Laman

26 June 2025

DOA BAPA KAMI: BAPA KAMI YANG DI SURGA, DIKUDUSKANLAH NAMA-MU (II)

 BAPA KAMI

Yesus mengajarkan kita menyapa Allah sebagai Bapa, seperti yang Ia lakukan sendiri dalam doa-doa-Nya—baik di Getsemani maupun dalam doa Imam Besar di Yohanes 17, di mana Ia menyebut Allah sebagai “Bapa” sebanyak enam kali. Tapi ini menimbulkan pertanyaan: Yesus adalah Anak Allah dalam arti sejati, pribadi kedua dalam Tritunggal. Kita hanyalah makhluk ciptaan. Jadi, atas dasar apa kita bisa menyebut Allah sebagai Bapa? Apakah menjadi ciptaan berarti otomatis menjadi anak?

Jawabannya tidak sesederhana itu. Yesus tidak sedang menyatakan bahwa setiap manusia otomatis adalah anak Allah, melainkan bahwa mereka yang menjadi pengikut-Nya secara sadar telah diangkat menjadi anak melalui kasih karunia. Yohanes 1:12 menegaskan bahwa hanya mereka yang menerima Kristus dan percaya kepada-Nya diberi hak menjadi anak-anak Allah. Paulus dalam Galatia 4:4-5 juga menjelaskan bahwa inkarnasi Kristus bertujuan agar kita dapat menerima pengangkatan menjadi anak. Artinya, berdoa kepada Allah sebagai Bapa adalah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh orang Kristen sejati. Seperti yang dikatakan oleh John Calvin, “Kita tidak berani mendekati Allah sebagai Bapa kecuali melalui Kristus, yang telah membuka pintu bagi kita untuk memanggil-Nya demikian dengan penuh keberanian” (Institutes of the Christian Religion).

Mengapa dalam Doa Bapa Kami tidak disebutkan bahwa kita harus berdoa “dalam nama Yesus”? Sebenarnya, itu sudah tersirat dalam kata “Bapa.” Hanya mereka yang datang kepada Allah melalui Kristus sebagai Pengantara dan Penanggung dosa yang bisa memanggil-Nya Bapa. C.S. Lewis menegaskan, “Kita tidak berdoa kepada Allah sebagai Pencipta yang jauh, tetapi sebagai Bapa yang dekat, yang telah mengikat kita kepada-Nya melalui darah Anak-Nya” (Letters to Malcolm: Chiefly on Prayer).

Sebagai anak-anak yang diangkat oleh Allah, kita menikmati kasih yang sama seperti yang diterima oleh Anak yang dikasihi-Nya. Tidak ada diskriminasi seperti yang kadang terjadi dalam keluarga manusia antara anak kandung dan anak angkat. Ini adalah berita terbaik yang bisa kita terima: bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah di dalam Kristus (Roma 8:39). Allah tidak akan meninggalkan kita, bahkan ketika kita jatuh dan menjauh seperti anak yang hilang. Dia tetap setia sebagai Bapa yang sabar dan penuh pengampunan. Charles Spurgeon pernah berkata, “Kasih Bapa kepada kita adalah kasih yang tidak pernah redup, yang mengejar kita bahkan di saat kita tersesat, dan yang memeluk kita kembali dengan sukacita yang tak terucapkan” (Sermons on the Lord’s Prayer).

Kasih Bapa ini juga berarti bahwa Dia lebih siap mendengarkan doa kita daripada kita siap untuk berdoa. Yesus berkata, jika manusia yang berdosa saja tahu memberi yang baik kepada anak-anak mereka, apalagi Bapa kita di surga? Dia bahkan memberi Roh Kudus kepada mereka yang meminta—karunia terbesar yang mencakup semua yang kita butuhkan. Inilah dasar keyakinan kita bukan hanya dalam doa, tapi dalam seluruh hidup kita. A.W. Tozer menulis, “Allah tidak pernah terlalu sibuk untuk mendengar seruan anak-anak-Nya, karena hati-Nya selalu terbuka bagi mereka yang memanggil-Nya dengan iman” (The Pursuit of God).

Selain itu, sebagai anak Allah, kita adalah ahli waris. Dalam budaya kuno, adopsi sering kali berkaitan dengan hak waris. Demikian juga, kita yang diangkat menjadi anak memiliki warisan bersama dengan Kristus—kemuliaan Allah itu sendiri (Roma 8:17). Semua hal dalam hidup ini bekerja untuk kebaikan kita dan kemuliaan kita yang kekal (1 Korintus 3:21-23). Menyadari hal ini membuat kita sadar betapa kaya dan berharganya posisi kita, lebih dari semua harta duniawi.

Lebih dari itu, kita memiliki Roh Kudus yang tinggal di dalam hati kita. Pengangkatan menjadi anak selalu diiringi oleh kelahiran baru, yaitu perubahan arah dan hasrat hidup. Orang percaya telah “dilahirkan dari Roh” (Yohanes 3), dan karena itu, Roh mendorong kita memanggil Allah dengan seruan penuh kasih: “Abba, Bapa!” Bahkan ketika kita merasa tidak mampu berdoa dengan benar, Roh Kudus berdoa bersama kita dan untuk kita (Roma 8:26), sebagai bukti nyata kehadiran-Nya yang meneguhkan dan menghibur. Dietrich Bonhoeffer menegaskan, “Roh Kudus adalah jaminan bahwa kita tidak pernah berdoa sendirian; Dia adalah suara Bapa di dalam hati kita” (The Cost of Discipleship).

Sebagai anak, kita juga dipanggil untuk menaati Bapa dan mengutamakan kehendak-Nya: menguduskan nama-Nya, memajukan kerajaan-Nya, dan melaksanakan kehendak-Nya. Kita juga dipanggil untuk saling mengasihi sesama saudara seiman, dengan berdoa dan memperhatikan kebutuhan mereka. Doa Bapa Kami dipenuhi oleh kata “kami,” bukan hanya “saya”—karena doa Kristen sejati selalu mencakup kasih terhadap komunitas tubuh Kristus.

Jadi, ketika kita menyebut Allah sebagai “Bapa,” kita sebenarnya sedang mengakui iman kita kepada Kristus, keyakinan akan kasih Allah, sukacita dalam Roh Kudus, tekad untuk taat, dan perhatian kepada sesama orang percaya. Inilah cara yang benar untuk menjawab maksud Yesus ketika mengajarkan kita doa ini.

 

YANG ADA DI SURGA

Kekuatan sebuah doa sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kita mengenal Allah yang kepada-Nya kita berdoa. Gambaran yang sempit dan kabur tentang Allah akan membuat doa kita dingin dan hambar. Sebaliknya, kesadaran akan kebesaran Allah akan membangkitkan semangat doa. Semua doa besar, baik dalam Alkitab maupun dalam sejarah gereja, lahir dari pengenalan akan Tuhan yang agung. John Piper menulis, “Doa yang kuat dimulai dari hati yang kagum akan keagungan Allah, karena hanya ketika kita melihat Dia sebagaimana adanya, kita dapat berdoa dengan iman yang sejati” (Desiring God).

Ketika Yesus mengajarkan kita menyapa “Bapa kami yang ada di surga,” Dia sedang membawa kita kepada dua hal sekaligus: keintiman dan kekaguman. “Bapa” menunjukkan kedekatan dan kasih yang pribadi; “yang di surga” menekankan keagungan, kemuliaan, dan kekekalan Allah. Dia bukan hanya dekat, tapi juga Mahabesar, tak terbatas, dan Mahakuasa. Gabungan ini membuat kita yakin bahwa kasih-Nya tidak akan berubah dan kuasa-Nya sanggup menangani semua kebutuhan kita. R.C. Sproul menjelaskan, “Menyebut Allah sebagai Bapa yang di surga adalah pengakuan bahwa Dia adalah Raja yang berdaulat sekaligus Bapa yang penuh kasih—keduanya sempurna dalam harmoni” (The Prayer of the Lord).

