Laman

Showing posts with label dewasa. Show all posts
Showing posts with label dewasa. Show all posts

24 April 2025

KRITIK: NUTRISI PERTUMBUHAN ROHANI DAN PEMURNI KARAKTER ("Besi Menajamkan Besi dan Manusia Menajamkan Sesamanya"- Amsal 27:17)

Dalam masyarakat kita, kritik seringkali dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Apalagi ketika kritik itu diarahkan kepada seseorang yang memiliki otoritas atau status yang lebih tinggi. Kritik kepada sesama mungkin dianggap biasa, namun kritik kepada pemimpin atau otoritas sering dilihat sebagai bentuk pemberontakan atau ketidakhormatan. Padahal, pertanyaan yang lebih mendasar perlu diajukan: Apakah kritik selalu berarti menyerang? Ataukah kritik bisa menjadi alat Tuhan untuk membentuk kita?

Makna Kritik dalam Terang Kebenaran

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kritik sebagai kecaman atau tanggapan yang kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya atau pendapat. Dalam pengertian ini, kritik tidak selalu negatif—ia bersifat netral. Yang menentukan makna kritik adalah bagaimana kita menerimanya.

Secara rohani, kritik bisa dilihat sebagai sarana Tuhan untuk menyatakan bagian-bagian dalam hidup kita yang masih perlu disempurnakan. Dalam Amsal 27:17 tertulis, “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya.” Amsal ini merupakan salah satu ayat paling populer dan kerap dijadikan kutipan dari seluruh kitab Amsal. Meskipun sering kali dihubungkan dengan persahabatan antar pria, sebenarnya tidak ada dasar kuat untuk membatasi penerapannya hanya pada laki-laki; ayat ini berlaku juga bagi perempuan. Ibarat gesekan antara dua bilah besi yang menghasilkan ketajaman, pertanyaan utama justru terletak pada arti dari “menajamkan sesama”.

Secara umum, ayat ini dipahami – dan tidak banyak yang membantah penafsiran ini – sebagai gambaran bagaimana sahabat saling membantu mempersiapkan diri menghadapi dinamika kehidupan. Dalam konteks kitab Amsal, hal ini kemungkinan besar berkaitan erat dengan praktik saling mengajar dalam hal hikmat, yang membekali seseorang untuk menjalani hidup secara bijaksana.

Lebih dari itu, proses ini juga melibatkan kesediaan untuk menegur dan menerima teguran atas perilaku atau ucapan yang keliru. Dengan demikian, para sahabat dapat belajar dari satu sama lain dan menghindari kesalahan yang sama di masa depan. Mencari hikmat bukanlah perjalanan pribadi semata, tetapi merupakan usaha kolektif yang dijalani dalam komunitas.

Kritik adalah bagian dari proses saling menajamkan itu. Sama seperti besi yang tak bisa menajamkan dirinya sendiri, kita pun membutuhkan sesama untuk membentuk dan memperhalus karakter kita.

Kritik dalam Perspektif Alkitab

Di sepanjang Alkitab, kita melihat bagaimana Tuhan memakai kritik untuk menegur, mengoreksi, bahkan menyelamatkan umat-Nya. Nabi Natan datang kepada Raja Daud setelah dosa besar yang ia lakukan (2 Samuel 12). Natan tidak menyerang, namun dengan bijak menyampaikan teguran Tuhan. Daud, alih-alih marah, justru bertobat dan menulis Mazmur 51, salah satu pengakuan dosa terdalam dalam Alkitab.

Yesus sendiri juga mengkritik—namun tidak pernah untuk menjatuhkan, melainkan untuk memulihkan. Ia menegur orang Farisi karena kemunafikan mereka, namun kemudian Yesus juga mengundang semua orang, termasuk mereka, untuk bertobat. Kritik Yesus selalu ditujukan kepada motivasi hati, bukan sekadar tindakan lahiriah.

Penulis Amsal berulang kali mengingatkan bahwa orang bijak mencintai teguran (Amsal 9:8, 12:1). Bahkan dalam kitab Wahyu, Yesus berkata, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar” (Wahyu 3:19). Kritik, dalam terang kasih Allah, bukan penghukuman, melainkan pemurnian.

Mengapa Kita Perlu Kritik?

Kita semua terbatas. Tidak ada manusia yang bisa melihat dirinya secara utuh tanpa bantuan orang lain. Sama seperti kita membutuhkan cermin untuk melihat wajah kita, kita juga memerlukan “cermin jiwa” berupa masukan dari orang lain untuk mengenal diri lebih dalam.

Sering kali kritik dapat menjadi alat yang memperlihatkan sisi-sisi buta (blind spots) dalam hidup kita, yang tidak terlihat oleh mata kita sendiri. Tanpa kritik, kita mudah sekali terjebak dalam ilusi tentang diri, merasa baik-baik saja padahal sedang berjalan melenceng prinsip-prinsip kebenaran.

Sikap Hati yang Sehat terhadap Kritik

Sikap kita terhadap kritik akan menentukan apakah kita akan bertumbuh atau justru menjadi stagnan. Berikut beberapa sikap hati yang sehat:

  1. Kerendahan Hati: Mengakui ketidaksempurnaan kita adalah langkah pertama menuju pertumbuhan. Yakobus 4:6 mengingatkan, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengaruniakan kasih karunia kepada orang yang rendah hati.” Dengan kerendahan hati, kita menerima kritik sebagai kasih karunia Tuhan, bukan ancaman terhadap harga diri.

  2. Pembedaan Rohani: Tidak semua kritik bernilai sama. Kita perlu hikmat dari Roh Kudus untuk membedakan kritik yang membangun dari yang merusak. 1 Yohanes 4:1 mengajarkan untuk “menguji setiap roh”, termasuk motif di balik kritik. Kritik yang lahir dari kasih bertujuan memulihkan, sedangkan kritik yang penuh iri hati atau kebencian dapat diabaikan setelah diuji.

