Laman

21 December 2016

QUO VADIS PENTAKOSTA (A)



“But the Holy Spirit will come upon you and give you power. 
Then you will tell everyone about me in Jerusalem, in all Judea, in Samaria, and everywhere in the world.”
(Kisah Para Rasul 1:8 – CEV)

Ungkapan Domine quo vadis adalah pertanyaan Simon Petrus yang ditujukan kepada Tuhan Yesus, yang dicatat dalam terjemahan bahasa Latin Injil Yohanes 13:36. Frasa tersebut diterjemahkan dengan “Tuhan, ke manakah Engkau pergi?” dalam Alkitab Terjemahan Baru. Simon Petrus memiliki keinginan yang sangat kuat untuk mengikuti gurunya, kemanapun Dia pergi. Bahkan jika harus dibayar dengan nyawa demi mengikuti gurunya, Simon Petrus siap membayarnya (ayat 37). Namun demikianlah ironi yang sebenarnya terjadi. Waktu telah membuktikan bahwa saat Petrus mengatakan perkataan tersebut, dia tidaklah benar-benar memahami setiap konsekuensinya.

Fenomena Pentakosta dalam Kisah Rasul pasal 2, yang dialami para murid Tuhan Yesus saat di Yerusalem, mengawali berdirinya gereja Tuhan secara universal, yang tentunya bukanlah sekedar bangunan atau organisasi. Ledakan keberanian untuk mewartakan Injil terjadi dalam kehidupan para murid Yesus, yang sebelum peristiwa Pentakosta, mereka tidak memiliki keberanian tersebut. Itulah gerakan Pentakosta yang pertama. 

Pergerakan Pentakosta modern rupanya sudah tidak lagi mewarisi ledakan keberanian untuk mewartakan Injil seperti yang terjadi pada jemaat gereja mula-mula. Sekarang ini, semangat mewartakan injil tergantikan dengan euforia kegiatan ibadah yang hingar bingar, yang sebenarnya tidak memiliki dasarnya pada konsep gerakan Pentakosta, bahkan secara Alkitabiah sekalipun. Tulisan Quo Vadis Pentakosta ini berusaha memahami pesan mendasar dari Pentakosta dan juga mempertanyakan kembali arah pergerakan kita sebagai bagian dari gereja aliran Pentakosta.
  
Secuil Pentakosta dalam Perjanjian Lama
Pemaknaan terhadap hari raya Pentakosta rupanya mengalami perkembangan dari masa ke masa. Bagi orang Yahudi, hari itu penting dan merupakah sebuah keharusan, sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan kepada mereka. Pentakosta adalah kata Yunani yang berarti “(hari) kelimapuluh.” Tibanya hari Pentakosta berarti berakhirnya tradisi perayaan selama tujuh minggu, di mana umat Israel merayakan Paskah. “Hari raya Tujuh Minggu, yakni hari raya buah bungaran dari penuaian gandum, haruslah kau rayakan, juga hari raya pengumpulan hasil pada pergantian tahun (Keluaran 34:22).” 

Perlu kita perhatikan bahwa dari sekian banyak perayaan yang dilakukan oleh orang Yahudi, maka hari raya Pentakosta merupakan perayaan terbesar, di mana pada saat itu merupakah hari yang penuh sukacita dan dimana mereka bersyukur kepada Allah atas segala kasih dan pemeliharaanNya, termasuk akan hasil panen tuaian gandum dan jelai. Karena itu, mereka akan datang kepada Allah dengan membawa korban syukur yang merupakan persembahan mereka kepada Allah, sekaligus menyatakan pengakuan mereka bahwa segala yang baik yang mereka terima, berasal dari Allah (baca dalam Ulangan 16:11 dan Imamat 23:17-20). Pentakosta sedianya merupakan hari perayaan panen, yang dalam istilah Ibrani dikenal dengan Shavuot. Catatan lain dalam PL mengenai hari raya ini ada dalam Keluaran 23:16 (hari raya menuai) dan Bilangan 28:26 (hari hulu hasil). Jadi yang perlu ditekankan disini adalah bahwa hari raya Pentakosta berhubungan dengan pertanian, khususnya hasil panen gandum dalam tradisi Israel.