“Surga” di sini tidak berbicara tentang lokasi fisik yang jauh dari bumi, sebab Allah adalah Roh. Dalam Alkitab, surga lebih menunjuk pada dimensi keberadaan-Nya yang berbeda—lebih tinggi, lebih suci. Dan meski Dia “bersemayam di surga,” Dia tetap dekat dengan anak-anak-Nya di bumi. Ini adalah dasar dari keintiman doa Kristen: Allah Mahabesar tidak pernah terlalu sibuk untuk mendengarkan.

Mengenal keagungan Allah ini seharusnya menumbuhkan kerendahan hati dan mendorong kita untuk menyembah-Nya. Doa tidak hanya tentang permintaan, tetapi juga tentang pengakuan akan siapa Allah itu—dan memberi Dia tempat yang layak dalam hati kita. Jika para malaikat dan orang kudus di surga memuliakan Allah sebagai Bapa, maka kita pun dipanggil melakukan hal yang sama. Tim Keller menulis, “Doa adalah percakapan dengan Allah yang mengubah kita, karena dalam doa kita belajar untuk melihat dunia dari perspektif-Nya yang kekal” (Prayer: Experiencing Awe and Intimacy with God).

Bayangkan betapa menakjubkannya ini: Tuhan atas alam semesta selalu tersedia bagi kita. Pandangan-Nya menjangkau segala sesuatu, namun setiap kali kita berseru, Dia memberi perhatian penuh kepada kita. Ini adalah keajaiban doa Kristen—“hotline” pribadi dengan Allah yang Mahatinggi.

Untuk meresapinya, kita bisa memulai dari dua arah: Pertama, pikirkan keagungan Allah sebagai Pencipta yang kekal, lalu kagum bahwa Allah yang begitu agung itu memilih tinggal bersama orang yang rendah hati dan bertobat (Yesaya 57:15). Kedua, renungkan kasih kebapaan Allah, lalu kagum bahwa Bapa itu adalah juga Allah yang sempurna, tanpa kekurangan seperti orang tua di dunia. Keduanya akan memperkuat kekaguman dan keintiman kita. “Dia Bapa saya, dan Dia Allah di surga”—ini bukan hal kecil; ini kebenaran yang mengubah hidup.

 

DIKUDUSKANLAH NAMA-MU

Secara alami, kecenderungan kita adalah berdoa dengan fokus pada diri sendiri. Bahkan banyak doa “rohani” tetap berpusat pada kepentingan pribadi. Namun Yesus mengajarkan kita untuk memulai doa bukan dengan kebutuhan kita, tetapi dengan Allah—agar kita menyadari bahwa Dia jauh lebih penting daripada kita. Tiga permohonan pertama dalam doa ini dimulai dengan “Engkau,” dan yang pertama adalah: “Dikuduskanlah nama-Mu.” Ini bukan hanya permintaan pertama, tapi yang paling penting dan mendasar dari semuanya.

Ketika kita berdoa agar nama Allah dikuduskan, kita meminta agar Allah dikenal, dihormati, dan dimuliakan sebagai pribadi yang kudus. Dalam Alkitab, “nama” berarti siapa Allah itu. “Kudus” mengacu pada keunikan Allah dalam kekudusan, kuasa, dan kemurnian-Nya. Maka, permintaan ini adalah seruan agar seluruh hidup kita—dan hidup orang lain juga—memuliakan dan meninggikan Allah. Jonathan Edwards menulis, “Menguduskan nama Allah adalah tindakan tertinggi dari hati yang telah melihat kemuliaan-Nya dan terpikat oleh keindahan-Nya” (A Treatise Concerning Religious Affections).

Setiap aliran teologi Kristen sejati, apapun latar belakangnya, mengakui bahwa tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah. Mazmur 115:1 berkata, “Bukan kepada kami, ya Tuhan, tetapi kepada nama-Mu-lah kemuliaan.”

Namun, siapa yang bisa benar-benar berdoa seperti ini? Hanya mereka yang memandang seluruh hidup sebagai sarana untuk memuliakan Allah. Mereka tidak mengabaikan dunia ciptaan, tapi melihat keindahan dan kebaikan dari semua hal: seni, musik, anak-anak, makanan, seks, alam, maupun gereja—semuanya adalah hadiah dari Sang Pencipta. Dan mereka hidup dengan rasa syukur agar orang lain juga memuliakan Allah karenanya. Augustinus pernah berkata, “Kita diciptakan untuk Allah, dan hati kita tidak akan tenang sampai kita memuliakan Dia dengan seluruh keberadaan kita” (Confessions).

Menguduskan nama Allah juga berarti memuliakan karya penebusan-Nya. Dalam hikmat, Allah menyediakan jalan keselamatan yang adil; dalam kasih, Ia menyerahkan Anak-Nya; dalam keadilan, Ia menghukum dosa di dalam Kristus; dalam kuasa, Ia membangkitkan dan mempersatukan kita dengan Kristus; dan dalam kesetiaan, Ia menjaga kita sampai akhir. Keselamatan adalah karya penuh Allah—dan kita diminta untuk mengakui dan memuliakan Dia karenanya.

Selain itu, nama Allah dimuliakan ketika kita mempercayai penyelenggaraan-Nya atas hidup kita dan menghormati Firman-Nya. Allah telah meninggikan Firman-Nya di atas segala nama (Mzm. 138:2), dan kita menghina nama-Nya bila hidup kita dipenuhi ketakutan dan kebimbangan, seolah-olah Dia kehilangan kendali atas dunia ini. J.I. Packer menegaskan, “Menguduskan nama Allah berarti hidup dengan keyakinan bahwa Dia adalah Tuhan yang berdaulat, yang tidak pernah gagal dalam rencana-Nya yang sempurna” (Knowing God).

Penghormatan sejati kepada nama Allah muncul dari hati yang bersyukur dan taat. Paulus mengidentifikasi ketidakbersyukuran sebagai akar kejatuhan manusia (Rm. 1:21). Karena itu, menguduskan nama Allah berarti menjalani hidup dengan penuh ucapan syukur dan kesetiaan yang nyata dalam tindakan.

Alkitab menyebut sikap ini sebagai “takut akan Tuhan”—rasa hormat yang dalam, bukan ketakutan yang panik. Mazmur 111 adalah contoh klasik, menggambarkan pujian atas perbuatan dan firman Allah sebagai bentuk awal dari hikmat sejati. Orang yang sungguh menghormati nama Allah akan menjadi pribadi yang bijak, seimbang, dan matang.

Katekismus Westminster merumuskan: “Tujuan utama manusia adalah memuliakan Allah dan menikmati-Nya selamanya.” Memuliakan dan menikmati adalah dua sisi dari satu koin. Tuhan menciptakan kita sedemikian rupa sehingga kebahagiaan kita yang terdalam ditemukan justru dalam menyenangkan hati-Nya. Menjadikan pengudusan nama Allah sebagai tujuan hidup tidak akan membuat hidup menjadi membosankan—justru sebaliknya, hidup akan menjadi jalan penuh sukacita. C.S. Lewis menegaskan, “Kita paling memuliakan Allah ketika kita paling menikmati Dia, karena dalam sukacita sejati kita menemukan tujuan sejati kita” (Reflections on the Psalms). Cobalah, dan buktikan sendiri.