  3. Doa dan Refleksi: Setiap kritik harus dibawa ke hadapan Tuhan. Mazmur 139:23-24 menjadi doa kita: “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah ada jalan yang sesat padaku, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal.” Dengan doa, kita meminta Tuhan menunjukkan kebenaran di balik kritik dan bagaimana Ia ingin kita bertumbuh.

  4. Syukur dalam Teguran: Amsal 27:6 menyatakan, “Luka dari seorang sahabat dapat dipercaya, tetapi ciuman seorang lawan adalah berlebih-lebihan.” Mengucap syukur atas kritik, meski menyakitkan, mencerminkan iman bahwa Tuhan memakai semua hal untuk kebaikan kita (Roma 8:28). Luka yang benar dari sahabat membawa pemulihan, bukan kehancuran.

Langkah-Langkah Praktis Menanggapi Kritik

Menyikapi kritik dengan cara yang berkenan kepada Tuhan memerlukan langkah-langkah yang disengaja dan dipimpin oleh Roh Kudus:

  1. Dengarkan dengan Penuh Perhatian: Yakobus 1:19 menasihati, “Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah.” Diam dan dengarkan kritik hingga selesai tanpa langsung membela diri. Ini menunjukkan kesiapan hati untuk belajar.

  2. Ulangi dengan Kata-kata Sendiri: Mengulang kritik dengan bahasa kita sendiri menunjukkan usaha untuk memahami, bukan hanya mendengar. Hal ini juga membantu mencegah kesalahpahaman dan menunjukkan sikap rendah hati kepada penyampai kritik.

  3. Fokus pada Kebenaran, Bukan Penyampai: Kritik sering disampaikan dengan emosi atau cara yang kurang sempurna. Namun, seperti biji gandum yang terpisah dari sekam, kita harus mencari kebenaran di balik kata-kata, bukan terpaku pada emosi atau sikap penyampai.

  4. Ambil yang Berguna, Buang yang Tidak Relevan: Tidak setiap kritik sepenuhnya benar, tetapi hampir selalu ada kebenaran yang dapat dipetik. Seperti Paulus dalam Filipi 1:18, kita dapat bersukacita selama kebenaran disampaikan, meski motifnya tidak selalu murni.

  5. Bertumbuh Menuju Kekudusan: Kritik adalah undangan untuk bertumbuh. Ibrani 12:11 mengingatkan, “Memang tiap-tiap teguran pada waktu diberikan tidak menyenangkan, malah menyedihkan, tetapi kemudian ia menghasilkan buah damai sejahtera, yaitu kebenaran, bagi mereka yang dilatih olehnya.” Jadikan kritik sebagai batu loncatan menuju kedewasaan rohani, bukan bara dendam.

Melihat Kritik sebagai Anugerah

Dalam dunia yang memuja pujian tanpa evaluasi, menerima kritik dengan sukacita adalah tanda kedewasaan rohani. Kritik bukan musuh, melainkan anugerah ilahi yang membentuk kita menjadi serupa dengan Kristus. Seperti pemurnian emas dalam api, teguran menyakitkan namun menghasilkan kemuliaan.

Marilah kita memandang kritik sebagai sapaan kasih dari Tuhan, yang memanggil kita untuk hidup dalam kebenaran dan kekudusan. Dengan hati yang rendah dan penuh syukur, kita dapat bertumbuh melalui setiap teguran, menjadi pribadi yang “sempurna dan utuh, tidak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:4). Kiranya Roh Kudus memampukan kita untuk menerima kritik dengan keberanian dan hikmat, demi kemuliaan Tuhan.

17 April 2025

TANDA-TANDA ANGGOTA GEREJA YANG SEHAT

 

TANDA-TANDA ANGGOTA GEREJA YANG SEHAT[1]

 

Tanda 1 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Pendengar Eksposisional

Mendengarkan secara eksposisional adalah mendengarkan untuk memahami makna dari suatu bagian Kitab Suci dan menerima makna tersebut sebagai gagasan utama yang harus dipahami untuk kehidupan (baik sebagai pribadi atau sebagai komunitas/gereja) Kristen.

Mendengar firman Allah (logos) dan memahaminya (rhema) adalah hal yang membawa kepada iman yang menyelamatkan (Roma 10:17). Anggota gereja menjadi sehat ketika mereka berkomitmen untuk mendengar pesan ini sebagai disiplin rohani yang teratur. Mendengarkan secara eksposisional mendukung kesehatan rohani baik bagi individu maupun seluruh gereja.

* Lógos adalah ekspresi dari pemikiran, sedangkan rhḗma merujuk pada isi atau pokok pembicaraan dari kata-kata yang diucapkan.

 

Tanda 2 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah "Teolog" Biblika

Teolog biblika adalah seseorang yang berkomitmen untuk memahami sejarah pewahyuan dan tema-tema besar beserta doktrin-doktrin dalam Alkitab sebagai sebuah kesatuan dan keterkaitan. Jadi anggota gereja yang sehat berusaha memahami kesatuan dan perkembangan Alkitab secara keseluruhan—bukan hanya bagian-bagian yang terpisah atau ayat-ayat favorit saja.

Menurut J. I. Packer, mengenal Allah dimulai dengan mengetahui tentang Dia, tentang karakter-Nya. Ini juga melibatkan menyerahkan diri kepada Allah berdasarkan janji-Nya untuk menjadi Tuhan kita melalui pertobatan dan iman kepada Yesus Kristus, Anak-Nya. Akibatnya, mengenal Allah berarti mengikuti Yesus sebagai murid. Dan pada akhirnya, mengenal Allah berarti menjadi “lebih dari pemenang” dengan bersukacita dalam kecukupan Allah dalam segala hal.

Pengetahuan semacam ini hanya dapat diperoleh dengan menyelami pesan Alkitab secara mendalam, dengan semua tema besarnya yang kaya. Dan pengetahuan akan Allah ini secara khusus dimiliki oleh anggota gereja Kristen yang berkomitmen untuk menjadi teolog biblika.