Momentum Pentakosta Perjanjian Baru: Intisari Peranan Roh Kudus
Hari Pentakosta adalah hari yang penting bagi orang-orang Yahudi, demikian juga bagi orang Kristen. Dalam Perjanjian Baru kita membaca narasi dari Kisah Para Rasul bahwa hari Pentakosta merupakan hari turunnya Roh Kudus, di mana sejak hari Raya Pentakosta tersebut, Alkitab menunjukkan bahwa Roh Kudus bekerja secara penuh di dalam Gereja-Nya. Ini tidak berarti bahwa Roh Kudus belum bekerja sebelum hari raya Pentakosta tersebut, karena kita dengan jelas membaca dalam keempat Injil bahwa Roh Kudus sudah bekerja sebelum itu, baik pada waktu pembaptisan Yesus, pencobaan di padang gurun, dll (Matius 3:16; 4:1; Markus 1:10; Lukas 3:21-22; 4:1; Yohanes 1:32-33). 

Di dalam Perjanjian Lama, kita juga membaca bagaimana Roh memimpin para nabi, pada saat tertentu dan ketika mengerjakan tugas tertentu. Namun demikian, Alkitab menjelaskan bahwa kehadiran dan peran Roh Kudus tidak pernah dialami oleh umat Allah secara penuh sebagaimana terjadi pada hari Pentakosta, yaitu hari setelah Yesus menyelesaikan karya penyelamatan melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Dalam pemahaman inilah kita memahami pernyataan Injil Yohanes berikut: “...sebab Roh itu belum datang, karena Yesus belum DIMULIAKAN (Yohanes 7:39b).” Kata “dimuliakan” sangat menonjol di dalam Injil Yohenes, di mana istilah itu mengacu kepada kematian Yesus (band. Yohanes 12:23-24). Dengan perkataan lain, Yohanes menegaskan relasi yang erat dan yang tidak terpisahkan antara karya Yesus yang telah diselesaikan melalui kematianNya, dengan turunnya Roh Kudus di hari Pentakosta.

Pentingnya hari Pentakosta tersebut dapat dilihat juga dari penegasan Yesus pada Kisah Rasul 1: 4-5. Pada ayat tersebut Tuhan Yesus, di satu pihak melarang rasul-rasul pergi meninggalkan Yerusalem. Di pihak lain, rasul-rasul diperintahkan untuk “menantikan janji Bapa.” Mengapa? Bukankah dari segi pengetahuan dan pengalaman, rasul-rasul telah mengenal siapa Yesus sesungguhnya dan telah hidup bersamaNya selama kira-kira tiga tahun? Ditinjau dari segi waktu, apakah tidak sebaiknya mereka segera pergi ke seluruh dunia untuk mengabarkan injil? Tuhan Yesus melarang mereka karena semua pengetahuan dan pengalaman itu harus disertai dengan hadirnya Roh Kudus dalam diri mereka. Hal itu ditegaskan Tuhan Yesus pada Kisah 1:8 “Kamu akan menerima kuasa kalau Roh Kudus turun ke atas kamuDan kamu akan menjadi saksiKu di Yerusalem... sampai ke ujung bumi.” Itulah sebabnya mereka diperintahkan untuk menantikan janji Bapa akan turunnya Roh Kudus di hari Pentakosta (Kisah 2)

Banyak jemaat gereja-gereja Pentekosta dan Kharismatik seringkali memaknai hari raya Pentakosta hanya didasarkan pada penggalan laporan Lukas mengenai peristiwa yang tercatat dalam Kisah Para Rasul pasal 2, yakni ayat 1-11. Menurut laporan Lukas, pada saat itu para murid yang berkumpul di sebuah loteng di Yerusalem menerima karunia Roh Kudus yang turun ke atas setiap mereka dalam bentuk seperti lidah api. Peristiwa tersebut dilanjutkan dengan pujian mereka terhadap perbuatan Tuhan yang ajaib, yang secara fenomenal dilantunkan dalam beberapa bahasa yang berbeda, yang tidak mereka kuasai sebelumnya. Jika kita berhenti pada bagian ini – fenomena bahasa roh yang popular di kalangan gereja Pentakosta dan Kharismatik –, maka kita tidak akan mendapatkan pesan yang sesungguhnya, yang ingin disampaikan oleh tabib Lukas dalam catatannya tersebut. Tanpa bermaksud menafikan nilai penting dari fenomena bahasa roh itu, tabib Lukas ingin menunjukkan hal yang lebih besar, lebih penting dan sifatnya lebih mendasar. 

Dalam Kisah Rasul 2:14-47, Lukas mencatat tentang dampak besar yang terjadi karena fenomena bahasa roh tersebut. Dalam kuasa dan kepenuhan Roh Kudus, Rasul Petrus berkhotbah memberi penjelasan mengenai latar belakang terjadinya fenomena itu. Ia memberitakan pribadi Yesus Kristus, Allah yang turun ke dalam dunia, mengambil rupa sebagai manusia biasa, yang disalibkan demi menebus dosa manusia, dan yang telah bangkit mengalahkan maut pada hari ketiga, serta yang telah naik kembali ke surga. Dampak dari khotbah, atau bahkan bisa kita katakan sebuah kesaksian, yang dipenuhi kuasa Roh Kudus tersebut sangatlah masif. Kurang lebih ada 3000 orang menyerahkan hidup mereka kepada Tuhan Yesus dan memberi diri dibabtis.

