Laman

Showing posts with label kekristenan. Show all posts
Showing posts with label kekristenan. Show all posts

18 April 2025

PEMBUKTIAN KEBANGKITAN KRISTUS: 8 ALASAN

1. Yesus Disalibkan dan Mati di Bawah Pemerintahan Pontius Pilatus

Bukti:

  • Disepakati secara luas oleh para sejarawan Kristen dan non-Kristen.
  • Dikonfirmasi dalam keempat Injil dan surat-surat Paulus (misalnya, 1 Korintus 15:3).
  • Didukung oleh sumber non-Kristen seperti:
    • Tacitus (sejarawan Romawi): Menyebutkan bahwa Kristus dieksekusi oleh Pontius Pilatus.
    • Josephus (sejarawan Yahudi): Referensi tentang penyaliban Yesus (dengan beberapa bagian dianggap sebagai interpolasi Kristen, tetapi sebagian besar diterima sebagai autentik).

Alasan Historis:

  • Penyaliban adalah metode eksekusi Romawi yang umum bagi pemberontak dan penjahat.
  • Fakta ini sangat memalukan bagi para pengikut-Nya, sehingga kecil kemungkinan diciptakan sebagai legenda. (Prinsip criterion of embarrassment dalam historiografi.)

Kematian Yesus melalui penyaliban adalah salah satu fakta sejarah yang paling sedikit diperdebatkan, baik oleh sejarawan Kristen maupun non-Kristen. Keempat Injil menyampaikan narasi yang konsisten mengenai penyaliban ini, dan surat-surat Paulus juga secara eksplisit menyebutkannya, termasuk dalam 1 Korintus 15:3. Selain itu, penulis non-Kristen seperti Tacitus dan Josephus mengonfirmasi bahwa Yesus dieksekusi di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Penyaliban itu sendiri adalah bentuk hukuman Romawi yang umum untuk pemberontak dan penjahat besar, dan karena sifatnya yang memalukan, kecil kemungkinan hal ini diciptakan oleh para pengikut Yesus untuk membangun legenda. Fakta bahwa murid-murid menempatkan Mesias mereka di kayu salib—sebuah simbol kutukan dan kehinaan dalam budaya Yahudi—justru memperkuat keaslian historisnya. Jika para murid ingin menciptakan pemujaan pada figur Yesus, tentunya mereka akan menghilangkan hal-hal yang memalukan dan menggantikannya dengan narasi-narasi yang hebat yang lebih menarik. Kenyataannya tidak demikian.

2. Makam Yesus Yang Kosong

Bukti:

  • Dicatat dalam semua empat Injil.
  • Para wanita sebagai saksi pertama adalah bukti keaslian, sebab kesaksian mereka tidak dihargai secara legal pada zaman itu.
  • Tidak ada catatan historis bahwa pihak berwenang menunjukkan tubuh Yesus sebagai sanggahan.

Pandangan Sarjana:

  • Bahkan beberapa skeptis seperti James Crossley dan John A. T. Robinson menganggap kubur kosong sebagai fakta yang layak dipertimbangkan secara serius.
  • Tokoh seperti William Lane Craig dan Gary Habermas menunjukkan bahwa narasi ini memenuhi beberapa kriteria keotentikan sejarah (multiple attestation, embarrassment, enemy attestation secara tidak langsung).

Keempat Injil menyampaikan bahwa pada pagi hari Minggu, kubur Yesus ditemukan kosong. Yang menarik adalah bahwa para saksi pertama yang disebut dalam narasi tersebut adalah perempuan, terutama Maria Magdalena. Dalam konteks budaya abad pertama, kesaksian perempuan tidak memiliki bobot hukum yang signifikan, sehingga kecil kemungkinan kisah ini diciptakan untuk memperkuat klaim teologis. Beberapa sarjana skeptis pun mengakui bahwa keberadaan cerita makam kosong ini memiliki akar yang cukup tua dan pantas dipertimbangkan secara serius. Fakta bahwa pihak berwenang tidak pernah secara historis membantah kebangkitan dengan menunjukkan tubuh Yesus juga memperkuat argumen bahwa memang tidak ada jenazah yang bisa diperlihatkan—suatu kondisi yang mendesak untuk dijelaskan secara rasional.

3. Para Murid Meyakini Mereka Melihat Yesus yang Bangkit

Bukti:

  • Dicatat dalam 1 Korintus 15:3–8, yang menyebut penampakan kepada:
    • Petrus
    • Kedua belas rasul
    • Lebih dari 500 saudara sekaligus
    • Yakobus
    • Paulus sendiri
  • Muncul juga di Injil dan Kisah Para Rasul: Yesus makan bersama murid, menunjukkan luka-luka-Nya, dan berbicara dengan mereka.

Analisis:

  • Creed dalam 1 Korintus diperkirakan sudah beredar dalam 3–5 tahun setelah peristiwa kebangkitan.
  • Hal ini terlalu dini untuk menjadi legenda.
  • Konsistensi pengakuan saksi di berbagai sumber menambah bobot historis.

