Laman

Showing posts with label menguji. Show all posts
Showing posts with label menguji. Show all posts

01 May 2020

PEMIMPIN DAN KRITIKAN

Saat sebuah kritik yang ditujukan kepada seseorang yang dianggap memiliki kedudukan atau status yang sejajar, hal tersebut mungkin dianggap sebagai sebuah kewajaran. Namun jika sebuah kritik ditujukan kepada atasan atau orang yang memiliki status dan kedudukan tinggi, hal tersebut seringkali dipandang sebagai sebuah perlawanan. Kata kritik sudah memiliki konotasi negatif dalam masyarakat kita. Namun apakah selalu demikian?

KRITIK – APA ITU?
Kita akan mampu menempatkan kritik di tempat yang tepat saat kita memahami apa itu kritik dan apa fungsinya bagi diri kita.
Menurut kamus bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), kata kritik memiliki arti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat. Banyak orang hanya memandang kritik sebagai sebuah kecaman, atau bahkan serangan. Jarang sekali ada orang yang melihat kritik sebagai sebuah tanggapan. Menurut saya pribadi, kritik adalah sebuah bantuan yang diberikan orang lain untuk melihat hal-hal yang seringkali tidak dapat kita lihat dengan pandangan kita sendiri.
Berdasarkan makna katanya, kritik pada dasarnya bersifat netral. Respon kitalah yang kemudian akan memposisikan kritik tersebut dalam pikiran kita. Kritik akan menjadi sebuah hal yang menyakitkan dan melukai saat kita memandanganya sebagai sebuah serangan kebencian yang dilancarkan oleh orang-orang yang kita anggap ingin menghancurkan hidup kita. Namun di lain pihak, kritik akan menjadi seperti nutrisi yang menyehatkan dan menguatkan, saat kita melihatnya sebagai sebuah alat evaluasi bagi diri kita.
Selembar soal ulangan adalah gambaran yang dapat kita gunakan saat kita memandang sebuah kritik. Selembar soal ulangan dapat dimaknai secara berbeda oleh siswa sekolah. Bagi seorang murid yang sadar akan tujuan pendidikannya, soal ulangan akan menjadi alat untuk mengukur kemampuan dan pemahamannya terhadap sebuah mata pelajaran. Namun di mata seorang murid yang tidak terlalu mempedulikan tujuannya bersekolah, soal ulangan tersebut hanya akan dipandang sebagai hal yang menakutkan dan mengusik kenyamanannya.

ANTI-KRITIK = ANTI-PERKEMBANGAN
Secara nyata: adakah pemikiran dan tindakan seseorang yang bebas dari kesalahan? Tentu saja tidak ada. Semua manusia mengakui bahwa pasti akan ada kelemahan dalam kehidupannya, baik dalam pemikiran maupun tindakannya. Permasalahan yang seringkali timbul adalah bahwa kita sulit untuk melihat kekurangan atau kelemahan kita. Bukan hanya sekedar sulit melihat kesalahan, namun seringkali malah tidak mampu melihatnya.
Sederhananya saja, kita tidak mungkin dapat melihat wajah kita sendiri tanpa bantuan dari pihak lain – baik itu barang atau orang lain. Oleh karena itulah kita sangat membutuhkan pihak lain yang mampu melihat diri kita, baik itu kelemahan maupun kelebihan kita. Dengan adanya mereka, kita akan mampu lebih banyak mengenal diri kita.
Kita akan menjadi manusia yang “utuh” dengan mengenal diri sendiri secara menyeluruh. Kita harus mampu mengidentifikasi diri kita, baik itu kelemahan maupun kelebihan kita. Dari situlah kita akan mampu mengenal setiap potensi diri dan mengembangkannya. Kita juga akan mengenali kelemahan-kelemahan kita dan mencari cara untuk memperbaikinya. Pengembangan diri akan dapat berjalan dengan baik saat kita mengenal diri sendiri dengan baik.

