Laman

Showing posts with label Ibrani 10. Show all posts
Showing posts with label Ibrani 10. Show all posts

30 December 2016

GEREJA ADALAH RUANG BELAJAR, HIDUP KESEHARIAN ADALAH LADANG UJIAN (Ibrani 10:24-25)

Masih banyak orang Kristen yang memandang aktivitas beribadah “terpisah” dari aktivitas hidup yang lain. Dalam pandangan mereka, gereja dan segala bentuk kegiatan rohani lainnya adalah ruang yang sakral sedangkan lingkup diluar hal tersebut kurang sakral. Dalam satu sisi, pandangan tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Namun jika diperhatikan dengan saksama, maka akan nampak kekurangannya.

Iman Kristen harus dipahami secara utuh. Jika hanya dipahami secara setengah-setengah, maka akan membawa kepada kesesatan. Istilah kesesatan disini janganlah hanya dipahami dalam konteks pengajaran agama, semisal diasumsikan dengan aliran/ajaran sesat seperti Saksi Yehova, Mormonisme, dll. Dalam kasus yang paling sederhana, mengambil atau melakukan sebuah prinsip yang terlihat berasal dari Alkitab – padahal hanya separuh kebenaran saja – adalah satu bentuk kesesatan. Untuk itulah diperlukan sebuah pemahaman yang utuh dan lengkap terhadap iman Kristiani, yang tentunya hal itu bersumber dari penafsiran Alkitab yang disiplin.

Lantas, apa yang seringkali menghambat kita, umat Kristen, untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh terhadap firman Tuhan dalam Alkitab? Apa pula yang harusnya kita upayakan untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tersebut?

Ø  Cherry-picking dan Proof-texting
Saat ini kita akan sedikit membahas satu kesalahan yang hingga saat ini masih sering kali dan mungkin yang paling umum terjadi di kalangan orang Kristen (khususnya, sejauh pengamatan saya, di aliran Pentakosta dan Kharismatik), berkenaan dengan cara memahami Alkitab. Kesalahan tersebut adalah kebiasaan MEMBACA dan lantas MENGAMINI SEBUAH AYAT ALKITAB.

Kesalahan ini disebut cherry-picking, dan dalam istilah hermeneutik dikenal juga sebuah istilah yang lebih terkesan teknis yakni proof-texting. Cherry picking adalah kesalahan logika dimana seseorang membangun argument atau pemahamannya hanya berdasar atas pendapat atau data yang menyokong apa yang diklaimnya saja, tanpa mempertimbangkan keseluruhan data (konteks), yang sebenarnya sebagian data yang diambil tersebut justru kadang melemahkan atau bahkan membantah klaimnya sendiri; biasa disebut cocokmologi. Pengertian proof-texting adalah kesalahan metodologis dimana seseorang mengambil bagian kecil dari Alkitab, seringkali hanya sebuah ayat, kemudian digunakan untuk mendukung sebuah pemikiran atau membangun sebuah doktrin tanpa mempedulikan konteks sastranya. Dengan ungkapan yang sederhana, cherry-picking dan proof-texting adalah kebiasaan pilih-pilih ayat Alkitab.

Cherry-picking dan proof-texting akan menghasilkan sebuah pengajaran kekristenan yang salah serta lemah. Prinsip-prinsip pengajaran yang dibangun dengan pola tersebut kemungkinan besar tidak konsisten bahkan seringkali kontradiktif. Membangun fondasi kehidupan dengan dasar pengajaran yang didapat dengan pola tersebut seperti membangun rumah di atas pasir. Jika ingin membangun iman Kristen yang kuat, lakukan di atas batu karang. Membangun di atas batu karang berbicara tentang memahami firman Tuhan secara benar dan mendasar sehingga membuat kita mampu merumuskan tindakan nyata dari prinsip kebenaran firman Tuhan tersebut.

Lebih buruk lagi, kebiasaan pilih-pilih ayat tersebut seringkali juga dilakukan secara setengah-setengah. Maksudnya seperti ini: Ayat-ayat yang memiliki isi yang menyenangkan, menenangkan, menguatkan, memotifasi serta “memberkati” seringkali menjadi ayat-ayat favorit banyak umat Kristen. Jarang kita dapati seseorang yang menggunakan ayat-ayat yang berisi teguran dan kritikan sebagai ayat nats atau ayat emas favoritnya.

Ø  Gereja (juga) merupakan lembaga pendidikan
Gereja seharusnya tidak lagi dipandang hanya sebagai tempat suci atau tempat ibadah dalam kehidupan umat Kristen. Gereja seharusnya juga menjadi wadah umat Kristen untuk belajar dan mendulang pemahaman yang benar terhadap firman Tuhan, serta relefansinya dalam kehidupan sehari-hari. Memahami prinsip firman Tuhan dengan benar serta mengerjakan prinsip kebenaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari – dengan segala keterbatasan kemampuan – akan membawa kita, umat Kristen, mengenal Tuhan dengan benar.