Salah satu bagian paling awal dalam Perjanjian Baru, yaitu 1 Korintus 15:3–8, memuat daftar penampakan Yesus pasca-kebangkitan kepada individu-individu dan kelompok, termasuk Petrus, para rasul, lebih dari lima ratus orang sekaligus, Yakobus, dan akhirnya Paulus sendiri. Sumber ini berbentuk pengakuan iman (creed) yang sangat kuno, yang dipercaya oleh banyak sarjana ditulis tidak lama setelah peristiwa kebangkitan itu sendiri. Klaim-klaim ini bukanlah sesuatu yang muncul berabad-abad kemudian, melainkan berasal dari saksi mata atau orang yang sangat dekat dengan mereka. Artinya, para murid benar-benar percaya bahwa mereka telah melihat Yesus hidup kembali dalam wujud fisik, bukan sekadar mengalami kesan spiritual atau pengaruh psikologis.

4. Perubahan Drastis dalam Diri Para Murid

Konteks:

  • Sebelum kebangkitan: murid-murid melarikan diri, bersembunyi, ketakutan (lihat Markus 14:50, Yohanes 20:19).
  • Setelah kebangkitan: tampil penuh semangat, bersaksi di depan umum, dan rela mati.

Signifikansi Historis:

  • Tidak logis jika perubahan besar ini terjadi hanya karena “keyakinan spiritual” atau “halusinasi.”
  • Mereka percaya sungguh-sungguh telah bertemu Yesus secara fisik dan hidup.

Setelah kematian Yesus, para murid digambarkan sebagai orang-orang yang takut, putus asa, dan sembunyi dari otoritas Yahudi dan Romawi. Namun, setelah mereka mengaku melihat Yesus yang bangkit, terjadi transformasi luar biasa. Mereka menjadi pemberani, tampil di depan umum, dan rela dianiaya serta dibunuh karena iman mereka. Perubahan ini tidak masuk akal jika hanya didasarkan pada delusi atau keyakinan emosional. Sesuatu yang nyata dan sangat kuat harus terjadi untuk membuat mereka berubah total. Dalam banyak kasus, orang mungkin bisa mempertahankan kebohongan untuk keuntungan, tapi sangat jarang seseorang rela mati untuk sesuatu yang mereka tahu adalah kebohongan.

‍5. Pertobatan Yakobus, Saudara Yesus

Bukti:

  • Yohanes 7:5: "Sebab saudara-saudara-Nya sendiri pun tidak percaya kepada-Nya."
  • 1 Korintus 15:7: Yesus menampakkan diri secara khusus kepada Yakobus.
  • Kisah Para Rasul: Yakobus kemudian menjadi pemimpin gereja Yerusalem (Kisah 15).

Analisis:

  • Mengapa seseorang yang awalnya tidak percaya tiba-tiba menjadi pemimpin penting dan rela mati demi keyakinannya?
  • Penjelasan paling logis: Ia meyakini bahwa Yesus benar-benar bangkit dan menampakkan diri kepadanya.

Sebelum kebangkitan, Yakobus tidak percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Yohanes 7:5 menyatakan bahwa saudara-saudara-Nya sendiri pun tidak percaya kepada-Nya. Namun, setelah kebangkitan, Yakobus menjadi salah satu pemimpin gereja Yerusalem dan martir karena imannya. Menurut 1 Korintus 15:7, Yesus secara khusus menampakkan diri kepada Yakobus. Perubahan total dari skeptisisme menjadi keyakinan yang begitu kuat ini tidak dapat dijelaskan hanya sebagai tekanan sosial atau pengaruh kelompok. Bukti menunjukkan bahwa pengalaman pribadi yang sangat kuat—penampakan Yesus yang hidup—adalah satu-satunya penjelasan yang cukup masuk akal.

6. Pertobatan Paulus

Bukti:

  • Paulus adalah penganiaya gereja (Kisah Para Rasul 8–9).
  • Ia mengalami penampakan Kristus yang bangkit dalam perjalanannya ke Damsyik.
  • Menjadi penginjil terbesar dan penulis utama dalam Perjanjian Baru.

Signifikansi:

  • Pertobatannya tidak bisa dijelaskan dengan motivasi psikologis biasa.
  • Ia bukanlah pengikut Yesus yang kecewa, tapi justru seorang oposisi keras.
  • Pengakuannya sebagai saksi mata (1 Kor 15:8) memperkuat daftar penampakan.

Paulus adalah seorang penganiaya gereja yang sangat militan. Ia mengejar, menangkap, dan bahkan menyetujui pembunuhan pengikut Yesus. Namun dalam perjalanan ke Damsyik, ia mengklaim mengalami perjumpaan langsung dengan Yesus yang telah bangkit. Pertobatannya begitu mendalam sehingga ia menjadi salah satu tokoh utama dalam penyebaran Injil dan penulis utama surat-surat Perjanjian Baru. Tidak ada motivasi psikologis atau keuntungan pribadi yang dapat menjelaskan transformasi seperti ini. Dari musuh menjadi misionaris, dari pembenci menjadi martir, perjalanan hidup Paulus hanya masuk akal jika ia benar-benar mengalami sesuatu yang luar biasa dan nyata.


