“There
is nothing more unchristian than a solitary Christian.” (John
Wesley)
Bagi banyak
orang dan bahkan termasuk banyak umat Kristen sendiri, pengertian tentang
gereja sering kali dipahami secara sempit. Gereja sering kali hanya dimaknai
sebagai gedung atau tempat di mana umat Kristen melakukan ibadah di hari
Minggu.
Dalam Alkitab
Terjemahan Baru 1974 dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), kita tidak akan
menemukan kata “gereja” di dalamnya. Namun jika kita menggunakan terjemahan
Bahasa Indonesia Sehari-hari dari LAI atau Versi Mudah Dibaca dari lembaga
penterjemahan Alkitab World Bible Translation Center, kita baru akan menemukan kata gereja.
Sedangkan dalam terjemahan bahasa Inggris, kata “church” telah digunakan lebih
lama. Lantas, apa makna kata gereja (church
– Ingg.) ini?
Dalam bahasa asli Perjanjian Baru, yakni
bahasa Yunani, terdapat kata ekklesia,
yang kemudian diterjemahkan dengan kata church
atau gereja. Kata ekklesia berarti
orang-orang dipanggil keluar. Dalam perspektif kekristenan, kata ini memiliki
makna umat yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang Tuhan. Kata ini
sejajar dengan kata Yunani sunagoge,
yang kemudian dalam perkembangannya mengalami pembedaan konteks. Pada dasarnya,
kedua kata tersebut bermakna sama, yakni “jemaat.” Bedanya, kata sunagoge mengacu pada jemaat
Israel/Yahudi, sedangkan ekklesia
mengacu pada jemaat Kristus/Kristen. Dalam kedua kata tersebut – ekklesia dan sunagoge – terkandung kekayaan makna yang sama, yakni kumpulan
jemaat/umat yang berkumpul menjadi sebuah kesatuan atau keluarga. Jadi kata
gereja sebenarnya lebih berarti kumpulannya, daripada tempat berkumpulnya.
Lebih diartikan sebagai komunitasnya daripada gedungnya.
Tabib Lukas mencatat proses lahirnya ekklesia (komunitas jemaat Kristus) ini
dalam kitab Kisah Para Rasul 2:42-47. Dalam ayat 42 dikatakan demikian “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.”
Tabib Lukas menunjukkan empat buah komitmen yang dipegang
oleh jemat mula-mula sebagai dasar dalam membangun komunitas ekklesia tersebut.
LEARNING
– “Pengajaran”
Didache: pengajaran para rasul tentang injil, yakni kisah tentang Kristus:
Kelahiran – kematian – kebangkitan-Nya. Ingatlah bahwa kala itu belum ada kitab
Perjanjian Baru seperti yang kita miliki sekarang. Pengajaran para rasul
berasal dari pengalaman mereka saat hidup bersama-sama dengan Kristus: apa yang
Kristus sabdakan (orthodoksis) dan
praktikkan (orthopraksis). Itulah
yang diajarkan – diceritakan kembali – kepada jemaat mula-mula. Prinsip
utamanya adalah untuk meniru kehidupan Kristus semirip mungkin.
Dalam KPR 11:26 kemudian kita ketahui bahwa
pola hidup yang dipraktikkan oleh jemaat mula-mula itu melahirkan sebuah
istilah olok-olok yang akhirnya menjadi nama agama kita saat ini: Kristen.
Menariknya, menurut kamus The Complete
Word Study Dictionary edisi revisi
terbitan AMG International tahun 1993, dalam konteks kebahasaan, kata
Kristen (christianos – Yun) memiliki
padanan makna/bersinonim dengan kata mathētḗs
(murid), pistós (orang yang setia), adelphós (saudara), dan hágios
(orang kudus).
SHARING
– “Persekutuan”
Koinonia:
dalam bahasa Inggris seringkali diterjemahkan sebagai fellowship. Terjemahan CEV memaknainya dengan hidup seperti
layaknya saudara/keluarga satu dengan yang lain. Ada istilah bahasa Indonesia
yang mengungkapkannya dengan rasa senasib sepenanggungan. Konotasi umum kata
ini juga memuat unsur komunikasi di dalamnya. Hal tersebut menunjukkan kesan
bahwa dalam persekutuan atau hubungan keluarga, komunikasi merupakan sebuah
unsur yang tak terpisahkan dari dalamnya. Ada anggapan bahwa persekutuan ini
adalah mujizat yang sesungguhnya dari peristiwa Pentakosta, dimana orang dari
berbagai bangsa dapat berkumput dan bersekutu hingga menjadi sebuah kesatuan
keluarga besar.
