Laman

Showing posts with label hidup. Show all posts
Showing posts with label hidup. Show all posts

01 May 2020

PEMIMPIN DAN KRITIKAN

Saat sebuah kritik yang ditujukan kepada seseorang yang dianggap memiliki kedudukan atau status yang sejajar, hal tersebut mungkin dianggap sebagai sebuah kewajaran. Namun jika sebuah kritik ditujukan kepada atasan atau orang yang memiliki status dan kedudukan tinggi, hal tersebut seringkali dipandang sebagai sebuah perlawanan. Kata kritik sudah memiliki konotasi negatif dalam masyarakat kita. Namun apakah selalu demikian?

KRITIK – APA ITU?
Kita akan mampu menempatkan kritik di tempat yang tepat saat kita memahami apa itu kritik dan apa fungsinya bagi diri kita.
Menurut kamus bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), kata kritik memiliki arti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat. Banyak orang hanya memandang kritik sebagai sebuah kecaman, atau bahkan serangan. Jarang sekali ada orang yang melihat kritik sebagai sebuah tanggapan. Menurut saya pribadi, kritik adalah sebuah bantuan yang diberikan orang lain untuk melihat hal-hal yang seringkali tidak dapat kita lihat dengan pandangan kita sendiri.
Berdasarkan makna katanya, kritik pada dasarnya bersifat netral. Respon kitalah yang kemudian akan memposisikan kritik tersebut dalam pikiran kita. Kritik akan menjadi sebuah hal yang menyakitkan dan melukai saat kita memandanganya sebagai sebuah serangan kebencian yang dilancarkan oleh orang-orang yang kita anggap ingin menghancurkan hidup kita. Namun di lain pihak, kritik akan menjadi seperti nutrisi yang menyehatkan dan menguatkan, saat kita melihatnya sebagai sebuah alat evaluasi bagi diri kita.
Selembar soal ulangan adalah gambaran yang dapat kita gunakan saat kita memandang sebuah kritik. Selembar soal ulangan dapat dimaknai secara berbeda oleh siswa sekolah. Bagi seorang murid yang sadar akan tujuan pendidikannya, soal ulangan akan menjadi alat untuk mengukur kemampuan dan pemahamannya terhadap sebuah mata pelajaran. Namun di mata seorang murid yang tidak terlalu mempedulikan tujuannya bersekolah, soal ulangan tersebut hanya akan dipandang sebagai hal yang menakutkan dan mengusik kenyamanannya.

ANTI-KRITIK = ANTI-PERKEMBANGAN
Secara nyata: adakah pemikiran dan tindakan seseorang yang bebas dari kesalahan? Tentu saja tidak ada. Semua manusia mengakui bahwa pasti akan ada kelemahan dalam kehidupannya, baik dalam pemikiran maupun tindakannya. Permasalahan yang seringkali timbul adalah bahwa kita sulit untuk melihat kekurangan atau kelemahan kita. Bukan hanya sekedar sulit melihat kesalahan, namun seringkali malah tidak mampu melihatnya.
Sederhananya saja, kita tidak mungkin dapat melihat wajah kita sendiri tanpa bantuan dari pihak lain – baik itu barang atau orang lain. Oleh karena itulah kita sangat membutuhkan pihak lain yang mampu melihat diri kita, baik itu kelemahan maupun kelebihan kita. Dengan adanya mereka, kita akan mampu lebih banyak mengenal diri kita.
Kita akan menjadi manusia yang “utuh” dengan mengenal diri sendiri secara menyeluruh. Kita harus mampu mengidentifikasi diri kita, baik itu kelemahan maupun kelebihan kita. Dari situlah kita akan mampu mengenal setiap potensi diri dan mengembangkannya. Kita juga akan mengenali kelemahan-kelemahan kita dan mencari cara untuk memperbaikinya. Pengembangan diri akan dapat berjalan dengan baik saat kita mengenal diri sendiri dengan baik.