7. Tradisi Kebangkitan Muncul Sangat Awal

Bukti:

  • 1 Korintus 15:3–8 adalah sebuah creed (kredo/pengakuan iman) yang berasal dari tradisi Yahudi-Kristen paling awal.
  • Banyak sarjana menempatkannya dalam waktu tiga tahun setelah penyaliban.

Arti Penting:

  • Kemunculan kredo yang terbilang masih sangat dekat dengan masa penyaliban Yesus ini terlalu dini untuk dijadikan alasan bahwa kisah kebangkitan Yesus adalah sebuah legenda.
  • Membantah gagasan bahwa kepercayaan akan kebangkitan muncul secara bertahap seiring waktu.
  • Diterima secara luas oleh komunitas Kristen awal, termasuk mereka yang langsung mengenal saksi mata.

Pengakuan iman dalam 1 Korintus 15 dianggap sebagai tradisi Kristen paling awal yang mendokumentasikan kebangkitan Yesus. Banyak sarjana, termasuk yang skeptis, menempatkan asal mula kredo ini dalam waktu tiga hingga lima tahun setelah penyaliban. Ini penting, karena menyingkirkan argumen bahwa cerita kebangkitan berkembang sebagai mitos yang lambat laun disisipkan dalam ajaran Kristen. Fakta bahwa komunitas Kristen awal menerima kredo ini secara luas menunjukkan bahwa keyakinan akan kebangkitan bukanlah elemen tambahan, melainkan fondasi utama sejak mula.


8. Kebangkitan Menjadi Inti Pewartaan Gereja Mula-Mula

Bukti:

  • Kisah Para Rasul penuh dengan khotbah tentang kebangkitan Yesus (Kisah 2, 3, 10, 13).
  • Paulus berulang kali menjadikan kebangkitan sebagai dasar iman (Roma 10:9, 1 Korintus 15:14).
  • Martir mula-mula bersaksi tentang Yesus yang hidup, bukan sekadar pengajar agung.

Analisis:

  • Jika kebangkitan hanyalah mitos atau ilusi, tidak akan menjadi inti pesan para rasul.
  • Gereja tidak dimulai dari ajaran Yesus, melainkan dari keyakinan bahwa Ia telah hidup kembali.

Kisah Para Rasul secara konsisten menunjukkan bahwa pesan utama yang disampaikan para rasul adalah kebangkitan Yesus. Petrus, dalam khutbah pertamanya, berbicara tentang kubur yang kosong dan Yesus yang telah dibangkitkan oleh Allah (Kisah 2). Paulus menulis bahwa jika Kristus tidak bangkit, maka iman orang Kristen sia-sia (1 Korintus 15:14). Gereja mula-mula tidak berdiri hanya atas ajaran moral Yesus, melainkan atas keyakinan bahwa Ia telah mengalahkan maut. Pesan ini menjadi pusat kehidupan gereja awal dan kekuatan di balik pertumbuhan gerakan Kristen di tengah penganiayaan dan penolakan.

 

PENOLAKAN TERHADAP KEBANGKITAN KRISTUS

DAN ALASAN UNTUK MENOLAK KLAIM PENOLAKAN ITU

Setidaknya ada dua teori alternatif yang paling sering diajukan untuk menolak kebangkitan Yesus secara historis—teori halusinasi dan teori mitos—beserta keberatannya secara mendalam:

1. Teori Halusinasi

Klaim: Para saksi mata sebenarnya tidak melihat Yesus yang bangkit secara fisik, tetapi mengalami halusinasi karena trauma, harapan, atau keyakinan religius yang mendalam.

Keberatan Historis:

  • Halusinasi bersifat pribadi, bukan kolektif: Psikologi modern menjelaskan bahwa halusinasi adalah pengalaman subjektif yang tidak bisa dibagikan. Namun, laporan dalam Injil dan 1 Korintus 15 menunjukkan bahwa Yesus menampakkan diri kepada banyak orang sekaligus, termasuk 500 orang dalam satu waktu. Itu tidak dapat dijelaskan sebagai halusinasi.
  • Variasi situasi penampakan: Yesus menampakkan diri di tempat berbeda, kepada orang-orang dengan karakter dan latar belakang berbeda (skeptis seperti Tomas dan Yakobus, wanita, kelompok murid), pada waktu dan konteks yang berbeda. Halusinasi massal secara simultan dalam berbagai kondisi ini sangat tidak mungkin.
  • Skeptis tidak memiliki harapan: Orang-orang seperti Yakobus (saudara Yesus) dan Paulus (seorang penganiaya Gereja) tidak dalam keadaan rindu atau berharap Yesus bangkit. Jadi mereka bukan kandidat yang logis untuk halusinasi karena mereka bahkan tidak percaya sebelumnya.
  • Interaksi fisik bertentangan dengan halusinasi: Para murid menyentuh Yesus dan makan bersama-Nya (Lukas 24:39–43; Yohanes 21). Hal ini tidak bisa dijelaskan oleh halusinasi, yang hanya berupa persepsi visual atau auditori.
  • Kubur kosong tetap menjadi masalah: Jika Yesus tidak sungguh-sungguh bangkit, jenazah-Nya akan tetap ada di kubur. Tapi faktanya, kubur itu kosong. Halusinasi tidak bisa mengosongkan kubur.

