Disadari atau
tidak, kita harus menghadapi setiap pergumulan dalam kehidupan kita ini seorang
diri. Diri kita sendirilah yang secara langsung akan mengalami baik buruknya konsekuensi
dari setiap pilihan kita. Urusan iman
kita kepada Tuhan adalah urusan diri kita sendiri. Iman kepada Tuhan tidak dapat
dipaksakan untuk dimiliki oleh seseorang, karena pada hakikatnya iman adalah
keputusan pribadi seseorang untuk mempercayai Tuhan. lantas bagaimana peranan
orang tua dan orang-orang di sekitar kita? Semua orang yang ada di sekitar kita
memang memiliki pengaruh dalam pertumbuhan iman kita. Ada yang meberi pengaruh
besar dan ada yang berpengaruh kecil. Namun perlu kita semua sadari bahwa
pertumbuhan iman kita berasal dari setiap respon dan keputusan diri kita
sendiri.
SENDIRI
Para penulis
Injil menulis beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa ada masa dimana Tuhan
Yesus menjalani proses-Nya seorang diri. Semisal dalam Lukas 4:1-2 menuliskan
demikian “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu
dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari
lamanya dan dicobai Iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah
waktu itu Ia lapar.” Setelah
mengikuti babtisan Yohanes Pembabtis, Tuhan Yesus dibawa Roh Kudus untuk
menjalani proses ujian yang sangat berat di padang gurun. Roh Kudus Allah yang
mengantar-Nya. Di akhir proses ujian berat tersebut kita ketahui bersama bahwa
Yesus dilayani oleh para malaikat. Tetapi di tengah padang gurun itu, saat
proses ujian terjadi, Yesus benar-benar seorang diri, melakukan semuanya
sendirian, termasuk berhadapan dengan iblis.
Mari kita
mundur ke sebuah peristiwa di Perjanjian Lama yang juga dapat memberi kita
gambaran yang jelas, bagaimana keputusan kita harus dipertanggungjawabkan
secara pribadi. Dalam Daniel pasal 3 diceritakan bahwa Raja Nebukadnezar
membuat patung emas dirinya dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk menyembah
patung tersebut. Bagi siapapun yang menolak menyembah akan dihukum mati dengan
cara dibakar hidup-hidup. Singkat cerita, Hananya, Misael dan Azarya, menolak untuk
menyembah patung sang Raja. Mereka membuat sebuah pernyataan yang sangat berani
dengan mengatakan “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika
Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami
dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi
seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan
memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan
itu.” (Daniel 3:16-18)
Kita semua tahu bahwa pada akhirnya mereka
mengalami pertolongan Tuhan. Tetapi mari kita kembali pada fase dimana setelah
mereka menyatakan menolak menyembah patung Nebukadnezar tersebut, mereka harus
menghadapi kenyataan bahwa mereka kemudian diikat dengan erat, tungku api
dinyalakan dengan panas yang tujuh kali lipat dari yang biasa, kemudian mereka
dicampakkan ke dalamnya. Sampai pada batas itu, mereka tidak melihat ada
keajaiban atau mujizat dari Tuhan untuk menolong mereka. Butuh sebuah
keberanian yang besar untuk mengambil keputusan yang menyangkut sebuah
konsekuensi yang besar. Dan itulah yang mereka alami.
Menyadari bahwa kita harus mempertanggungjawabkan
secara pribadi setiap pilihan dan tindakan kita adalah sebuah sikap yang
penting. Tanpa kesadaran tersebut, kita akan memiliki frame berpikir yang salah
tentang realitas kehidupan. Lebih parahnya lagi, kedewasaan kita tidak akan
terbentuk. Satu ciri menonjol dari sebuah kedewasaan adalah sifat kemandirian.