 

Tanda 3 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Dipenuhi Injil (Gospel Saturated)

Dipenuhi (saturated. Ingg) – (bio.) keadaan keseimbangan dalam komunitas ketika imigrasi atau penambahan berjumlah sama dengan pengurangan ataupun dengan pemusnahan. (KBBI Online). Pemahamannya kontekstualnya adalah keadaan dimana penambahan/input/pengajaran Injili SEBANDING/SAMA/SEIMBANG dengan output/praktik/tindakan Injili dalam kehidupan orang percaya.

Dalam Injil Yesus Kristus (kabar sukacita tentang pribadi, karya penebusan, dan kebangkitan Kristus), Allah menawarkan diri-Nya bagi orang berdosa dan kepada orang berdosa. Injil inilah yang menyadarkan kita akan kasih Allah, kebobrokan kita sebagai manusia, dan kebutuhan kita akan penebusan, serta kemungkinan memperoleh sukacita kekal melalui penyembahan kepada Allah. Injil yang sama, beserta pemahaman yang sehat tentangnya, membangun kesehatan dan kekuatan dalam diri anggota gereja Kristen.

 

Tanda 4 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Benar-Benar Bertobat

Dalam teologi Kristen, “pertobatan” dipahami sebagai perubahan yang radikal. Pertobatan adalah perubahan total dari kehidupan yang terikat dalam dosa menuju kehidupan yang bebas untuk mencari dan menyembah Allah. Pertobatan bukan sekadar sebuah keputusan, tetapi sebuah transformasi hidup. Perubahan ini bukan sekadar soal kesalehan moral, pengembangan diri, atau modifikasi perilaku. Itu bukan sesuatu yang bisa dicapai melalui tindakan lahiriah atau praktik keagamaan, seperti berjalan ke depan altar. Pertobatan mustahil bisa dicapai jika hanya mengandalkan usaha manusia, melainkan oleh campur tangan Allah.

Pertobatan adalah perubahan yang begitu drastis sehingga memerlukan campur tangan Roh Kudus. Dalam kesadaran dan keputusan pertobatan, Roh Kudus menganugerahkan dua kasih karunia sekaligus, yaitu kekuatan iman dan komitmen pertobatan, agar orang berdosa berbalik meninggalkan dosanya dan mengarahkan pandangannya untuk datang kepada Allah melalui iman kepada Yesus Kristus.

 

Tanda 5 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Penginjil Biblika

Penginjil Biblika (biblical evangelist - penginjil yang sesuai dengan Alkitab) adalah seseorang yang dengan setia membagikan kabar baik tentang Yesus Kristus sesuai dengan kebenaran Alkitab. Penginjilan yang alkitabiah tidak bergantung pada metode pragmatis, emosi, atau tekanan, tetapi pada kesetiaan dalam menyampaikan pesan Injil.

Seorang biblical evangelist harus:

1.         Menyampaikan isi Injil secara spesifik, termasuk siapa Allah, siapa manusia, apa itu dosa, siapa Yesus, apa yang telah Yesus lakukan terhadap dosa, dan apa yang harus dilakukan manusia sebagai respons.

2.         Menegaskan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan (Yohanes 14:6; Kisah Para Rasul 4:12).

3.         Memanggil pendengarnya untuk bertobat dan beriman kepada Kristus.

 

Penginjil yang sejati memahami bahwa keberhasilan penginjilan bukanlah hasil dari usaha manusia, melainkan karya Allah melalui firman-Nya dan Roh Kudus. Oleh karena itu, seorang biblical evangelist menanam dan menyiram benih Injil dengan setia, sambil mempercayakan hasilnya kepada Tuhan (1 Korintus 3:7).

 

Tanda 6 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Anggota yang Berkomitmen

Apa artinya menjadi anggota gereja yang berkomitmen? Gagal menghubungkan diri kita secara tetap dengan Kepala gereja melalui bergabung dengan tubuh-Nya tentu merupakan tanda ketidakbersyukuran, baik karena ketidaktahuan maupun hati yang tumpul. Kita yang memiliki hak istimewa untuk hidup di negara-negara di mana kita dapat dengan bebas bergabung dengan gereja lokal harus mengingat peringatan dari Dietrich Bonhoeffer berikut ini:

“Hanya karena anugerah Allah, sebuah jemaat diizinkan untuk berkumpul secara nyata di dunia ini untuk berbagi Firman Allah dan sakramen. Tidak semua orang Kristen menerima berkat ini. Mereka yang dipenjara, yang sakit, yang terpencar sendirian, para pemberita Injil di tanah-tanah kafir, mereka berdiri sendiri. Mereka tahu bahwa persekutuan yang nyata adalah sebuah berkat. Mereka mengingat, seperti yang dilakukan oleh Pemazmur, bagaimana mereka pergi ‘bersama orang banyak... ke rumah Allah, dengan suara sukacita dan pujian, bersama kumpulan orang yang merayakan hari raya’ (Mzm. 42:4). Oleh karena itu, siapa pun yang hingga saat ini memiliki hak istimewa untuk hidup dalam kehidupan Kristen bersama saudara-saudara seiman, hendaklah memuji anugerah Allah dari lubuk hatinya. Biarlah ia bersyukur kepada Allah sambil berlutut dan menyatakan: Ini adalah anugerah, tidak lain hanyalah anugerah, bahwa kita diperbolehkan hidup dalam komunitas dengan saudara-saudara Kristen.”

 

Tanda 7 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Mencari Disiplin

Disiplin berkaitan dengan pendidikan dan pembelajaran, keteraturan, dan pertumbuhan. Disiplin dalam kehidupan jemaat dan anggota gereja yang sehat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan. Gereja adalah komunitas dan lingkungan yang hidup dalam kedisiplinan dalam mentalitas dan kerohanian. Tidak mungkin bagi anggota gereja untuk saling memperhatikan secara efektif jika hanya sedikit orang yang mengambil tanggung jawab untuk menegur atau membimbing saudara-saudari yang membutuhkannya. Jika anggota gereja tidak mau melayani sesama dengan mengajarkan Firman dalam sekolah Minggu atau memimpin kelompok kecil, jika mereka menghindari mengenal satu sama lain sehingga tidak ada konteks untuk persekutuan yang bermakna, maka disiplin yang bersifat membangun maupun korektif tidak akan terjadi. Rumah Allah akan menjadi tidak tertata dengan baik, anak-anak-Nya tidak diajarkan dengan benar, dan kesaksian gereja akan tercemar oleh dosa yang tidak bertobat dan tidak dikoreksi.