*Celoteh senja 

12 July 2018

SENDIRI: Mandiri dan Bertanggung Jawab (Lukas 4:1-2)

Disadari atau tidak, kita harus menghadapi setiap pergumulan dalam kehidupan kita ini seorang diri. Diri kita sendirilah yang secara langsung akan mengalami baik buruknya konsekuensi dari setiap pilihan kita. Urusan iman kita kepada Tuhan adalah urusan diri kita sendiri. Iman kepada Tuhan tidak dapat dipaksakan untuk dimiliki oleh seseorang, karena pada hakikatnya iman adalah keputusan pribadi seseorang untuk mempercayai Tuhan. lantas bagaimana peranan orang tua dan orang-orang di sekitar kita? Semua orang yang ada di sekitar kita memang memiliki pengaruh dalam pertumbuhan iman kita. Ada yang meberi pengaruh besar dan ada yang berpengaruh kecil. Namun perlu kita semua sadari bahwa pertumbuhan iman kita berasal dari setiap respon dan keputusan diri kita sendiri.

SENDIRI
Para penulis Injil menulis beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa ada masa dimana Tuhan Yesus menjalani proses-Nya seorang diri. Semisal dalam Lukas 4:1-2 menuliskan demikian “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai Iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah waktu itu Ia lapar.” Setelah mengikuti babtisan Yohanes Pembabtis, Tuhan Yesus dibawa Roh Kudus untuk menjalani proses ujian yang sangat berat di padang gurun. Roh Kudus Allah yang mengantar-Nya. Di akhir proses ujian berat tersebut kita ketahui bersama bahwa Yesus dilayani oleh para malaikat. Tetapi di tengah padang gurun itu, saat proses ujian terjadi, Yesus benar-benar seorang diri, melakukan semuanya sendirian, termasuk berhadapan dengan iblis.
Mari kita mundur ke sebuah peristiwa di Perjanjian Lama yang juga dapat memberi kita gambaran yang jelas, bagaimana keputusan kita harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Dalam Daniel pasal 3 diceritakan bahwa Raja Nebukadnezar membuat patung emas dirinya dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk menyembah patung tersebut. Bagi siapapun yang menolak menyembah akan dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Singkat cerita, Hananya, Misael dan Azarya, menolak untuk menyembah patung sang Raja. Mereka membuat sebuah pernyataan yang sangat berani dengan mengatakan “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Daniel 3:16-18)
Kita semua tahu bahwa pada akhirnya mereka mengalami pertolongan Tuhan. Tetapi mari kita kembali pada fase dimana setelah mereka menyatakan menolak menyembah patung Nebukadnezar tersebut, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kemudian diikat dengan erat, tungku api dinyalakan dengan panas yang tujuh kali lipat dari yang biasa, kemudian mereka dicampakkan ke dalamnya. Sampai pada batas itu, mereka tidak melihat ada keajaiban atau mujizat dari Tuhan untuk menolong mereka. Butuh sebuah keberanian yang besar untuk mengambil keputusan yang menyangkut sebuah konsekuensi yang besar. Dan itulah yang mereka alami.
Menyadari bahwa kita harus mempertanggungjawabkan secara pribadi setiap pilihan dan tindakan kita adalah sebuah sikap yang penting. Tanpa kesadaran tersebut, kita akan memiliki frame berpikir yang salah tentang realitas kehidupan. Lebih parahnya lagi, kedewasaan kita tidak akan terbentuk. Satu ciri menonjol dari sebuah kedewasaan adalah sifat kemandirian.
Mandiri artinya berada dalam keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Fase ketergantungan dalam proses pertumbuhan adalah fase kanak-kanak.  Kita menganggap sebagai hal yang wajar saat anak-anak tergantung pada orang tua mereka. Saat masih dalam fase bayi atau balita, kita tidak dapat menuntut banyak kepada anak-anak kita untuk dapat, misalnya, makan sendiri. Mereka masih butuh disuapi makanan karena ketidakmampuan mereka secara fisik.
Namun hal tersebut tidak lagi berlaku bagi anak-anak kita yang sudak berusia enam tahun keatas. Mereka harus mulai belajar mengurus kebutuhan mereka sendiri. Mengambil makan sendiri, makan tanpa disuapi, mandi sendiri, mempersiapkan seragam sekolah sendiri, dll. Bahkan untuk anak yang lebih besar, kita sebagai orang tua sering menuntut mereka untuk mulai terlibat dalam mengurus rumah dan mengambil tanggung jawab yag lebih besar. Mereka harus mampu menghadapi pergumulan hidup mereka sendiri, secara mandiri. Walaupun adakalanya mereka masih membutuhkan pertolongan orang tua, namun pada intinya mereka akan menghadapi kenyataan bahwa mereka harus menghadapi dan menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.