DOA BAPA KAMI - Sebuah perenungan (I)

Banyak orang zaman sekarang merasa doa itu membingungkan. Ada yang melakukannya hanya karena rutinitas, tanpa makna. Ada juga yang menggantinya dengan meditasi atau “waktu tenang,” dan tak sedikit yang meninggalkannya sama sekali. Mengapa? Karena mereka belum mengenal siapa Tuhan yang mereka doakan.

Kalau Anda tidak yakin apakah Tuhan itu benar-benar ada, peduli, atau mendengar, tentu saja berdoa terasa sia-sia. Tapi ketika Anda percaya bahwa Yesus adalah gambaran sejati Tuhan, maka doa bukan lagi kewajiban—doa menjadi kebutuhan.

“Tuhan tidak jauh dari kita. Ia dekat, seperti seorang Bapa yang merindukan anak-anak-Nya datang dan berbicara.”
A.W. Tozer

Doa Adalah Percakapan, Bukan Upacara

Bayangkan Anda punya sahabat yang sangat bijak, selalu hadir untuk mendengar, dan tak pernah bosan mendengar cerita Anda. Anda pasti akan mencari waktu untuk berbicara dengannya, bukan?

Doa seharusnya seperti itu—sebuah percakapan yang jujur dengan Tuhan yang mengasihi Anda. Billy Bray, seorang pengkhotbah sederhana dari Inggris, sering berkata, “Saya harus berbicara dengan Bapa tentang hal itu.” Kalimat ini menggambarkan hubungan yang nyata, bukan formalitas.

Seorang anak kecil jatuh dan lututnya berdarah. Ia tidak mencoba menjelaskan luka itu dengan kata-kata indah kepada ayahnya. Ia hanya menangis dan berkata, “Ayah, sakit!” Dan ayahnya langsung menggendongnya.

Begitulah doa—kadang kita hanya bisa berkata, “Tuhan, tolong aku.” Dan itu cukup.

Apakah Tuhan Menjawab?

Jawabannya: Ya. Tapi bukan selalu dalam bentuk suara atau perasaan yang dramatis. Seringkali, saat kita jujur mengungkapkan isi hati, mengingat firman-Nya, dan membiarkan Roh Kudus bekerja, Tuhan menjawab dalam bentuk damai yang tak bisa dijelaskan.

“Doa bukanlah memaksa Tuhan untuk mengikuti kehendak kita, tapi menyerahkan kehendak kita untuk mengikuti-Nya.”
Oswald Chambers

Kita mungkin tidak tahu semua alasan di balik kejadian hidup, tapi kita akan tahu apa yang perlu kita lakukan sekarang—melayani dan memuliakan Tuhan di tempat kita berada.

Kita Diciptakan untuk Berdoa

Doa bukan tambahan. Doa adalah bagian dari rancangan Tuhan bagi kita. Bahkan bisa dikatakan, doa adalah ukuran hidup rohani seseorang.

“Apa yang seseorang lakukan saat dia berlutut di hadapan Tuhan, itulah dia—dan tidak lebih.”
Robert Murray McCheyne

Tak heran para murid Yesus suatu kali berkata, “Tuhan, ajarilah kami berdoa.” (Lukas 11:1). Dan Yesus menjawab mereka dengan Doa Bapa Kami, bukan hanya untuk dihafal, tapi untuk dijadikan pola.

Doa Itu Latihan Hati

Seperti belajar menyanyi, Anda tidak akan bisa hanya dengan membaca teori. Anda harus melatihnya, mencobanya, dan terus mengasahnya. Demikian juga dengan doa.

Alkitab penuh dengan contoh doa—Mazmur adalah buku doa yang paling kaya, berisi luapan hati yang jujur. Tapi yang paling utama adalah Doa Bapa Kami.

Doa ini berisi tujuh unsur penting:

  1. Mendekat dengan hormat dan percaya
  2. Menyembah Tuhan
  3. Mengaku dosa dan minta ampun
  4. Memohon kebutuhan hidup
  5. Bergumul demi berkat Tuhan (seperti Yakub)
  6. Menerima rencana Tuhan
  7. Berpegang teguh meski dalam badai

Doa ini bukan teori. Ini adalah napas hidup rohani.

Seorang musisi pemula belajar memainkan lagu klasik. Awalnya dia meniru mentah-mentah. Tapi seiring waktu, ia menemukan sentuhannya sendiri. Doa juga begitu. Kita mulai dari teladan, tapi kemudian berkembang menjadi percakapan pribadi yang dalam.

Mengupas Struktur Doa Bapa Kami

Yesus mengajarkan kita menyapa Tuhan sebagai “Bapa kami yang di surga.” Ini luar biasa! Di budaya Yahudi, menyebut Tuhan sebagai “Bapa” secara pribadi adalah hal yang tak lazim. Tapi Yesus membuka jalan: Tuhan itu dekat seperti Bapa, sekaligus Mahakuasa karena Ia di surga.

Lalu ada tiga permohonan yang berpusat pada Tuhan:

  • Nama-Mu dikuduskan → hormati Tuhan.
  • Kerajaan-Mu datang → rindu kedaulatan Tuhan nyata.
  • Kehendak-Mu jadi → taat sepenuh hati.

Kemudian tiga permohonan untuk kita:

  • Beri kami roti → kebutuhan jasmani.
  • Ampuni kami → kebutuhan rohani.
  • Lindungi kami → kebutuhan perlindungan.

Dan ditutup dengan pujian:
“Karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya.”

“Ketika kita belajar berdoa dengan kata-kata Yesus, kita mulai melihat dunia dengan mata-Nya dan hidup dengan kekuatan dari surga.”
N.T. Wright

Tuhan yang Menuntun Percakapan

Terkadang kita berdoa dengan pikiran kacau, tidak tahu harus berkata apa. Tapi seperti sahabat bijak yang berkata, “Coba ceritakan ulang pelan-pelan. Apa yang sebenarnya kamu rasakan?”, Doa Bapa Kami menolong kita mengurutkan isi hati.

Bayangkan Tuhan bertanya:

  • “Siapa Aku bagimu?” → Bapa kami di surga.
  • “Apa yang paling kamu rindukan?” → Nama-Mu dimuliakan, kehendak-Mu jadi.
  • “Apa yang kamu butuhkan sekarang?” → Roti, pengampunan, perlindungan.
  • “Mengapa kamu yakin Aku mendengarmu?” → Karena Engkau berkuasa dan layak dimuliakan.

Doa ini menyentuh hati kita secara mendalam karena ia merangkum isi hati anak kepada Bapanya.

Ilustrasi: Seperti gambar anak-anak yang menyembunyikan bentuk tertentu. Awalnya kita tak melihat apa-apa, tapi saat kita tahu gambarnya, bentuk itu menjadi jelas. Doa Bapa Kami seperti itu—semakin kita menggunakannya, semakin terlihat betapa dalam dan indahnya doa ini.

Doa Adalah Sekolah Seumur Hidup

Doa Bapa Kami bukan sekadar pelajaran pertama. Ini adalah landasan semua pelajaran doa. Kita tidak akan pernah selesai belajar dari doa ini.

Jika Anda merasa buntu dalam berdoa, ulangi satu permintaan sederhana para murid itu:

“Tuhan, ajarilah aku berdoa.”

Itu adalah langkah awal yang paling jujur dan paling kuat.

 

Sumber bacaan: Praying The Lord’s Prayer oleh J.I. Packer

18 May 2025

GEMBALA SIDANG SEBAGAI PEMIMPIN KELUARGA

 

Dalam perspektif umum, menjadi seorang gembala sidang adalah panggilan ilahi yang diberikan secara khusus kepada seorang percaya untuk melayani jemaat Tuhan di sebuah gereja lokal. Tujuan dari panggilan penggembalaan tersebut adalah untuk mengajar dan melayani jemaat gereja dengan penuh kerelaan, keikhlasan, dedikasi dan pengabdian yang tulus. Keputusan untuk menjadi gembala sidang juga seharusnya tanpa adanya paksaan dan harus bersih dari motivasi mencari keuntungan pribadi. Tujuan dari panggilan ini adalah agar jemaat dapat bertumbuh dan berkembang secara rohani, sehingga jemaat yang dilayani, dapat bertumbuh sehat dalam hal iman dan karakternya.