 

Tanda 8 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Murid yang Bertumbuh

Anggota gereja yang sehat adalah anggota gereja yang senantiasa mengalami pertumbuhan. Secara khusus, ia adalah seseorang yang bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus, kekudusan, dan kedewasaan rohani. Kedewasaan dan kekudusan itu dikembangkan dalam ketergantungan kepada Kristus, Firman-Nya, dan sesama di dalam gereja lokal. Dan yang paling luar biasa, kita tidak akan berhenti bertumbuh sampai kita mencapai kepenuhan Kristus! Tidak mungkin memisahkan kesehatan sebuah gereja lokal dari kesehatan anggotanya. Dan tidak mungkin memisahkan kesejahteraan seorang anggota gereja dari pertumbuhan rohani dan pemuridan mereka.

 

Tanda 9 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Pengikut yang Rendah Hati

Kepemimpinan dalam gereja lokal ditetapkan oleh Allah untuk memberkati umat-Nya. Namun, agar kepemimpinan itu efektif, diperlukan dorongan dan dukungan dari anggota gereja. Banyak pria setia yang mengalami kehancuran karena menghadapi anggota jemaat yang keras kepala dan menolak bimbingan. Hal ini seharusnya tidak terjadi di antara umat Allah. Sebaliknya, anggota gereja yang sehat harus berusaha dan mendorong orang lain untuk berusaha mengikuti pemimpin mereka dengan hati yang terbuka lebar, ketaatan yang penuh semangat, dan penundukan yang penuh sukacita.

 

Tanda 10 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Pejuang Doa.

Adakah hak istimewa yang lebih menakjubkan daripada yang telah diberikan kepada orang Kristen melalui Kristus: berdiri di hadapan Allah Bapa kita dan merespons dalam doa oleh Roh-Nya terhadap Firman-Nya yang disampaikan kepada kita? Jika kita ingin menjadi pendengar eksposisional, dipenuhi Injil, dan teolog Alkitabiah, maka kita harus berdoa dengan keyakinan penuh akan apa yang Allah sedang lakukan di dunia melalui Kristus, Putra-Nya, serta berdoa untuk kemajuan Injil dan kehendak-Nya di seluruh dunia.



[1] Ringkasan buku karya Thabiti M. Anyabwile, What is a Healthy Church Member?, Crossway, 2008.

01 May 2020

PEMIMPIN DAN KRITIKAN

Saat sebuah kritik yang ditujukan kepada seseorang yang dianggap memiliki kedudukan atau status yang sejajar, hal tersebut mungkin dianggap sebagai sebuah kewajaran. Namun jika sebuah kritik ditujukan kepada atasan atau orang yang memiliki status dan kedudukan tinggi, hal tersebut seringkali dipandang sebagai sebuah perlawanan. Kata kritik sudah memiliki konotasi negatif dalam masyarakat kita. Namun apakah selalu demikian?

KRITIK – APA ITU?
Kita akan mampu menempatkan kritik di tempat yang tepat saat kita memahami apa itu kritik dan apa fungsinya bagi diri kita.
Menurut kamus bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), kata kritik memiliki arti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat. Banyak orang hanya memandang kritik sebagai sebuah kecaman, atau bahkan serangan. Jarang sekali ada orang yang melihat kritik sebagai sebuah tanggapan. Menurut saya pribadi, kritik adalah sebuah bantuan yang diberikan orang lain untuk melihat hal-hal yang seringkali tidak dapat kita lihat dengan pandangan kita sendiri.
Berdasarkan makna katanya, kritik pada dasarnya bersifat netral. Respon kitalah yang kemudian akan memposisikan kritik tersebut dalam pikiran kita. Kritik akan menjadi sebuah hal yang menyakitkan dan melukai saat kita memandanganya sebagai sebuah serangan kebencian yang dilancarkan oleh orang-orang yang kita anggap ingin menghancurkan hidup kita. Namun di lain pihak, kritik akan menjadi seperti nutrisi yang menyehatkan dan menguatkan, saat kita melihatnya sebagai sebuah alat evaluasi bagi diri kita.
Selembar soal ulangan adalah gambaran yang dapat kita gunakan saat kita memandang sebuah kritik. Selembar soal ulangan dapat dimaknai secara berbeda oleh siswa sekolah. Bagi seorang murid yang sadar akan tujuan pendidikannya, soal ulangan akan menjadi alat untuk mengukur kemampuan dan pemahamannya terhadap sebuah mata pelajaran. Namun di mata seorang murid yang tidak terlalu mempedulikan tujuannya bersekolah, soal ulangan tersebut hanya akan dipandang sebagai hal yang menakutkan dan mengusik kenyamanannya.

ANTI-KRITIK = ANTI-PERKEMBANGAN
Secara nyata: adakah pemikiran dan tindakan seseorang yang bebas dari kesalahan? Tentu saja tidak ada. Semua manusia mengakui bahwa pasti akan ada kelemahan dalam kehidupannya, baik dalam pemikiran maupun tindakannya. Permasalahan yang seringkali timbul adalah bahwa kita sulit untuk melihat kekurangan atau kelemahan kita. Bukan hanya sekedar sulit melihat kesalahan, namun seringkali malah tidak mampu melihatnya.
Sederhananya saja, kita tidak mungkin dapat melihat wajah kita sendiri tanpa bantuan dari pihak lain – baik itu barang atau orang lain. Oleh karena itulah kita sangat membutuhkan pihak lain yang mampu melihat diri kita, baik itu kelemahan maupun kelebihan kita. Dengan adanya mereka, kita akan mampu lebih banyak mengenal diri kita.
Kita akan menjadi manusia yang “utuh” dengan mengenal diri sendiri secara menyeluruh. Kita harus mampu mengidentifikasi diri kita, baik itu kelemahan maupun kelebihan kita. Dari situlah kita akan mampu mengenal setiap potensi diri dan mengembangkannya. Kita juga akan mengenali kelemahan-kelemahan kita dan mencari cara untuk memperbaikinya. Pengembangan diri akan dapat berjalan dengan baik saat kita mengenal diri sendiri dengan baik.