DALAM PENYERTAAN DAN PENJAGAAN TUHAN
Matius 14:22-23 mencatat dalam peristiwa yang lain demikian “Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.” Kita sering mendapati kisah dimana Tuhan Yesus memisahkan diri dari keramaian dan mengambil waktu sendiri. Kesendirian-Nya ini selalu dilakukan dengan tujuan yan jelas, yakni untuk bersekutu dengan Bapa-Nya, dalam doa. Namun setelah Tuhan Yesus menyelesaikan doa-Nya, apakah problematika pelayanan-Nya menjadi lebih mudah? Setelah doa di taman Getsemani, apakah kemudian penyaliban dibatalkan? Tentu tidak, bukan? Itulah kenyataan hidup dan tanggung jawab yang memang harus Yesus pikul. Problematikan kehidupan tidak akan menjadi lebih mudah setelah kita berdoa. Hal tersebut juga berlaku bagi semua orang tanpa kecuali, bahkan bagi pelayan Tuhan sekalipun.
Namun jika kita perhatikan semua tokoh dalam Alkitab yag menyerahkan kehidupan mereka kepada Tuhan, termasuk Tuhan Yesus Kristus yang berserah kepada Bapa, mereka justru terlihat semakin teguh dan kuat menjalani kehidupan, sekalipun harus menghadapi akhir kisah yang berat. Persekutuan para murid Yesus semakin intens dengan Tuhan, dan mereka menghadapi tekanan berat karena iman dan berujung martir. Mereka menyadari hal itu dan tetap berani menghadapinya. Mengapa demikian? Karena mereka tahu tujuan akhir dari semua itu dan melihat serta merasakan penyertaan Tuhan di dalamnya. 
Selama kita hidup di dunia ini, kita harus mandiri dan menghadapi semua pergumulan hidup itu sendiri. Mungkin akan ada banyak orang di sekitar kita yang datang menolong, tapi hal itu tidak akan selalu terjadi. Di akhir dari semuanya itu, hanya ada kita seorang diri berhadapan dengan permasalahan dan pergumulan hidup. Hadapi fakta ini dan berjuanglah. Ingatlah bahwa ditengah segala hal yang terjadi, seberat apapun itu, ada Tuhan yang mengawasi dan menjaga kita. Ia tidak akan membiarkan kita menghadapi permasalahan yang tidak dapat kita tanggung. Ia menggunakan semua bentuk pergumulan kita untuk mendewasakan kita. Hingga pada akhirnya, ia akan memberikan kelegaan yang sempurna di hadirat-Nya. 

17 February 2018

IBLIS: SIAPA SESUNGGUHNYA SANG PENCOBA? (Matius 4:1-11; Markus 1:12-13; Lukas 4:1-13)


