Laman

Showing posts with label gereja. Show all posts
Showing posts with label gereja. Show all posts

17 February 2018

BERGEREJA ITU PENTING (Kisah Para Rasul 2:42-47)


There is nothing more unchristian than a solitary Christian.” (John Wesley)

Bagi banyak orang dan bahkan termasuk banyak umat Kristen sendiri, pengertian tentang gereja sering kali dipahami secara sempit. Gereja sering kali hanya dimaknai sebagai gedung atau tempat di mana umat Kristen melakukan ibadah di hari Minggu.
Dalam Alkitab Terjemahan Baru 1974 dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), kita tidak akan menemukan kata “gereja” di dalamnya. Namun jika kita menggunakan terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari dari LAI atau Versi Mudah Dibaca dari lembaga penterjemahan Alkitab World Bible Translation Center, kita baru akan menemukan kata gereja. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Inggris, kata “church” telah digunakan lebih lama. Lantas, apa makna kata gereja (church – Ingg.) ini?
Dalam bahasa asli Perjanjian Baru, yakni bahasa Yunani, terdapat kata ekklesia, yang kemudian diterjemahkan dengan kata church atau gereja. Kata ekklesia berarti orang-orang dipanggil keluar. Dalam perspektif kekristenan, kata ini memiliki makna umat yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang Tuhan. Kata ini sejajar dengan kata Yunani sunagoge, yang kemudian dalam perkembangannya mengalami pembedaan konteks. Pada dasarnya, kedua kata tersebut bermakna sama, yakni “jemaat.” Bedanya, kata sunagoge mengacu pada jemaat Israel/Yahudi, sedangkan ekklesia mengacu pada jemaat Kristus/Kristen. Dalam kedua kata tersebut – ekklesia dan sunagoge – terkandung kekayaan makna yang sama, yakni kumpulan jemaat/umat yang berkumpul menjadi sebuah kesatuan atau keluarga. Jadi kata gereja sebenarnya lebih berarti kumpulannya, daripada tempat berkumpulnya. Lebih diartikan sebagai komunitasnya daripada gedungnya.
Tabib Lukas mencatat proses lahirnya ekklesia (komunitas jemaat Kristus) ini dalam kitab Kisah Para Rasul 2:42-47. Dalam ayat 42 dikatakan demikian “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Tabib Lukas menunjukkan empat buah komitmen yang dipegang oleh jemat mula-mula sebagai dasar dalam membangun komunitas ekklesia tersebut.

LEARNING – “Pengajaran”
Didache: pengajaran para rasul tentang injil, yakni kisah tentang Kristus: Kelahiran – kematian – kebangkitan-Nya. Ingatlah bahwa kala itu belum ada kitab Perjanjian Baru seperti yang kita miliki sekarang. Pengajaran para rasul berasal dari pengalaman mereka saat hidup bersama-sama dengan Kristus: apa yang Kristus sabdakan (orthodoksis) dan praktikkan (orthopraksis). Itulah yang diajarkan – diceritakan kembali – kepada jemaat mula-mula. Prinsip utamanya adalah untuk meniru kehidupan Kristus semirip mungkin.
Dalam KPR 11:26 kemudian kita ketahui bahwa pola hidup yang dipraktikkan oleh jemaat mula-mula itu melahirkan sebuah istilah olok-olok yang akhirnya menjadi nama agama kita saat ini: Kristen. Menariknya, menurut kamus The Complete Word Study Dictionary edisi revisi terbitan AMG International tahun 1993, dalam konteks kebahasaan, kata Kristen (christianos – Yun) memiliki padanan makna/bersinonim dengan kata mathētḗs (murid), pistós (orang yang setia), adelphós (saudara), dan hágios (orang kudus).

SHARING – “Persekutuan”
Koinonia: dalam bahasa Inggris seringkali diterjemahkan sebagai fellowship. Terjemahan CEV memaknainya dengan hidup seperti layaknya saudara/keluarga satu dengan yang lain. Ada istilah bahasa Indonesia yang mengungkapkannya dengan rasa senasib sepenanggungan. Konotasi umum kata ini juga memuat unsur komunikasi di dalamnya. Hal tersebut menunjukkan kesan bahwa dalam persekutuan atau hubungan keluarga, komunikasi merupakan sebuah unsur yang tak terpisahkan dari dalamnya. Ada anggapan bahwa persekutuan ini adalah mujizat yang sesungguhnya dari peristiwa Pentakosta, dimana orang dari berbagai bangsa dapat berkumput dan bersekutu hingga menjadi sebuah kesatuan keluarga besar.