*Celoteh senja 

12 July 2018

SENDIRI: Mandiri dan Bertanggung Jawab (Lukas 4:1-2)

Disadari atau tidak, kita harus menghadapi setiap pergumulan dalam kehidupan kita ini seorang diri. Diri kita sendirilah yang secara langsung akan mengalami baik buruknya konsekuensi dari setiap pilihan kita. Urusan iman kita kepada Tuhan adalah urusan diri kita sendiri. Iman kepada Tuhan tidak dapat dipaksakan untuk dimiliki oleh seseorang, karena pada hakikatnya iman adalah keputusan pribadi seseorang untuk mempercayai Tuhan. lantas bagaimana peranan orang tua dan orang-orang di sekitar kita? Semua orang yang ada di sekitar kita memang memiliki pengaruh dalam pertumbuhan iman kita. Ada yang meberi pengaruh besar dan ada yang berpengaruh kecil. Namun perlu kita semua sadari bahwa pertumbuhan iman kita berasal dari setiap respon dan keputusan diri kita sendiri.

SENDIRI
Para penulis Injil menulis beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa ada masa dimana Tuhan Yesus menjalani proses-Nya seorang diri. Semisal dalam Lukas 4:1-2 menuliskan demikian “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai Iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah waktu itu Ia lapar.” Setelah mengikuti babtisan Yohanes Pembabtis, Tuhan Yesus dibawa Roh Kudus untuk menjalani proses ujian yang sangat berat di padang gurun. Roh Kudus Allah yang mengantar-Nya. Di akhir proses ujian berat tersebut kita ketahui bersama bahwa Yesus dilayani oleh para malaikat. Tetapi di tengah padang gurun itu, saat proses ujian terjadi, Yesus benar-benar seorang diri, melakukan semuanya sendirian, termasuk berhadapan dengan iblis.
Mari kita mundur ke sebuah peristiwa di Perjanjian Lama yang juga dapat memberi kita gambaran yang jelas, bagaimana keputusan kita harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Dalam Daniel pasal 3 diceritakan bahwa Raja Nebukadnezar membuat patung emas dirinya dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk menyembah patung tersebut. Bagi siapapun yang menolak menyembah akan dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Singkat cerita, Hananya, Misael dan Azarya, menolak untuk menyembah patung sang Raja. Mereka membuat sebuah pernyataan yang sangat berani dengan mengatakan “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Daniel 3:16-18)
Kita semua tahu bahwa pada akhirnya mereka mengalami pertolongan Tuhan. Tetapi mari kita kembali pada fase dimana setelah mereka menyatakan menolak menyembah patung Nebukadnezar tersebut, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kemudian diikat dengan erat, tungku api dinyalakan dengan panas yang tujuh kali lipat dari yang biasa, kemudian mereka dicampakkan ke dalamnya. Sampai pada batas itu, mereka tidak melihat ada keajaiban atau mujizat dari Tuhan untuk menolong mereka. Butuh sebuah keberanian yang besar untuk mengambil keputusan yang menyangkut sebuah konsekuensi yang besar. Dan itulah yang mereka alami.
Menyadari bahwa kita harus mempertanggungjawabkan secara pribadi setiap pilihan dan tindakan kita adalah sebuah sikap yang penting. Tanpa kesadaran tersebut, kita akan memiliki frame berpikir yang salah tentang realitas kehidupan. Lebih parahnya lagi, kedewasaan kita tidak akan terbentuk. Satu ciri menonjol dari sebuah kedewasaan adalah sifat kemandirian.
Mandiri artinya berada dalam keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Fase ketergantungan dalam proses pertumbuhan adalah fase kanak-kanak.  Kita menganggap sebagai hal yang wajar saat anak-anak tergantung pada orang tua mereka. Saat masih dalam fase bayi atau balita, kita tidak dapat menuntut banyak kepada anak-anak kita untuk dapat, misalnya, makan sendiri. Mereka masih butuh disuapi makanan karena ketidakmampuan mereka secara fisik.
Namun hal tersebut tidak lagi berlaku bagi anak-anak kita yang sudak berusia enam tahun keatas. Mereka harus mulai belajar mengurus kebutuhan mereka sendiri. Mengambil makan sendiri, makan tanpa disuapi, mandi sendiri, mempersiapkan seragam sekolah sendiri, dll. Bahkan untuk anak yang lebih besar, kita sebagai orang tua sering menuntut mereka untuk mulai terlibat dalam mengurus rumah dan mengambil tanggung jawab yag lebih besar. Mereka harus mampu menghadapi pergumulan hidup mereka sendiri, secara mandiri. Walaupun adakalanya mereka masih membutuhkan pertolongan orang tua, namun pada intinya mereka akan menghadapi kenyataan bahwa mereka harus menghadapi dan menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.

