "Kerajaan-Mu datanglah" adalah seruan agar pemerintahan kasih karunia Allah dinyatakan lebih luas dan dalam dalam kehidupan umat manusia. Sebaliknya, pernyataan "Milik-Mulah Kerajaan" mengafirmasi kedaulatan universal-Nya atas segala ciptaan.

Kisah Yusuf menjadi contoh kuat: meskipun ia dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya, Allah menyatakan kedaulatan-Nya di balik tindakan jahat itu, sehingga Yusuf dapat berkata: "Kamu memang telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan..." (Kej. 50:20). Demikian pula, dalam peristiwa salib, Allah memakai kejahatan manusia untuk menggenapi maksud penebusan-Nya (Kis. 2:23).

Namun, seperti dikatakan oleh D.A. Carson, “Kerajaan Allah tidak hanya berkaitan dengan kuasa, tetapi dengan kuasa dalam belas kasih.” Kerajaan ini tidak semata menaklukkan, tetapi mengundang pertobatan dan kesediaan untuk ditaklukkan oleh kasih dan kebenaran.

John Calvin menulis, “Kerajaan Allah adalah pemerintahan rohani yang menyatakan dirinya di dalam kita oleh kekuatan Roh dan Firman, untuk menjadikan kita suci dan tak bercela.” (Institutes, III.20.42). Maka, permohonan akan kerajaan-Nya adalah permohonan agar Allah berkuasa secara aktif dalam hidup kita melalui Firman dan Roh Kudus.

Yesus dan Pemerintahan-Nya: Raja yang Merangkul dan Menyelamatkan

Kerajaan Allah bukanlah wilayah geografis, tetapi relasi yang hidup dan dinamis antara Raja dan umat-Nya. Di mana Yesus dimuliakan sebagai Tuhan, di situlah kerajaan itu hadir. Ketika Yesus memberitakan bahwa “Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk. 1:15), Ia mengundang manusia untuk masuk ke dalam keselamatan melalui iman dan ketaatan sebagai murid.

Masuk ke dalam kerajaan berarti menjadi milik Kristus—memberi diri dibentuk oleh-Nya, menerima pengampunan-Nya, dan hidup dalam kasih kepada-Nya yang melampaui segala hal lain. Dalam bahasa Paulus: iman yang bekerja oleh kasih (Gal. 5:6). Ini bukan hanya pengakuan lisan, tetapi hidup yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Yesus sebagai Tuhan.

Seperti ditegaskan Dietrich Bonhoeffer dalam The Cost of Discipleship: “Ketika Kristus memanggil seseorang, Ia memanggilnya untuk datang dan mati.” Artinya, mengikuti Raja Yesus berarti bersedia meninggalkan hidup lama dan menerima hidup baru di bawah pemerintahan kasih karunia.

Martin Luther, dalam penjelasan Doa Bapa Kami di Katekismus Kecil, menyatakan bahwa ketika kita berdoa "Datanglah Kerajaan-Mu", kita memohon agar “kerajaan Allah datang kepada kita juga, yaitu bahwa Bapa Surgawi memberi kita Roh Kudus agar melalui anugerah-Nya kita percaya pada Firman-Nya dan hidup kudus di dunia ini dan dalam kekekalan.” Maka, kerajaan Allah dimulai dalam hati yang dihidupkan oleh Roh dan Firman.

Kerajaan yang Hadir dan Akan Datang

Kerajaan Allah telah hadir dalam pribadi Yesus Kristus. Sebagai Putra Allah, Ia adalah manifestasi kerajaan itu secara pribadi. Namun, kerajaan itu juga belum datang dalam kepenuhannya. Ada dimensi sudah dan belum dari kerajaan ini—kita hidup di antara kedatangan pertama dan kedua Kristus. Itulah sebabnya kita terus berdoa, “Datanglah Kerajaan-Mu.”

N.T. Wright menyatakan bahwa “Kerajaan Allah adalah realitas yang sedang berkembang di tengah dunia ini, tetapi akan mencapai puncaknya saat Kristus datang kembali.” Maka, setiap pembaruan gereja, pertobatan seorang berdosa, atau tindakan kasih dalam nama Kristus adalah bentuk jawaban awal atas doa itu.

Agustinus juga menulis, “Sepanjang hidup ini, Gereja merindukan kedatangan penuh kerajaan Allah, yang sekarang telah dimulai dalam diri umat kudus.” (Enchiridion, bab 56). Maka, Gereja hidup dengan ketegangan suci: sudah mengalami kebenaran kerajaan, namun menanti kemuliaannya yang sempurna.

Doa yang Menantang: Apakah Kita Bersedia Menjadi Jawabannya?

