Laman

Showing posts with label kuat. Show all posts
Showing posts with label kuat. Show all posts

12 July 2018

SENDIRI: Mandiri dan Bertanggung Jawab (Lukas 4:1-2)

Disadari atau tidak, kita harus menghadapi setiap pergumulan dalam kehidupan kita ini seorang diri. Diri kita sendirilah yang secara langsung akan mengalami baik buruknya konsekuensi dari setiap pilihan kita. Urusan iman kita kepada Tuhan adalah urusan diri kita sendiri. Iman kepada Tuhan tidak dapat dipaksakan untuk dimiliki oleh seseorang, karena pada hakikatnya iman adalah keputusan pribadi seseorang untuk mempercayai Tuhan. lantas bagaimana peranan orang tua dan orang-orang di sekitar kita? Semua orang yang ada di sekitar kita memang memiliki pengaruh dalam pertumbuhan iman kita. Ada yang meberi pengaruh besar dan ada yang berpengaruh kecil. Namun perlu kita semua sadari bahwa pertumbuhan iman kita berasal dari setiap respon dan keputusan diri kita sendiri.

SENDIRI
Para penulis Injil menulis beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa ada masa dimana Tuhan Yesus menjalani proses-Nya seorang diri. Semisal dalam Lukas 4:1-2 menuliskan demikian “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai Iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah waktu itu Ia lapar.” Setelah mengikuti babtisan Yohanes Pembabtis, Tuhan Yesus dibawa Roh Kudus untuk menjalani proses ujian yang sangat berat di padang gurun. Roh Kudus Allah yang mengantar-Nya. Di akhir proses ujian berat tersebut kita ketahui bersama bahwa Yesus dilayani oleh para malaikat. Tetapi di tengah padang gurun itu, saat proses ujian terjadi, Yesus benar-benar seorang diri, melakukan semuanya sendirian, termasuk berhadapan dengan iblis.
Mari kita mundur ke sebuah peristiwa di Perjanjian Lama yang juga dapat memberi kita gambaran yang jelas, bagaimana keputusan kita harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Dalam Daniel pasal 3 diceritakan bahwa Raja Nebukadnezar membuat patung emas dirinya dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk menyembah patung tersebut. Bagi siapapun yang menolak menyembah akan dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Singkat cerita, Hananya, Misael dan Azarya, menolak untuk menyembah patung sang Raja. Mereka membuat sebuah pernyataan yang sangat berani dengan mengatakan “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Daniel 3:16-18)
Kita semua tahu bahwa pada akhirnya mereka mengalami pertolongan Tuhan. Tetapi mari kita kembali pada fase dimana setelah mereka menyatakan menolak menyembah patung Nebukadnezar tersebut, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kemudian diikat dengan erat, tungku api dinyalakan dengan panas yang tujuh kali lipat dari yang biasa, kemudian mereka dicampakkan ke dalamnya. Sampai pada batas itu, mereka tidak melihat ada keajaiban atau mujizat dari Tuhan untuk menolong mereka. Butuh sebuah keberanian yang besar untuk mengambil keputusan yang menyangkut sebuah konsekuensi yang besar. Dan itulah yang mereka alami.
Menyadari bahwa kita harus mempertanggungjawabkan secara pribadi setiap pilihan dan tindakan kita adalah sebuah sikap yang penting. Tanpa kesadaran tersebut, kita akan memiliki frame berpikir yang salah tentang realitas kehidupan. Lebih parahnya lagi, kedewasaan kita tidak akan terbentuk. Satu ciri menonjol dari sebuah kedewasaan adalah sifat kemandirian.
Mandiri artinya berada dalam keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Fase ketergantungan dalam proses pertumbuhan adalah fase kanak-kanak.  Kita menganggap sebagai hal yang wajar saat anak-anak tergantung pada orang tua mereka. Saat masih dalam fase bayi atau balita, kita tidak dapat menuntut banyak kepada anak-anak kita untuk dapat, misalnya, makan sendiri. Mereka masih butuh disuapi makanan karena ketidakmampuan mereka secara fisik.
Namun hal tersebut tidak lagi berlaku bagi anak-anak kita yang sudak berusia enam tahun keatas. Mereka harus mulai belajar mengurus kebutuhan mereka sendiri. Mengambil makan sendiri, makan tanpa disuapi, mandi sendiri, mempersiapkan seragam sekolah sendiri, dll. Bahkan untuk anak yang lebih besar, kita sebagai orang tua sering menuntut mereka untuk mulai terlibat dalam mengurus rumah dan mengambil tanggung jawab yag lebih besar. Mereka harus mampu menghadapi pergumulan hidup mereka sendiri, secara mandiri. Walaupun adakalanya mereka masih membutuhkan pertolongan orang tua, namun pada intinya mereka akan menghadapi kenyataan bahwa mereka harus menghadapi dan menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.