Dalam konteks membangun dasar-dasar iman, gereja harusnya menghindarkan jemaat dari kebiasaan cherry-picking atau proof-texting tersebut di atas. Teknisnya, Gereja harus mulai membiasakan jemaat untuk menggunakan cara pembacaan Alkitab yang lebih menyeluruh; tidak lagi membaca satu ayat saja, melainkan membaca paling tidak satu paragraf utuh atau satu perikop. Akan lebih baik lagi jika kebiasan membaca tuntas Alkitab digalakkan di kalangan jemaat gereja. Membaca Alkitab hingga tuntas (mulai dari kitab Kejadian hingga Wahyu) akan memberi kita sekilas gambaran besar mengenai alur penulisan Alkitab.

Selain Alkitab, gereja seharusnya juga harus mampu mengedukasi anggota jemaat untuk membaca buku-buku atau sumber-sumber bacaan yang lain. Hal tersebut penting sekali untuk memperluas cakrawala berpikir anggota gereja.

Ø  Dengarkan saja, maka imanmu akan bertumbuh. Oh really? Come on….!!
Dalam sebuah ibadah formal hari minggu, mimbar gereja memang merupakan sebuah mimbar monolog. Melalui mimbar tersebut seorang pendeta atau hamba Tuhan menyampaikan renungan dari sebuah bagian dari Alkitab. Kita tentu saja tidak akan mendapati adanya dialog yang terjadi antara jemaat dengan sang pengkhotbah dalam kesempatan tersebut. Hal itu adalah semacam aturan tidak tertulis yang umum berlaku dalam sebuah ibadah. Namun apakah mimbar gereja hanya diisi oleh kegiatan ibadah semacam itu saja?

Gereja harus menyediakan ruang untuk pendalaman pemahaman akan firman Tuhan bagi jemaat. Kata Ruang yang saya maksudkan disini lebih mengarah pada waktu atau kesempatan. Yang harus ditentukan oleh para gembala jemaat atau majelis gereja adalah kapan pelaksanaanya. Itu hanyalah masalah teknis dari jadwal kegiatan gereja. Permasalah yang lebih mendesak sebenarnya adalah ada atau tidaknya kesempatan tersebut, bukan?

Saat kita mendengarkan khotbah yang disampaikan pada waktu ibadah umum, tidak jarang muncul tanggapan di dalam pikiran kita. Tanggapan tersebut dapat berupa pertanyaan atau bahkan pendapat atau pemahaman yang tidak jarang justru berseberangan dengan apa yang telah dikatakan oleh sang pengkhotbah.

Tanggapan tersebut muncul karena kita mungkin saja telah menerima sebuah informasi yang berhubungan dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang pengkhotbah. Bisa saja kita pernah membaca sebuah buku atau artikel tertentu, mendengarkan khotbah dari internet, atau teringat percakapan dengan seorang teman, atau mungkin saja kita pernah mengalami “serangan” terhadap iman kita dari orang yang beragama lain dan kita tidak dapat menjawabnya. Tanggapan-tanggapan yang ada dalam pikiran kita tersebut, saya yakin, membutuhkan jawaban atau tanggapan balik.

Jadi, memang mendengarkan khotbah saja tidaklah dapat membuat iman seseorang bertumbuh. Lantas kenapa ada ayat Alkitab yang berkata bahwa “iman timbul dari pendengaran akan firman Kristus?” (Roma 10:17) Apakah artinya ayat tersebut salah?

Ada minimal dua ayat yang menurut saya menarik untuk diperhatikan, berkenaan dengan pertumbuhan iman yang didasarkan pada pengajaran firman Tuhan. Ayat yang pertama sebenarnya secara tidak langsung telah saya kutip di atas, yakni Matius 7:24-27. Dalam bagian tersebut, Tuhan Yesus memberikan penakanan bahwa saat seseorang “mendengarkan” firman Tuhan dan melakukannya, maka ia akan memiliki iman yang kuat untuk menghadapi gempuran pengaruh dunia serta dapat bertahan dalam pergumulan hidupnya. Rasul Paulus menulis dalam surat Roma 10:17 bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”

Kedua bagian kutipan ayat Alkitab tersebut memuat sebuah kata yang sama, yakni mendengarkan. Bahasa Inggris membedakan kata hear dan kata listen, yang dalam Bahasa Indonesia sama-sama diterjemahkan dengan dengar atau mendengarkan. Kata hear bermakna sekadar mendengar sebuah suara, namun kata listen memiliki makna memperhatikan dengan saksama. Kata “mendengarkan” dalam bahasa Yunani yang digunakan penulis kitab, dalam hal ini adalah Rasul Matius dan Rasul Paulus, adalah kata dasar yang sama yang dibaca akoe.

