“Karena itu haruslah kamu
sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Matius 5:48
Dalam Matius pasal 5
ini, Tuhan Yesus banyak membahas praktik-praktik Taurat. Pengajaran dalam pasal
ini secara ketat mengacu kepada Taurat dan kritik terhadap motif
praktiknya yang
telah banyak melenceng dari intisari makna hukum itu sendiri. Taurat Tuhan yang
sedianya mendewasakan Israel, berubah menjadi alat yang digunakan pemimpin-pemimpin
agamanya untuk mengekang umat dalam tradisi-tradisi kesalehan yang kaku dan
tanpa makna.
Tradisi di
sini dapat dipahami sebagai pola pengulangan dari tindakan, ajaran dan ritual
tertentu. Jadi tidak ada makna yang buruk dalam kata tradisi. Ajaran Kristen
bukannya tidak memiliki tradisi praktik agamawi. Perjamuan malam terakhir yang
dilakukan Yesus dengan murid-murid-Nya, adalah bentuk tradisi orang Yahudi yang
didasarkan pada makan Paskah yang dilakukan Israel sesaat sebelum Mesir
menerima hukuman tulah kesepuluh pada zaman Musa. Umat Kristen kemudian
mlakukannya dalam bentuk yang berkembang dengan pemaknaan yang lebih disucikan
– yakni mengenang penebusan manusia dari dosa melalui karya salib,
kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus.
Tradisi ini kemudian dikenal dengan istilah sakramen Perjamuan Kudus (ekaristi.
Karena saat
gereja Kristen dilahirkan, maka ajaran-ajaran kekristenan mulai membentuk
sebuah pola tradisi dan hukum-hukum agama, yang kemudian dikenal dengan tradisi
kesalehan. Tradisi tersebut kemudian diteruskan dan bahkan mulai dilembagakan
oleh generasi umat Tuhan setelah zaman para rasul. Kelahiran gereja sebagai institusi
adalah bukti nyatanya. Namun patut disayangkan jika kemudian tradisi-tradisi
Kristen tersebut juga mulai kehilangan maknanya saat kekristenan menjelma menjadi
agama yang besar. Tradisi yang dibangun oleh para murid Tuhan Yesus tersebut
kembali berubah menjadi tradisi yang kaku mengikat umatnya, persis seperti apa
yang terjadi pada hukum Taurat kepada umat Israel.
Kembali pada
pemaknaan tradisi kesalehan, umat Kristen seharusnya kembali menggunakan pola bagaimana
Tuhan Yesus memandang hukum-hukum Tuhan tersebut. Secara garis besar, sedikitnya
ada dua cara bagaimana Tuhan Yesus membangun tradisi kesalehan Kristen: (1) Menekankan
pemahaman terhadap intisari hukum Tuhan, serta (2) menekankan pada proses yang
benar, bukan sekadar hasil.
1. INTISARI DARI HUKUM TUHAN
Orang Farisi
dan ahli Taurat pada zaman Tuhan Yesus menekankan pelaksanaan hukum Tuhan hanya
berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab suci Yahudi dan tafsir dari para
rabbi. Mereka melakukannya secara literal, apa adanya seperti yang tertulis.
Hal inilah yang membuat mereka kehilangan intisari yang jauh lebih penting yang
terkandung dalam hukum-hukum Tuhan. Sebut tentang hal persembahan yang pada
hakikatnya adalah bentuk kepercayaan total bahwa Tuhan memelihara umat-Nya,
berubah menjadi ritual yang memastikan bahwa adas manis, selasih dan jintan pun
harus diambil persepuluhannya (band. Matius 23:3, Markus 12:33).
Mari kita
ambil contoh perikop tentang kemarahan (Matius 5:21-25). Bukannya sekadar
melarang kita untuk marah, melainkan lebih menekankan pada harmonisasi hubungan
dengan sesama saudara dan kasih kepada sesama manusia. Juga demikian halnya
dengan hal bersumpah (Matius 5:33-37). Larangan bersumpah bukanlah nilai yang
sesungguhnya ingin ditekankan dalam hukum Tuhan. Nilai utamanya adalah
kejujuran yang seharusnya menjadi karakter kita.
Lebih lagi,
ada hal-hal yang tidak tertulis secara spesifik dalam teks Alkitab namun
dipercaya sebagai kebenaran. Misalnya mempercayai Allah Bapa, Tuhan Yesus dan
Allah Roh Kudus sebagai tiga hupostasis
keallahan dan menyebutnya sebagai Trinitas.
Kata Trinitas (Trinity – Ingg.) jelas tidak tertulis dalam Alkitab, namun kita
mempercayai konsep tersebut berdasarkan penyelidikan teks-teks Alkitab secara
proporsional.
2. PENTINGNYA PROSES
Saat kita
memandang Matius 5:48 dalam sudut pandang hasil, maka hal tersebut tidak akan
mungkin terjadi. Seberapapun keras usaha kita, kita masih dibatasi oleh sifat
keberdosaan kita dalam mencapai kesempurnaan tersebut. Dan jika Tuhan mengukur
dari pencapaian hasil, maka Ia tidak akan mendapati hasilnya.
Mari kita
pertimbangkan kisah perjalanan bangsa Israel di padang gurun yang tertuang
dalam Ulangan 8:1-5. Musa berkata bahwa perintah yang disampaikannya
berdasarkan firman Tuhan tersebut harus dilakukan dengan setia. Kesetiaan
didapatkan dari proses yang panjang. Tujuan dari proses padang gurun yang
dialami oleh bangsa Israel adalah membentuk kerendahan hati dan motifasi yang
benar. Proses tersebut dibungkus dengan kasih Allah, selayaknya seorang Bapa
mengajari anaknya.
Tuhan Yesus
berkata dengan tegas dalam Matius 5:17 bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan
hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya. Itu berarti bahwa hukum Taurat
sendiri menjadi dasar pemahaman kita akan pengajaran Tuhan Yesus. Melalui
pengajaran-Nya, kita dapat melihat makna dan tujuan hakiki dari hukum Taurat
Tuhan.
Dalam ayat 20,
Tuhan Yesus memberikan standart dalam pelaksanaan hukum Tuhan dalam kehidupan
kita. “Jika hidup keagamaanmu tidak
lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi,
sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Dari
sinilah kesalehan Kristiani berasal, yakni pelaksanaan hukum Tuhan dengan
pemahaman yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Artinya bukan sekedar apa yang
tersurat, melainkan juga apa yang tersirat di dalam hukum-hukum Tuhan tersebut.
Tuhan memang menuntut kita untuk menjadi sempurna. Kesempurnaan itu
harus terus kita upayakan seumur hidup kita, dalam setiap bentuk aktivitas kita
yang didasari pada pelaksanaan firman Tuhan. Tuhan ingin kita mengerjakan
setiap prosesnya dengan maksimal. Kita harus berusaha sekuat dan sekeras
mungkin demi mengejar kesempurnaan tersebut. Ingatlah bahwa Tuhan sangat
menghargai proses kita mencapai kesempurnaan. Jadi mari pastikan kita menjalani
proses pembentukan yang Tuhan kerjakan dalam hidup kita, dengan benar sesuai
dengan standart firman-Nya.
![]() |
https://unsplash.com/photos/3zp7mC4yTCw |