DALAM PENYERTAAN DAN PENJAGAAN TUHAN
Matius 14:22-23 mencatat dalam peristiwa yang lain demikian “Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.” Kita sering mendapati kisah dimana Tuhan Yesus memisahkan diri dari keramaian dan mengambil waktu sendiri. Kesendirian-Nya ini selalu dilakukan dengan tujuan yan jelas, yakni untuk bersekutu dengan Bapa-Nya, dalam doa. Namun setelah Tuhan Yesus menyelesaikan doa-Nya, apakah problematika pelayanan-Nya menjadi lebih mudah? Setelah doa di taman Getsemani, apakah kemudian penyaliban dibatalkan? Tentu tidak, bukan? Itulah kenyataan hidup dan tanggung jawab yang memang harus Yesus pikul. Problematikan kehidupan tidak akan menjadi lebih mudah setelah kita berdoa. Hal tersebut juga berlaku bagi semua orang tanpa kecuali, bahkan bagi pelayan Tuhan sekalipun.
Namun jika kita perhatikan semua tokoh dalam Alkitab yag menyerahkan kehidupan mereka kepada Tuhan, termasuk Tuhan Yesus Kristus yang berserah kepada Bapa, mereka justru terlihat semakin teguh dan kuat menjalani kehidupan, sekalipun harus menghadapi akhir kisah yang berat. Persekutuan para murid Yesus semakin intens dengan Tuhan, dan mereka menghadapi tekanan berat karena iman dan berujung martir. Mereka menyadari hal itu dan tetap berani menghadapinya. Mengapa demikian? Karena mereka tahu tujuan akhir dari semua itu dan melihat serta merasakan penyertaan Tuhan di dalamnya. 
Selama kita hidup di dunia ini, kita harus mandiri dan menghadapi semua pergumulan hidup itu sendiri. Mungkin akan ada banyak orang di sekitar kita yang datang menolong, tapi hal itu tidak akan selalu terjadi. Di akhir dari semuanya itu, hanya ada kita seorang diri berhadapan dengan permasalahan dan pergumulan hidup. Hadapi fakta ini dan berjuanglah. Ingatlah bahwa ditengah segala hal yang terjadi, seberat apapun itu, ada Tuhan yang mengawasi dan menjaga kita. Ia tidak akan membiarkan kita menghadapi permasalahan yang tidak dapat kita tanggung. Ia menggunakan semua bentuk pergumulan kita untuk mendewasakan kita. Hingga pada akhirnya, ia akan memberikan kelegaan yang sempurna di hadirat-Nya. 