Being TOGETHER – “Memecah roti”
Frasa “memecahkan roti” seringkali mengacu pada perjamuan terakhir sebelum Tuhan Yesus disalibkan – memang secara harfiah dimaknai sebagai acara makan bersama oleh Jemaat Perdana. Dalam pemahaman orang Yahudi, meja makan akan menjadi sebuah mezbah suci karena di sana dipanjatkan doa berkat, dan acara makan menjadi sebuah aktivitas yang kudus. Tapi marilah kita lebih memperhatikan Injil Lukas. Kita akan mendapati bahwa perjamuan atau acara makan yang melibatkan Tuhan Yesus di dalamnya selalu menjadi kesempatan untuk membangun kedekatan dalam persekutuan, menerima wahyu kebenaran firman Tuhan dalam bentuk pengajaran dan diskusi, dan bahkan melahirkan pertentangan – saat dimana Yesus menerima orang berdosa untuk makan bersama-Nya (Luke 15:2). Dalam meja perjamuan makan Tuhan Yesus, kita semua akan mendapati penerimaan yang tulus hingga proses pendewasaan oleh kebenaran Tuhan.

 WORSHIPING – “Berdoa”
Proseuche: terjemahan literalnya adalah doa. Dalam KPR 2:42, kata doa ini berbentuk jamak/plural, sehingga pengertian yang dibangun adalah bahwa jemaat para Rasul menaikkan banyak doa atau memberi porsi yang besar terhadap aktivitas doa ini. Doa dipandang sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan. Ada beberapa pola doa yang umum diterapkan oleh jemaat Kristen mula-mula, kala itu. Beberapa pola doa tersebut adalah Doa Yahudi Shema yang biasanya dilakukan tiga kali sehari, kemudian ada juga siklus doa yang diambil dari kitab Mazmur, dan kemudian juga doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus

 Berdasarkan pola tersebut kita dapat jelas melihat bahwa doa-doa yang digunakan dalam aktivitas jemaat perdana tersebut agak berbeda dari pemahaman tentang doa di masa sekarang ini, yang biasanya adalah menaikkan “permintaan-permintaan” kita kepada Tuhan. Doa kala itu juga dipahami sebagai persembahan pujian dan sebagai bentuk penyembahan mereka.

Kata kunci yang sangat penting yang menyatukan paket komitmen jemaat Kristen perdana, yang terdapat dalam KPR 2:42, adalah kata “bertekun.” Kata ini memiliki arti bertahan, berpegang teguh, melekat dan terus mendekat dengan seseorang atau sesuatu. Ketekunan tentu saja bukanlah kualitas yang dihasilkan dalam jangka waktu yang pendek, melainkan panjang. Gereja perdana memegang komitmen mereka secara tekun, konsisten dan setia. Itulah kualitas yang kemudian membuahkan kualitas-kualitas yang luar biasa, yakni rasa persatuan, rasa kekeluargaan, rasa saling peduli, serta karakter yang dewasa yang dimiliki oleh jemaat. Dan buah dari kualitas-kualitas tersebut adalah pertumbuhan jumlah yang sangat signifikan setiap harinya (KPR 2:47).

Dalam konteks gereja modern, komitmen-komitmen Jemaat Perdana tersebut hendaknya tetap dipegang teguh. Lebih jauh lagi, mari kita pandang hal tersebut sebagai indikator kemurnian gereja. Artinya, kita harus memastikan bahwa nilai-nilai komitmen tersebut terjadi secara nyata dalam komunitas gereja kita. Dan sebaliknya, jika nilai-nilai tersebut tidak terlihat secara nyata, kita harus berani mengakui bahwa komunitas gereja kita sedang bermasalah. 

Marilah kita bangun sebuah komunitas gereja yang sehat: ada pengajaran/didikan yang murni di dalamnya, ada persekutuan yang indah selayaknya keluarga, ada penerimaan yang tulus, serta ada doa penyembahan di dalamnya. Kita harus terus berjuang bersama-sama untuk menjadi pribadi yang dewasa, komunitas yang dewasa, yang kemudian menjadi berkat untuk sesama.

30 December 2016

GEREJA ADALAH RUANG BELAJAR, HIDUP KESEHARIAN ADALAH LADANG UJIAN (Ibrani 10:24-25)

Masih banyak orang Kristen yang memandang aktivitas beribadah “terpisah” dari aktivitas hidup yang lain. Dalam pandangan mereka, gereja dan segala bentuk kegiatan rohani lainnya adalah ruang yang sakral sedangkan lingkup diluar hal tersebut kurang sakral. Dalam satu sisi, pandangan tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Namun jika diperhatikan dengan saksama, maka akan nampak kekurangannya.