Kisah pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun merupakan salah satu kisah yang sangat terkenal dari Alkitab. Banyak erenungan yang dapat kita ambil dari kisah tersebut. Dalam perenungan kali ini, kita akan melihat siapa sebenarnya Sang Pencoba, yang ternyata sering kali datang kepada Tuhan hingga saat ini.
Kisah pencobaan tersebut dimulai saat Tuhan Yesus selesai dibabtis oleh Nabi Yohanes Pembabtis. Setelah keluar dari air dan Roh Kudus yang nampak seperti burung merpati turun atas-Nya, Tuhan Yesus dipimpin oleh Roh Kudus ke padang gurun untuk dicobai oleh iblis. Perhatikanlah bahwa Roh Kudus Allah-lah yang membawa Tuhan Yesus ke padang gurun. Penulis Injil Markus bahkan mengungkapkan kata “dibawa” dengan nuansa yang kasar, yang berarti dibuang atau dilemparkan. Hal ini menunjukkan bahwa proses yang sedang dihadapi Tuhan Yesus kala itu adalah sebuah proses yang berat.
Dalam Injil Matius dan Lukas dituliskan bahwa Roh Kudus sepertinya sengaja membawa Tuhan Yesus untuk dicobai. Hal tersebut menegaskan bahwa posisi Tuhan Yesus adalah sama seperti manusia pada umumnya. Ia tetap harus menghadapi segala bentuk cobaan dan ujian terhadap iman-Nya kepada Bapa.
Sekarang marilah kita sedikit memahami tentang kata “dicobai.” Kata “Dicobai” berasal dari kata Yunani “Peirazo” diterjemahkan dalam dua kata dalam bahasa Inggris: (1) Temp - tujuannya agar melakukan kejahatan/kesalahan/dosa. Dalam konteks inilah kemudian penterjemah Alkitab kita menterjemahkannya dengan kata dicoba atau pencobaan. Kata dicobai selalu membawa konotasi negative di dalamnya, karena memang pada kenyataannya tidak ada seseorang yang dicobai untuk berbuat baik. Kemudian (2) Test - bertujuan untuk mengungkapkan atau memunculkan kebenaran dan hal yang murni agar terungkap. Dalam konteks ini kita memahami bahwa Abraham sedang diuji oleh Tuhan dan bukannya dicobai. Tujuan Tuhan adalah untuk mengungkap apa yang ada dalam hati terdalam Abraham terhadap Tuhan. Demikian juga dengan bangsa Israel selama pengembaraan mereka di padang gurun. Mereka menghadapi ujian untuk mengungkapkan siapa mereka yang sebenarnya dari hati yang terdalam. Dan di akhir kisah pengembaraan tersebut, kita melihat bahwa kecenderungan bangsa Israel adalah melakukan kejahatan. Ada satu kata lain yang seringkali juga diterjemahkan dengan kata dicobai, yaitu kata “Dokime,” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “Trial.” Kata ini mengandung makna persidangan, pembuktian dengan fakta, menunjukkan kemurnian.

Mari sekarang kita perhatikan salah satu tokoh sentral dalam kisah ini, yakni si Iblis. Setan (bahasa Caldea - red) atau iblis ini sebenarnya adalah sebuah gelar dari sang tokoh yang mencobai Tuhan Yesus. Gelar tersebut berarti penuduh, jahat, pemfitnah, pembohong. Jadi gelar tersebut menunjukkan sifat-sifat dari si iblis itu sendiri. Berhubung kata iblis atau setan ini adalah bentukan kata sifat, maka sebenarnya kata tersebut dapat berlaku bagi siapa sebagai person-nya, termasuk kita. Inilah yang sebenarnya harus menjadi perenungan kita semua.

