“Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang
luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh
kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab
kepada setiap orang.”
Kolose 4:5-6
Dalam Matius 28:19-20, umat Kristen
menerima amanat agung dari Tuhan Yesus Kristus untuk memberitakan Injil (euangelion – yang secara harafiah berarti
Kabar Sukacita) kepada semua suku bangsa. Amanat yang diberikan pada umat
Kristen tersebut lebih lugas dikenal dengan istilah BERSAKSI. Namun demikian, umat Kristen
biasanya terbelah dalam dua kutub penerapan yang berbeda dan terkesan bertolak
belakang, dalam
memahami dan menerapkan kata “bersaksi.
Dua kutub tersebut adalah (1) bersaksi melalui perkataan dan (2) bersaksi melalui perbuatan. Didalam
konteks kehidupan di lingkungan masyarakat dengan kekristenan sebagai
minoritas, sebagian besar umat Kristen cenderung memilih pilihan yang kedua,
yakni bersaksi melalui perbuatan. Hal tersebut dianggap lebih “aman” karena
tidak menyinggung keyakinan orang lain dan tidak beresiko. Sedangkan pilihan
yang pertama – bersaksi melalui perkataan – seringkali dihindari karena
diasumsikan akan berakhir dengan perdebatan antar keyakinan. Apakah selalu
seperti itu?
Keseimbangan
Kualitas Antara Pemahaman Dengan Perbuatan
Pada dasarnya, perbuatan adalah perwujudan
atau bentuk nyata dari prinsip-prinsip dan buah pikiran yang dianut oleh
seseorang. Jika prinsipnya benar maka benar pula perbuatannya. Demikian juga
sebaliknya, jika prinsipnya salah maka salah pula perbuatannya. Jika kita memiliki
pengetahuan yang benar terhadap firman Tuhan, maka kita juga akan melakukan
hal-hal yang benar yang sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan yang kita pahami.
Saya
beri gambaran seperti saat kita membuat kue. Saat kita mengetahui semua bahan
baku yang diperlukan beserta dengan ukurannya, kemudian dibarengi dengan
pengetahuan akan langkah-langkah pembuatan yang benar, maka kita akan dapat
membuat sebuah hidangan kue yang dapat dinikmati semua orang. Intinya: Prinsip
harus benar dulu, baru kemudian diterapkan dalam perbuatan/tindakan yang
selaras dengan prinsip tersebut.
Pentingnya
Memberi Jawab Dengan Benar
Pada kenyataannya, tantangan bagi dunia kekristenan
berada pada tataran konsep (pemahaman terhadap ajaran-ajaran) kekristenan itu
sendiri. Krisis identitas iman seorang Kristen biasanya diawali dengan
kurangnya pemahaman mengenai pengajaran kekristenan. Misalnya, saat ada orang
yang menuduh bahwa Tuhannya orang Kristen ada tiga, banyak orang Kristen
sendiri yang kebingungan dalam menjawab atau meluruskan tuduhan tersebut.
Contoh lainnya adalah banyaknya orang Kristen yang kalang kabut kebingungan
saat kemunculan novel The Da Vinci Code, karya penulis
bernama Dan Brown, yang meledak di pasaran. Dalam novel tersebut, Yesus
diceritakan memiliki hubungan khusus dengan Maria Magdalena. Banyak gereja
bahkan sempat bereaksi dengan cepat dengan membuat pertemuan-pertemuan
pendalaman Alkitab untuk mengatasi kegoyahan iman banyak jemaatnya. Betul
sekali! Banyak jemaat Kristen yang goyah keimanannya setelah membaca novel dan
menyaksikan film The Da Vinci Code,
beberapa tahun lalu.
Pertanyaan penting yang harusnya kita
jawab adalah: Apakah gereja sudah melakukan upaya untuk mempersiapkan jemaatnya untuk
menjadi pribadi yang siap secara intelektual/keilmuan memberi jawab terhadap
tantangan-tantangan tersebut? Banyak gereja lebih memilih berfokus pada
pengajaran-pengajaran yang bersifat normatif, misalnya pembentukan karakter
pribadi seseorang, bagaimana mengatasi pergumulan dengan dosa pribadi,
bagaimana sikap hati seorang pelayan gereja, cara memperoleh kehidupan yang
diberkati, dsb. Hal tersebut bukannya tanpa alasan. Pertumbuhan kedewasaan yang
dirasa lambat, memaksa gereja melakukannya. Namun ada juga gereja yang memilih
dalam posisi status quo dan
menghindari pengajaran-pengajaran yang bersifat apologetis, supaya tetap aman
dan tidak dimusuhi oleh lingkungan sekitarnya.
Gereja memiliki “Hak Jawab” dalam
menanggapi semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Memberi jawab tidaklah
selalu berkonotasi negatif semacam berdebat, gontok-gontokan, eyel-eyelan,atau
yang lainnya. Memberi jawab bisa dilakukan dengan dengan cara mengajak dan
membiasakan orang di sekitar kita untuk memiliki pola pikir yang logis dan
rasional, tanpa ada keinginan untuk menjatuhkan dan menghina keyakinan
seseorang.
Untuk dapat melakukannya, kita harus terlebih dahulu terbiasa memiliki
pola pikir yang logis dan rasional. Tapi apakah iman dapat dirasionalkan?
Jawaban singkatnya: DAPAT! Tabib Lukas dalam injilnya pasal 1:1-4 telah membuktikannya
untuk kita semua. Dia telah menyusun sebuah berita mengenai kabar sukacita
keselamatan, yang diberikan kepada setiap orang yang mau percaya kepada Yesus
Kristus, dengan kaidah-kaidah pemberitaan yang sesuai pada jamannya. Jika
seorang Lukas mampu melakukannya, maka kitapun pasti diberi kemampuan oleh
Tuhan untuk melakukannya.