Tidak berhenti sampai disitu, jiwa-jiwa baru ini mulai bertekun dalam didikan dan pengajaran para rasul. Ketekunan dalam pengajaran inilah yang membawa perubahan besar dan mendasar pada kehidupan mereka. Mereka menjadi pribadi yang berdampak besar dalam tindakan dan kesaksian. Kehidupan lama mereka yang telah diubahkan oleh kuasa Roh Kudus tersebut rupanya menarik simpati dari orang-orang di sekitar mereka. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang “disukai” – kata ini juga memiliki makna diterima dan dinikmati keberadaannya – sehingga setiap hari ada orang-orang baru yang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus karena melihat kehidupan mereka ini (Kisah 2:47).

Sebuah Ironi Pentakosta Modern: “Pencitraan”
Anda melihat benang merah dari peristiwa Pentakosta ini bukan? Ya. Secara garis besar, Pentakosta dalam awal sejarah Israel hingga dalam zaman Perjanjian Baru, tetap membicarakan hal yang sama: Sukacita dan ucapan syukur karena pemeliharaan Tuhan dalam PENUAIAN. Inilah nilai inti dari Pentakosta dalam perspektif kekristenan. Ironisnya, banyak orang Kristen yang justru hanya berfokus pada fenomena bahasa roh atau karunia-karunia Roh Kudus saja, dan melupakan nilai inti yang sesungguhnya. Kebanyakan orang Kristen lebih mengejar karunia berbahasa roh, daripada bersaksi dalam urapan Roh Kudus untuk membawa jiwa-jiwa datang kepada Kristus, seperti yang telah dilakukan oleh Rasul Petrus kala itu. Hal ini jelas sudah sangat menyimpang dari semangat Pentakosta yang ditunjukkan oleh komunitas gereja mula-mula.

Kekristenan yang salah fokus ini dapat dikatakan sebagai kekristenan yang sombong, yakni kekristenan yang mengejar tampilan luar atau pencitraan saja. Jika dalam sebuah persekutuan atau ibadah, seorang terlihat berkata-kata dalam bahasa roh, hal itu tentunya akan menarik perhatian orang lain. Suatu anggapan yang dimiliki oleh orang Kristen, yang kebanyakan berasal dari aliran pentakosta dan karismatik, tentang seseorang yang memiliki karunia bahasa roh adalah mereka mendapat predikat sebagai orang yang lebih rohani, lebih suci, lebih layak melayani di mimbar gereja dan lebih dewasa secara iman.

Menegaskan kembali makna “Penuh dengan Roh Kudus”
Dalam Kisah Rasul 2:4, tabib Lukas menarasikan demikian “Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.” Kata penuhlah dalam bahasa aslinya menggunakan kata Yunani eplesthesan (aorist – pasif – indikatif – orang ketiga – jamak), sebenarnya diterjemahkan dengan “mereka dulu pernah dipenuhi,” yang memiliki makna bahwa peristiwa kepenuhan tersebut bersifat fenomenal, unik, khusus hanya terjadi kepada mereka saat itu saja. Tidak ada kesan berkelanjutan dari peristiwa kepenuhan yang dilanjutkan dengan berbahasa roh tersebut. Memang dalam catatan Kisah Para Rasul sendiri menyebutkan beberapa peristiwa terjadinya kepenuhan Roh Kudus yang beberapa diikuti dengan fenomena bahasa roh. Namun hal tersebut lantas tidak memutlakkan bahwa fenomena bahasa roh selalu menjadi tanda awal, saat kepenuhan Roh Kudus terjadi dalam diri orang percaya kala itu, walaupun disaat yang sama harus diakui bahwa kemungkinan itu juga ada.

Tabib Lukas beberapa kali menuliskan fenomena bahasa roh terjadi, pada masa gereja mula-mula. Kisah Rasul 10:46, yakni pada waktu Kormelius dari Kaisarea mengundang Petrus ke rumahnya, atas petunjuk malaikat Tuhan yang menjumpai Kornelius. Semua orang yang mendengarkan pemberitaannya, dipenuhi dengan Roh Kudus dan kemudian berbahasa roh. Kisah Rasul 19:6 juga mengisahkan disaat Paulus menumpangkan tangan kepada dua belas orang di Efesus yang sebelumnya telah menerima babtisan dari Yohanes Pembabtis. Keduabelas orang tersebut berbahasa roh dan kemudian juga bernubuat. 