Sebelum lebih jauh lagi, mari kita perhatikan tiga peristiwa pencobaan yang dialami Tuhan Yesus kala itu. Tujuan si iblis mencobai Yesus adalah agar muncul keraguan terhadap Bapa-Nya. Dalam kondisi Yesus yang sedang sangat lapar karena berpuasa selama 40 hari, si setan mencoba-Nya dengan pencobaan pertama, mengubah batu menjadi roti. Perhatikan kalimat “Jika Engkau Anak Allah” yang dilontarkan oleh iblis. Kalimat tersebut seakan meminta pembuktian bahwa Yesus adalah benar anak Allah. Seolah ada pertanyaan seperti “Apakah benar Bapa menganggapmu sebagai anak-Nya? Lantas kenapa Dia membiarkan kamu dalam situasi seperti ini – kelaparan, sendirian, tersiksa?” Iblis ingin Tuhan Yesus meragukan pemeliharaan Tuhan secara fisik dengan memunculkan pikiran “Daripada mati kelaparan, kamu dapat mengubah batu ini jadi roti, bukan? Kan kamu memiliki kuasa yang besar jika memang benar kamu adalah Sang Anak Allah.”
Dalam pencobaan kedua, nada yang sama digunakan oleh si iblis untuk menyerang Tuhan Yesus. Iblis mungkin berpikir dengan meminta Yesus untuk menjatuhkan diri dari atap Bait Suci, dengan kemudian menambahkannya dengan pernyataan firman Tuhan dari Mazmur 91, akan dapat menggoncangkan iman Yesus. Iblis ingin memunculkan pikiran meragukan jaminan penyertaan dan perlindungan Bapa, dalam pikiran Yesus. Iblis seolah bertanya “Benarkah Tuhan akan menjaga nyawamu saat kamu dalam bahaya?” Dan dalam pencobaan ketiga, iblis seolah membawa Yesus untuk berpikir dan meragukan otoritas dari panggilan-nya sebagai Juru Selamat, Mesias bagi umat manusia. Iblis seolah bertanya “Menjadi Mesias artinya menjadi Raja yang berkuasa atas seluruh dunia, bukan? Apakah Tuhan akan memberikan kekuasaan sebesar itu?
Inti dari semua pencobaan Iblis adalah mengguncang Yesus dengan tantangan-tantangan untuk menunjukkan otoritas-Nya sebagai Anak Allah yang diurapi, Sang Mesias yang dijanjikan kepada umat manusia. Namun jika kemudian Tuhan Yesus menuruti tantangan-tantangan tersebut, maka Tuhan Yesus telah gagal memenuhi rancangan Bapa-Nya. Tuhan Yesus telah melencengdari rancangan Bapa yang hakiki mengenai kehadiran-Nya di dunia ini. Dan kegagalan tersebut akan membuat Tuhan Yesus tidak layak lagi menyandang predikat sebagai Anak Allah, Sang Mesias itu.
Sekarang, mari kita melihat jawaban Tuhan Yesus atas pertanyaan-pertanyaan setan. Pada pencobaan pertama, Tuhan Yesus menjawab “Manusia tidak hidup dari roti SAJA, tapi dari firman yang keluar dari mulut Allah.” Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa hidup ini bukan melulu masalah fisik dan pemenuhan keinginan jasmaniah saja, tapi juga harus memperhatikan kehidupan jiwani/rohani. Kenyataannya, jika fokus kita hanya kepada pemenuhan keinginan-keinginan tubuh, maka kita tidak akan ada bedanya dengan binatang. Kesadaran inilah yang harus kita miliki, dan mulai lebih memperhatikan kehidupan rohani kita.
Pada pencobaan kedua, Tuhan Yesus menjawab “Jangan cobai Tuhan Allahmu.” Penobaan ini masih berhubungan erat dengan pencobaan pertama. Kita harus ingat dan benar-benar menekankan pada diri kita bahwa Tuhan bukanlah pelayan kita, yang harus selalu memenuhi semua keinginan kita. Kitalah yang harus tunduk pada perintah-Nya. Mencobai Tuhan seringkali ditunjukkan dengan sikap seperti seorang anak-anak yang selalu meminta keinginannya selalu dipenuhi. Hal ini mengingatkan kita tentang arti kedewasaan rohani. Seseorang yang dewasa secara rohani, akan menundukkan dirinya kepada Tuhan dan bukannya menuntut Tuhan “tunduk” pada keinginannya.
Dalam pencobaan ketiga, Tuhan Yesus terlihat mulai jengah akan keberadaan setan ini. Di sisi lain, setan terlihat berganti taktik karena menyinggung posisi Yesus sebagai Anak Allah ternyata tidak berhasil. Kali ini Setan menunjukkan “takdir yang seharusnya” diperoleh Yesus sebagai seorang Mesias, yakni berkuasa sebagai raja atas dunia. “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” Yesus memiliki kesadaran penuh bahwa Ia adalah Sang Mesias. Namun kemesiasan-Nya bukanlah Mesias yang seperti dibayangkan akan berkuasa sebagai raja. Kemesiasan-Nya adalah yang tetap tunduk kepada rencana Bapa-Nya: Penebusan dosa umat manusia.
Sifat-sifat setan seperti yang telah kita lihat di atas, sebenarnya dapat juga ada dalam hidup kita. Bukankah tidak jarang kita bersikap seperti anak-anak kepada Tuhan? kita sering kali menuntut Tuhan untuk selalu memenuhi semua keinginan kita. Saat keinginan kita tidak dipenuhi, kita mulai menuduh dan menyalahkan Tuhan. Ingatlah bahwa Tuhan bukanlah budak kita. Kita tidak hidup untuk memenuhi keinginan diri kita sendiri. Tuhan menciptakan kita untuk memenuhi tujuan dan rencana-Nya. Itulah bentuk pribadi yang telah dewasa secara rohani.