Mandiri artinya berada dalam keadaan dapat
berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Fase ketergantungan dalam
proses pertumbuhan adalah fase kanak-kanak. Kita menganggap sebagai hal yang
wajar saat anak-anak tergantung pada orang tua mereka. Saat masih dalam fase bayi
atau balita, kita tidak dapat menuntut banyak kepada anak-anak kita untuk
dapat, misalnya, makan sendiri. Mereka masih butuh disuapi makanan karena
ketidakmampuan mereka secara fisik.
Namun hal tersebut tidak lagi berlaku bagi
anak-anak kita yang sudak berusia enam tahun keatas. Mereka harus mulai belajar
mengurus kebutuhan mereka sendiri. Mengambil makan sendiri, makan tanpa disuapi,
mandi sendiri, mempersiapkan seragam sekolah sendiri, dll. Bahkan untuk anak
yang lebih besar, kita sebagai orang tua sering menuntut mereka untuk mulai
terlibat dalam mengurus rumah dan mengambil tanggung jawab yag lebih besar. Mereka
harus mampu menghadapi pergumulan hidup mereka sendiri, secara mandiri. Walaupun
adakalanya mereka masih membutuhkan pertolongan orang tua, namun pada intinya
mereka akan menghadapi kenyataan bahwa mereka harus menghadapi dan
menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.
DALAM PENYERTAAN DAN PENJAGAAN TUHAN
Matius 14:22-23
mencatat dalam peristiwa yang lain demikian “Sesudah itu Yesus segera
memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang,
sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. Dan setelah orang banyak itu
disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika
hari sudah malam, Ia sendirian di situ.” Kita sering mendapati kisah dimana Tuhan Yesus memisahkan diri dari
keramaian dan mengambil waktu sendiri. Kesendirian-Nya ini selalu dilakukan
dengan tujuan yan jelas, yakni untuk bersekutu dengan Bapa-Nya, dalam doa. Namun
setelah Tuhan Yesus menyelesaikan doa-Nya, apakah problematika pelayanan-Nya
menjadi lebih mudah? Setelah doa di taman Getsemani, apakah kemudian penyaliban
dibatalkan? Tentu tidak, bukan? Itulah kenyataan hidup dan tanggung jawab yang
memang harus Yesus pikul. Problematikan kehidupan tidak akan menjadi lebih
mudah setelah kita berdoa. Hal tersebut juga berlaku bagi semua orang tanpa
kecuali, bahkan bagi pelayan Tuhan sekalipun.
Namun jika kita perhatikan semua tokoh dalam
Alkitab yag menyerahkan kehidupan mereka kepada Tuhan, termasuk Tuhan Yesus
Kristus yang berserah kepada Bapa, mereka justru terlihat semakin teguh dan
kuat menjalani kehidupan, sekalipun harus menghadapi akhir kisah yang berat. Persekutuan
para murid Yesus semakin intens
dengan Tuhan, dan mereka menghadapi tekanan berat karena iman dan berujung martir.
Mereka menyadari hal itu dan tetap berani menghadapinya. Mengapa demikian? Karena
mereka tahu tujuan akhir dari semua itu dan melihat serta merasakan penyertaan
Tuhan di dalamnya.
Selama kita hidup di dunia ini, kita harus
mandiri dan menghadapi semua pergumulan hidup itu sendiri. Mungkin akan ada
banyak orang di sekitar kita yang datang menolong, tapi hal itu tidak akan selalu
terjadi. Di akhir dari semuanya itu, hanya ada kita seorang diri berhadapan
dengan permasalahan dan pergumulan hidup. Hadapi fakta ini dan berjuanglah. Ingatlah
bahwa ditengah segala hal yang terjadi, seberat apapun itu, ada Tuhan yang
mengawasi dan menjaga kita. Ia tidak akan membiarkan kita menghadapi
permasalahan yang tidak dapat kita tanggung. Ia menggunakan semua bentuk
pergumulan kita untuk mendewasakan kita. Hingga pada akhirnya, ia akan
memberikan kelegaan yang sempurna di hadirat-Nya.