Being
TOGETHER – “Memecah roti”
Frasa “memecahkan
roti” seringkali mengacu pada perjamuan terakhir sebelum Tuhan Yesus
disalibkan – memang secara harfiah dimaknai sebagai acara makan bersama oleh
Jemaat Perdana. Dalam pemahaman orang Yahudi, meja makan akan menjadi sebuah
mezbah suci karena di sana dipanjatkan doa berkat, dan acara makan menjadi
sebuah aktivitas yang kudus. Tapi marilah kita lebih memperhatikan Injil Lukas. Kita akan
mendapati bahwa perjamuan atau acara makan yang melibatkan Tuhan Yesus di
dalamnya selalu menjadi kesempatan untuk membangun kedekatan dalam persekutuan,
menerima wahyu kebenaran firman Tuhan dalam bentuk pengajaran dan diskusi, dan
bahkan melahirkan pertentangan – saat dimana Yesus menerima orang berdosa untuk
makan bersama-Nya (Luke 15:2). Dalam meja perjamuan makan Tuhan Yesus, kita
semua akan mendapati penerimaan yang tulus hingga proses pendewasaan oleh
kebenaran Tuhan.
WORSHIPING
– “Berdoa”
Proseuche:
terjemahan literalnya adalah doa. Dalam KPR 2:42, kata doa ini berbentuk
jamak/plural, sehingga pengertian yang dibangun adalah bahwa jemaat para Rasul menaikkan
banyak doa atau memberi porsi yang besar terhadap aktivitas doa ini. Doa dipandang
sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan. Ada beberapa pola doa yang umum diterapkan
oleh jemaat Kristen mula-mula, kala itu. Beberapa pola doa tersebut adalah Doa Yahudi
Shema yang biasanya dilakukan tiga
kali sehari, kemudian ada juga siklus doa yang diambil dari kitab Mazmur, dan
kemudian juga doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus
Berdasarkan pola tersebut kita dapat jelas
melihat bahwa doa-doa yang digunakan dalam aktivitas jemaat perdana tersebut
agak berbeda dari pemahaman tentang doa di masa sekarang ini, yang biasanya
adalah menaikkan “permintaan-permintaan” kita kepada Tuhan. Doa kala itu juga dipahami
sebagai persembahan pujian dan sebagai bentuk penyembahan mereka.
Kata kunci
yang sangat penting yang menyatukan paket komitmen jemaat Kristen perdana, yang
terdapat dalam KPR 2:42, adalah kata “bertekun.” Kata ini memiliki arti
bertahan, berpegang teguh, melekat dan terus mendekat dengan seseorang atau
sesuatu. Ketekunan tentu saja bukanlah kualitas yang dihasilkan dalam jangka
waktu yang pendek, melainkan panjang. Gereja perdana memegang komitmen mereka
secara tekun, konsisten dan setia. Itulah kualitas yang kemudian membuahkan kualitas-kualitas
yang luar biasa, yakni rasa persatuan, rasa kekeluargaan, rasa saling peduli,
serta karakter yang dewasa yang dimiliki oleh jemaat. Dan buah dari
kualitas-kualitas tersebut adalah pertumbuhan jumlah yang sangat signifikan
setiap harinya (KPR 2:47).
Dalam konteks
gereja modern, komitmen-komitmen Jemaat Perdana tersebut hendaknya tetap
dipegang teguh. Lebih jauh lagi, mari kita pandang hal tersebut sebagai indikator
kemurnian gereja. Artinya, kita harus memastikan bahwa nilai-nilai komitmen
tersebut terjadi secara nyata dalam komunitas gereja kita. Dan sebaliknya, jika
nilai-nilai tersebut tidak terlihat secara nyata, kita harus berani mengakui
bahwa komunitas gereja kita sedang bermasalah.
Marilah kita bangun
sebuah komunitas gereja yang sehat: ada pengajaran/didikan yang murni di
dalamnya, ada persekutuan yang indah selayaknya keluarga, ada penerimaan yang
tulus, serta ada doa penyembahan di dalamnya. Kita harus terus berjuang
bersama-sama untuk menjadi pribadi yang dewasa, komunitas yang dewasa, yang
kemudian menjadi berkat untuk sesama.