Kisah
pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun merupakan salah satu kisah yang sangat
terkenal dari Alkitab. Banyak erenungan yang dapat kita ambil dari kisah tersebut.
Dalam perenungan kali ini, kita akan melihat siapa sebenarnya Sang Pencoba,
yang ternyata sering kali datang kepada Tuhan hingga saat ini.
Kisah
pencobaan tersebut dimulai saat Tuhan Yesus selesai dibabtis oleh Nabi Yohanes
Pembabtis. Setelah keluar dari air dan Roh Kudus yang nampak seperti burung
merpati turun atas-Nya, Tuhan Yesus dipimpin oleh Roh Kudus ke padang gurun
untuk dicobai oleh iblis. Perhatikanlah bahwa Roh Kudus Allah-lah yang membawa
Tuhan Yesus ke padang gurun. Penulis Injil Markus bahkan mengungkapkan kata
“dibawa” dengan nuansa yang kasar, yang berarti dibuang atau dilemparkan. Hal
ini menunjukkan bahwa proses yang sedang dihadapi Tuhan Yesus kala itu adalah
sebuah proses yang berat.
Dalam Injil
Matius dan Lukas dituliskan bahwa Roh Kudus sepertinya sengaja membawa Tuhan
Yesus untuk dicobai. Hal tersebut menegaskan bahwa posisi Tuhan Yesus adalah
sama seperti manusia pada umumnya. Ia tetap harus menghadapi segala bentuk
cobaan dan ujian terhadap iman-Nya kepada Bapa.
Sekarang marilah
kita sedikit memahami tentang kata “dicobai.” Kata “Dicobai” berasal dari kata Yunani “Peirazo” diterjemahkan dalam dua kata dalam bahasa Inggris: (1) Temp - tujuannya agar melakukan
kejahatan/kesalahan/dosa. Dalam konteks inilah kemudian penterjemah Alkitab
kita menterjemahkannya dengan kata dicoba atau pencobaan. Kata dicobai selalu
membawa konotasi negative di dalamnya, karena memang pada kenyataannya tidak
ada seseorang yang dicobai untuk berbuat baik. Kemudian (2) Test - bertujuan untuk mengungkapkan
atau memunculkan kebenaran dan hal yang murni agar terungkap. Dalam konteks ini
kita memahami bahwa Abraham sedang diuji oleh Tuhan dan bukannya dicobai.
Tujuan Tuhan adalah untuk mengungkap apa yang ada dalam hati terdalam Abraham
terhadap Tuhan. Demikian juga dengan bangsa Israel selama pengembaraan mereka
di padang gurun. Mereka menghadapi ujian untuk mengungkapkan siapa mereka yang
sebenarnya dari hati yang terdalam. Dan di akhir kisah pengembaraan tersebut,
kita melihat bahwa kecenderungan bangsa Israel adalah melakukan kejahatan. Ada
satu kata lain yang seringkali juga diterjemahkan dengan kata dicobai, yaitu kata
“Dokime,” yang diterjemahkan dalam
bahasa Inggris sebagai “Trial.” Kata
ini mengandung makna persidangan, pembuktian dengan fakta, menunjukkan
kemurnian.
Mari sekarang
kita perhatikan salah satu tokoh sentral dalam kisah ini, yakni si Iblis. Setan
(bahasa Caldea - red) atau iblis ini
sebenarnya adalah sebuah gelar dari sang tokoh yang mencobai Tuhan Yesus. Gelar
tersebut berarti penuduh, jahat, pemfitnah, pembohong. Jadi gelar tersebut
menunjukkan sifat-sifat dari si iblis itu sendiri. Berhubung kata iblis atau
setan ini adalah bentukan kata sifat, maka sebenarnya kata tersebut dapat berlaku bagi siapa sebagai person-nya,
termasuk kita. Inilah yang sebenarnya harus menjadi perenungan kita semua.
Sebelum lebih
jauh lagi, mari kita perhatikan tiga peristiwa pencobaan yang dialami Tuhan
Yesus kala itu. Tujuan si iblis mencobai Yesus adalah agar muncul keraguan
terhadap Bapa-Nya. Dalam kondisi Yesus yang sedang sangat lapar karena berpuasa
selama 40 hari, si setan mencoba-Nya dengan pencobaan pertama, mengubah batu
menjadi roti. Perhatikan kalimat “Jika Engkau Anak Allah” yang dilontarkan oleh iblis. Kalimat
tersebut seakan meminta pembuktian bahwa Yesus adalah benar anak Allah. Seolah
ada pertanyaan seperti “Apakah benar Bapa
menganggapmu sebagai anak-Nya? Lantas kenapa Dia membiarkan kamu dalam situasi
seperti ini – kelaparan, sendirian, tersiksa?” Iblis ingin Tuhan Yesus meragukan
pemeliharaan Tuhan secara fisik dengan memunculkan pikiran “Daripada mati kelaparan, kamu dapat mengubah
batu ini jadi roti, bukan? Kan kamu memiliki kuasa yang besar jika memang benar
kamu adalah Sang Anak Allah.”