 “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu.”

Kutipan di atas adalah perkataan Rasul Petrus dalam 1 Petrus 5:2-3. Ia mendorong para gembala sidang untuk memelihara motivasi yang benar dalam melayani, dengan menekankan pentingnya menggembalakan kawanan domba (jemaat) Allah dengan sukarela, sesuai dengan kehendak-Nya, dan dengan sikap penuh pengabdian, bukan untuk kepentingan diri sendiri.

Nasehat ini membawa implikasi etika yang tinggi dalam pelayanan seorang gembala sidang. Pesannya sangat jelas: tugas utama dari pelayanan seorang gembala sidang adalah menggembalakan jemaat Tuhan. Fokusnya haruslah pada kawanan domba Allah yang dipercayakan Tuhan kepadanya, dan pelayanan tersebut harus dilakukan dengan penuh sukarela dan tanpa motif mencari keuntungan, melainkan dengan sepenuh hati dalam bingkai pengabdiannya kepada Allah.

Seorang gembala sidang juga harus menyadari sebuah hal penting. Sebelum ia menghadapi dan melayani jemaat gereja, ia terlebih dahulu harus menghadapi dan melayani keluarga intinya: istri dan anaknya. Keluarga gembala adalah saksi pertama mengenai kesejatian panggilan pelayanan sang gembala, pun juga adalah penguji dan pembukti pertama dari semua khotbah yang disuarakan sang gembala dari mimbar gerejanya. Hal inilah yang membuat keluarga inti gembala memiliki arti penting dalam panggilan pelayanannya.

Tuntutan dan Problematika Seorang Gembala Sidang

Saat seorang percaya merespon panggilan untuk menjadi gembala sidang atau pendeta. Disadari atau tidak, hal tersebut berarti ia harus siap memikul sebuah tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab itu juga membawa konsekuensi yang besar pula bersamanya.

Beban tanggung jawab dan konsekuensi besar ini tercermin dari banyak tulisan yang menuntut gembala sidang untuk memiliki karakter pribadi yang unggul dan keluarga yang sempurna.  Pembahasan yang mengangkat topik karakter gembala sidang, misalnya, ditulis oleh Lena Sembiring dan Simon. Dalam tulisannya, mereka berpendapat bahwa sebagai model bagi jemaat, gembala sidang diharapkan memiliki kehidupan dan rumah tangga yang menjadi contoh yang baik. Pernikahan dan rekam jejak hidup yang baik, kemampuan dalam kepemimpinan keluarga, bahkan mereka menyoroti gaya hidup istri gembala yang tidak menimbulkan hambatan bagi pelayanan sang gembala.

Hal senada diungkapkan oleh Dewi Morata yang membahas tentang aspek kepemimpinan seorang gembala. Dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa seorang gembala sebagai pemimpin harus memiliki fokus pada hidupnya agar tanpa cela, bertindak sebagai pelayan Allah yang hidup dalam penguasaan diri dan berperilaku baik. Dalam konteks hubungan keluarga, seorang gembala diharapkan menjadi suami yang setia dan mampu mengatur rumah tangganya. Selain itu, sebagai pemimpin, mereka diharapkan mampu memimpin dengan ramah, tanpa kecenderungan tamak uang, mampu mengajar dan memelihara kebenaran, serta menjadi saksi yang baik. Kunci dari karakter gembala sebagai pemimpin adalah kesetiaan dalam doa pribadi, menjaga prioritas, rendah hati, mengetahui kelemahan, dan bertanggung jawab.

Brian dan Cara Croft mendefinisikan sebuah permasalahan besar yang mendasar yang dialami oleh gembala secara pribadi. Para gembala sidang secara umum sering menemui dan menggumuli permasalahan ini. Permasalahan tersebut adalah “Tuntutan.” Seorang gembala menerima banyak sekali tuntutan, baik tuntutan yang berasal dari dirinya sendiri, maupun yang dialamatkan oleh banyak kelompok di sekelilingnya, kepada dirinya. Dengan menyandang predikat sebagai gembala/pendeta di suatu jemaat maka berbagai tuntutan tersebut mulai bermunculan.

Tuntutan untuk menjadi paling benar dan bermoral, menjadi figur suci, memiliki iman yang sempurna, mentalitas yang kokoh, intelektualitas dan kekuatan akademik yang tinggi, dan berbagai macam tuntutan yang lain mulai terlihat tidak masuk akal untuk dialamatkan kepada seorang manusia. Memang kita harus mengakui bahwa di satu sisi tuntutan tersebut terasa masuk akal dalam konteks bidang kerja seorang gembala yang berada dalam ranah pendidikan moral dan spiritual. Namun mengabaikan sisi kemanusiaan seorang gembala dan memberi tuntutan untuk selalu berada di titik kesempurnaan jelas adalah hal yang tidak relistis.

Berikut beberapa contoh tuntutan yang sering kali dirasakan oleh seorang gembala menurut Brian dan Cara Croft:

1.      Tuntutan Persetujuan dan Penerimaan

Tuntutan akan persetujuan dan penerimaan dari orang lain ini adalah hal yang umum diinginkan oleh semua orang. Hal ini juga berlaku bagi para gembala, terutama ketika berkaitan dengan orang-orang yang dipercayakan untuk dilayani. Namun, bagaimana jika seorang gembala menemukan bahwa jemaatnya (orang-orang yang dia gembalakan) tidak menunjukkan memberikan persetujuan dan penerimaan terhadap dirinya? Bagaimanapun juga, seseorang memiliki kecenderungan mengikuti keinginannya untuk disukai dan diterima oleh orang lain dalam komunitasnya. Demi untuk disetujui dan diterima, seorang gembala dapat melakukan apa saja demi mendapatkannya dari jemaat dan orang-orang yang dia layani. Contohnya adalah terlalu mengakomodir dan mengikuti saran jemaat dan melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Dalam prosesnya, sang gembala sering kali tergoda untuk mengorbankan prinsip atau keyakinannya sendiri. Bagi banyak gembala, pendapatan finansial dan posisi mereka di masyarakat berada di bawah kendali jemaat mereka. Bahkan jika ini bukan masalahnya, kehidupan seorang gembala seringkali dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang dilayaninya. Banyak pengorbanan yang dilakukan oleh seorang gembala adalah untuk mereka.

2.      Tuntututan Pencitraan

Terkadang, apa yang orang lain pikirkan tentang kita dapat memengaruhi tindakan kita secara signifikan. Sebagai seorang gembala, perhatian dari jemaat yang dia layani bisa menjadi beban tersendiri. Meskipun penting untuk memprioritaskan kekudusan pribadi dan hidup bertanggung jawab, terlalu memperhatikan penilaian orang lain bisa menghalangi kejujuran kita dalam melihat kesalahan dan kekurangan diri sendiri. tekanan untuk mendapatkan persetujuan dari jemaat bisa mengorbankan integritas dan mengabaikan masalah-masalah nyata. Sebagai contoh, dalam situasi ketidakbahagiaan dalam pernikahan, seorang gembala mungkin merasa terpaksa menyembunyikan pergumulannya itu daripada menghadapinya secara transparan, karena takut akan penilaian dari jemaat yang ia layani. Semua ini bisa mengakibatkan pengabaian terhadap pola-pola dosa dalam hidup mereka. Oleh karena itu, penting bagi seorang gembala untuk menemukan keseimbangan antara perhatian terhadap orang lain dan keteguhan memegang prinsip kebenaran serta kesetiaan pada panggilannya untuk menggembalakan jemaat Tuhan.