Iman Kristen harus dipahami secara utuh. Jika hanya dipahami secara setengah-setengah, maka akan membawa kepada kesesatan. Istilah kesesatan disini janganlah hanya dipahami dalam konteks pengajaran agama, semisal diasumsikan dengan aliran/ajaran sesat seperti Saksi Yehova, Mormonisme, dll. Dalam kasus yang paling sederhana, mengambil atau melakukan sebuah prinsip yang terlihat berasal dari Alkitab – padahal hanya separuh kebenaran saja – adalah satu bentuk kesesatan. Untuk itulah diperlukan sebuah pemahaman yang utuh dan lengkap terhadap iman Kristiani, yang tentunya hal itu bersumber dari penafsiran Alkitab yang disiplin.

Lantas, apa yang seringkali menghambat kita, umat Kristen, untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh terhadap firman Tuhan dalam Alkitab? Apa pula yang harusnya kita upayakan untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tersebut?

Ø  Cherry-picking dan Proof-texting
Saat ini kita akan sedikit membahas satu kesalahan yang hingga saat ini masih sering kali dan mungkin yang paling umum terjadi di kalangan orang Kristen (khususnya, sejauh pengamatan saya, di aliran Pentakosta dan Kharismatik), berkenaan dengan cara memahami Alkitab. Kesalahan tersebut adalah kebiasaan MEMBACA dan lantas MENGAMINI SEBUAH AYAT ALKITAB.

Kesalahan ini disebut cherry-picking, dan dalam istilah hermeneutik dikenal juga sebuah istilah yang lebih terkesan teknis yakni proof-texting. Cherry picking adalah kesalahan logika dimana seseorang membangun argument atau pemahamannya hanya berdasar atas pendapat atau data yang menyokong apa yang diklaimnya saja, tanpa mempertimbangkan keseluruhan data (konteks), yang sebenarnya sebagian data yang diambil tersebut justru kadang melemahkan atau bahkan membantah klaimnya sendiri; biasa disebut cocokmologi. Pengertian proof-texting adalah kesalahan metodologis dimana seseorang mengambil bagian kecil dari Alkitab, seringkali hanya sebuah ayat, kemudian digunakan untuk mendukung sebuah pemikiran atau membangun sebuah doktrin tanpa mempedulikan konteks sastranya. Dengan ungkapan yang sederhana, cherry-picking dan proof-texting adalah kebiasaan pilih-pilih ayat Alkitab.

Cherry-picking dan proof-texting akan menghasilkan sebuah pengajaran kekristenan yang salah serta lemah. Prinsip-prinsip pengajaran yang dibangun dengan pola tersebut kemungkinan besar tidak konsisten bahkan seringkali kontradiktif. Membangun fondasi kehidupan dengan dasar pengajaran yang didapat dengan pola tersebut seperti membangun rumah di atas pasir. Jika ingin membangun iman Kristen yang kuat, lakukan di atas batu karang. Membangun di atas batu karang berbicara tentang memahami firman Tuhan secara benar dan mendasar sehingga membuat kita mampu merumuskan tindakan nyata dari prinsip kebenaran firman Tuhan tersebut.

Lebih buruk lagi, kebiasaan pilih-pilih ayat tersebut seringkali juga dilakukan secara setengah-setengah. Maksudnya seperti ini: Ayat-ayat yang memiliki isi yang menyenangkan, menenangkan, menguatkan, memotifasi serta “memberkati” seringkali menjadi ayat-ayat favorit banyak umat Kristen. Jarang kita dapati seseorang yang menggunakan ayat-ayat yang berisi teguran dan kritikan sebagai ayat nats atau ayat emas favoritnya.

Ø  Gereja (juga) merupakan lembaga pendidikan
Gereja seharusnya tidak lagi dipandang hanya sebagai tempat suci atau tempat ibadah dalam kehidupan umat Kristen. Gereja seharusnya juga menjadi wadah umat Kristen untuk belajar dan mendulang pemahaman yang benar terhadap firman Tuhan, serta relefansinya dalam kehidupan sehari-hari. Memahami prinsip firman Tuhan dengan benar serta mengerjakan prinsip kebenaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari – dengan segala keterbatasan kemampuan – akan membawa kita, umat Kristen, mengenal Tuhan dengan benar.