Berdoa “Kerajaan-Mu datanglah” adalah permohonan yang menuntut hati yang rela tunduk dan bertransformasi. Itu adalah komitmen untuk berkata, “Tuhan, mulailah dari saya.” Dengan kata lain, “Jadikan saya alat dalam tangan-Mu untuk memperluas pemerintahan kasih karunia-Mu di dunia.”

John Stott pernah menulis, “Kita tidak bisa berdoa ‘Datanglah Kerajaan-Mu’ dan kemudian menjalani hidup seolah-olah kita adalah raja atas kerajaan kita sendiri.” Doa ini menguji kesediaan kita untuk hidup taat, mengangkat salib, dan berpartisipasi dalam misi Allah.

Paulus menyebut rekan-rekan pelayan Injil sebagai “pekerja bagi Kerajaan Allah” (Kol. 4:11). Maka, berdoa seperti ini berarti membuka diri untuk dipakai oleh Tuhan—dalam pekerjaan, keluarga, gereja, dan masyarakat—untuk menjadi duta kerajaan-Nya.

 “Kerajaan-Mu datanglah” bukan sekadar harapan bagi masa depan, melainkan seruan agar kasih karunia Allah membentuk hari ini—dimulai dari hati kita, menyebar melalui hidup kita, dan digenapi kelak saat Sang Raja kembali. Hendaknya kita mengucapkannya bukan hanya dengan mulut, tetapi dengan hidup yang ditundukkan kepada Kristus, Sang Raja yang murah hati dan adil.


Jadilah Kehendak-Mu: Doa Penyerahan yang Mengubahkan

Setiap kata dalam Doa Bapa Kami mencerminkan visi Yesus tentang bagaimana hidup kita seharusnya—sebuah respons menyeluruh terhadap kasih Bapa di surga. Doa ini bukan sekadar pengucapan kata-kata religius, melainkan pengundangan kuasa surgawi ke dalam kehidupan kita. Ketika kita berdoa, “Kehendak-Mu jadilah,” kita sedang menyatakan kerinduan terdalam agar hidup ini tidak lagi dikendalikan oleh keinginan pribadi, tetapi oleh kehendak Allah yang kudus dan sempurna.

Agustinus pernah berkata, “Doa adalah latihan dalam hasrat, bukan dalam kata-kata.” Maka, kata-kata “Kehendak-Mu jadilah” bukanlah mantra, melainkan ekspresi dari hasrat rohani yang telah diubah oleh kasih karunia.

Doa ini menunjukkan bahwa tujuan utama doa bukanlah memaksa Allah melakukan kehendak kita—yang mirip dengan praktik sihir kuno—melainkan menyelaraskan hati dan kehendak kita dengan kehendak-Nya. Itulah inti dari spiritualitas Kristiani yang sejati.

Bukan Kehendakku, Tetapi Kehendak-Mu

Berdoa “Kehendak-Mu jadilah” adalah latihan dalam menyangkal diri. Ini bukan ungkapan pasrah tanpa pengharapan, tetapi bentuk ketaatan aktif yang menuntut kerendahan hati dan keberanian rohani. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, keinginan kita sering berbenturan dengan kehendak Allah. Namun, kita dipanggil untuk terus berkata seperti Yesus: “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu yang jadi” (Mat. 26:39).

Martin Luther, dalam Katekismus Kecil, menjelaskan: “Biarlah kehendak-Mu terjadi, ya Bapa, bukan kehendak iblis atau mereka yang akan menggagalkan firman-Mu yang kudus… berikanlah agar segala yang harus kami tanggung demi firman-Mu dapat kami terima dengan sabar.” Dalam terang ini, kehendak Allah bukan hanya rencana besar-Nya atas dunia, tetapi juga perjuangan sehari-hari orang percaya untuk tetap setia, bahkan saat dunia memusuhi Injil.

Di taman Getsemani, Yesus—Tuhan yang menjelma menjadi manusia—berdoa dengan air mata dan keringat darah: “Jika cawan ini tidak mungkin lalu daripada-Ku, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu.” (Mat. 26:42). Apa yang Yesus hadapi bukan sekadar penderitaan fisik, tetapi kenyataan rohani yang mengerikan: dipisahkan dari Bapa demi menanggung dosa dunia. Luther menulis, “Tidak pernah ada manusia yang takut akan kematian seperti manusia ini,” karena hanya Kristus yang tahu apa arti sebenarnya menjadi dosa bagi kita.