2. Teori Mitos (Legenda)

Klaim: Cerita kebangkitan Yesus adalah hasil perkembangan mitos yang tumbuh seiring waktu setelah kematian-Nya.

Keberatan Historis:

  • Waktu penulisan terlalu dekat dengan peristiwa: Surat 1 Korintus ditulis sekitar tahun 55 M, hanya sekitar 20 tahun setelah kematian Yesus. Dan kredo dalam 1 Korintus 15:3–8 diyakini berasal dari tahun 30–36 M, hanya beberapa tahun setelah peristiwa salib. Ini terlalu singkat bagi mitos untuk berkembang.
  • Kredo purba menyebut saksi mata: Dalam 1 Korintus 15, disebutkan nama-nama individu (Petrus, Yakobus, para rasul) yang masih hidup pada masa itu, sehingga orang bisa langsung mengkonfirmasi kesaksian mereka. Ini adalah gaya penulisan sejarah, bukan mitos.
  • Kisah kebangkitan tidak memiliki ciri mitos klasik: Mitologi Yunani atau dewa-dewa Romawi penuh dengan simbolisme dan gaya puisi. Sebaliknya, narasi kebangkitan Yesus sangat sederhana, langsung, dan bersifat historis, menyebutkan tempat, waktu, dan saksi-saksi nyata.
  • Pengorbanan saksi mata: Murid-murid tidak hanya menyebarkan berita ini, tetapi juga rela mati karena meyakininya. Tidak masuk akal bahwa banyak orang akan mengorbankan hidup mereka untuk sesuatu yang mereka tahu hanyalah mitos yang mereka buat sendiri.

Baik teori halusinasi maupun teori mitos tidak dapat menjelaskan secara komprehensif seluruh fakta sejarah seputar kebangkitan Yesus: kubur kosong, perubahan drastis pada murid-murid, kesaksian saksi mata, dan perkembangan sangat awal dari pengakuan bahwa Yesus benar-benar bangkit. Oleh karena itu, banyak sejarawan dan filsuf menyimpulkan bahwa hipotesis "kebangkitan sungguh terjadi" adalah penjelasan yang paling masuk akal secara historis.


12 July 2018

SENDIRI: Mandiri dan Bertanggung Jawab (Lukas 4:1-2)

Disadari atau tidak, kita harus menghadapi setiap pergumulan dalam kehidupan kita ini seorang diri. Diri kita sendirilah yang secara langsung akan mengalami baik buruknya konsekuensi dari setiap pilihan kita. Urusan iman kita kepada Tuhan adalah urusan diri kita sendiri. Iman kepada Tuhan tidak dapat dipaksakan untuk dimiliki oleh seseorang, karena pada hakikatnya iman adalah keputusan pribadi seseorang untuk mempercayai Tuhan. lantas bagaimana peranan orang tua dan orang-orang di sekitar kita? Semua orang yang ada di sekitar kita memang memiliki pengaruh dalam pertumbuhan iman kita. Ada yang meberi pengaruh besar dan ada yang berpengaruh kecil. Namun perlu kita semua sadari bahwa pertumbuhan iman kita berasal dari setiap respon dan keputusan diri kita sendiri.