*Celoteh senja 

05 April 2017

MENGIKUT KRISTUS ADALAH MEMATIKAN KEINGINAN DIRI (Kolose 3:5)


Kekristenan bukanlah sebuah pilihan hidup yang mudah. Menjadi seorang yang beriman kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, menuntut sebuah pengorbanan yang sangat besar. Kekristenan menuntut umatnya untuk menjadi pribadi yang dewasa dalam hal keimanan dan karakter.
Adalah sebuah hal yang salah jika mengidentikkan kekristenan dengan kenyamanan, keamanan, berkat yang tiada berhenti, atau kehidupan sukacita tanpa derita. Justru sebaliknya. Iman kepada Kristus akan selalu berhadapan dengan kebalikan dari kondisi-kondisi tersebut. Hal tersebut juga bukan berarti bahwa mengikut Yesus hanya akan diisi dengan penderitaan. Proses pembentukan karakter adalah hal utama. Dalam proses tersebut tentunya melibatkan “latihan-latihan” dimana karakter yang dewasa akan terbentuk. Di tengah proses kehidupan, Tuhan juga selalu memberi waktu/kesempatan untuk “beristirahat.”
Para murid Tuhan Yesus telah merasakan hal yang sama, saat kita bicara mengenai proses pendewasaan rohani. Sebagaimana kita semua ketahui, latar belakang para murid Tuhan Yesus (dan bahkan Tuhan Yesus sendiri) adalah masyarakat Yahudi. Pada awalnya, mereka melihat pribadi Yesus sebagai calon pembebas masyarakat Yahudi dari tekanan penjajah Romawi. Mereka, dan kebanyakan masyarakat Yahudi kala itu, berharap bahwa bangsa Yahudi akan menjadi bangsa yang besar, berkuasa di seluruh dunia. Melalui Yesus yang dengan demonstrasi kuasa-Nya mereka percayai sebagai mesias, bangsa Yahudi akan dikembalikan kepada masa kejayaannya.
Kenyataan berbicara lain. Yesus yang awalnya diharapkan akan menjadi mesias pembebas bangsa Yahudi dari tekanan Romawi, terlihat menerapkan ajaran Taurat dengan sangat berbeda. Tuhan Yesus menekankan pada hakikat Taurat, lebih daripada praktik jasmaniahnya. Yesus terlihat tidak berminat untuk membangun kejayaan kerajaan Israel secara fisik. Mulai saat itu, banyak orang Yahudi yang menjadi murid dan mengikut Yesus, menjadi sangat kecewa dan meninggalkan-Nya. Hal tersebut tercatat dalam injil Yohanes 6:60-66.
Pada ayat 63 perikop tersebut, Tuhan Yesus berkata “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.” Konteks yang melatarbelakangi perikop tersebut adalah perbincangan mengenai posisi Yesus sebagai sumber kehidupan bagi manusia, yang digambarkan-Nya dengan penggambaran yang terkenal: “Roti Hidup.” Kembali Yesus menekankan bahwa berita yang dibawa-Nya bukanlah kemerdekaan secara fisik, melainkan secara rohani: hidup kekal bersama Tuhan, bukan kemerdekaan sementara di dunia.
Surat 1 Yohanes 2:18-19 menulis bahwa antikristus berasal dari kalangan umat percaya. Ayat 19 menulis demikian: “Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita. Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita.” Hal tersebut senada dengan catatan dalam Yohanes 6:66 “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.” Siapa yang dimaksud dengan antikristus? Yaitu para murid Yesus yang kecewa kepada Yesus karena tidak memenuhi keinginan atau harapan mereka.
Saat ini telah banyak ditemui pengajaran-pengajaran Kristen yang menyimpang. Dalam pengajaran menyimpang tersebut, rata-rata selalu mengedepankan tentang berkat tanpa batas yang seharusnya diterima oleh orang Kristen. Kebanyakan orang akan senang dengan model pengajaran seperti itu; pengajaran yang memenuhi keinginan pribadinya. Lantas apa hubungannya dengan topik yang sedang kita bicarakan?
Pengajaran yang salah akan menghasilkan pemahaman yang salah. Saat pemahaman yang salah terbentur dengan realita kehidupan, maka hal tersebut akan memunculkan orang-orang yang kecewa. Seperti halnya para murid yang meninggalkan Yesus karena pengajaran-Nya yang tidak seperti yang mereka harapkan, maka demikianlah konteks pengajaran menyimpang di masa sekarang ini. Antikristus akan muncul dari orang-orang yang salah memahami pengajaran firman Tuhan. Mereka kecewa dan menyalahkan Tuhan karena tidak memberikan apa yang mereka inginkan.
Kita disebut dewasa secara rohani, saat kita dapat memahami kehendak Tuhan dan hidup seturut dengannya. Alkitab dengan jelas mengarahkan kita untuk memindahkan fokus kehidupan: dari hal-hal atau keinginan duniawi kepada hal-hal atau keinginan surgawi. Orang-orang yang telah melakukan hal tersebut pasti akan menunjukkan sebuah kedewasaan karakter dan keimanan. Bukti nyata dari hal tersebut adalah pribadi dan kehidupan para murid Tuhan Yesus setelah Tuhan Yesus naik ke surga.
Para murid hidup dalam tekanan yang sangat besar dari bangsa Yahudi yang memusuhi mereka dan pemerintahan Romawi yang menganggap mereka sebagai pemberontak. Banyak dari mereka yang mati dibunuh dan diumpankan pada binatang buas. Dengan semua kejadian yang menyakitkan tersebut, tidak ada kekecewaan yang muncul dari mulut mereka. Sebaliknya, mereka menjalani penderitaan tersebut dengan sukacita dan kebanggaan.
Para murid Tuhan Yesus tersebut telah mati terhadap keinginan diri sendiri dan mereka menghidupi kehendak Tuhan. Demikianlah kita seharusnya hidup di masa sekarang ini. Kesenangan dunia, kelimpahan harta, tingginya jabatan dan kehormatan bukanlah ukuran berkat yang sesungguhnya. Tujuan hidup kita sebagai pengikut Yesus adalah mematikan keinginan daging dan fokus pada penyataan kebenaran firman Tuhan melalui keseharian. Amin.