Dalam konteks membangun dasar-dasar iman, gereja harusnya menghindarkan jemaat dari kebiasaan cherry-picking atau proof-texting tersebut di atas. Teknisnya, Gereja harus mulai membiasakan jemaat untuk menggunakan cara pembacaan Alkitab yang lebih menyeluruh; tidak lagi membaca satu ayat saja, melainkan membaca paling tidak satu paragraf utuh atau satu perikop. Akan lebih baik lagi jika kebiasan membaca tuntas Alkitab digalakkan di kalangan jemaat gereja. Membaca Alkitab hingga tuntas (mulai dari kitab Kejadian hingga Wahyu) akan memberi kita sekilas gambaran besar mengenai alur penulisan Alkitab.

Selain Alkitab, gereja seharusnya juga harus mampu mengedukasi anggota jemaat untuk membaca buku-buku atau sumber-sumber bacaan yang lain. Hal tersebut penting sekali untuk memperluas cakrawala berpikir anggota gereja.

Ø  Dengarkan saja, maka imanmu akan bertumbuh. Oh really? Come on….!!
Dalam sebuah ibadah formal hari minggu, mimbar gereja memang merupakan sebuah mimbar monolog. Melalui mimbar tersebut seorang pendeta atau hamba Tuhan menyampaikan renungan dari sebuah bagian dari Alkitab. Kita tentu saja tidak akan mendapati adanya dialog yang terjadi antara jemaat dengan sang pengkhotbah dalam kesempatan tersebut. Hal itu adalah semacam aturan tidak tertulis yang umum berlaku dalam sebuah ibadah. Namun apakah mimbar gereja hanya diisi oleh kegiatan ibadah semacam itu saja?

Gereja harus menyediakan ruang untuk pendalaman pemahaman akan firman Tuhan bagi jemaat. Kata Ruang yang saya maksudkan disini lebih mengarah pada waktu atau kesempatan. Yang harus ditentukan oleh para gembala jemaat atau majelis gereja adalah kapan pelaksanaanya. Itu hanyalah masalah teknis dari jadwal kegiatan gereja. Permasalah yang lebih mendesak sebenarnya adalah ada atau tidaknya kesempatan tersebut, bukan?

Saat kita mendengarkan khotbah yang disampaikan pada waktu ibadah umum, tidak jarang muncul tanggapan di dalam pikiran kita. Tanggapan tersebut dapat berupa pertanyaan atau bahkan pendapat atau pemahaman yang tidak jarang justru berseberangan dengan apa yang telah dikatakan oleh sang pengkhotbah.

Tanggapan tersebut muncul karena kita mungkin saja telah menerima sebuah informasi yang berhubungan dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang pengkhotbah. Bisa saja kita pernah membaca sebuah buku atau artikel tertentu, mendengarkan khotbah dari internet, atau teringat percakapan dengan seorang teman, atau mungkin saja kita pernah mengalami “serangan” terhadap iman kita dari orang yang beragama lain dan kita tidak dapat menjawabnya. Tanggapan-tanggapan yang ada dalam pikiran kita tersebut, saya yakin, membutuhkan jawaban atau tanggapan balik.

Jadi, memang mendengarkan khotbah saja tidaklah dapat membuat iman seseorang bertumbuh. Lantas kenapa ada ayat Alkitab yang berkata bahwa “iman timbul dari pendengaran akan firman Kristus?” (Roma 10:17) Apakah artinya ayat tersebut salah?

Ada minimal dua ayat yang menurut saya menarik untuk diperhatikan, berkenaan dengan pertumbuhan iman yang didasarkan pada pengajaran firman Tuhan. Ayat yang pertama sebenarnya secara tidak langsung telah saya kutip di atas, yakni Matius 7:24-27. Dalam bagian tersebut, Tuhan Yesus memberikan penakanan bahwa saat seseorang “mendengarkan” firman Tuhan dan melakukannya, maka ia akan memiliki iman yang kuat untuk menghadapi gempuran pengaruh dunia serta dapat bertahan dalam pergumulan hidupnya. Rasul Paulus menulis dalam surat Roma 10:17 bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”

Kedua bagian kutipan ayat Alkitab tersebut memuat sebuah kata yang sama, yakni mendengarkan. Bahasa Inggris membedakan kata hear dan kata listen, yang dalam Bahasa Indonesia sama-sama diterjemahkan dengan dengar atau mendengarkan. Kata hear bermakna sekadar mendengar sebuah suara, namun kata listen memiliki makna memperhatikan dengan saksama. Kata “mendengarkan” dalam bahasa Yunani yang digunakan penulis kitab, dalam hal ini adalah Rasul Matius dan Rasul Paulus, adalah kata dasar yang sama yang dibaca akoe.