3.      Tuntutan Signifikansi

Para gembala sering kali bergumul dengan keinginan untuk menjadi seseorang yang penting dan diharapkan kehadirannya dalam banyak hal dalam hidup jemaatnya. Hal yang paling jelas terlihat adalah kecenderungan seorang gembala untuk secara sukarela melakukan semua pekerjaan. Hal ini menciptakan pola pelayanan yang tidak sehat dimana perasaan dibutuhkan ini akan membuat jemaat gereja terlalu bergantung padanya dalam segala hal. Seorang gembala harus melakukan setiap kunjungan pada jemaat. Dia yang harus berkhotbah setiap hari Minggu. Dia juga harus hadir di setiap pertemuan. Dia harus memimpin setiap pernikahan dan pemakaman. Oleh karena tuntutan itu, ia tidak berani mendelegasikan tugasnya kepada orang lain. Dia juga akan takut mengambil waktu liburannya – meskipun dia sangat membutuhkan waktu bersama keluarganya. Dia tidak akan membiarkan orang lain membantunya - meskipun dia hampir kehabisan tenaga ketika dia mencoba menyeimbangkan tuntutan gereja dan keluarga.

Keinginannya untuk dibutuhkan menuntunnya secara tidak sadar menciptakan budaya gereja yang di dalamnya ia seolah tak tergantikan. Hal ini dapat dengan mudah disamarkan sebagai kesetiaan kepada Tuhan atau sebagai semangat untuk bekerja keras dalam pekerjaan pelayanan, namun hal ini pada akhirnya membawa pada dua akibat yang umum: kelelahan dan pengabaian keluarga.

4.      Tuntutan Ekspektasi

Di setiap gereja lokal, terdapat dua ekspektasi yang berbeda: (a) ekspektasi yang dipegang oleh jemaat terhadap gembalanya dan (b) ekspektasi yang dibuat sendiri oleh sang gembala. Harapan-harapan ini sering kali berbeda, bahkan tak jarang bertolak belakang secara prinsip, sehingga menimbulkan ketegangan dan tantangan. Misalnya, seorang gembala mungkin mendengar komentar yang bertentangan dari anggota jemaat yang berbeda terhadap dirinya, seperti kritik tentang kurangnya kehadiran gembala di kantor gereja dan kurangnya mengunjungi anggota jemaat yang lanjut usia. Dihadapkan pada tuntutan-tuntutan yang saling bertentangan ini, seorang gembala yang bijaksana berusaha untuk menetapkan harapan-harapan yang realistis melalui dialog daripada mencoba hal-hal yang mustahil.

Meskipun ekspektasi eksternal dari jemaat dapat menjadi hal yang menakutkan, para gembala sering kali mendapati bahwa ekspektasi yang paling sulit untuk dipenuhi adalah ekspektasi yang mereka berikan pada diri mereka sendiri. Merasakan adanya tekanan untuk mewujudkan peran sebagai seorang manusia super, para gembala mungkin bergumul dengan ketidakmampuan mereka sendiri untuk memenuhi semua kewajiban yang dirasakan. Perjuangan internal dalam diri gembala ini, ditambah dengan tekanan eksternal, dapat menyebabkan pengabaian yang merugikan terhadap keluarga pendeta itu sendiri.

 DAMPAK PADA ISTRI DAN ANAK GEMBALA SIDANG

Istri Gembala

Istri dan anak gembala jelas mengalami dampak dari panggilan pelayanan gembala. Pergumulan yang dialami gembala dalam pelayanan penggembalaannya pasti juga dirasakan dan dialami oleh keluarganya: istri dan anaknya.

Dalam buku yang sama, Cara Croft menuliskan sebuah judul bagian yang menarik yang menggambarkan pergumulannya menjadi istri gembala. Bagian itu diberi judul I Don’t Recall Saying ‘I Do’ to This! (terj. Saya tidak ingat mengatakan ‘Saya bersedia’ untuk ini). Dia menunjukkan beberapa hal pergumulan yang dia alami.

Seorang istri gembala menerima beban moral yang sama yang dipikul suaminya dari jemaat yang digembalakan. Jemaat seringkali membayangkan dan mengharapkan seorang istri gembala memiliki kemampuan yang sama dengan suaminya. Hal ini adalah sebuah harapan yang jelas tidak realistis. Orang-orang di gereja jelas memiliki harapan yang tinggi terhadap seorang istri gembala. Mereka mengharapkan agar dia memimpin pelayanan anak-anak, hadir di setiap kegiatan gereja, serta menghadiri berbagai acara seperti kebaktian, pemakaman, dan pernikahan. Selain dari tugas-tugas gerejawi, ada juga harapan mengenai gaya berpakaian, cara mendidik anak, dan bahkan cara berbicara di depan umum. Daftar ekspektasi ini tampaknya tak berkesudahan dan terus berubah seiring waktu. Sebagai istri seorang gembala, dia tidak dapat menghindari beban ekspektasi ini, dan tidak mungkin berpura-pura bahwa ekspektasi tersebut tidak ada.

Ekspektasi yang sama tidak hanya datang dari luar, melainkan dari dalam diri sang istri gembala itu sendiri. Saat jemaat menuntut sebuah citra yang harus disandang oleh gembalanya, sang istri berusaha untuk mengimbangi dan mewujudkan tuntutan itu juga terhadap dirinya demi menjaga nama baik suaminya. Hal tersebut tentunya akan membwa dampak bagi pribadinya. Ada dampak yang dihasilkan dari ekspektasi eksternal dan internal dari posisi seorang istri seorang gembala tersebut.

 Anak Gembala

Kita sudah melihat gembala dengan segala beban problematika yang dialaminya, diikuti dengan gambaran singkat mengenai pergumulan seorang istri gembala dalam mendampingi pelayanan suaminya. Satu pihak lain yang harus diperhatikan adalah anak gembala.

Kehidupan anak gembala sidang sering kali menjadi sorotan dari berbagai lingkungan, termasuk keluarga, gereja, dan sekolah. Sorotan ini tidak selalu mudah, karena seringkali berubah menjadi tuntutan yang memaksa mereka untuk hidup lebih sempurna daripada anak-anak sebaya mereka. Dalam masa pertumbuhan, anak-anak gembala menghadapi pergumulan khusus terkait identitas diri dan spiritualitas.

Panggilan menjadi gembala sidang adalah sebuah panggilan mulia yang menuntut pengabdian total dan ketulusan hati. Seorang gembala dipanggil untuk melayani jemaat dengan kasih, tanpa pamrih, dan dengan motivasi yang murni, demi pertumbuhan rohani jemaat yang sehat. Pelayanan ini bukan hanya mencakup tugas-tugas di mimbar atau di lingkungan gereja, tetapi juga dimulai dari rumahnya sendiri—keluarga inti menjadi panggung pertama di mana keaslian panggilan dan integritas pelayanan diuji dan disaksikan. Karena itu, panggilan ini menuntut keselarasan hidup antara apa yang dikhotbahkan dan apa yang dijalani sehari-hari.

Namun dalam kenyataannya, gembala sidang menghadapi beragam tuntutan yang berat, baik dari jemaat, dari dirinya sendiri, maupun dari sistem budaya gereja yang kadang tidak realistis. Tekanan untuk selalu tampil sempurna, menjaga citra, dan memenuhi ekspektasi bisa menggerogoti kesehatan rohani, mental, bahkan relasi keluarga sang gembala. Istri dan anak-anak gembala pun turut menanggung beban ini, sering kali tanpa pilihan atau persiapan yang memadai. Oleh sebab itu, penting bagi jemaat dan komunitas gereja untuk menyadari sisi kemanusiaan seorang gembala dan memberikan ruang serta dukungan agar mereka, bersama keluarganya, dapat tetap sehat, otentik, dan berbuah dalam panggilan pelayanan yang Tuhan percayakan.