Menerima dan Melakukan Kehendak Allah

Kata Yunani untuk “jadilah” dalam frasa ini secara harfiah berarti “terjadi,” dan menunjuk pada dua aspek: (1) rencana Allah atas peristiwa hidup, dan (2) perintah-Nya bagi umat-Nya. Maka, ketika kita berdoa, “Kehendak-Mu jadilah,” kita sedang menyerahkan diri baik kepada providensia Allah maupun kepada perintah-Nya. Kita berkata: “Tuhan, aku bersedia menerima apa pun yang Engkau izinkan, dan aku rindu melakukan apa pun yang Engkau kehendaki.”

John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion, menulis bahwa “ketaatan adalah jiwa dari agama.” Dengan kata lain, kita tidak mengenal Allah dengan benar jika tidak bersedia mengikuti-Nya dengan taat. Doa ini membentuk karakter kita, bukan hanya situasi kita.

Berdoa seperti ini tidak mudah. Tapi seperti kata Agustinus, “Perintahkan apa yang Engkau kehendaki, dan berikanlah apa yang Engkau perintahkan.” Artinya, kita menyadari bahwa bahkan kemampuan untuk menaati kehendak Allah berasal dari kasih karunia-Nya semata.

Menemukan dan Mengikuti Kehendak Allah

Bagaimana kita mengetahui kehendak Allah? Pertama, melalui Firman-Nya—Alkitab adalah wahyu kehendak Allah yang tertulis. Kedua, melalui bimbingan Roh Kudus dalam hati nurani yang ditebus. Ketiga, melalui nasihat orang percaya lain dan situasi kehidupan yang Allah izinkan terjadi.

Yesus berkata, “Jika seseorang berkehendak untuk melakukan kehendak Allah, ia akan tahu...” (Yoh. 7:17). Sikap hati yang bersedia tunduk akan menerima terang dan kejelasan dalam waktu Tuhan. Dan seperti janji Yesaya: “Telingamu akan mendengar suara di belakangmu berkata: ‘Inilah jalan, berjalanlah di dalamnya’” (Yes. 30:21).

Ketika ragu, kita bisa menunggu. Namun jika harus bertindak, lakukanlah yang terbaik menurut penilaian yang saleh, dan percayalah bahwa Allah akan menuntun dan menegur bila perlu. Ignatius dari Loyola menambahkan satu prinsip bijak: “Saat dalam kegelapan, jangan ubah keputusan yang dibuat dalam terang.”

Perjanjian Penyerahan: Milik-Mu, Tuhan

Pada akhirnya, doa “Kehendak-Mu jadilah” adalah sebuah perjanjian rohani. Sebuah sumpah bahwa hidup ini bukan milik kita lagi, melainkan milik Allah sepenuhnya. Liturgi Perjanjian Gereja Methodis menyatakan dengan indah:

“Kami dengan sukacita menerima kuk ketaatan, dan mengikat diri kami, karena kasih kepada-Mu, untuk mencari dan melakukan kehendak-Mu yang sempurna.”

Kata-kata ini, diadaptasi oleh John Wesley dari doa Richard Alleine, merangkum isi hati orang percaya yang menyerahkan diri:

“Saya bukan lagi milik saya sendiri, tetapi milik-Mu. Taruh saya di mana Engkau kehendaki... untuk dipekerjakan atau disisihkan bagi-Mu, ditinggikan atau direndahkan... biarkan saya memiliki segalanya atau tidak memiliki apa pun...”

Ini bukan sekadar syair. Ini adalah doa yang mengubah arah hidup seseorang. Jika didoakan dengan jujur, kalimat ini bisa menjadi fondasi dari panggilan hidup, pengabdian pelayanan, bahkan pengorbanan sejati.

Berdoa “Kehendak-Mu jadilah” menuntut lebih dari sekadar mulut yang mengucapkan kata-kata—ia membutuhkan hati yang rela dibentuk, kehendak yang berserah, dan hidup yang siap diatur oleh Allah. Ini adalah doa yang membawa kita ke dalam inti dari pengikutan Kristus: “Barangsiapa mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku.”

Doa ini adalah titik temu antara langit dan bumi: kehendak Allah di surga mulai dijalankan di bumi—melalui hidup kita yang mau taat. Dan di sanalah, kita sungguh-sungguh menjadi anak-anak Allah, hamba yang setia, dan saksi kerajaan-Nya.

Di Bumi Seperti di Surga

Doa Bapa Kami diikat oleh tiga pilar doktrinal yang saling berkaitan: Allah adalah Bapa umat Kristen, Dia bersemayam di surga, dan kehendak-Nya terlaksana dengan sempurna di sana. Kebenaran pertama menggemakan kasih penebusan Allah melalui salib Kristus, yang mengangkat kita sebagai anak-anak-Nya (Yoh. 1:12). Dua kebenaran berikutnya menegaskan kedaulatan dan kuasa-Nya yang tak terbatas, menjamin bahwa rencana-Nya tak pernah gagal. Bersama-sama, ketiga kebenaran ini menyingkapkan harapan Kristen: Bapa kita telah berjanji untuk mengasihi kita hingga kekekalan, dan kuasa-Nya memastikan janji itu terpenuhi. John Calvin menegaskan, 

“Dengan menyebut Allah sebagai Bapa di surga, kita diingatkan akan kasih-Nya yang penuh rahmat sekaligus kuasa-Nya yang tak terbatas, yang menjamin bahwa kehendak-Nya selalu terlaksana” (Institutes of the Christian Religion).