"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi..." (Kolose 3:5)

30 December 2016

GEREJA ADALAH RUANG BELAJAR, HIDUP KESEHARIAN ADALAH LADANG UJIAN (Ibrani 10:24-25)

Masih banyak orang Kristen yang memandang aktivitas beribadah “terpisah” dari aktivitas hidup yang lain. Dalam pandangan mereka, gereja dan segala bentuk kegiatan rohani lainnya adalah ruang yang sakral sedangkan lingkup diluar hal tersebut kurang sakral. Dalam satu sisi, pandangan tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Namun jika diperhatikan dengan saksama, maka akan nampak kekurangannya.

Iman Kristen harus dipahami secara utuh. Jika hanya dipahami secara setengah-setengah, maka akan membawa kepada kesesatan. Istilah kesesatan disini janganlah hanya dipahami dalam konteks pengajaran agama, semisal diasumsikan dengan aliran/ajaran sesat seperti Saksi Yehova, Mormonisme, dll. Dalam kasus yang paling sederhana, mengambil atau melakukan sebuah prinsip yang terlihat berasal dari Alkitab – padahal hanya separuh kebenaran saja – adalah satu bentuk kesesatan. Untuk itulah diperlukan sebuah pemahaman yang utuh dan lengkap terhadap iman Kristiani, yang tentunya hal itu bersumber dari penafsiran Alkitab yang disiplin.

Lantas, apa yang seringkali menghambat kita, umat Kristen, untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh terhadap firman Tuhan dalam Alkitab? Apa pula yang harusnya kita upayakan untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tersebut?

Ø  Cherry-picking dan Proof-texting
Saat ini kita akan sedikit membahas satu kesalahan yang hingga saat ini masih sering kali dan mungkin yang paling umum terjadi di kalangan orang Kristen (khususnya, sejauh pengamatan saya, di aliran Pentakosta dan Kharismatik), berkenaan dengan cara memahami Alkitab. Kesalahan tersebut adalah kebiasaan MEMBACA dan lantas MENGAMINI SEBUAH AYAT ALKITAB.