Sumber bacaan:

Croft, B, and C Croft. The Pastor’s Family: Shepherding Your Family through the Challenges of Pastoral Ministry. Zondervan, 2013.

Morata, Dewi. “Karakter Gembala Sebagai Pemimpin.” Ginosko: Jurnal Teologi Praktika 1, no. 2 (2020): 118–34.

Sembiring, Lena Anjarsari, and Simon. “Rumah Tangga Gembala Sidang Menjadi Role Model Bagi Jemaat.” Jurnal Teologi Praktika 1, no. 2 (2020): 106–20.


08 May 2025

“Jangan Sentuh Aku”: Eksegesa Yohanes 20:17


Yohanes 20:17 mencatat salah satu interaksi paling misterius dalam kisah kebangkitan Yesus: perintah-Nya kepada Maria Magdalena, “Jangan sentuh Aku” (Μή μου ἅπτου). Ayat ini menjadi pusat perdebatan teologis karena tampaknya bertentangan dengan ajakan Yesus kepada Tomas di ayat 27. Lebih dari sekadar catatan naratif, pernyataan Yesus kepada Maria mencerminkan realitas teologis yang dalam mengenai relasi antara tubuh kebangkitan, kenaikan, dan dimensi spiritual dalam Injil Yohanes. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri secara eksegetis dan teologis makna dari perintah tersebut, dengan memperhatikan latar belakang linguistik, budaya, dan teologis dari ayat ini.

Teks Yunani Yohanes 20:17 berbunyi:
Λέγει αὐτῇ Ἰησοῦς· Μή μου ἅπτου, οὔπω γὰρ ἀναβέβηκα πρὸς τὸν πατέρα· πορεύου δὲ πρὸς τοὺς ἀδελφούς μου καὶ εἰπὲ αὐτοῖς, Ἀναβαίνω πρὸς τὸν πατέρα μου καὶ πατέρα ὑμῶν καὶ θεόν μου καὶ θεὸν ὑμῶν.
Terjemahan LAI:TB:
"Kata Yesus kepadanya: 'Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa. Tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.'”


“Μή μου ἅπτου” (Jangan Sentuh Aku)

Momen pewahyuan seperti yang dialami Maria tentu membangkitkan emosi yang kuat, baik di masa lampau maupun masa kini. Tidak mengherankan jika Maria memeluk Yesus—sebuah tindakan yang tersirat dalam Yohanes 20:17—karena secara manusiawi, ia sedang mengekspresikan kasih dan kelegaan setelah menemukan kembali Pribadi yang dikiranya telah mati. Dalam konteks ini, istilah "menyentuh" sangat mungkin berarti “memeluk,” bukan sekadar sentuhan ringan seperti menyentuh lengan atau berjabat tangan, yang tidak selaras dengan suasana emosional saat itu (bandingkan dengan 20:25).

Para penafsir telah mengusulkan berbagai makna dari larangan Yesus agar Maria tidak menyentuh-Nya. Beberapa melihatnya sebagai simbol larangan menyentuh hal-hal kudus dalam momen teofani (lih. Kel. 19:12–13), meskipun larangan ini tampaknya tidak konsisten dengan kisah Tomas (20:27). Ada pula yang menduga larangan ini menyiratkan bahwa Yesus telah mengalami bentuk awal dari kenaikan sebelum akhirnya memperbolehkan Tomas menyentuh-Nya. Dalam kerangka ini, beberapa menautkannya dengan kisah dalam Apokalips Musa, di mana menyentuh tubuh Adam dalam kondisi tertentu bisa membahayakan. Namun, relevansi analogi ini bergantung pada asumsi yang tidak pasti tentang hubungan antara kisah itu dan Injil Yohanes.

Secara gramatikal, bentuk larangan yang digunakan Yesus dalam Yohanes 20:17—imperatif kini negatif—lebih tepat dipahami sebagai “Berhentilah menyentuh-Ku” atau “Berhentilah memeluk-Ku,” bukan larangan mutlak. Ini sejalan dengan kemungkinan bahwa Maria tengah berpegang erat pada Yesus dalam suasana haru yang mendalam (bdk. Mat. 28:9–10). Yohanes tampaknya ingin menekankan bahwa respons Maria berasal dari iman yang penuh kasih, kontras dengan Tomas yang membutuhkan bukti fisik untuk percaya.

Selain itu, teori tentang "kenaikan antara" kurang meyakinkan karena didasarkan pada asumsi teologis yang tidak ditegaskan oleh teks. Lebih mungkin bahwa Yesus membatasi pelukan Maria karena waktu-Nya di dunia akan segera berakhir. Karena Ia belum naik ke surga, Maria akan punya kesempatan lain untuk menjumpai-Nya setelah menyampaikan pesan kepada para murid. Atau, Yesus mungkin sedang mengarahkan Maria agar tidak terlalu bergantung pada kehadiran fisik-Nya, mengingat bahwa Roh Kudus akan tinggal bersama mereka sebagai pengganti-Nya (lih. Yoh. 20:22).

Pertanyaannya kemudian, ke “kenaikan” manakah Yohanes 20:17 merujuk? Referensi ke Yohanes 6:62 tidak membantu banyak, dan jika kita memahami “kenaikan” sebagai kemuliaan melalui salib (lih. Yoh. 3:13–15), maka ucapan Yesus di 20:17 menjadi sulit dipahami karena penyaliban sudah terjadi. Sebagian menafsirkan ucapan Yesus sebagai pertanyaan retoris, seolah berkata, “Bukankah Aku telah naik?” Namun pendekatan ini terdengar tidak alami dan tidak sesuai dengan cara Yohanes biasanya menyampaikan narasi teologisnya.

Walaupun Yohanes menekankan eskatologi yang kini-berlangsung (“realized eschatology”), ia tetap mengakui adanya dimensi masa depan, seperti dalam Yohanes 5:28–29 dan 6:39–54. Fakta bahwa Yesus secara fisik tidak lagi bersama komunitas Yohanes mendukung pemahaman bahwa kenaikan telah terjadi, meskipun Yohanes tidak menceritakannya secara eksplisit. Tradisi kenaikan lebih gamblang dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, serta ditegaskan dalam surat-surat seperti Efesus, Kolose, dan Ibrani.

Secara teologis, ketidakhadiran fisik Yesus dipahami sebagai akibat dari kenaikan-Nya kepada Bapa, sementara kehadiran-Nya kini dilanjutkan melalui Roh Kudus. Ini selaras dengan janji Yesus tentang “Penghibur yang lain,” yang akan menyertai murid-murid-Nya secara rohani (lih. Yoh. 14:16–26). Maka, Yohanes tampaknya menekankan kesinambungan kehadiran dan pelayanan Yesus melalui Roh Kudus ketimbang narasi spasial tentang perpisahan.

Dalam konteks sastra kuno, tidak semua peristiwa harus diceritakan secara eksplisit agar dianggap terjadi. Banyak karya besar seperti Iliad, Odyssey, dan Argonautica mengisyaratkan peristiwa penting tanpa menyajikannya langsung. Demikian juga Yohanes—ia tampaknya menganggap audiensnya sudah memahami tradisi kenaikan Yesus. 