Konsep “surga” dalam Doa Bapa Kami bukan sekadar lokasi kosmik, melainkan realitas kehadiran Allah yang transenden, bebas dari keterbatasan ruang-waktu yang mengikat ciptaan. Di surga, kehendak Allah terlaksana dengan sempurna, tidak hanya karena kedaulatan-Nya, tetapi juga melalui ketaatan penuh sukacita dari komunitas makhluk cerdas—malaikat dan orang-orang kudus—yang hidup dalam persekutuan erat dengan-Nya. Ibrani 12:22-24 memperjelas visi ini, menggambarkan surga sebagai “kota Allah yang hidup, Yerusalem surgawi,” tempat “malaikat-malaikat yang tak terhitung banyaknya” dan “roh-roh orang benar yang telah disempurnakan” berkumpul dalam ibadah yang harmonis. Teks ini menempatkan kita di hadapan realitas eskatologis: surga adalah persekutuan yang sempurna, di mana kehendak Allah bukan sekadar perintah, tetapi sukacita kolektif yang mengalir dari hubungan dengan Kristus, “Pengantara perjanjian baru” (Ibr. 12:24). Tim Keller menulis, 

“Surga adalah tempat di mana kehendak Allah menjadi sukacita penuh bagi semua yang ada di dalamnya, sebuah komunitas yang dipersatukan oleh kasih Kristus” (Prayer: Experiencing Awe and Intimacy with God).

Ketika Yesus mengajarkan kita berdoa “Kehendak-Mu jadilah di bumi seperti di surga,” Dia menanamkan dua tujuan teologis yang mendalam. Pertama, Dia membangkitkan harapan. Dunia ini, dengan kekacauan dan pemberontakannya, seolah mengejek permohonan ini. Namun, Ibrani 12 mengingatkan kita bahwa Allah telah menetapkan realitas surgawi di mana kehendak-Nya berkuasa sepenuhnya, memberikan jaminan bahwa Dia mampu menciptakan tatanan serupa di bumi. Pertanyaan retoris dalam Kejadian 18:14, “Adakah sesuatu yang terlalu sulit bagi Tuhan?” bergema di sini, mendorong kita untuk percaya bahwa Allah dapat mengubah dunia melalui kasih karunia-Nya. Kedua, Yesus mengundang kita untuk memuji. Di tengah permohonan yang melelahkan, Dia menyisipkan momen pujian—“di surga, kehendak-Mu terlaksana, ya Bapa!”—yang menyegarkan jiwa kita. Charles Spurgeon menegaskan, 

“Pujian adalah napas doa; ketika kita memuji Allah atas kedaulatan-Nya, kita menemukan kekuatan baru untuk memohon dengan iman” (Sermons on the Lord’s Prayer). Ibrani 12:28 menegaskan panggilan ini, mengajak kita untuk “mengucap syukur” dan “beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya,” karena kita telah menerima “kerajaan yang tidak dapat digoncangkan.”

 Dengan demikian, doa ini bukan hanya permohonan, tetapi juga pujian yang mengokohkan iman kita.

Permohonan ini menantang kita untuk merenungkan implikasi praktisnya. Jika kehendak Allah di surga adalah sukacita ketaatan yang penuh kasih, maka berdoa “seperti di surga” berarti kita memohon transformasi batin agar hidup kita mencerminkan ketaatan serupa di bumi. Ibrani 12:1-2 mengingatkan kita untuk “menanggalkan semua beban dan dosa” dan “berlari dengan tekun dalam perlombaan,” dengan memandang kepada Yesus, “yang memimpin kita dalam iman dan yang menyempurnakannya.” Doa ini, seperti yang digambarkan dalam Ibrani, bukanlah pelarian dari dunia, tetapi panggilan untuk hidup dalam disiplin ilahi, menyerahkan diri kepada kehendak Allah meski kadang itu menyakitkan (Ibr. 12:11). C.S. Lewis menulis, 

“Surga bukanlah mimpi kosong, tetapi realitas di mana kehendak Allah menjadi sukacita terbesar; doa kita adalah agar bumi mulai mencerminkan kemuliaan itu” (Letters to Malcolm: Chiefly on Prayer).

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.