Kesalahan ini disebut cherry-picking, dan dalam istilah hermeneutik dikenal juga sebuah istilah yang lebih terkesan teknis yakni proof-texting. Cherry picking adalah kesalahan logika dimana seseorang membangun argument atau pemahamannya hanya berdasar atas pendapat atau data yang menyokong apa yang diklaimnya saja, tanpa mempertimbangkan keseluruhan data (konteks), yang sebenarnya sebagian data yang diambil tersebut justru kadang melemahkan atau bahkan membantah klaimnya sendiri; biasa disebut cocokmologi. Pengertian proof-texting adalah kesalahan metodologis dimana seseorang mengambil bagian kecil dari Alkitab, seringkali hanya sebuah ayat, kemudian digunakan untuk mendukung sebuah pemikiran atau membangun sebuah doktrin tanpa mempedulikan konteks sastranya. Dengan ungkapan yang sederhana, cherry-picking dan proof-texting adalah kebiasaan pilih-pilih ayat Alkitab.

Cherry-picking dan proof-texting akan menghasilkan sebuah pengajaran kekristenan yang salah serta lemah. Prinsip-prinsip pengajaran yang dibangun dengan pola tersebut kemungkinan besar tidak konsisten bahkan seringkali kontradiktif. Membangun fondasi kehidupan dengan dasar pengajaran yang didapat dengan pola tersebut seperti membangun rumah di atas pasir. Jika ingin membangun iman Kristen yang kuat, lakukan di atas batu karang. Membangun di atas batu karang berbicara tentang memahami firman Tuhan secara benar dan mendasar sehingga membuat kita mampu merumuskan tindakan nyata dari prinsip kebenaran firman Tuhan tersebut.

Lebih buruk lagi, kebiasaan pilih-pilih ayat tersebut seringkali juga dilakukan secara setengah-setengah. Maksudnya seperti ini: Ayat-ayat yang memiliki isi yang menyenangkan, menenangkan, menguatkan, memotifasi serta “memberkati” seringkali menjadi ayat-ayat favorit banyak umat Kristen. Jarang kita dapati seseorang yang menggunakan ayat-ayat yang berisi teguran dan kritikan sebagai ayat nats atau ayat emas favoritnya.

Ø  Gereja (juga) merupakan lembaga pendidikan
Gereja seharusnya tidak lagi dipandang hanya sebagai tempat suci atau tempat ibadah dalam kehidupan umat Kristen. Gereja seharusnya juga menjadi wadah umat Kristen untuk belajar dan mendulang pemahaman yang benar terhadap firman Tuhan, serta relefansinya dalam kehidupan sehari-hari. Memahami prinsip firman Tuhan dengan benar serta mengerjakan prinsip kebenaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari – dengan segala keterbatasan kemampuan – akan membawa kita, umat Kristen, mengenal Tuhan dengan benar.

Dalam konteks membangun dasar-dasar iman, gereja harusnya menghindarkan jemaat dari kebiasaan cherry-picking atau proof-texting tersebut di atas. Teknisnya, Gereja harus mulai membiasakan jemaat untuk menggunakan cara pembacaan Alkitab yang lebih menyeluruh; tidak lagi membaca satu ayat saja, melainkan membaca paling tidak satu paragraf utuh atau satu perikop. Akan lebih baik lagi jika kebiasan membaca tuntas Alkitab digalakkan di kalangan jemaat gereja. Membaca Alkitab hingga tuntas (mulai dari kitab Kejadian hingga Wahyu) akan memberi kita sekilas gambaran besar mengenai alur penulisan Alkitab.

Selain Alkitab, gereja seharusnya juga harus mampu mengedukasi anggota jemaat untuk membaca buku-buku atau sumber-sumber bacaan yang lain. Hal tersebut penting sekali untuk memperluas cakrawala berpikir anggota gereja.