Dalam Kisah Rasul 4:31, tabib Lukas menulis bagaimana kelompok orang percaya mengalami kepenuhan Roh Kudus. Suasana yang mirip dengan peristiwa Pentakosta pertama dalam pasal 2:1 terjadi. “..goyanglah tempat mereka..” Dalam bagian tersebut, tabib Lukas tidak mencatat terjadinya apakah bahasa roh terjadi atau tidak. Memang tidak bisa disangkal adanya kemungkinan bahwa fenomena berbahasa roh terjadi di kala itu. Beberapa tradisi mempercayai bahwa pada waktu itu kemungkinan mereka berbahasa roh juga. Namun tentunya Lukas juga memiliki alasan jika kemudian tidak menuliskannya dalam bagian ini.

Makna “penuh Roh Kudus” yang relevan dengan kehidupan kekristenan
Dalam modul kamus E-Sword versi 8.0.6, The Complete Word Study Dictionary (© 1992 By AMG International, Inc. Chattanooga, TN 37422, U.S.A. Revised edition, 1993), kata penuhlah (eplesthesan – yun.) diterangkan memiliki arti harafiah memenuhi atau mengisi. Matius 27:48 menggunakan kata ini untuk menggambarkan kejadian ketika seorang prajurit memberi minum Yesus dengan menggunakan bunga karang (sponge – ingg.) yang lebih lugas dikenal juga dengan kata spons dalam bahasa Indonesia. Seperti prinsip spons inilah gambaran Roh Kudus yang memenuhi kehidupan orang percaya. Setiap ruang kosong dalam kehidupan seorang percaya, “diisi” oleh Roh Kudus. Hal tersebut akan membuat spons kehidupan seorang percaya mengembang sedemikian rupa. Sebuah gambaran bahwa pribadi Roh Kudus akan mengembangkan kualitas kehidupan seorang percaya. Tidak ada lagi celah kosong yang tersisa dari kehidupan kita yang tidak dikuasai oleh Roh Kudus. Tidak ada lagi celah bagi pemenuhan keinginan daging. Tujuan hidup kita akan berganti menjadi pemenuhan keinginan roh.

Secara metaforis, kata eplesthesan dipakai untuk menggambarkan dipenuhinya seseorang oleh sesuatu yang memiliki kesan yang kuat secara emosional, pemikiran, dan nilai-nilai, yang kemudian mempengaruhi tindakan dan pengambilan keputusan orang tersebut. Pengertian yang sama juga acapkali digunakan saat menunjukkan perasaan marah dan takut (band. Lukas 4:28; 5:26; 6:11; Kisah 3:10; 5:17; 13:45). Hal ini memberikan pengertian kepada kita bahwa saat Roh Kudus memenuhi seseorang, itu berarti Ia (seharusnya dapat) menguasai seluruh aspek kehidupan orang tersebut. Kepenuhan Roh Kudus berbicara tentang kehidupan yang tidak lagi dikuasai pikiran, perasaan dan kehendak untuk memuaskan diri sendiri. Kepenuhan Roh Kudus akan membawa seorang percaya untuk menghidupi tujuan yang lebih hakiki, yang lebih ilahi, yakni tujuan hidup yang sesuai dengan rancangan Tuhan dalam kehidupannya. (bersambung)

KESADARAN AKAN PENTINGNYA MEMBERI JAWAB



“Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.”
Kolose 4:5-6

Dalam Matius 28:19-20, umat Kristen menerima amanat agung dari Tuhan Yesus Kristus untuk memberitakan Injil (euangelion – yang secara harafiah berarti Kabar Sukacita) kepada semua suku bangsa. Amanat yang diberikan pada umat Kristen tersebut lebih lugas dikenal dengan istilah BERSAKSI. Namun demikian, umat Kristen biasanya terbelah dalam dua kutub penerapan yang berbeda dan terkesan bertolak belakang, dalam memahami dan menerapkan kata “bersaksi. 

Dua kutub tersebut adalah (1) bersaksi melalui perkataan dan (2) bersaksi melalui perbuatan. Didalam konteks kehidupan di lingkungan masyarakat dengan kekristenan sebagai minoritas, sebagian besar umat Kristen cenderung memilih pilihan yang kedua, yakni bersaksi melalui perbuatan. Hal tersebut dianggap lebih “aman” karena tidak menyinggung keyakinan orang lain dan tidak beresiko. Sedangkan pilihan yang pertama – bersaksi melalui perkataan – seringkali dihindari karena diasumsikan akan berakhir dengan perdebatan antar keyakinan. Apakah selalu seperti itu?

