Bagi Paulus, kebangkitan di akhir zaman (1 Korintus 15:1–58) merupakan doktrin Yudaisme yang umum, namun memiliki konsekuensi moral (lihat 6:13–14; 15:32–34, 58), sebagaimana juga terdapat dalam pembelaan Yahudi awal lainnya mengenai penghakiman eskatologis atas dasar moralitas (atau kecaman bangsa-bangsa terhadap kaum Epikurean yang “amoral” karena menolak kehidupan setelah kematian).
Untuk mendukung kebangkitan akhir
zaman, Paulus memulai di 1 Korintus 15:1–11 dengan bagian dari doktrin tersebut
yang telah diterima oleh pendengarnya—yakni pemberitaan Injil (kerygma)—dan
meneguhkan poin tersebut dengan menyebut daftar saksi mata. Penerimaan mereka
terhadap kerygma merupakan undangan untuk menerima kerangka
keselamatan-historis Yahudi yang menjadi bagian darinya.
Retorika yang baik biasanya dimulai
dari kesamaan dasar. Maka Paulus memulai dengan mengacu pada pesan yang
telah membawa mereka kepada pertobatan, yang telah mereka setujui (15:1–2;
bandingkan dengan 2:1–5; Galatia 3:2–5; 1 Tesalonika 2:1; 3:4). Paulus
memperingatkan bahwa jika Kristus tidak dibangkitkan, maka iman mereka sia-sia
(15:2, 14, 17; bandingkan dengan 2 Korintus 6:1; Galatia 2:2; 3:4; 4:11; Filipi
2:16; 1 Tesalonika 2:1; 3:5), namun ia juga meyakinkan mereka bahwa hal
tersebut tidak terjadi (15:10, 58). Keselamatan mereka bergantung pada hal itu
(15:2).
Orang-orang Kristen awal melihat bahwa peristiwa-peristiwa Injil diramalkan atau digambarkan sebelumnya dalam Kitab Suci (15:4), dan kemungkinan besar Paulus merujuk pada teks-teks seperti Mazmur 16:10–11 dan Yesaya 53:4–12, yang juga digunakan oleh orang Kristen lainnya. Jika frasa “pada hari ketiga” (dihitung secara inklusif, seperti kebiasaan zaman kuno—yakni dari Jumat sampai Minggu) termasuk dalam “menurut Kitab Suci”, maka Paulus mungkin memikirkan Hosea 6:2 atau Yunus 1:17. Namun, bisa jadi maksud utamanya adalah bahwa Yesus dibangkitkan sebelum tubuh-Nya mengalami pembusukan (Mazmur 16:10; bandingkan dengan 3 Henokh 28:10).
Paulus
dan Kerygma Kebangkitan
Paulus meringkas Injil yang
telah ia beritakan kepada jemaat (15:1–2); ia tidak menciptakannya sendiri,
sebab ia “menyampaikannya” dan mereka “menerimanya” (yakni sebagai tradisi
terdahulu; lihat komentar pada 11:23). Beberapa ahli, berdasarkan kosakata
non-Paulin dan penggunaan bahasa Aram, meyakini bahwa bagian ini adalah pengakuan
iman pra-Paulin. Meski Paulus mungkin menyusun ulang ringkasannya,
informasi dasarnya kemungkinan berasal dari tradisi sebelum dirinya.
Meski banyak kemiripan dengan
Injil-injil, penghilangan saksi perempuan oleh Paulus sangat mencolok.
Mengingat adanya prasangka budaya terhadap kesaksian perempuan, kecil
kemungkinan Injil mengarang kesaksian tersebut, dan sangat masuk akal secara
budaya bahwa Paulus memilih untuk menghilangkannya.
Sebagaimana dalam narasi Perjanjian
Lama mengenai sejarah keselamatan, Paulus menyampaikan tindakan-tindakan
ilahi—dalam hal ini, yang paling utama adalah kematian Yesus “bagi dosa-dosa
kita” (mungkin dengan makna yang sama seperti dalam 8:11; Roma 5:6, 8;
14:15; 2 Korintus 5:14–15; Galatia 1:4; 1 Tesalonika 5:10; bandingkan juga 1
Petrus 3:18), sebagai korban atau pengganti (bandingkan dengan Ibrani
7:27; 10:12; Roma 4:25; 5:9–10; Galatia 2:20). Paulus tentu memiliki dasar
dalam tradisi Yesus sendiri untuk mempercayai hal ini (11:23–25; bandingkan
Markus 10:45; 14:22–24).
Fokus Paulus di sini adalah kebangkitan
Yesus. Meski ia menekankan bahwa tubuh yang dibangkitkan adalah berbeda
(mulia, surgawi, mungkin seperti malaikat), kebangkitan secara jasmani
tetap menjadi aspek penting (15:35–44). Meski tidak menyebut kubur kosong, ada
indikasi bahwa tubuh Yesus bertransformasi, bukan membusuk: Ia
dikuburkan (15:4); makna “kebangkitan” dalam pemahaman Yahudi; dan diskusi
Paulus selanjutnya (15:35–37, 51).