Ø  Dengarkan saja, maka imanmu akan bertumbuh. Oh really? Come on….!!
Dalam sebuah ibadah formal hari minggu, mimbar gereja memang merupakan sebuah mimbar monolog. Melalui mimbar tersebut seorang pendeta atau hamba Tuhan menyampaikan renungan dari sebuah bagian dari Alkitab. Kita tentu saja tidak akan mendapati adanya dialog yang terjadi antara jemaat dengan sang pengkhotbah dalam kesempatan tersebut. Hal itu adalah semacam aturan tidak tertulis yang umum berlaku dalam sebuah ibadah. Namun apakah mimbar gereja hanya diisi oleh kegiatan ibadah semacam itu saja?

Gereja harus menyediakan ruang untuk pendalaman pemahaman akan firman Tuhan bagi jemaat. Kata Ruang yang saya maksudkan disini lebih mengarah pada waktu atau kesempatan. Yang harus ditentukan oleh para gembala jemaat atau majelis gereja adalah kapan pelaksanaanya. Itu hanyalah masalah teknis dari jadwal kegiatan gereja. Permasalah yang lebih mendesak sebenarnya adalah ada atau tidaknya kesempatan tersebut, bukan?

Saat kita mendengarkan khotbah yang disampaikan pada waktu ibadah umum, tidak jarang muncul tanggapan di dalam pikiran kita. Tanggapan tersebut dapat berupa pertanyaan atau bahkan pendapat atau pemahaman yang tidak jarang justru berseberangan dengan apa yang telah dikatakan oleh sang pengkhotbah.

Tanggapan tersebut muncul karena kita mungkin saja telah menerima sebuah informasi yang berhubungan dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang pengkhotbah. Bisa saja kita pernah membaca sebuah buku atau artikel tertentu, mendengarkan khotbah dari internet, atau teringat percakapan dengan seorang teman, atau mungkin saja kita pernah mengalami “serangan” terhadap iman kita dari orang yang beragama lain dan kita tidak dapat menjawabnya. Tanggapan-tanggapan yang ada dalam pikiran kita tersebut, saya yakin, membutuhkan jawaban atau tanggapan balik.

Jadi, memang mendengarkan khotbah saja tidaklah dapat membuat iman seseorang bertumbuh. Lantas kenapa ada ayat Alkitab yang berkata bahwa “iman timbul dari pendengaran akan firman Kristus?” (Roma 10:17) Apakah artinya ayat tersebut salah?

Ada minimal dua ayat yang menurut saya menarik untuk diperhatikan, berkenaan dengan pertumbuhan iman yang didasarkan pada pengajaran firman Tuhan. Ayat yang pertama sebenarnya secara tidak langsung telah saya kutip di atas, yakni Matius 7:24-27. Dalam bagian tersebut, Tuhan Yesus memberikan penakanan bahwa saat seseorang “mendengarkan” firman Tuhan dan melakukannya, maka ia akan memiliki iman yang kuat untuk menghadapi gempuran pengaruh dunia serta dapat bertahan dalam pergumulan hidupnya. Rasul Paulus menulis dalam surat Roma 10:17 bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”

Kedua bagian kutipan ayat Alkitab tersebut memuat sebuah kata yang sama, yakni mendengarkan. Bahasa Inggris membedakan kata hear dan kata listen, yang dalam Bahasa Indonesia sama-sama diterjemahkan dengan dengar atau mendengarkan. Kata hear bermakna sekadar mendengar sebuah suara, namun kata listen memiliki makna memperhatikan dengan saksama. Kata “mendengarkan” dalam bahasa Yunani yang digunakan penulis kitab, dalam hal ini adalah Rasul Matius dan Rasul Paulus, adalah kata dasar yang sama yang dibaca akoe.

Kata akoe ini hanya akan menunjukkan perbedaan makna saat dimasukkan ke dalam konteks kalimatnya. Dalam hal ini, kata akoe memiliki makna memperhatikan karena perkataan tersebut merupakan paket pengajaran yang diberikan oleh seorang pengajar firman.