05 April 2017

NIKODEMUS: “Percayalah Kepada-Ku Dalam Setiap Proses Kehidupan” (Renungan Yohanes 3:1-21)


Nikodemus adalah seorang Farisi, sebuah kelompok yang sangat ketat memelihara hukum Musa dan tradisi Yudaisme yang berdasar pada pengajaran Rabi-rabi (tulisan-tulisan rabinik). Kemungkinan besar ia juga adalah seorang pejabat Sanhedrin. Melihat latar belakangnya sebagai seorang Farisi, kita dapat memastikan bahwa Niko-demus adalah seorang yang paham betul aturan dan tradisi Taurat yang berlaku dalam masyarakat Yahudi.
Kisah yang ditulis Rasul Yohanes dalam Yohanes 3:1-21, menceritakan interaksi pertama antara Nikodemus dengan Tuhan Yesus. Pada bagian ini diceritakan bahwa Nikodemus mendatangi Tuhan Yesus pada waktu malam hari. Kenapa malam hari? Menurut pengajaran rabi Yahudi, malam hari adalah waktu terbaik untuk belajar. Namun hal ini kemungkinan besar bukanlah dasar maksud Nikodemus mendatangi Yesus di malam hari. Alasan yang paling masuk akal adalah Nikodemus tidak ingin orang tahu bahwa ia mendatangi Yesus, seorang rabi yang kala itu menjadi sorotan orang banyak karena pengajaran-Nya yang “berani dan berbeda.”
Nikodemus, dan dan mungkin juga banyak orang Farisi lainnya, menilai bawa Yesus adalah seorang yang benar-benar diutus oleh Tuhan. Dia berkata kepada Yesus “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab tidak ada seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu, jika Allah tidak menyertainya.” (Ayt. 2) Perlu diingat bahwa Injil Yohanes tidak menulis peristiwa sepenuhnya berdasarkan waktu peristiwanya (kronologis). Saat Nikodemus mengatakan hal tersebut, kemungkinan Yesus sudah melakukan banyak mujizat yang disaksikan oleh banyak orang. Dari hal tersebutlah kemudian Nikodemus dan beberapa orang Farisi lainnya menyimpulkan bahwa Yesus adalah benar-benar “utusan Tuhan.”

Kelahiran Baru
Tuhan Yesus kemudian mengatakan sebuah pernyataan yang sempat membingungkan Nikodemus, dalam kapasitasnya sebagai seorang pengajar hukum Yahudi. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Dengan kebingungan, Nikodemus menjawab: “Bagaimanakah mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?... Bagaimanakah mungkin hal itu terjadi?” (Ayt. 4, 9)
Kelahiran baru adalah sebuah komitmen yang diambil oleh seorang Kristen untuk memindahkan fokus kehidupannya, dari hal-hal duniawi/daging kepada hal-hal surgawi/rohani. Secara harafiah, Yohanes 3:3 diterjemahkan seperti ini: “Truly, truly, I say to you, If one is not generated from above…” (LITV) Jika  kalimat ini diterjemah dengan bebas, maka kurang lebih bermakna: “kamu harus mengalami pembaharuan kerohanian melalui iman.
Mengenai hal ini, Tuhan Yesus mengatakan bahwa seperti halnya Nikodemus, kita harus dilahirkan kembali dari air dan Roh. Banyak yang memaknai bahwa frasa air dan Roh mengacu pada babtisan air Yohanes Pembabtis dan babtisan roh oleh Tuhan Yesus. Jika kita melihat substansi dari kedua jenis babtisan tersebut, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa kelahiran baru berkenaan dengan pembaharuan jiwa (pikiran dan perasaan) dan pembaharuan iman (band. Roma 12:2). Dalam Kolose 3:10 Rasul Paulus menulis demikian “Each of you is now a new person. You are becoming more and more like your Creator, and you will understand him better.” Dari hari ke sehari, kita dituntut untuk menjadi semakin serupa dengan karakter Kristus Sang Firman yang menciptakan. Disaat yang sama, kita akan terus belajar untuk memahami isi hati dan pikiran-Nya.