Marilah kita berjuang untuk menjadi pribadi rohani yang dewasa. Sadarlah bahwa kita hidup untuk menjalankan rancangan Allah bagi kita. Saat kita memaksakan keinginan dan rancangan kita kepada Allah, pada hakikatnya kita telah berdosa dan telah berubah menjadi iblis itu sendiri. Perjuangkan pendewasaan ini adalah sebuah proses yang berat. Oleh karena itu gantungkanlah hidup kita sebenuhnya pada kasih karunia Tuhan dan kebenaran firman-Nya. 

30 December 2016

SIKAP KRITIS DALAM KEIMANAN (1 Yohanes 4:1)

“Saudara-saudara yang tercinta! Janganlah percaya kepada semua orang yang mengaku mempunyai Roh Allah, tetapi ujilah dahulu mereka untuk mengetahui apakah roh yang ada pada mereka itu berasal dari Allah atau tidak.”
1 Yohanes 4:1 - IBIS

  Problematika Kekristenan Modern
Bagi kita yang mengikuti perkembangan teknologi informasi dewasa ini, pastinya akan merasa kagum dan disaat yang sama terselip kekhawatiran. Kita akan kagum karena banyak informasi dapat kita peroleh dengan sangat mudah dan cepat. Kita mungkin juga akan menjadi khawatir karena sangat sulitnya membedakan apakah informasi tersebut benar atau salah. Mari perhatikan beberapa contoh informasi yang sering kita temui beredar di media sosial. Informasi tentang khasiat tanaman obat atau buah seringkali disaling-bagikan oleh banyak orang tanpa melihat apakah informasi tersebut sudah teruji secara medis atau belum. Informasi yang seperti inilah yang justru paling sering dipercaya banyak orang.

Kekristenan mengalami problematika yang sama, dalam konteks yang berkenaan dengan pengajaran keimanan. Banyak sekali pengajaran yang beredar, yang secara substansial (isi pengajarannya) saling bertentangan. Parahnya, tidak sedikit juga pengajaran yang beredar tersebut secara esensial (inti pengajarannya) bahkan bertentangan dengan Alkitab. Permasalahan seperti ini bukanlah sebuah permasalahan yang baru dalam kekristenan. Sejak masa awal berdirinya gereja Kristen yang universal, yakni pada momentum Pentakosta di Kisah Rasul pasal 2, banyak sekali muncul pengajaran-pengajaran yang menyimpang. Penyimpangan-penyimpangan pengajaran tersebut rata-rata bersumber dari pencampuran antara pengajaran Kristen dengan pengajaran-pengajaran lain. Sebut saja salah satunya paham Gnostik yang usianya lebih tua dari kekristenan itu sendiri, seringkali menyusup masuk dalam jemaat mula-mula. Para pengajar Gnostik ini memang secara sengaja menentang kekristenan. Mereka seringkali membuat orang Kristen kala itu terkesan dengan khotbah-khotbah mereka, yang kemudian mempengaruhi cara pandang jemaat dan kemudian jalan hidupnya. Ada lebih banyak lagi pengajaran-pengajaran yang membingungkan jemaat gereja kala itu, yang memang berniat menghancurkan kekristenan.

Surat 1 Yohanes adalah perwujudan perlawanan Rasul Yohanes terhadap pengajaran-pengajaran yang menyesatkan umat Tuhan kala itu. Yudaisme, Gnostisisme, Doketisme, dan pengajaran Cerintus, adalah pengajaran yang banyak berkembang di kawasan Asia, dimana jemaat Tuhan yang digembalakan oleh Rasul Yohanes ada dan berkembang. Pengajaran tersebut pada intinya membawa jemaat untuk mengecilkan pribadi Tuhan Yesus Kristus. Mereka mendorong jemaat untuk tetap melaksanakan ritual Taurat. Gnostisisme menganggap Yesus adalah allah yang terperangkap dalam tubuh hina manusia. Doketisme percaya bahwa tubuh jasmani Yesus hanyalah sebuah ilusi, demikian halnya dengan penyaliban-Nya. Dan ada banyak macam pengajaran sesat lagi yang beredar kala itu, yang banyak mempengaruhi gereja. Jika itu semua dibiarkan, maka jemaat Tuhan akan banyak yang terhilang.[1]