SENDIRI
Para penulis Injil menulis beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa ada masa dimana Tuhan Yesus menjalani proses-Nya seorang diri. Semisal dalam Lukas 4:1-2 menuliskan demikian “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai Iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah waktu itu Ia lapar.” Setelah mengikuti babtisan Yohanes Pembabtis, Tuhan Yesus dibawa Roh Kudus untuk menjalani proses ujian yang sangat berat di padang gurun. Roh Kudus Allah yang mengantar-Nya. Di akhir proses ujian berat tersebut kita ketahui bersama bahwa Yesus dilayani oleh para malaikat. Tetapi di tengah padang gurun itu, saat proses ujian terjadi, Yesus benar-benar seorang diri, melakukan semuanya sendirian, termasuk berhadapan dengan iblis.
Mari kita mundur ke sebuah peristiwa di Perjanjian Lama yang juga dapat memberi kita gambaran yang jelas, bagaimana keputusan kita harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Dalam Daniel pasal 3 diceritakan bahwa Raja Nebukadnezar membuat patung emas dirinya dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk menyembah patung tersebut. Bagi siapapun yang menolak menyembah akan dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Singkat cerita, Hananya, Misael dan Azarya, menolak untuk menyembah patung sang Raja. Mereka membuat sebuah pernyataan yang sangat berani dengan mengatakan “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Daniel 3:16-18)
Kita semua tahu bahwa pada akhirnya mereka mengalami pertolongan Tuhan. Tetapi mari kita kembali pada fase dimana setelah mereka menyatakan menolak menyembah patung Nebukadnezar tersebut, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kemudian diikat dengan erat, tungku api dinyalakan dengan panas yang tujuh kali lipat dari yang biasa, kemudian mereka dicampakkan ke dalamnya. Sampai pada batas itu, mereka tidak melihat ada keajaiban atau mujizat dari Tuhan untuk menolong mereka. Butuh sebuah keberanian yang besar untuk mengambil keputusan yang menyangkut sebuah konsekuensi yang besar. Dan itulah yang mereka alami.
Menyadari bahwa kita harus mempertanggungjawabkan secara pribadi setiap pilihan dan tindakan kita adalah sebuah sikap yang penting. Tanpa kesadaran tersebut, kita akan memiliki frame berpikir yang salah tentang realitas kehidupan. Lebih parahnya lagi, kedewasaan kita tidak akan terbentuk. Satu ciri menonjol dari sebuah kedewasaan adalah sifat kemandirian.
Mandiri artinya berada dalam keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Fase ketergantungan dalam proses pertumbuhan adalah fase kanak-kanak.  Kita menganggap sebagai hal yang wajar saat anak-anak tergantung pada orang tua mereka. Saat masih dalam fase bayi atau balita, kita tidak dapat menuntut banyak kepada anak-anak kita untuk dapat, misalnya, makan sendiri. Mereka masih butuh disuapi makanan karena ketidakmampuan mereka secara fisik.
Namun hal tersebut tidak lagi berlaku bagi anak-anak kita yang sudak berusia enam tahun keatas. Mereka harus mulai belajar mengurus kebutuhan mereka sendiri. Mengambil makan sendiri, makan tanpa disuapi, mandi sendiri, mempersiapkan seragam sekolah sendiri, dll. Bahkan untuk anak yang lebih besar, kita sebagai orang tua sering menuntut mereka untuk mulai terlibat dalam mengurus rumah dan mengambil tanggung jawab yag lebih besar. Mereka harus mampu menghadapi pergumulan hidup mereka sendiri, secara mandiri. Walaupun adakalanya mereka masih membutuhkan pertolongan orang tua, namun pada intinya mereka akan menghadapi kenyataan bahwa mereka harus menghadapi dan menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.

DALAM PENYERTAAN DAN PENJAGAAN TUHAN
Matius 14:22-23 mencatat dalam peristiwa yang lain demikian “Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.” Kita sering mendapati kisah dimana Tuhan Yesus memisahkan diri dari keramaian dan mengambil waktu sendiri. Kesendirian-Nya ini selalu dilakukan dengan tujuan yan jelas, yakni untuk bersekutu dengan Bapa-Nya, dalam doa. Namun setelah Tuhan Yesus menyelesaikan doa-Nya, apakah problematika pelayanan-Nya menjadi lebih mudah? Setelah doa di taman Getsemani, apakah kemudian penyaliban dibatalkan? Tentu tidak, bukan? Itulah kenyataan hidup dan tanggung jawab yang memang harus Yesus pikul. Problematikan kehidupan tidak akan menjadi lebih mudah setelah kita berdoa. Hal tersebut juga berlaku bagi semua orang tanpa kecuali, bahkan bagi pelayan Tuhan sekalipun.
Namun jika kita perhatikan semua tokoh dalam Alkitab yag menyerahkan kehidupan mereka kepada Tuhan, termasuk Tuhan Yesus Kristus yang berserah kepada Bapa, mereka justru terlihat semakin teguh dan kuat menjalani kehidupan, sekalipun harus menghadapi akhir kisah yang berat. Persekutuan para murid Yesus semakin intens dengan Tuhan, dan mereka menghadapi tekanan berat karena iman dan berujung martir. Mereka menyadari hal itu dan tetap berani menghadapinya. Mengapa demikian? Karena mereka tahu tujuan akhir dari semua itu dan melihat serta merasakan penyertaan Tuhan di dalamnya. 
Selama kita hidup di dunia ini, kita harus mandiri dan menghadapi semua pergumulan hidup itu sendiri. Mungkin akan ada banyak orang di sekitar kita yang datang menolong, tapi hal itu tidak akan selalu terjadi. Di akhir dari semuanya itu, hanya ada kita seorang diri berhadapan dengan permasalahan dan pergumulan hidup. Hadapi fakta ini dan berjuanglah. Ingatlah bahwa ditengah segala hal yang terjadi, seberat apapun itu, ada Tuhan yang mengawasi dan menjaga kita. Ia tidak akan membiarkan kita menghadapi permasalahan yang tidak dapat kita tanggung. Ia menggunakan semua bentuk pergumulan kita untuk mendewasakan kita. Hingga pada akhirnya, ia akan memberikan kelegaan yang sempurna di hadirat-Nya. 