Memandang Tuhan
Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” (Ayt. 14-15) Kelahiran baru diawali dengan sebuah komitmen; komitmen yang muncul oleh kesadaran akan dosa-dosa yang telah diampuni Tuhan, dan oleh dorongan Roh Kudus menyerahkan diri pada proses pemurnian yang akan dikerjakan Tuhan dalam kehidupan kita selanjutnya. Jadi komitmen kelahiran baru seperti sebuah pintu masuk kedalam proses Tuhan.
Proses pembentukan karakter dan keimanan dengan Kristus sebagai acuannya, bukanlah sebuah proses yang mudah dan secara asal-asalan dikerjakan oleh Tuhan. Proses tersebut besar dan sangat rumit. Jika kita ditugaskan untuk menyusun permainan puzzle seluas meja makan saja pasti akan merasa kesulitan. Bagaimana jika puzzle tersebut seukuran lapangan bola. Setidaknya seperti itulah gambaran sederhananya betapa sulit dan beratnya proses yang Tuhan kerjakan dalam membentuk karakter kita hingga serupa dengan karakter Kristus. Disitulah iman kita bekerja.
Iman yang kuat sangatlah diperlukan dalam proses hidup yang harus kita lalui. Bagaimanakah mungkin bangsa Israel dapat selamat dari racun ular yang mematikan hanya dengan cara memandang kepada ular tembaga Musa (Bilangan 21:4-9)? Itulah iman. Ada bagian-bagian proses yang menuntut kita untuk sepenuhnya percaya kepada Tuhan, sekalipun itu kadang terasa tidak masuk akal.
           Saat proses itu terlihat mustahil dan tidak masuk akal, pandanglah salib Kristus. Di salib itulah manusia didamaikan dengan Tuhan melalui curahan darah Tuhan Yesus Kristus. Seperti halnya seorang penjahat yang disalib disebelah Kristus, bertobat disaat-saat terakhir kehidupannya dan ia menerima Firdaus, demikianlah pertolongan Tuhan juga akan dinyatakan disaat-saat terberat dalam proses yang harus kita jalani. Ambillah komitmen kelahiran baru. Masukilah proses pembentukan yang Tuhan kerjakan dalam kehidupan kita. Percayalah sepenuhnya dengan apa yang Tuhan kerjakan, dan lihatlah bagaimana kasih Tuhan dicurahkan melalui proses-proses kehidupan tersebut. Amin.

(Renungan dari Yohanes 3:1-21)

MENGIKUT KRISTUS ADALAH MEMATIKAN KEINGINAN DIRI (Kolose 3:5)