Sekadar penglihatan akan roh atau malaikat (bandingkan 2 Makabe 3:24–26) tidak sesuai dengan konsep Yahudi tentang kebangkitan, tidak mencerminkan pusat pemberitaan kerasulan, dan tidak memicu oposisi publik. Penglihatan roh bukanlah hal yang kontroversial dan tidak menegaskan ancaman eskatologis apa pun.
Saksi
Kebangkitan dan Retorika Paulus
Orang-orang zaman kuno sering
mencatat saksi untuk “penampakan ilahi,” namun biasanya berbentuk mimpi atau
pembebasan—berbeda dari skala yang dijabarkan Paulus. Paulus menyebut enam
individu atau kelompok yang mengalami penampakan (15:5–8):
- Kefas (bandingkan Lukas 24:34);
- Kedua belas murid (meskipun jumlahnya tidak persis, gelar ini tetap
dipertahankan karena makna eskatologisnya);
- Lima ratus saudara, sebagian besar masih hidup saat itu (mungkin sebagai
undangan untuk diverifikasi);
- Yakobus (disebut tanpa perkenalan karena mereka telah
mengenalnya dari tradisi Injil);
- Semua rasul (lebih luas dari keduabelas);
- Paulus sendiri, yang disebut terakhir.
Paulus menggambarkan dirinya sebagai
yang terlahir “tidak pada waktunya” (15:8 – seperti bayi mati yang lahir
di luar musim – sebuah penggambaran yang
selalu digunakan sebagai perbandingan dalam LXX: Bil 12:12; Pkh 6:3; Ayb 3:16) namun secara ironi, menerima kehidupan melalui
kebangkitan. Ia memakai metafora dramatis untuk menegaskan realitas klaimnya.
Suatu halusinasi massal dari lima
ratus orang sekaligus sangat sulit untuk dijelaskan. Paulus menyebut saksi dari
para pemimpin gereja yang dihormati dan telah menderita karena kesaksian
mereka, serta dirinya sendiri (dan mungkin juga Yakobus) yang sebelumnya
adalah skeptis.
Namun, semua bukti ini dimunculkan Paulus untuk mendukung sesuatu yang sebenarnya tidak diragukan oleh pendengarnya (15:1–2, 11). Ia menggunakan premis bersama ini untuk meyakinkan bahwa kebangkitan Yesus menjamin kebangkitan umat Allah (15:12).
Pandangan
Kuno Tentang Kebangkitan
Orang Korintus terpelajar
kemungkinan mengikuti pandangan para filsuf: jiwa bersifat kekal, tubuh fana.
Banyak yang memandang tubuh sebagai unsur duniawi dan jiwa sebagai unsur
surgawi (Heraklitos, Seneca), bahkan sebagian orang Yahudi juga (Keb. Salomo
9:15–16; Sifre Ul. 306.28.2). Filsuf melihat jiwa abadi sebagai bagian ilahi
dari manusia; beberapa pemikir Yahudi-Helenistik juga setuju (Philo).
Berlawanan dengan dugaan banyak
sarjana PB modern, mayoritas orang Yahudi saat itu menerima kebangkitan
tubuh di masa depan, selain keabadian jiwa. Beberapa orang Yunani (seperti
kaum Epikurean) menolak kehidupan setelah kematian, dan bahkan mereka yang
mempercayai kelangsungan jiwa tidak bisa membayangkan kebangkitan tubuh (yang
mereka anggap seperti mayat bangkit dari kubur).
Analogi terdekat dalam budaya Yunani adalah:
- Dewa-dewa dunia bawah yang
kembali setiap musim semi,
- Tukang sihir yang menghidupkan
kembali orang mati,
- Bangkitnya orang yang ternyata
hanya pingsan dalam kisah-kisah novel.
Namun, Yudaisme Palestina
menekankan kebangkitan tubuh, seperti terlihat dalam Daniel 12:2 – “Dan banyak
dari antara orang-orang yang telah tidur di dalam debu tanah, akan bangun,
sebagian untuk mendapat hidup yang kekal, sebagian untuk mengalami kehinaan dan
kengerian yang kekal.” Para rabi
kemudian percaya bahwa orang Saduki kehilangan bagian dalam kehidupan setelah
kematian karena mereka menolak kebangkitan. Sebagian orang Yahudi diaspora juga
menerima konsep ini, meskipun sering kali disesuaikan dengan pemikiran
Hellenistik tentang keabadian.
Karenanya, konsep Paulus tentang kebangkitan tubuh mungkin tidak hanya ditentang oleh orang non-Yahudi, tapi juga oleh elemen Yahudi dalam jemaat. Paulus mencoba mengakomodasi sebisa mungkin (frasa “tubuh rohaniah”, “tubuh surgawi” dlm 15:40,44) tanpa mengorbankan keyakinan utamanya bahwa pengharapan masa depan bersifat jasmani, sebagai wujud dari kebaikan ciptaan Allah.
*Craig Keener on 1 Corinthians 15:1-11.