17 February 2018

BERGEREJA ITU PENTING (Kisah Para Rasul 2:42-47)


There is nothing more unchristian than a solitary Christian.” (John Wesley)

Bagi banyak orang dan bahkan termasuk banyak umat Kristen sendiri, pengertian tentang gereja sering kali dipahami secara sempit. Gereja sering kali hanya dimaknai sebagai gedung atau tempat di mana umat Kristen melakukan ibadah di hari Minggu.
Dalam Alkitab Terjemahan Baru 1974 dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), kita tidak akan menemukan kata “gereja” di dalamnya. Namun jika kita menggunakan terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari dari LAI atau Versi Mudah Dibaca dari lembaga penterjemahan Alkitab World Bible Translation Center, kita baru akan menemukan kata gereja. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Inggris, kata “church” telah digunakan lebih lama. Lantas, apa makna kata gereja (church – Ingg.) ini?
Dalam bahasa asli Perjanjian Baru, yakni bahasa Yunani, terdapat kata ekklesia, yang kemudian diterjemahkan dengan kata church atau gereja. Kata ekklesia berarti orang-orang dipanggil keluar. Dalam perspektif kekristenan, kata ini memiliki makna umat yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang Tuhan. Kata ini sejajar dengan kata Yunani sunagoge, yang kemudian dalam perkembangannya mengalami pembedaan konteks. Pada dasarnya, kedua kata tersebut bermakna sama, yakni “jemaat.” Bedanya, kata sunagoge mengacu pada jemaat Israel/Yahudi, sedangkan ekklesia mengacu pada jemaat Kristus/Kristen. Dalam kedua kata tersebut – ekklesia dan sunagoge – terkandung kekayaan makna yang sama, yakni kumpulan jemaat/umat yang berkumpul menjadi sebuah kesatuan atau keluarga. Jadi kata gereja sebenarnya lebih berarti kumpulannya, daripada tempat berkumpulnya. Lebih diartikan sebagai komunitasnya daripada gedungnya.
Tabib Lukas mencatat proses lahirnya ekklesia (komunitas jemaat Kristus) ini dalam kitab Kisah Para Rasul 2:42-47. Dalam ayat 42 dikatakan demikian “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Tabib Lukas menunjukkan empat buah komitmen yang dipegang oleh jemat mula-mula sebagai dasar dalam membangun komunitas ekklesia tersebut.

LEARNING – “Pengajaran”
Didache: pengajaran para rasul tentang injil, yakni kisah tentang Kristus: Kelahiran – kematian – kebangkitan-Nya. Ingatlah bahwa kala itu belum ada kitab Perjanjian Baru seperti yang kita miliki sekarang. Pengajaran para rasul berasal dari pengalaman mereka saat hidup bersama-sama dengan Kristus: apa yang Kristus sabdakan (orthodoksis) dan praktikkan (orthopraksis). Itulah yang diajarkan – diceritakan kembali – kepada jemaat mula-mula. Prinsip utamanya adalah untuk meniru kehidupan Kristus semirip mungkin.
Dalam KPR 11:26 kemudian kita ketahui bahwa pola hidup yang dipraktikkan oleh jemaat mula-mula itu melahirkan sebuah istilah olok-olok yang akhirnya menjadi nama agama kita saat ini: Kristen. Menariknya, menurut kamus The Complete Word Study Dictionary edisi revisi terbitan AMG International tahun 1993, dalam konteks kebahasaan, kata Kristen (christianos – Yun) memiliki padanan makna/bersinonim dengan kata mathētḗs (murid), pistós (orang yang setia), adelphós (saudara), dan hágios (orang kudus).

SHARING – “Persekutuan”
Koinonia: dalam bahasa Inggris seringkali diterjemahkan sebagai fellowship. Terjemahan CEV memaknainya dengan hidup seperti layaknya saudara/keluarga satu dengan yang lain. Ada istilah bahasa Indonesia yang mengungkapkannya dengan rasa senasib sepenanggungan. Konotasi umum kata ini juga memuat unsur komunikasi di dalamnya. Hal tersebut menunjukkan kesan bahwa dalam persekutuan atau hubungan keluarga, komunikasi merupakan sebuah unsur yang tak terpisahkan dari dalamnya. Ada anggapan bahwa persekutuan ini adalah mujizat yang sesungguhnya dari peristiwa Pentakosta, dimana orang dari berbagai bangsa dapat berkumput dan bersekutu hingga menjadi sebuah kesatuan keluarga besar.

Being TOGETHER – “Memecah roti”
Frasa “memecahkan roti” seringkali mengacu pada perjamuan terakhir sebelum Tuhan Yesus disalibkan – memang secara harfiah dimaknai sebagai acara makan bersama oleh Jemaat Perdana. Dalam pemahaman orang Yahudi, meja makan akan menjadi sebuah mezbah suci karena di sana dipanjatkan doa berkat, dan acara makan menjadi sebuah aktivitas yang kudus. Tapi marilah kita lebih memperhatikan Injil Lukas. Kita akan mendapati bahwa perjamuan atau acara makan yang melibatkan Tuhan Yesus di dalamnya selalu menjadi kesempatan untuk membangun kedekatan dalam persekutuan, menerima wahyu kebenaran firman Tuhan dalam bentuk pengajaran dan diskusi, dan bahkan melahirkan pertentangan – saat dimana Yesus menerima orang berdosa untuk makan bersama-Nya (Luke 15:2). Dalam meja perjamuan makan Tuhan Yesus, kita semua akan mendapati penerimaan yang tulus hingga proses pendewasaan oleh kebenaran Tuhan.