Kekristenan bukanlah sebuah pilihan hidup yang mudah. Menjadi seorang yang beriman kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, menuntut sebuah pengorbanan yang sangat besar. Kekristenan menuntut umatnya untuk menjadi pribadi yang dewasa dalam hal keimanan dan karakter.
Adalah sebuah hal yang salah jika mengidentikkan kekristenan dengan kenyamanan, keamanan, berkat yang tiada berhenti, atau kehidupan sukacita tanpa derita. Justru sebaliknya. Iman kepada Kristus akan selalu berhadapan dengan kebalikan dari kondisi-kondisi tersebut. Hal tersebut juga bukan berarti bahwa mengikut Yesus hanya akan diisi dengan penderitaan. Proses pembentukan karakter adalah hal utama. Dalam proses tersebut tentunya melibatkan “latihan-latihan” dimana karakter yang dewasa akan terbentuk. Di tengah proses kehidupan, Tuhan juga selalu memberi waktu/kesempatan untuk “beristirahat.”
Para murid Tuhan Yesus telah merasakan hal yang sama, saat kita bicara mengenai proses pendewasaan rohani. Sebagaimana kita semua ketahui, latar belakang para murid Tuhan Yesus (dan bahkan Tuhan Yesus sendiri) adalah masyarakat Yahudi. Pada awalnya, mereka melihat pribadi Yesus sebagai calon pembebas masyarakat Yahudi dari tekanan penjajah Romawi. Mereka, dan kebanyakan masyarakat Yahudi kala itu, berharap bahwa bangsa Yahudi akan menjadi bangsa yang besar, berkuasa di seluruh dunia. Melalui Yesus yang dengan demonstrasi kuasa-Nya mereka percayai sebagai mesias, bangsa Yahudi akan dikembalikan kepada masa kejayaannya.
Kenyataan berbicara lain. Yesus yang awalnya diharapkan akan menjadi mesias pembebas bangsa Yahudi dari tekanan Romawi, terlihat menerapkan ajaran Taurat dengan sangat berbeda. Tuhan Yesus menekankan pada hakikat Taurat, lebih daripada praktik jasmaniahnya. Yesus terlihat tidak berminat untuk membangun kejayaan kerajaan Israel secara fisik. Mulai saat itu, banyak orang Yahudi yang menjadi murid dan mengikut Yesus, menjadi sangat kecewa dan meninggalkan-Nya. Hal tersebut tercatat dalam injil Yohanes 6:60-66.
Pada ayat 63 perikop tersebut, Tuhan Yesus berkata “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.” Konteks yang melatarbelakangi perikop tersebut adalah perbincangan mengenai posisi Yesus sebagai sumber kehidupan bagi manusia, yang digambarkan-Nya dengan penggambaran yang terkenal: “Roti Hidup.” Kembali Yesus menekankan bahwa berita yang dibawa-Nya bukanlah kemerdekaan secara fisik, melainkan secara rohani: hidup kekal bersama Tuhan, bukan kemerdekaan sementara di dunia.
Surat 1 Yohanes 2:18-19 menulis bahwa antikristus berasal dari kalangan umat percaya. Ayat 19 menulis demikian: “Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita. Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita.” Hal tersebut senada dengan catatan dalam Yohanes 6:66 “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.” Siapa yang dimaksud dengan antikristus? Yaitu para murid Yesus yang kecewa kepada Yesus karena tidak memenuhi keinginan atau harapan mereka.
Saat ini telah banyak ditemui pengajaran-pengajaran Kristen yang menyimpang. Dalam pengajaran menyimpang tersebut, rata-rata selalu mengedepankan tentang berkat tanpa batas yang seharusnya diterima oleh orang Kristen. Kebanyakan orang akan senang dengan model pengajaran seperti itu; pengajaran yang memenuhi keinginan pribadinya. Lantas apa hubungannya dengan topik yang sedang kita bicarakan?
Pengajaran yang salah akan menghasilkan pemahaman yang salah. Saat pemahaman yang salah terbentur dengan realita kehidupan, maka hal tersebut akan memunculkan orang-orang yang kecewa. Seperti halnya para murid yang meninggalkan Yesus karena pengajaran-Nya yang tidak seperti yang mereka harapkan, maka demikianlah konteks pengajaran menyimpang di masa sekarang ini. Antikristus akan muncul dari orang-orang yang salah memahami pengajaran firman Tuhan. Mereka kecewa dan menyalahkan Tuhan karena tidak memberikan apa yang mereka inginkan.
Kita disebut dewasa secara rohani, saat kita dapat memahami kehendak Tuhan dan hidup seturut dengannya. Alkitab dengan jelas mengarahkan kita untuk memindahkan fokus kehidupan: dari hal-hal atau keinginan duniawi kepada hal-hal atau keinginan surgawi. Orang-orang yang telah melakukan hal tersebut pasti akan menunjukkan sebuah kedewasaan karakter dan keimanan. Bukti nyata dari hal tersebut adalah pribadi dan kehidupan para murid Tuhan Yesus setelah Tuhan Yesus naik ke surga.
Para murid hidup dalam tekanan yang sangat besar dari bangsa Yahudi yang memusuhi mereka dan pemerintahan Romawi yang menganggap mereka sebagai pemberontak. Banyak dari mereka yang mati dibunuh dan diumpankan pada binatang buas. Dengan semua kejadian yang menyakitkan tersebut, tidak ada kekecewaan yang muncul dari mulut mereka. Sebaliknya, mereka menjalani penderitaan tersebut dengan sukacita dan kebanggaan.
Para murid Tuhan Yesus tersebut telah mati terhadap keinginan diri sendiri dan mereka menghidupi kehendak Tuhan. Demikianlah kita seharusnya hidup di masa sekarang ini. Kesenangan dunia, kelimpahan harta, tingginya jabatan dan kehormatan bukanlah ukuran berkat yang sesungguhnya. Tujuan hidup kita sebagai pengikut Yesus adalah mematikan keinginan daging dan fokus pada penyataan kebenaran firman Tuhan melalui keseharian. Amin.