DALAM PENYERTAAN DAN PENJAGAAN TUHAN
Matius 14:22-23 mencatat dalam peristiwa yang lain demikian “Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.” Kita sering mendapati kisah dimana Tuhan Yesus memisahkan diri dari keramaian dan mengambil waktu sendiri. Kesendirian-Nya ini selalu dilakukan dengan tujuan yan jelas, yakni untuk bersekutu dengan Bapa-Nya, dalam doa. Namun setelah Tuhan Yesus menyelesaikan doa-Nya, apakah problematika pelayanan-Nya menjadi lebih mudah? Setelah doa di taman Getsemani, apakah kemudian penyaliban dibatalkan? Tentu tidak, bukan? Itulah kenyataan hidup dan tanggung jawab yang memang harus Yesus pikul. Problematikan kehidupan tidak akan menjadi lebih mudah setelah kita berdoa. Hal tersebut juga berlaku bagi semua orang tanpa kecuali, bahkan bagi pelayan Tuhan sekalipun.
Namun jika kita perhatikan semua tokoh dalam Alkitab yag menyerahkan kehidupan mereka kepada Tuhan, termasuk Tuhan Yesus Kristus yang berserah kepada Bapa, mereka justru terlihat semakin teguh dan kuat menjalani kehidupan, sekalipun harus menghadapi akhir kisah yang berat. Persekutuan para murid Yesus semakin intens dengan Tuhan, dan mereka menghadapi tekanan berat karena iman dan berujung martir. Mereka menyadari hal itu dan tetap berani menghadapinya. Mengapa demikian? Karena mereka tahu tujuan akhir dari semua itu dan melihat serta merasakan penyertaan Tuhan di dalamnya. 
Selama kita hidup di dunia ini, kita harus mandiri dan menghadapi semua pergumulan hidup itu sendiri. Mungkin akan ada banyak orang di sekitar kita yang datang menolong, tapi hal itu tidak akan selalu terjadi. Di akhir dari semuanya itu, hanya ada kita seorang diri berhadapan dengan permasalahan dan pergumulan hidup. Hadapi fakta ini dan berjuanglah. Ingatlah bahwa ditengah segala hal yang terjadi, seberat apapun itu, ada Tuhan yang mengawasi dan menjaga kita. Ia tidak akan membiarkan kita menghadapi permasalahan yang tidak dapat kita tanggung. Ia menggunakan semua bentuk pergumulan kita untuk mendewasakan kita. Hingga pada akhirnya, ia akan memberikan kelegaan yang sempurna di hadirat-Nya. 

17 February 2018

IBLIS: SIAPA SESUNGGUHNYA SANG PENCOBA? (Matius 4:1-11; Markus 1:12-13; Lukas 4:1-13)


Kisah pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun merupakan salah satu kisah yang sangat terkenal dari Alkitab. Banyak erenungan yang dapat kita ambil dari kisah tersebut. Dalam perenungan kali ini, kita akan melihat siapa sebenarnya Sang Pencoba, yang ternyata sering kali datang kepada Tuhan hingga saat ini.
Kisah pencobaan tersebut dimulai saat Tuhan Yesus selesai dibabtis oleh Nabi Yohanes Pembabtis. Setelah keluar dari air dan Roh Kudus yang nampak seperti burung merpati turun atas-Nya, Tuhan Yesus dipimpin oleh Roh Kudus ke padang gurun untuk dicobai oleh iblis. Perhatikanlah bahwa Roh Kudus Allah-lah yang membawa Tuhan Yesus ke padang gurun. Penulis Injil Markus bahkan mengungkapkan kata “dibawa” dengan nuansa yang kasar, yang berarti dibuang atau dilemparkan. Hal ini menunjukkan bahwa proses yang sedang dihadapi Tuhan Yesus kala itu adalah sebuah proses yang berat.
Dalam Injil Matius dan Lukas dituliskan bahwa Roh Kudus sepertinya sengaja membawa Tuhan Yesus untuk dicobai. Hal tersebut menegaskan bahwa posisi Tuhan Yesus adalah sama seperti manusia pada umumnya. Ia tetap harus menghadapi segala bentuk cobaan dan ujian terhadap iman-Nya kepada Bapa.
Sekarang marilah kita sedikit memahami tentang kata “dicobai.” Kata “Dicobai” berasal dari kata Yunani “Peirazo” diterjemahkan dalam dua kata dalam bahasa Inggris: (1) Temp - tujuannya agar melakukan kejahatan/kesalahan/dosa. Dalam konteks inilah kemudian penterjemah Alkitab kita menterjemahkannya dengan kata dicoba atau pencobaan. Kata dicobai selalu membawa konotasi negative di dalamnya, karena memang pada kenyataannya tidak ada seseorang yang dicobai untuk berbuat baik. Kemudian (2) Test - bertujuan untuk mengungkapkan atau memunculkan kebenaran dan hal yang murni agar terungkap. Dalam konteks ini kita memahami bahwa Abraham sedang diuji oleh Tuhan dan bukannya dicobai. Tujuan Tuhan adalah untuk mengungkap apa yang ada dalam hati terdalam Abraham terhadap Tuhan. Demikian juga dengan bangsa Israel selama pengembaraan mereka di padang gurun. Mereka menghadapi ujian untuk mengungkapkan siapa mereka yang sebenarnya dari hati yang terdalam. Dan di akhir kisah pengembaraan tersebut, kita melihat bahwa kecenderungan bangsa Israel adalah melakukan kejahatan. Ada satu kata lain yang seringkali juga diterjemahkan dengan kata dicobai, yaitu kata “Dokime,” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “Trial.” Kata ini mengandung makna persidangan, pembuktian dengan fakta, menunjukkan kemurnian.

Mari sekarang kita perhatikan salah satu tokoh sentral dalam kisah ini, yakni si Iblis. Setan (bahasa Caldea - red) atau iblis ini sebenarnya adalah sebuah gelar dari sang tokoh yang mencobai Tuhan Yesus. Gelar tersebut berarti penuduh, jahat, pemfitnah, pembohong. Jadi gelar tersebut menunjukkan sifat-sifat dari si iblis itu sendiri. Berhubung kata iblis atau setan ini adalah bentukan kata sifat, maka sebenarnya kata tersebut dapat berlaku bagi siapa sebagai person-nya, termasuk kita. Inilah yang sebenarnya harus menjadi perenungan kita semua.