Memiliki sikap kritis terhadap pengajaran
Sikap kritis dan berhati-hati dalam gereja yang dewasa ini banyak dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas, justru merupakan sikap yang dikembangkan oleh para pemimpin gereja mula-mula. Hal tersebut semata-mata bertujuan menjaga kemurnian pengajaran Tuhan Yesus yang mereka turunkan dari generasi ke generasi. Ironisnya, karena ada embel-embel bahwa pengajaran tersebut berasal dari Tuhan, maka orang tidak mau lagi memperhatikan dan memikirkannya dengan kritis. Ditambah lagi dengan adanya anggapan bahwa orang yang banyak bertanya dan mendiskusikan pengajaran, adalah orang yang cenderung memberontak dan tidak taat. Pandangan seperti inilah yang harus kita hilangkan dari gereja. Dengan adanya sikap kritis ini, iman kita akan terus dapat dijaga dan bertumbuh dengan sehat, dalam jalur kebenaran firman Tuhan.

1 Yohanes 4:1 ini memberikan prinsip kepada kita bahwa kita hendaknya tidak mudah percaya kepada pengajaran-pengajaran yang mengatasnamakan Tuhan. Realita yang saat ini dihadapi oleh umat beragama adalah apa yang telah Rasul Paulus tuliskan dalam 2 Timotius 4:3-4:

“Sebab akan sampai waktunya orang tidak mau lagi menerima ajaran yang benar. Sebaliknya, mereka akan menuruti keinginan mereka sendiri, dan mengumpulkan banyak guru guna diajarkan hal-hal yang enak didengar di telinga mereka. ...menutup telinga terhadap yang benar, ...memasang telinga terhadap cerita-cerita dongeng.” – IBIS

Dalam bahasa Yunani, kata roh juga digunakan untuk mengacu pada pikiran yang rasional, jiwa yang menggerakkan seseorang,[2] yang kemudian makna tersebut digunakan dalam konsep bahasa Inggris dalam kata spirit yang diartikan semangat. Kata ini kemudian juga diasosiasikan dengan motivasi dari sebuah tindakan. Hal itu berarti bahwa kita juga harus berhati-hati terhadap motivasi sebuah pemberitaan firman Tuhan. Tidak dapat disangkal bahwa ada juga pemberita firman yang memiliki motivasi yang salah. Materi dan popularitas mungkin adalah daftar teratas dari sekian banyak motivasi yang salah tersebut. Pemberita firman disini juga tidak hanya dari kelompok pendeta. Dewasa ini telah banyak muncul orang-orang yang terlihat rohani dan memiliki kecakapan mengajar firman Tuhan, namun dengan prinsip-prinsip yang salah. Sekalipun mungkin mereka memiliki ketulusan motivasi, namun pengajaran tersebut harus menggunakan prinsip yang tepat juga.

Rasul Yohanes mengukur kebenaran ilahi firman Tuhan yang diberitakan berdasarkan isinya, yakni memberitakan Tuhan Yesus Kristus yang berinkarnasi menjadi manusia, yang menanggung hukuman salib untuk menebus dosa manusia. Jika pengajaran yang ada tidak mengarahkan pendengarnya untuk menyembah Yesus Kristus sebagai Tuhan (theos – Yun.) dan Tuan (kurios – Yun.), maka itu pasti bukanlah pengajaran yang benar. Jika motivasi sebuah pengajaran tidak membuat pendengarnya datang menyembah dan mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan Yesus Kristus, kemudian menggerakkan aktivitas kesehariannya sebagai tindakan nyata ibadahnya, maka dapat dipastikan itu adalah sebuah pengajaran yang salah.

Kritis dalam memahami kebenaran Firman Tuhan dan menjalankannya

“Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia.”