"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi..." (Kolose 3:5)

30 December 2016

GEREJA ADALAH RUANG BELAJAR, HIDUP KESEHARIAN ADALAH LADANG UJIAN (Ibrani 10:24-25)

Masih banyak orang Kristen yang memandang aktivitas beribadah “terpisah” dari aktivitas hidup yang lain. Dalam pandangan mereka, gereja dan segala bentuk kegiatan rohani lainnya adalah ruang yang sakral sedangkan lingkup diluar hal tersebut kurang sakral. Dalam satu sisi, pandangan tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Namun jika diperhatikan dengan saksama, maka akan nampak kekurangannya.

Iman Kristen harus dipahami secara utuh. Jika hanya dipahami secara setengah-setengah, maka akan membawa kepada kesesatan. Istilah kesesatan disini janganlah hanya dipahami dalam konteks pengajaran agama, semisal diasumsikan dengan aliran/ajaran sesat seperti Saksi Yehova, Mormonisme, dll. Dalam kasus yang paling sederhana, mengambil atau melakukan sebuah prinsip yang terlihat berasal dari Alkitab – padahal hanya separuh kebenaran saja – adalah satu bentuk kesesatan. Untuk itulah diperlukan sebuah pemahaman yang utuh dan lengkap terhadap iman Kristiani, yang tentunya hal itu bersumber dari penafsiran Alkitab yang disiplin.

Lantas, apa yang seringkali menghambat kita, umat Kristen, untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh terhadap firman Tuhan dalam Alkitab? Apa pula yang harusnya kita upayakan untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tersebut?

Ø  Cherry-picking dan Proof-texting
Saat ini kita akan sedikit membahas satu kesalahan yang hingga saat ini masih sering kali dan mungkin yang paling umum terjadi di kalangan orang Kristen (khususnya, sejauh pengamatan saya, di aliran Pentakosta dan Kharismatik), berkenaan dengan cara memahami Alkitab. Kesalahan tersebut adalah kebiasaan MEMBACA dan lantas MENGAMINI SEBUAH AYAT ALKITAB.

Kesalahan ini disebut cherry-picking, dan dalam istilah hermeneutik dikenal juga sebuah istilah yang lebih terkesan teknis yakni proof-texting. Cherry picking adalah kesalahan logika dimana seseorang membangun argument atau pemahamannya hanya berdasar atas pendapat atau data yang menyokong apa yang diklaimnya saja, tanpa mempertimbangkan keseluruhan data (konteks), yang sebenarnya sebagian data yang diambil tersebut justru kadang melemahkan atau bahkan membantah klaimnya sendiri; biasa disebut cocokmologi. Pengertian proof-texting adalah kesalahan metodologis dimana seseorang mengambil bagian kecil dari Alkitab, seringkali hanya sebuah ayat, kemudian digunakan untuk mendukung sebuah pemikiran atau membangun sebuah doktrin tanpa mempedulikan konteks sastranya. Dengan ungkapan yang sederhana, cherry-picking dan proof-texting adalah kebiasaan pilih-pilih ayat Alkitab.

Cherry-picking dan proof-texting akan menghasilkan sebuah pengajaran kekristenan yang salah serta lemah. Prinsip-prinsip pengajaran yang dibangun dengan pola tersebut kemungkinan besar tidak konsisten bahkan seringkali kontradiktif. Membangun fondasi kehidupan dengan dasar pengajaran yang didapat dengan pola tersebut seperti membangun rumah di atas pasir. Jika ingin membangun iman Kristen yang kuat, lakukan di atas batu karang. Membangun di atas batu karang berbicara tentang memahami firman Tuhan secara benar dan mendasar sehingga membuat kita mampu merumuskan tindakan nyata dari prinsip kebenaran firman Tuhan tersebut.