Kisah-kisah kenaikan sangat dikenal di dunia kuno, baik dalam bentuk mitos, apokrifa Yahudi, maupun kisah tentang tokoh-tokoh seperti Henokh dan Elia. Namun, dalam Kekristenan, kebangkitan tubuh Yesus dan kenaikan-Nya memiliki makna yang jauh lebih dalam dan unik secara teologis. Yohanes memang menerima konsep kenaikan dan eskatologi masa depan, namun penekanannya adalah pada puncak pengangkatan Yesus melalui salib dan pemuliaan-Nya, yang berpuncak pada pencurahan Roh Kudus. Maka, tidak mengejutkan jika Yesus berkata bahwa Ia “akan naik” dengan bentuk kata kerja waktu kini dalam Yohanes 20:17—sebab dalam pandangan teologi Yohanes, pengangkatan Kristus sudah dimulai dari salib dan mencapai kepenuhannya dalam kehadiran Roh Kudus.

Ungkapan “μή μου ἅπτου” secara gramatikal menggunakan bentuk imperatif present negatif, yang biasanya mengindikasikan tindakan yang sedang berlangsung atau ingin dihentikan. Dengan demikian, kemungkinan besar perintah ini sebaiknya diterjemahkan: “Berhentilah menyentuh-Ku” atau “Jangan terus-menerus memegang-Ku.” Ini bukan larangan absolut terhadap sentuhan, melainkan sebuah peringatan terhadap penahanan atau keterikatan yang berlebihan.

Bentuk ini kontras dengan undangan Yesus kepada Tomas (20:27) yang justru memperbolehkan dan bahkan mendorong tindakan fisik. Kontras ini mengindikasikan bahwa masalah dalam Yohanes 20:17 bukanlah “sentuhan” itu sendiri.


Konteks Naratif dan Nuansa Emosional

Maria, yang baru saja mengalami kehilangan dan kini bertemu kembali dengan Yesus yang bangkit, kemungkinan besar merespons dengan pelukan penuh emosi. Dalam budaya Palestina abad pertama, seorang perempuan yang meratap dapat dengan bebas mengekspresikan kesedihan dan kasih, termasuk dalam bentuk pelukan atau memegang tubuh orang yang dikasihi. Maka tindakan Maria adalah respons manusiawi yang tulus.

Namun, Yesus menghentikannya bukan karena tubuh kebangkitan-Nya belum “siap disentuh,” tetapi karena Ia hendak mengarahkan Maria kepada tugas yang lebih penting: menjadi saksi kebangkitan kepada “saudara-saudara-Nya.” Keterikatan Maria pada kehadiran fisik Yesus harus digantikan dengan kepercayaan kepada kehadiran-Nya yang akan dinyatakan melalui Roh Kudus (20:22). Maka, perintah itu juga menjadi transisi pedagogis dari iman berbasis fisik kepada iman berbasis pewahyuan dan pengutusan.

Makna “Aku Belum Pergi kepada Bapa”

Frasa ini, yang dalam bahasa Yunani berbentuk “οὔπω γὰρ ἀναβέβηκα πρὸς τὸν πατέρα” (“sebab Aku belum naik kepada Bapa”), menjadi pusat interpretasi kenaikan dalam Injil Yohanes. Secara teologis, kenaikan dalam Yohanes tidak hanya menunjuk kepada peristiwa tubuh Yesus naik ke surga, tetapi merupakan puncak dari rangkaian peristiwa: salib, kebangkitan, dan penganugerahan Roh Kudus (lih. Yoh 14–16). Yohanes cenderung menafsirkan “kenaikan” sebagai bagian dari proses “pengangkatan” (ὑψωθῆναι) yang dimulai di salib (Yoh 3:14; 12:32).

Namun demikian, pernyataan Yesus bahwa Ia belum naik menunjukkan adanya suatu interval teologis. Interval ini penting karena di dalamnya Maria diutus untuk memberitakan, dan para murid disiapkan untuk menerima kehadiran-Nya dalam bentuk Roh (20:22). Maka, tindakan “menaik kepada Bapa” menandakan transformasi eskatologis dalam cara kehadiran ilahi dialami oleh komunitas murid.


Peran Maria Sebagai Rasul kepada Para Rasul

Yesus tidak hanya melarang Maria memegang-Nya, tetapi juga memberinya misi: “Pergilah kepada saudara-saudara-Ku…” (20:17b). Dalam konteks sosial abad pertama, penugasan ini sangat luar biasa karena perempuan bukanlah saksi sah dalam banyak pengadilan Yahudi dan Romawi. Namun dalam narasi kebangkitan, Maria menjadi saksi pertama dan pembawa berita kepada para rasul. Gelar yang kemudian diberikan oleh tradisi Gereja, Apostola Apostolorum (“Rasul kepada para Rasul”), secara tepat mencerminkan makna peran ini.

Penekanan Yohanes di sini bukan apologetik, melainkan didaktik—mengajar bahwa pewartaan iman adalah panggilan siapa saja yang telah bertemu Sang Tuhan yang bangkit, tanpa batasan gender. Kesaksian Maria sejajar dengan pola kesaksian yang direkomendasikan bagi semua murid dalam Injil Yohanes (bdk. 1:46; 4:39–42; 20:30–31).


Kesimpulan

Yohanes 20:17 bukanlah teguran terhadap ekspresi kasih Maria, melainkan pengarahan kembali kasih itu menuju pengutusan. Dalam konteks Injil Yohanes, kenaikan bukanlah akhir naratif, melainkan momen transformatif di mana kehadiran Yesus ditransisikan dari kehadiran fisik menuju kehadiran spiritual melalui Roh Kudus. Dengan menolak untuk terus-menerus dipegang, Yesus mengajak Maria—dan para murid setelahnya—untuk mengenal kehadiran-Nya secara baru, dan mewartakan kabar itu kepada dunia.

Ayat ini sekaligus menegaskan bahwa kesaksian perempuan—yang secara sosial tidak sah—menjadi sah oleh mandat Kristus sendiri. Dalam hal ini, Yohanes 20:17 adalah deklarasi eskatologis dan eklesiologis: perjumpaan dengan Kristus yang bangkit harus mengarah kepada pengutusan, dan iman yang dewasa harus melepaskan keterikatan pada bentuk lama demi menerima kehadiran Kristus yang baru dalam Roh.

24 April 2025

KRITIK: NUTRISI PERTUMBUHAN ROHANI DAN PEMURNI KARAKTER ("Besi Menajamkan Besi dan Manusia Menajamkan Sesamanya"- Amsal 27:17)

Dalam masyarakat kita, kritik seringkali dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Apalagi ketika kritik itu diarahkan kepada seseorang yang memiliki otoritas atau status yang lebih tinggi. Kritik kepada sesama mungkin dianggap biasa, namun kritik kepada pemimpin atau otoritas sering dilihat sebagai bentuk pemberontakan atau ketidakhormatan. Padahal, pertanyaan yang lebih mendasar perlu diajukan: Apakah kritik selalu berarti menyerang? Ataukah kritik bisa menjadi alat Tuhan untuk membentuk kita?

Makna Kritik dalam Terang Kebenaran

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kritik sebagai kecaman atau tanggapan yang kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya atau pendapat. Dalam pengertian ini, kritik tidak selalu negatif—ia bersifat netral. Yang menentukan makna kritik adalah bagaimana kita menerimanya.

Secara rohani, kritik bisa dilihat sebagai sarana Tuhan untuk menyatakan bagian-bagian dalam hidup kita yang masih perlu disempurnakan. Dalam Amsal 27:17 tertulis, “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.” Amsal ini merupakan salah satu ayat paling populer dan kerap dijadikan kutipan dari seluruh kitab Amsal. Meskipun sering kali dihubungkan dengan persahabatan antar pria, sebenarnya tidak ada dasar kuat untuk membatasi penerapannya hanya pada laki-laki; ayat ini berlaku juga bagi perempuan. Ibarat gesekan antara dua bilah besi yang menghasilkan ketajaman, pertanyaan utama justru terletak pada arti dari “menajamkan sesama”.