1 Yohanes 4:4 telah lama menjadi ayat favorit banyak orang Kristen, namun dengan pemaknaan yang telah bergeser dari aslinya. Jadi jika ayat tersebut dipahami dalam konteksnya, maka kita akan mendapat kesimpulan yang berbeda. Pengajaran yang benarlah yang akan membuat kita kuat. Kekuatan rohani yang kita miliki pastilah memiliki dasar yang kuat, dan dasar itu adalah pengertian yang benar terhadap kebenaran firman Tuhan. Dalam surat Roma 10:17 Rasul Paulus mengatakan “No one can have faith without hearing the message about Christ.”[3] Membaca Alkitab tanpa tahu maksudnya tidak akan dapat merubah apapun dalam kehidupan kita. Untuk dapat menggunakan Alkitab sebagai sandaran kebenaran, kita harus tahu maksud yang sebenarnya dari setiap ayat yang kita baca. Paulus menggunakan kata Yunani rhema, yang kemudian diterjemahkan dengan kata firman dalam ayat ini. Kata rhema memiliki arti sebuah ujaran atau pernyataan yang jelas. Namun bukan sekedar perkataan, rhema adalah rangkuman dari seluruh pemikiran yang ingin dijelaskan. Sebuah pesan yang jelas dari firman Tuhan, yang dibangun dengan dasar pemahaman yang benar, akan membangun iman seseorang dengan kuat.

Pengajaran yang benar berasal dari sebuah pencarian dan penggalian spiritual akan firman Tuhan, yang kemudian dinyatakan dalam tindakan keseharian. “Roh yang lebih besar” adalah Roh Tuhan yang menggerakkan roh kita untuk menggunakan standart/dasar hidup yang terbaik, yaitu firman Tuhan. Roh Tuhan membuat kita memiliki motivasi yang murni, yakni melayani Tuhan melalui segala aktivitas kita. Motivasi untuk memuliakan Tuhan Yesus Kristus melalui setiap aspek kehidupan kita.

Kata dunia dalam bahasa aslinya memiliki pengertian sistem dan standart/dasar kehidupan masyarakat pada umumnya. Dalam proses pengiringan kita kepada Tuhan, kita akan dibawa Roh Kudus untuk memiliki pola pikir yang ilahi, yang berfokus kepada kekekalan. Pola pikir ilahi tersebut bukan hanya diterapkan di lingkup gereja saja tapi harus dapat diterapkan dalam keseharian kita. Kita dituntut menjadi pribadi-pribadi yang memiliki standart lebih tinggi dari orang-orang pada umumnya.[4] Misalnya, kejujuran kita, kedisiplinan, kecintaan kepada lingkungan, rasa welas asih, penghormatan terhadap sesama manusia, harusnya melebihi orang-orang pada umumnya. Itulah contoh nyata pribadi Kristen yang memiliki “roh lebih besar dari dunia ini.”

Mari kita terus mendorong diri kita masing-masing sebagai seorang Kristen, untuk memahami kebenaran firman Tuhan yang murni. Kita pergunakan setiap waktu yang kita miliki untuk mempelajari firman Tuhan dengan sungguh-sungguh. Selain harus memberikan waktu untuk duduk diam dan mempelajari Firman Tuhan, kita juga dapat memahami firman Tuhan dengan lebih baik saat kita menerapkannya dalam keseharian. Jangan mudah terbawa arus pengajaran yang mistis dan seolah-olah lebih rohani dari yang lain, namun tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan kita. Kebenaran firman Tuhan yang murni harusnya merubah karakter kita secara pribadi, dan dapat menginspirasi orang-orang di sekitar kita. Tuhan Yesus memberkati kita semua.



[1] Constable, Thomas L., Notes on 1 John 2005 Edition (E-book Published by Sonic Light, http://www.soniclight.com/) 1-5
[2] The Complete Word Study Dictionary (©1992 By AMG International, Inc. Chattanooga, TN 37422, U.S.A. Revised edition, 1993) keyword: pneuma.
[3] Terjemahan Contemporary English Version.
[4] Smalley, Stephen S., WBC: 1,2,3 John vol. 51 (New York: Word Inc. 1984) 220-33