 WORSHIPING – “Berdoa”
Proseuche: terjemahan literalnya adalah doa. Dalam KPR 2:42, kata doa ini berbentuk jamak/plural, sehingga pengertian yang dibangun adalah bahwa jemaat para Rasul menaikkan banyak doa atau memberi porsi yang besar terhadap aktivitas doa ini. Doa dipandang sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan. Ada beberapa pola doa yang umum diterapkan oleh jemaat Kristen mula-mula, kala itu. Beberapa pola doa tersebut adalah Doa Yahudi Shema yang biasanya dilakukan tiga kali sehari, kemudian ada juga siklus doa yang diambil dari kitab Mazmur, dan kemudian juga doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus

 Berdasarkan pola tersebut kita dapat jelas melihat bahwa doa-doa yang digunakan dalam aktivitas jemaat perdana tersebut agak berbeda dari pemahaman tentang doa di masa sekarang ini, yang biasanya adalah menaikkan “permintaan-permintaan” kita kepada Tuhan. Doa kala itu juga dipahami sebagai persembahan pujian dan sebagai bentuk penyembahan mereka.

Kata kunci yang sangat penting yang menyatukan paket komitmen jemaat Kristen perdana, yang terdapat dalam KPR 2:42, adalah kata “bertekun.” Kata ini memiliki arti bertahan, berpegang teguh, melekat dan terus mendekat dengan seseorang atau sesuatu. Ketekunan tentu saja bukanlah kualitas yang dihasilkan dalam jangka waktu yang pendek, melainkan panjang. Gereja perdana memegang komitmen mereka secara tekun, konsisten dan setia. Itulah kualitas yang kemudian membuahkan kualitas-kualitas yang luar biasa, yakni rasa persatuan, rasa kekeluargaan, rasa saling peduli, serta karakter yang dewasa yang dimiliki oleh jemaat. Dan buah dari kualitas-kualitas tersebut adalah pertumbuhan jumlah yang sangat signifikan setiap harinya (KPR 2:47).

Dalam konteks gereja modern, komitmen-komitmen Jemaat Perdana tersebut hendaknya tetap dipegang teguh. Lebih jauh lagi, mari kita pandang hal tersebut sebagai indikator kemurnian gereja. Artinya, kita harus memastikan bahwa nilai-nilai komitmen tersebut terjadi secara nyata dalam komunitas gereja kita. Dan sebaliknya, jika nilai-nilai tersebut tidak terlihat secara nyata, kita harus berani mengakui bahwa komunitas gereja kita sedang bermasalah. 

Marilah kita bangun sebuah komunitas gereja yang sehat: ada pengajaran/didikan yang murni di dalamnya, ada persekutuan yang indah selayaknya keluarga, ada penerimaan yang tulus, serta ada doa penyembahan di dalamnya. Kita harus terus berjuang bersama-sama untuk menjadi pribadi yang dewasa, komunitas yang dewasa, yang kemudian menjadi berkat untuk sesama.

05 April 2017

NIKODEMUS: “Percayalah Kepada-Ku Dalam Setiap Proses Kehidupan” (Renungan Yohanes 3:1-21)


Nikodemus adalah seorang Farisi, sebuah kelompok yang sangat ketat memelihara hukum Musa dan tradisi Yudaisme yang berdasar pada pengajaran Rabi-rabi (tulisan-tulisan rabinik). Kemungkinan besar ia juga adalah seorang pejabat Sanhedrin. Melihat latar belakangnya sebagai seorang Farisi, kita dapat memastikan bahwa Niko-demus adalah seorang yang paham betul aturan dan tradisi Taurat yang berlaku dalam masyarakat Yahudi.
Kisah yang ditulis Rasul Yohanes dalam Yohanes 3:1-21, menceritakan interaksi pertama antara Nikodemus dengan Tuhan Yesus. Pada bagian ini diceritakan bahwa Nikodemus mendatangi Tuhan Yesus pada waktu malam hari. Kenapa malam hari? Menurut pengajaran rabi Yahudi, malam hari adalah waktu terbaik untuk belajar. Namun hal ini kemungkinan besar bukanlah dasar maksud Nikodemus mendatangi Yesus di malam hari. Alasan yang paling masuk akal adalah Nikodemus tidak ingin orang tahu bahwa ia mendatangi Yesus, seorang rabi yang kala itu menjadi sorotan orang banyak karena pengajaran-Nya yang “berani dan berbeda.”
Nikodemus, dan dan mungkin juga banyak orang Farisi lainnya, menilai bawa Yesus adalah seorang yang benar-benar diutus oleh Tuhan. Dia berkata kepada Yesus “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab tidak ada seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu, jika Allah tidak menyertainya.” (Ayt. 2) Perlu diingat bahwa Injil Yohanes tidak menulis peristiwa sepenuhnya berdasarkan waktu peristiwanya (kronologis). Saat Nikodemus mengatakan hal tersebut, kemungkinan Yesus sudah melakukan banyak mujizat yang disaksikan oleh banyak orang. Dari hal tersebutlah kemudian Nikodemus dan beberapa orang Farisi lainnya menyimpulkan bahwa Yesus adalah benar-benar “utusan Tuhan.”