Tuhan Yesus dan Rasul Paulus sudah sangat terbiasa dengan kalimat tersebut. Secara meyakinkan, mereka pastilah mendasari pemahamannya dengan ayat yang berasal dari kitab Keluaran 15:26 “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan (listen – KJV) suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan engkau.” Masyarakat Yahudi sangatlah mengenal bagian ini. Bagi mereka, firman Tuhan sangatlah sakral dan mereka harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh ketika firman Tuhan tersebut diajarkan.

Tidak sekedar didengarkan, firman Tuhan haruslah dipahami. Ukuran dari paham atau tidaknya kita terhadap prinsip kebenaran firman Tuhan adalah saat kita mampu merumuskan tindakan nyata untuk kita kerjakan dalam kehidupan kita sehari-hari, berdasarkan prinsip kebenaran dari bagian firman Tuhan yang kita renungkan tersebut. Di sisi yang lain, seorang hamba Tuhan harus dapat memberikan pengertian yang mendasar kepada jemaat dari bagian firman Tuhan yang dia bawakan dalam khotbahnya.

Ø  Gereja adalah kelas belajar seumur hidup
Mari kita sejenak mengingat proses pendidikan kita saat berada, misalnya, di sekolah dasar. Di kelas 1 sekolah dasar, kita diajar untuk menghafalkan perkalian 1 x 1 hingga 10 x 10. Adakah diantara kita yang mampu menghafalkan sekian banyak perkalian tersebut hanya dalam satu kali pertemuan pelajaran matematika? Mustahil, bukan? Mari kita bayangkan ada berapa banyak persoalan kehidupan yang kita hadapi. Apakah mungkin semua permasalah tersebut dapat terjawab dengan satu atau dua kali pergi beribadah ke gereja? Jawabannya akan sama, yakni mustahil.

Gereja harusnya menjadi tempat untuk kita menimba pemahaman mengenai prinsip-prinsip kebenaran Tuhan. Seperti halnya ruang kelas, pola pembelajaran di gereja haruslah dinamis dan holistik, artinya prinsip kebenaran yang dipelajari dapat menjangkau dan diterapkan di semua sudut kehidupan kita.

Jika kita hanya mengandalkan pertemuan ibadah sekali seminggu pada waktu ibadah umum saja, sejauh mana prinsip kebenaran yang akan kita pahami? Tentunya akan sangat dangkal bukan? Belum lagi jika kita tidak memiliki semangat untuk belajar, dan disaat yang sama ada begitu banyak permasalahan kehidupan yang tidak mungkin kita abaikan begitu saja.

Pertemuan-pertemuan ibadah dalam komunitas gereja seharusnya mengusung pemahaman mengenai pendidikan warga gereja ini dengan lebih serius. Pertemuan ibadah selain ibadah umum minggu seharusnya dapat menjadi wadah yang mengasyikkan bagi jemaat untuk berkumpul dan menggali kebenaran firman Tuhan.

Ø  Siapa yang bertanggung jawab? Seluruh warga gereja.
Seorang Kristen yang dewasa dan bertanggung jawab terhadap iman Kristennya, akan berusaha dengan keras untuk bertumbuh dengan baik. Ada dua aspek kehidupan orang Kristen: aspek pribadi dan komunal. Kita dituntut untuk sadar akan konsekuensi iman kita secara pribadi. Berani mempertanggungjawabkan iman kita dalam hal pola pikir, perkataan dan tingkah laku.

Dalam konteks komunal, gereja sebenarnya memiliki pengertian komunitas orang beriman, bukan sekedar sebuah bangunan tempat ibadah. Jadi sebagai komunitas, semua anggota dari komunitas tersebut mengemban tanggung jawab yang sama, yakni untuk terus memastikan kebenaran Tuhan tetap ditegakkan di dalamnya. Dari sinilah muncul tanggung jawab untuk bertumbuh bersama, saling membangun, saling menjaga dan saling menasihati. Dalam hal ini, penulis surat Ibrani menuliskan demikian: “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:24-25)