Sebelum lebih jauh lagi, mari kita perhatikan tiga peristiwa pencobaan yang dialami Tuhan Yesus kala itu. Tujuan si iblis mencobai Yesus adalah agar muncul keraguan terhadap Bapa-Nya. Dalam kondisi Yesus yang sedang sangat lapar karena berpuasa selama 40 hari, si setan mencoba-Nya dengan pencobaan pertama, mengubah batu menjadi roti. Perhatikan kalimat “Jika Engkau Anak Allah” yang dilontarkan oleh iblis. Kalimat tersebut seakan meminta pembuktian bahwa Yesus adalah benar anak Allah. Seolah ada pertanyaan seperti “Apakah benar Bapa menganggapmu sebagai anak-Nya? Lantas kenapa Dia membiarkan kamu dalam situasi seperti ini – kelaparan, sendirian, tersiksa?” Iblis ingin Tuhan Yesus meragukan pemeliharaan Tuhan secara fisik dengan memunculkan pikiran “Daripada mati kelaparan, kamu dapat mengubah batu ini jadi roti, bukan? Kan kamu memiliki kuasa yang besar jika memang benar kamu adalah Sang Anak Allah.”
Dalam pencobaan kedua, nada yang sama digunakan oleh si iblis untuk menyerang Tuhan Yesus. Iblis mungkin berpikir dengan meminta Yesus untuk menjatuhkan diri dari atap Bait Suci, dengan kemudian menambahkannya dengan pernyataan firman Tuhan dari Mazmur 91, akan dapat menggoncangkan iman Yesus. Iblis ingin memunculkan pikiran meragukan jaminan penyertaan dan perlindungan Bapa, dalam pikiran Yesus. Iblis seolah bertanya “Benarkah Tuhan akan menjaga nyawamu saat kamu dalam bahaya?” Dan dalam pencobaan ketiga, iblis seolah membawa Yesus untuk berpikir dan meragukan otoritas dari panggilan-nya sebagai Juru Selamat, Mesias bagi umat manusia. Iblis seolah bertanya “Menjadi Mesias artinya menjadi Raja yang berkuasa atas seluruh dunia, bukan? Apakah Tuhan akan memberikan kekuasaan sebesar itu?
Inti dari semua pencobaan Iblis adalah mengguncang Yesus dengan tantangan-tantangan untuk menunjukkan otoritas-Nya sebagai Anak Allah yang diurapi, Sang Mesias yang dijanjikan kepada umat manusia. Namun jika kemudian Tuhan Yesus menuruti tantangan-tantangan tersebut, maka Tuhan Yesus telah gagal memenuhi rancangan Bapa-Nya. Tuhan Yesus telah melencengdari rancangan Bapa yang hakiki mengenai kehadiran-Nya di dunia ini. Dan kegagalan tersebut akan membuat Tuhan Yesus tidak layak lagi menyandang predikat sebagai Anak Allah, Sang Mesias itu.
Sekarang, mari kita melihat jawaban Tuhan Yesus atas pertanyaan-pertanyaan setan. Pada pencobaan pertama, Tuhan Yesus menjawab “Manusia tidak hidup dari roti SAJA, tapi dari firman yang keluar dari mulut Allah.” Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa hidup ini bukan melulu masalah fisik dan pemenuhan keinginan jasmaniah saja, tapi juga harus memperhatikan kehidupan jiwani/rohani. Kenyataannya, jika fokus kita hanya kepada pemenuhan keinginan-keinginan tubuh, maka kita tidak akan ada bedanya dengan binatang. Kesadaran inilah yang harus kita miliki, dan mulai lebih memperhatikan kehidupan rohani kita.
Pada pencobaan kedua, Tuhan Yesus menjawab “Jangan cobai Tuhan Allahmu.” Penobaan ini masih berhubungan erat dengan pencobaan pertama. Kita harus ingat dan benar-benar menekankan pada diri kita bahwa Tuhan bukanlah pelayan kita, yang harus selalu memenuhi semua keinginan kita. Kitalah yang harus tunduk pada perintah-Nya. Mencobai Tuhan seringkali ditunjukkan dengan sikap seperti seorang anak-anak yang selalu meminta keinginannya selalu dipenuhi. Hal ini mengingatkan kita tentang arti kedewasaan rohani. Seseorang yang dewasa secara rohani, akan menundukkan dirinya kepada Tuhan dan bukannya menuntut Tuhan “tunduk” pada keinginannya.
Dalam pencobaan ketiga, Tuhan Yesus terlihat mulai jengah akan keberadaan setan ini. Di sisi lain, setan terlihat berganti taktik karena menyinggung posisi Yesus sebagai Anak Allah ternyata tidak berhasil. Kali ini Setan menunjukkan “takdir yang seharusnya” diperoleh Yesus sebagai seorang Mesias, yakni berkuasa sebagai raja atas dunia. “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” Yesus memiliki kesadaran penuh bahwa Ia adalah Sang Mesias. Namun kemesiasan-Nya bukanlah Mesias yang seperti dibayangkan akan berkuasa sebagai raja. Kemesiasan-Nya adalah yang tetap tunduk kepada rencana Bapa-Nya: Penebusan dosa umat manusia.
Sifat-sifat setan seperti yang telah kita lihat di atas, sebenarnya dapat juga ada dalam hidup kita. Bukankah tidak jarang kita bersikap seperti anak-anak kepada Tuhan? kita sering kali menuntut Tuhan untuk selalu memenuhi semua keinginan kita. Saat keinginan kita tidak dipenuhi, kita mulai menuduh dan menyalahkan Tuhan. Ingatlah bahwa Tuhan bukanlah budak kita. Kita tidak hidup untuk memenuhi keinginan diri kita sendiri. Tuhan menciptakan kita untuk memenuhi tujuan dan rencana-Nya. Itulah bentuk pribadi yang telah dewasa secara rohani.

Marilah kita berjuang untuk menjadi pribadi rohani yang dewasa. Sadarlah bahwa kita hidup untuk menjalankan rancangan Allah bagi kita. Saat kita memaksakan keinginan dan rancangan kita kepada Allah, pada hakikatnya kita telah berdosa dan telah berubah menjadi iblis itu sendiri. Perjuangkan pendewasaan ini adalah sebuah proses yang berat. Oleh karena itu gantungkanlah hidup kita sebenuhnya pada kasih karunia Tuhan dan kebenaran firman-Nya. 