Kelahiran Baru
Tuhan Yesus kemudian mengatakan sebuah pernyataan yang sempat membingungkan Nikodemus, dalam kapasitasnya sebagai seorang pengajar hukum Yahudi. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Dengan kebingungan, Nikodemus menjawab: “Bagaimanakah mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?... Bagaimanakah mungkin hal itu terjadi?” (Ayt. 4, 9)
Kelahiran baru adalah sebuah komitmen yang diambil oleh seorang Kristen untuk memindahkan fokus kehidupannya, dari hal-hal duniawi/daging kepada hal-hal surgawi/rohani. Secara harafiah, Yohanes 3:3 diterjemahkan seperti ini: “Truly, truly, I say to you, If one is not generated from above…” (LITV) Jika  kalimat ini diterjemah dengan bebas, maka kurang lebih bermakna: “kamu harus mengalami pembaharuan kerohanian melalui iman.
Mengenai hal ini, Tuhan Yesus mengatakan bahwa seperti halnya Nikodemus, kita harus dilahirkan kembali dari air dan Roh. Banyak yang memaknai bahwa frasa air dan Roh mengacu pada babtisan air Yohanes Pembabtis dan babtisan roh oleh Tuhan Yesus. Jika kita melihat substansi dari kedua jenis babtisan tersebut, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa kelahiran baru berkenaan dengan pembaharuan jiwa (pikiran dan perasaan) dan pembaharuan iman (band. Roma 12:2). Dalam Kolose 3:10 Rasul Paulus menulis demikian “Each of you is now a new person. You are becoming more and more like your Creator, and you will understand him better.” Dari hari ke sehari, kita dituntut untuk menjadi semakin serupa dengan karakter Kristus Sang Firman yang menciptakan. Disaat yang sama, kita akan terus belajar untuk memahami isi hati dan pikiran-Nya.

Memandang Tuhan
Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” (Ayt. 14-15) Kelahiran baru diawali dengan sebuah komitmen; komitmen yang muncul oleh kesadaran akan dosa-dosa yang telah diampuni Tuhan, dan oleh dorongan Roh Kudus menyerahkan diri pada proses pemurnian yang akan dikerjakan Tuhan dalam kehidupan kita selanjutnya. Jadi komitmen kelahiran baru seperti sebuah pintu masuk kedalam proses Tuhan.
Proses pembentukan karakter dan keimanan dengan Kristus sebagai acuannya, bukanlah sebuah proses yang mudah dan secara asal-asalan dikerjakan oleh Tuhan. Proses tersebut besar dan sangat rumit. Jika kita ditugaskan untuk menyusun permainan puzzle seluas meja makan saja pasti akan merasa kesulitan. Bagaimana jika puzzle tersebut seukuran lapangan bola. Setidaknya seperti itulah gambaran sederhananya betapa sulit dan beratnya proses yang Tuhan kerjakan dalam membentuk karakter kita hingga serupa dengan karakter Kristus. Disitulah iman kita bekerja.
Iman yang kuat sangatlah diperlukan dalam proses hidup yang harus kita lalui. Bagaimanakah mungkin bangsa Israel dapat selamat dari racun ular yang mematikan hanya dengan cara memandang kepada ular tembaga Musa (Bilangan 21:4-9)? Itulah iman. Ada bagian-bagian proses yang menuntut kita untuk sepenuhnya percaya kepada Tuhan, sekalipun itu kadang terasa tidak masuk akal.
           Saat proses itu terlihat mustahil dan tidak masuk akal, pandanglah salib Kristus. Di salib itulah manusia didamaikan dengan Tuhan melalui curahan darah Tuhan Yesus Kristus. Seperti halnya seorang penjahat yang disalib disebelah Kristus, bertobat disaat-saat terakhir kehidupannya dan ia menerima Firdaus, demikianlah pertolongan Tuhan juga akan dinyatakan disaat-saat terberat dalam proses yang harus kita jalani. Ambillah komitmen kelahiran baru. Masukilah proses pembentukan yang Tuhan kerjakan dalam kehidupan kita. Percayalah sepenuhnya dengan apa yang Tuhan kerjakan, dan lihatlah bagaimana kasih Tuhan dicurahkan melalui proses-proses kehidupan tersebut. Amin.

(Renungan dari Yohanes 3:1-21)