Keseimbangan Kualitas Antara Pemahaman Dengan Perbuatan
Pada dasarnya, perbuatan adalah perwujudan atau bentuk nyata dari prinsip-prinsip dan buah pikiran yang dianut oleh seseorang. Jika prinsipnya benar maka benar pula perbuatannya. Demikian juga sebaliknya, jika prinsipnya salah maka salah pula perbuatannya. Jika kita memiliki pengetahuan yang benar terhadap firman Tuhan, maka kita juga akan melakukan hal-hal yang benar yang sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan yang kita pahami. 

Saya beri gambaran seperti saat kita membuat kue. Saat kita mengetahui semua bahan baku yang diperlukan beserta dengan ukurannya, kemudian dibarengi dengan pengetahuan akan langkah-langkah pembuatan yang benar, maka kita akan dapat membuat sebuah hidangan kue yang dapat dinikmati semua orang. Intinya: Prinsip harus benar dulu, baru kemudian diterapkan dalam perbuatan/tindakan yang selaras dengan prinsip tersebut.

Pentingnya Memberi Jawab Dengan Benar
Pada kenyataannya, tantangan bagi dunia kekristenan berada pada tataran konsep (pemahaman terhadap ajaran-ajaran) kekristenan itu sendiri. Krisis identitas iman seorang Kristen biasanya diawali dengan kurangnya pemahaman mengenai pengajaran kekristenan. Misalnya, saat ada orang yang menuduh bahwa Tuhannya orang Kristen ada tiga, banyak orang Kristen sendiri yang kebingungan dalam menjawab atau meluruskan tuduhan tersebut. 

Contoh lainnya adalah banyaknya orang Kristen yang kalang kabut kebingungan saat kemunculan novel The Da Vinci Code, karya penulis bernama Dan Brown, yang meledak di pasaran. Dalam novel tersebut, Yesus diceritakan memiliki hubungan khusus dengan Maria Magdalena. Banyak gereja bahkan sempat bereaksi dengan cepat dengan membuat pertemuan-pertemuan pendalaman Alkitab untuk mengatasi kegoyahan iman banyak jemaatnya. Betul sekali! Banyak jemaat Kristen yang goyah keimanannya setelah membaca novel dan menyaksikan film The Da Vinci Code, beberapa tahun lalu.

Pertanyaan penting yang harusnya kita jawab adalah: Apakah gereja sudah melakukan upaya untuk mempersiapkan jemaatnya untuk menjadi pribadi yang siap secara intelektual/keilmuan memberi jawab terhadap tantangan-tantangan tersebut? Banyak gereja lebih memilih berfokus pada pengajaran-pengajaran yang bersifat normatif, misalnya pembentukan karakter pribadi seseorang, bagaimana mengatasi pergumulan dengan dosa pribadi, bagaimana sikap hati seorang pelayan gereja, cara memperoleh kehidupan yang diberkati, dsb. Hal tersebut bukannya tanpa alasan. Pertumbuhan kedewasaan yang dirasa lambat, memaksa gereja melakukannya. Namun ada juga gereja yang memilih dalam posisi status quo dan menghindari pengajaran-pengajaran yang bersifat apologetis, supaya tetap aman dan tidak dimusuhi oleh lingkungan sekitarnya.


Gereja memiliki “Hak Jawab” dalam menanggapi semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Memberi jawab tidaklah selalu berkonotasi negatif semacam berdebat, gontok-gontokan, eyel-eyelan,atau yang lainnya. Memberi jawab bisa dilakukan dengan dengan cara mengajak dan membiasakan orang di sekitar kita untuk memiliki pola pikir yang logis dan rasional, tanpa ada keinginan untuk menjatuhkan dan menghina keyakinan seseorang. 

Untuk dapat melakukannya, kita harus terlebih dahulu terbiasa memiliki pola pikir yang logis dan rasional. Tapi apakah iman dapat dirasionalkan? Jawaban singkatnya: DAPAT! Tabib Lukas dalam injilnya pasal 1:1-4 telah membuktikannya untuk kita semua. Dia telah menyusun sebuah berita mengenai kabar sukacita keselamatan, yang diberikan kepada setiap orang yang mau percaya kepada Yesus Kristus, dengan kaidah-kaidah pemberitaan yang sesuai pada jamannya. Jika seorang Lukas mampu melakukannya, maka kitapun pasti diberi kemampuan oleh Tuhan untuk melakukannya.