Kata akoe ini hanya akan menunjukkan perbedaan makna saat dimasukkan ke dalam konteks kalimatnya. Dalam hal ini, kata akoe memiliki makna memperhatikan karena perkataan tersebut merupakan paket pengajaran yang diberikan oleh seorang pengajar firman.

Tuhan Yesus dan Rasul Paulus sudah sangat terbiasa dengan kalimat tersebut. Secara meyakinkan, mereka pastilah mendasari pemahamannya dengan ayat yang berasal dari kitab Keluaran 15:26 “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan (listen – KJV) suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan engkau.” Masyarakat Yahudi sangatlah mengenal bagian ini. Bagi mereka, firman Tuhan sangatlah sakral dan mereka harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh ketika firman Tuhan tersebut diajarkan.

Tidak sekedar didengarkan, firman Tuhan haruslah dipahami. Ukuran dari paham atau tidaknya kita terhadap prinsip kebenaran firman Tuhan adalah saat kita mampu merumuskan tindakan nyata untuk kita kerjakan dalam kehidupan kita sehari-hari, berdasarkan prinsip kebenaran dari bagian firman Tuhan yang kita renungkan tersebut. Di sisi yang lain, seorang hamba Tuhan harus dapat memberikan pengertian yang mendasar kepada jemaat dari bagian firman Tuhan yang dia bawakan dalam khotbahnya.

Ø  Gereja adalah kelas belajar seumur hidup
Mari kita sejenak mengingat proses pendidikan kita saat berada, misalnya, di sekolah dasar. Di kelas 1 sekolah dasar, kita diajar untuk menghafalkan perkalian 1 x 1 hingga 10 x 10. Adakah diantara kita yang mampu menghafalkan sekian banyak perkalian tersebut hanya dalam satu kali pertemuan pelajaran matematika? Mustahil, bukan? Mari kita bayangkan ada berapa banyak persoalan kehidupan yang kita hadapi. Apakah mungkin semua permasalah tersebut dapat terjawab dengan satu atau dua kali pergi beribadah ke gereja? Jawabannya akan sama, yakni mustahil.

Gereja harusnya menjadi tempat untuk kita menimba pemahaman mengenai prinsip-prinsip kebenaran Tuhan. Seperti halnya ruang kelas, pola pembelajaran di gereja haruslah dinamis dan holistik, artinya prinsip kebenaran yang dipelajari dapat menjangkau dan diterapkan di semua sudut kehidupan kita.

Jika kita hanya mengandalkan pertemuan ibadah sekali seminggu pada waktu ibadah umum saja, sejauh mana prinsip kebenaran yang akan kita pahami? Tentunya akan sangat dangkal bukan? Belum lagi jika kita tidak memiliki semangat untuk belajar, dan disaat yang sama ada begitu banyak permasalahan kehidupan yang tidak mungkin kita abaikan begitu saja.

Pertemuan-pertemuan ibadah dalam komunitas gereja seharusnya mengusung pemahaman mengenai pendidikan warga gereja ini dengan lebih serius. Pertemuan ibadah selain ibadah umum minggu seharusnya dapat menjadi wadah yang mengasyikkan bagi jemaat untuk berkumpul dan menggali kebenaran firman Tuhan.

Ø  Siapa yang bertanggung jawab? Seluruh warga gereja.
Seorang Kristen yang dewasa dan bertanggung jawab terhadap iman Kristennya, akan berusaha dengan keras untuk bertumbuh dengan baik. Ada dua aspek kehidupan orang Kristen: aspek pribadi dan komunal. Kita dituntut untuk sadar akan konsekuensi iman kita secara pribadi. Berani mempertanggungjawabkan iman kita dalam hal pola pikir, perkataan dan tingkah laku.

Dalam konteks komunal, gereja sebenarnya memiliki pengertian komunitas orang beriman, bukan sekedar sebuah bangunan tempat ibadah. Jadi sebagai komunitas, semua anggota dari komunitas tersebut mengemban tanggung jawab yang sama, yakni untuk terus memastikan kebenaran Tuhan tetap ditegakkan di dalamnya. Dari sinilah muncul tanggung jawab untuk bertumbuh bersama, saling membangun, saling menjaga dan saling menasihati. Dalam hal ini, penulis surat Ibrani menuliskan demikian: “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:24-25)