Kata akoe ini hanya akan menunjukkan perbedaan makna saat dimasukkan ke dalam konteks kalimatnya. Dalam hal ini, kata akoe memiliki makna memperhatikan karena perkataan tersebut merupakan paket pengajaran yang diberikan oleh seorang pengajar firman.

Tuhan Yesus dan Rasul Paulus sudah sangat terbiasa dengan kalimat tersebut. Secara meyakinkan, mereka pastilah mendasari pemahamannya dengan ayat yang berasal dari kitab Keluaran 15:26 “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan (listen – KJV) suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan engkau.” Masyarakat Yahudi sangatlah mengenal bagian ini. Bagi mereka, firman Tuhan sangatlah sakral dan mereka harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh ketika firman Tuhan tersebut diajarkan.

Tidak sekedar didengarkan, firman Tuhan haruslah dipahami. Ukuran dari paham atau tidaknya kita terhadap prinsip kebenaran firman Tuhan adalah saat kita mampu merumuskan tindakan nyata untuk kita kerjakan dalam kehidupan kita sehari-hari, berdasarkan prinsip kebenaran dari bagian firman Tuhan yang kita renungkan tersebut. Di sisi yang lain, seorang hamba Tuhan harus dapat memberikan pengertian yang mendasar kepada jemaat dari bagian firman Tuhan yang dia bawakan dalam khotbahnya.

Ø  Gereja adalah kelas belajar seumur hidup
Mari kita sejenak mengingat proses pendidikan kita saat berada, misalnya, di sekolah dasar. Di kelas 1 sekolah dasar, kita diajar untuk menghafalkan perkalian 1 x 1 hingga 10 x 10. Adakah diantara kita yang mampu menghafalkan sekian banyak perkalian tersebut hanya dalam satu kali pertemuan pelajaran matematika? Mustahil, bukan? Mari kita bayangkan ada berapa banyak persoalan kehidupan yang kita hadapi. Apakah mungkin semua permasalah tersebut dapat terjawab dengan satu atau dua kali pergi beribadah ke gereja? Jawabannya akan sama, yakni mustahil.

Gereja harusnya menjadi tempat untuk kita menimba pemahaman mengenai prinsip-prinsip kebenaran Tuhan. Seperti halnya ruang kelas, pola pembelajaran di gereja haruslah dinamis dan holistik, artinya prinsip kebenaran yang dipelajari dapat menjangkau dan diterapkan di semua sudut kehidupan kita.

Jika kita hanya mengandalkan pertemuan ibadah sekali seminggu pada waktu ibadah umum saja, sejauh mana prinsip kebenaran yang akan kita pahami? Tentunya akan sangat dangkal bukan? Belum lagi jika kita tidak memiliki semangat untuk belajar, dan disaat yang sama ada begitu banyak permasalahan kehidupan yang tidak mungkin kita abaikan begitu saja.

Pertemuan-pertemuan ibadah dalam komunitas gereja seharusnya mengusung pemahaman mengenai pendidikan warga gereja ini dengan lebih serius. Pertemuan ibadah selain ibadah umum minggu seharusnya dapat menjadi wadah yang mengasyikkan bagi jemaat untuk berkumpul dan menggali kebenaran firman Tuhan.

Ø  Siapa yang bertanggung jawab? Seluruh warga gereja.
Seorang Kristen yang dewasa dan bertanggung jawab terhadap iman Kristennya, akan berusaha dengan keras untuk bertumbuh dengan baik. Ada dua aspek kehidupan orang Kristen: aspek pribadi dan komunal. Kita dituntut untuk sadar akan konsekuensi iman kita secara pribadi. Berani mempertanggungjawabkan iman kita dalam hal pola pikir, perkataan dan tingkah laku.

Dalam konteks komunal, gereja sebenarnya memiliki pengertian komunitas orang beriman, bukan sekedar sebuah bangunan tempat ibadah. Jadi sebagai komunitas, semua anggota dari komunitas tersebut mengemban tanggung jawab yang sama, yakni untuk terus memastikan kebenaran Tuhan tetap ditegakkan di dalamnya. Dari sinilah muncul tanggung jawab untuk bertumbuh bersama, saling membangun, saling menjaga dan saling menasihati. Dalam hal ini, penulis surat Ibrani menuliskan demikian: “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:24-25)