05 April 2017

NIKODEMUS: “Percayalah Kepada-Ku Dalam Setiap Proses Kehidupan” (Renungan Yohanes 3:1-21)


Nikodemus adalah seorang Farisi, sebuah kelompok yang sangat ketat memelihara hukum Musa dan tradisi Yudaisme yang berdasar pada pengajaran Rabi-rabi (tulisan-tulisan rabinik). Kemungkinan besar ia juga adalah seorang pejabat Sanhedrin. Melihat latar belakangnya sebagai seorang Farisi, kita dapat memastikan bahwa Niko-demus adalah seorang yang paham betul aturan dan tradisi Taurat yang berlaku dalam masyarakat Yahudi.
Kisah yang ditulis Rasul Yohanes dalam Yohanes 3:1-21, menceritakan interaksi pertama antara Nikodemus dengan Tuhan Yesus. Pada bagian ini diceritakan bahwa Nikodemus mendatangi Tuhan Yesus pada waktu malam hari. Kenapa malam hari? Menurut pengajaran rabi Yahudi, malam hari adalah waktu terbaik untuk belajar. Namun hal ini kemungkinan besar bukanlah dasar maksud Nikodemus mendatangi Yesus di malam hari. Alasan yang paling masuk akal adalah Nikodemus tidak ingin orang tahu bahwa ia mendatangi Yesus, seorang rabi yang kala itu menjadi sorotan orang banyak karena pengajaran-Nya yang “berani dan berbeda.”
Nikodemus, dan dan mungkin juga banyak orang Farisi lainnya, menilai bawa Yesus adalah seorang yang benar-benar diutus oleh Tuhan. Dia berkata kepada Yesus “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab tidak ada seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu, jika Allah tidak menyertainya.” (Ayt. 2) Perlu diingat bahwa Injil Yohanes tidak menulis peristiwa sepenuhnya berdasarkan waktu peristiwanya (kronologis). Saat Nikodemus mengatakan hal tersebut, kemungkinan Yesus sudah melakukan banyak mujizat yang disaksikan oleh banyak orang. Dari hal tersebutlah kemudian Nikodemus dan beberapa orang Farisi lainnya menyimpulkan bahwa Yesus adalah benar-benar “utusan Tuhan.”

Kelahiran Baru
Tuhan Yesus kemudian mengatakan sebuah pernyataan yang sempat membingungkan Nikodemus, dalam kapasitasnya sebagai seorang pengajar hukum Yahudi. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Dengan kebingungan, Nikodemus menjawab: “Bagaimanakah mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?... Bagaimanakah mungkin hal itu terjadi?” (Ayt. 4, 9)
Kelahiran baru adalah sebuah komitmen yang diambil oleh seorang Kristen untuk memindahkan fokus kehidupannya, dari hal-hal duniawi/daging kepada hal-hal surgawi/rohani. Secara harafiah, Yohanes 3:3 diterjemahkan seperti ini: “Truly, truly, I say to you, If one is not generated from above…” (LITV) Jika  kalimat ini diterjemah dengan bebas, maka kurang lebih bermakna: “kamu harus mengalami pembaharuan kerohanian melalui iman.
Mengenai hal ini, Tuhan Yesus mengatakan bahwa seperti halnya Nikodemus, kita harus dilahirkan kembali dari air dan Roh. Banyak yang memaknai bahwa frasa air dan Roh mengacu pada babtisan air Yohanes Pembabtis dan babtisan roh oleh Tuhan Yesus. Jika kita melihat substansi dari kedua jenis babtisan tersebut, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa kelahiran baru berkenaan dengan pembaharuan jiwa (pikiran dan perasaan) dan pembaharuan iman (band. Roma 12:2). Dalam Kolose 3:10 Rasul Paulus menulis demikian “Each of you is now a new person. You are becoming more and more like your Creator, and you will understand him better.” Dari hari ke sehari, kita dituntut untuk menjadi semakin serupa dengan karakter Kristus Sang Firman yang menciptakan. Disaat yang sama, kita akan terus belajar untuk memahami isi hati dan pikiran-Nya.

Memandang Tuhan
Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” (Ayt. 14-15) Kelahiran baru diawali dengan sebuah komitmen; komitmen yang muncul oleh kesadaran akan dosa-dosa yang telah diampuni Tuhan, dan oleh dorongan Roh Kudus menyerahkan diri pada proses pemurnian yang akan dikerjakan Tuhan dalam kehidupan kita selanjutnya. Jadi komitmen kelahiran baru seperti sebuah pintu masuk kedalam proses Tuhan.
Proses pembentukan karakter dan keimanan dengan Kristus sebagai acuannya, bukanlah sebuah proses yang mudah dan secara asal-asalan dikerjakan oleh Tuhan. Proses tersebut besar dan sangat rumit. Jika kita ditugaskan untuk menyusun permainan puzzle seluas meja makan saja pasti akan merasa kesulitan. Bagaimana jika puzzle tersebut seukuran lapangan bola. Setidaknya seperti itulah gambaran sederhananya betapa sulit dan beratnya proses yang Tuhan kerjakan dalam membentuk karakter kita hingga serupa dengan karakter Kristus. Disitulah iman kita bekerja.
Iman yang kuat sangatlah diperlukan dalam proses hidup yang harus kita lalui. Bagaimanakah mungkin bangsa Israel dapat selamat dari racun ular yang mematikan hanya dengan cara memandang kepada ular tembaga Musa (Bilangan 21:4-9)? Itulah iman. Ada bagian-bagian proses yang menuntut kita untuk sepenuhnya percaya kepada Tuhan, sekalipun itu kadang terasa tidak masuk akal.
           Saat proses itu terlihat mustahil dan tidak masuk akal, pandanglah salib Kristus. Di salib itulah manusia didamaikan dengan Tuhan melalui curahan darah Tuhan Yesus Kristus. Seperti halnya seorang penjahat yang disalib disebelah Kristus, bertobat disaat-saat terakhir kehidupannya dan ia menerima Firdaus, demikianlah pertolongan Tuhan juga akan dinyatakan disaat-saat terberat dalam proses yang harus kita jalani. Ambillah komitmen kelahiran baru. Masukilah proses pembentukan yang Tuhan kerjakan dalam kehidupan kita. Percayalah sepenuhnya dengan apa yang Tuhan kerjakan, dan lihatlah bagaimana kasih Tuhan dicurahkan melalui proses-proses kehidupan tersebut. Amin.

(Renungan dari Yohanes 3:1-21)