Secara umum, ayat ini dipahami – dan tidak banyak yang membantah penafsiran ini – sebagai gambaran bagaimana sahabat saling membantu mempersiapkan diri menghadapi dinamika kehidupan. Dalam konteks kitab Amsal, hal ini kemungkinan besar berkaitan erat dengan praktik saling mengajar dalam hal hikmat, yang membekali seseorang untuk menjalani hidup secara bijaksana.

Lebih dari itu, proses ini juga melibatkan kesediaan untuk menegur dan menerima teguran atas perilaku atau ucapan yang keliru. Dengan demikian, para sahabat dapat belajar dari satu sama lain dan menghindari kesalahan yang sama di masa depan. Mencari hikmat bukanlah perjalanan pribadi semata, tetapi merupakan usaha kolektif yang dijalani dalam komunitas.

Kritik adalah bagian dari proses saling menajamkan itu. Sama seperti besi yang tak bisa menajamkan dirinya sendiri, kita pun membutuhkan sesama untuk membentuk dan memperhalus karakter kita.

Kritik dalam Perspektif Alkitab

Di sepanjang Alkitab, kita melihat bagaimana Tuhan memakai kritik untuk menegur, mengoreksi, bahkan menyelamatkan umat-Nya. Nabi Natan datang kepada Raja Daud setelah dosa besar yang ia lakukan (2 Samuel 12). Natan tidak menyerang, namun dengan bijak menyampaikan teguran Tuhan. Daud, alih-alih marah, justru bertobat dan menulis Mazmur 51, salah satu pengakuan dosa terdalam dalam Alkitab.

Yesus sendiri juga mengkritik—namun tidak pernah untuk menjatuhkan, melainkan untuk memulihkan. Ia menegur orang Farisi karena kemunafikan mereka, namun kemudian Yesus juga mengundang semua orang, termasuk mereka, untuk bertobat. Kritik Yesus selalu ditujukan kepada motivasi hati, bukan sekadar tindakan lahiriah.

Penulis Amsal berulang kali mengingatkan bahwa orang bijak mencintai teguran (Amsal 9:8, 12:1). Bahkan dalam kitab Wahyu, Yesus berkata, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar” (Wahyu 3:19). Kritik, dalam terang kasih Allah, bukan penghukuman, melainkan pemurnian.

Mengapa Kita Perlu Kritik?

Kita semua terbatas. Tidak ada manusia yang bisa melihat dirinya secara utuh tanpa bantuan orang lain. Sama seperti kita membutuhkan cermin untuk melihat wajah kita, kita juga memerlukan “cermin jiwa” berupa masukan dari orang lain untuk mengenal diri lebih dalam.

Sering kali kritik dapat menjadi alat yang memperlihatkan sisi-sisi buta (blind spots) dalam hidup kita, yang tidak terlihat oleh mata kita sendiri. Tanpa kritik, kita mudah sekali terjebak dalam ilusi tentang diri, merasa baik-baik saja padahal sedang berjalan melenceng prinsip-prinsip kebenaran.

Sikap Hati yang Sehat terhadap Kritik

Sikap kita terhadap kritik akan menentukan apakah kita akan bertumbuh atau justru menjadi stagnan. Berikut beberapa sikap hati yang sehat:

  1. Kerendahan Hati: Mengakui ketidaksempurnaan kita adalah langkah pertama menuju pertumbuhan. Yakobus 4:6 mengingatkan, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengaruniakan kasih karunia kepada orang yang rendah hati.” Dengan kerendahan hati, kita menerima kritik sebagai kasih karunia Tuhan, bukan ancaman terhadap harga diri.

  2. Pembedaan Rohani: Tidak semua kritik bernilai sama. Kita perlu hikmat dari Roh Kudus untuk membedakan kritik yang membangun dari yang merusak. 1 Yohanes 4:1 mengajarkan untuk “menguji setiap roh”, termasuk motif di balik kritik. Kritik yang lahir dari kasih bertujuan memulihkan, sedangkan kritik yang penuh iri hati atau kebencian dapat diabaikan setelah diuji.

  3. Doa dan Refleksi: Setiap kritik harus dibawa ke hadapan Tuhan. Mazmur 139:23-24 menjadi doa kita: “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah ada jalan yang sesat padaku, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal.” Dengan doa, kita meminta Tuhan menunjukkan kebenaran di balik kritik dan bagaimana Ia ingin kita bertumbuh.

  4. Syukur dalam Teguran: Amsal 27:6 menyatakan, “Luka dari seorang sahabat dapat dipercaya, tetapi ciuman seorang lawan adalah berlebih-lebihan.” Mengucap syukur atas kritik, meski menyakitkan, mencerminkan iman bahwa Tuhan memakai semua hal untuk kebaikan kita (Roma 8:28). Luka yang benar dari sahabat membawa pemulihan, bukan kehancuran.

Langkah-Langkah Praktis Menanggapi Kritik

Menyikapi kritik dengan cara yang berkenan kepada Tuhan memerlukan langkah-langkah yang disengaja dan dipimpin oleh Roh Kudus:

  1. Dengarkan dengan Penuh Perhatian: Yakobus 1:19 menasihati, “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah.” Diam dan dengarkan kritik hingga selesai tanpa langsung membela diri. Ini menunjukkan kesiapan hati untuk belajar.

  2. Ulangi dengan Kata-kata Sendiri: Mengulang kritik dengan bahasa kita sendiri menunjukkan usaha untuk memahami, bukan hanya mendengar. Hal ini juga membantu mencegah kesalahpahaman dan menunjukkan sikap rendah hati kepada penyampai kritik.

  3. Fokus pada Kebenaran, Bukan Penyampai: Kritik sering disampaikan dengan emosi atau cara yang kurang sempurna. Namun, seperti biji gandum yang terpisah dari sekam, kita harus mencari kebenaran di balik kata-kata, bukan terpaku pada emosi atau sikap penyampai.

  4. Ambil yang Berguna, Buang yang Tidak Relevan: Tidak setiap kritik sepenuhnya benar, tetapi hampir selalu ada kebenaran yang dapat dipetik. Seperti Paulus dalam Filipi 1:18, kita dapat bersukacita selama kebenaran disampaikan, meski motifnya tidak selalu murni.

  5. Bertumbuh Menuju Kekudusan: Kritik adalah undangan untuk bertumbuh. Ibrani 12:11 mengingatkan, “Memang tiap-tiap teguran pada waktu diberikan tidak menyenangkan, malah menyedihkan, tetapi kemudian ia menghasilkan buah damai sejahtera, yaitu kebenaran, bagi mereka yang dilatih olehnya.” Jadikan kritik sebagai batu loncatan menuju kedewasaan rohani, bukan bara dendam.

Melihat Kritik sebagai Anugerah

Dalam dunia yang memuja pujian tanpa evaluasi, menerima kritik dengan sukacita adalah tanda kedewasaan rohani. Kritik bukan musuh, melainkan anugerah ilahi yang membentuk kita menjadi serupa dengan Kristus. Seperti pemurnian emas dalam api, teguran menyakitkan namun menghasilkan kemuliaan.

Marilah kita memandang kritik sebagai sapaan kasih dari Tuhan, yang memanggil kita untuk hidup dalam kebenaran dan kekudusan. Dengan hati yang rendah dan penuh syukur, kita dapat bertumbuh melalui setiap teguran, menjadi pribadi yang “sempurna dan utuh, tidak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:4). Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk menerima kritik dengan keberanian dan hikmat, demi kemuliaan Tuhan.