Dalam
pencobaan kedua, nada yang sama digunakan oleh si iblis untuk menyerang Tuhan
Yesus. Iblis mungkin berpikir dengan meminta Yesus untuk menjatuhkan diri dari
atap Bait Suci, dengan kemudian menambahkannya dengan pernyataan firman Tuhan
dari Mazmur 91, akan dapat menggoncangkan iman Yesus. Iblis ingin memunculkan
pikiran meragukan jaminan penyertaan dan perlindungan Bapa, dalam pikiran
Yesus. Iblis seolah bertanya “Benarkah
Tuhan akan menjaga nyawamu saat kamu dalam bahaya?” Dan dalam pencobaan
ketiga, iblis seolah membawa Yesus untuk berpikir dan meragukan otoritas dari
panggilan-nya sebagai Juru Selamat, Mesias bagi umat manusia. Iblis seolah
bertanya “Menjadi Mesias artinya menjadi
Raja yang berkuasa atas seluruh dunia, bukan? Apakah Tuhan akan memberikan
kekuasaan sebesar itu?”
Inti dari
semua pencobaan Iblis adalah mengguncang Yesus dengan tantangan-tantangan untuk
menunjukkan otoritas-Nya sebagai Anak Allah yang diurapi, Sang Mesias yang
dijanjikan kepada umat manusia. Namun jika kemudian Tuhan Yesus menuruti
tantangan-tantangan tersebut, maka Tuhan Yesus telah gagal memenuhi rancangan
Bapa-Nya. Tuhan Yesus telah melencengdari rancangan Bapa yang hakiki mengenai
kehadiran-Nya di dunia ini. Dan kegagalan tersebut akan membuat Tuhan Yesus
tidak layak lagi menyandang predikat sebagai Anak Allah, Sang Mesias itu.
Sekarang, mari kita melihat jawaban Tuhan Yesus atas pertanyaan-pertanyaan setan. Pada pencobaan pertama, Tuhan Yesus menjawab “Manusia tidak hidup dari roti SAJA, tapi dari firman yang keluar dari mulut Allah.” Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa hidup ini bukan melulu masalah fisik dan pemenuhan keinginan jasmaniah saja, tapi juga harus memperhatikan kehidupan jiwani/rohani. Kenyataannya, jika fokus kita hanya kepada pemenuhan keinginan-keinginan tubuh, maka kita tidak akan ada bedanya dengan binatang. Kesadaran inilah yang harus kita miliki, dan mulai lebih memperhatikan kehidupan rohani kita.
Sekarang, mari kita melihat jawaban Tuhan Yesus atas pertanyaan-pertanyaan setan. Pada pencobaan pertama, Tuhan Yesus menjawab “Manusia tidak hidup dari roti SAJA, tapi dari firman yang keluar dari mulut Allah.” Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa hidup ini bukan melulu masalah fisik dan pemenuhan keinginan jasmaniah saja, tapi juga harus memperhatikan kehidupan jiwani/rohani. Kenyataannya, jika fokus kita hanya kepada pemenuhan keinginan-keinginan tubuh, maka kita tidak akan ada bedanya dengan binatang. Kesadaran inilah yang harus kita miliki, dan mulai lebih memperhatikan kehidupan rohani kita.
Pada pencobaan
kedua, Tuhan Yesus menjawab “Jangan cobai Tuhan Allahmu.” Penobaan ini masih berhubungan erat dengan
pencobaan pertama. Kita harus ingat dan benar-benar menekankan pada diri kita
bahwa Tuhan bukanlah pelayan kita, yang harus selalu memenuhi semua keinginan
kita. Kitalah yang harus tunduk pada perintah-Nya. Mencobai Tuhan seringkali
ditunjukkan dengan sikap seperti seorang anak-anak yang selalu meminta
keinginannya selalu dipenuhi. Hal ini mengingatkan kita tentang arti kedewasaan
rohani. Seseorang yang dewasa secara rohani, akan menundukkan dirinya kepada
Tuhan dan bukannya menuntut Tuhan “tunduk” pada keinginannya.
Dalam
pencobaan ketiga, Tuhan Yesus terlihat mulai jengah akan keberadaan setan ini.
Di sisi lain, setan terlihat berganti
taktik karena menyinggung posisi Yesus sebagai Anak Allah ternyata tidak berhasil.
Kali ini Setan menunjukkan “takdir yang
seharusnya” diperoleh Yesus sebagai seorang Mesias, yakni berkuasa sebagai
raja atas dunia. “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau
harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” Yesus memiliki kesadaran penuh bahwa Ia
adalah Sang Mesias. Namun kemesiasan-Nya bukanlah Mesias yang seperti dibayangkan
akan berkuasa sebagai raja. Kemesiasan-Nya adalah yang tetap tunduk kepada
rencana Bapa-Nya: Penebusan dosa umat manusia.
Sifat-sifat setan seperti yang telah kita
lihat di atas, sebenarnya dapat juga ada dalam hidup kita. Bukankah tidak
jarang kita bersikap seperti anak-anak kepada Tuhan? kita sering kali menuntut
Tuhan untuk selalu memenuhi semua keinginan kita. Saat keinginan kita tidak
dipenuhi, kita mulai menuduh dan menyalahkan Tuhan. Ingatlah bahwa Tuhan
bukanlah budak kita. Kita tidak hidup untuk memenuhi keinginan diri kita
sendiri. Tuhan menciptakan kita untuk memenuhi tujuan dan rencana-Nya. Itulah
bentuk pribadi yang telah dewasa secara rohani.
Marilah kita berjuang untuk menjadi pribadi
rohani yang dewasa. Sadarlah bahwa kita hidup untuk menjalankan rancangan Allah
bagi kita. Saat kita memaksakan keinginan dan rancangan kita kepada Allah, pada
hakikatnya kita telah berdosa dan telah berubah menjadi iblis itu sendiri. Perjuangkan
pendewasaan ini adalah sebuah proses yang berat. Oleh karena itu gantungkanlah
hidup kita sebenuhnya pada kasih karunia Tuhan dan kebenaran firman-Nya.