Lebih buruk lagi, kebiasaan pilih-pilih ayat tersebut seringkali juga dilakukan secara setengah-setengah. Maksudnya seperti ini: Ayat-ayat yang memiliki isi yang menyenangkan, menenangkan, menguatkan, memotifasi serta “memberkati” seringkali menjadi ayat-ayat favorit banyak umat Kristen. Jarang kita dapati seseorang yang menggunakan ayat-ayat yang berisi teguran dan kritikan sebagai ayat nats atau ayat emas favoritnya.

Ø  Gereja (juga) merupakan lembaga pendidikan
Gereja seharusnya tidak lagi dipandang hanya sebagai tempat suci atau tempat ibadah dalam kehidupan umat Kristen. Gereja seharusnya juga menjadi wadah umat Kristen untuk belajar dan mendulang pemahaman yang benar terhadap firman Tuhan, serta relefansinya dalam kehidupan sehari-hari. Memahami prinsip firman Tuhan dengan benar serta mengerjakan prinsip kebenaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari – dengan segala keterbatasan kemampuan – akan membawa kita, umat Kristen, mengenal Tuhan dengan benar.

Dalam konteks membangun dasar-dasar iman, gereja harusnya menghindarkan jemaat dari kebiasaan cherry-picking atau proof-texting tersebut di atas. Teknisnya, Gereja harus mulai membiasakan jemaat untuk menggunakan cara pembacaan Alkitab yang lebih menyeluruh; tidak lagi membaca satu ayat saja, melainkan membaca paling tidak satu paragraf utuh atau satu perikop. Akan lebih baik lagi jika kebiasan membaca tuntas Alkitab digalakkan di kalangan jemaat gereja. Membaca Alkitab hingga tuntas (mulai dari kitab Kejadian hingga Wahyu) akan memberi kita sekilas gambaran besar mengenai alur penulisan Alkitab.

Selain Alkitab, gereja seharusnya juga harus mampu mengedukasi anggota jemaat untuk membaca buku-buku atau sumber-sumber bacaan yang lain. Hal tersebut penting sekali untuk memperluas cakrawala berpikir anggota gereja.

Ø  Dengarkan saja, maka imanmu akan bertumbuh. Oh really? Come on….!!
Dalam sebuah ibadah formal hari minggu, mimbar gereja memang merupakan sebuah mimbar monolog. Melalui mimbar tersebut seorang pendeta atau hamba Tuhan menyampaikan renungan dari sebuah bagian dari Alkitab. Kita tentu saja tidak akan mendapati adanya dialog yang terjadi antara jemaat dengan sang pengkhotbah dalam kesempatan tersebut. Hal itu adalah semacam aturan tidak tertulis yang umum berlaku dalam sebuah ibadah. Namun apakah mimbar gereja hanya diisi oleh kegiatan ibadah semacam itu saja?

Gereja harus menyediakan ruang untuk pendalaman pemahaman akan firman Tuhan bagi jemaat. Kata Ruang yang saya maksudkan disini lebih mengarah pada waktu atau kesempatan. Yang harus ditentukan oleh para gembala jemaat atau majelis gereja adalah kapan pelaksanaanya. Itu hanyalah masalah teknis dari jadwal kegiatan gereja. Permasalah yang lebih mendesak sebenarnya adalah ada atau tidaknya kesempatan tersebut, bukan?

Saat kita mendengarkan khotbah yang disampaikan pada waktu ibadah umum, tidak jarang muncul tanggapan di dalam pikiran kita. Tanggapan tersebut dapat berupa pertanyaan atau bahkan pendapat atau pemahaman yang tidak jarang justru berseberangan dengan apa yang telah dikatakan oleh sang pengkhotbah.

Tanggapan tersebut muncul karena kita mungkin saja telah menerima sebuah informasi yang berhubungan dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang pengkhotbah. Bisa saja kita pernah membaca sebuah buku atau artikel tertentu, mendengarkan khotbah dari internet, atau teringat percakapan dengan seorang teman, atau mungkin saja kita pernah mengalami “serangan” terhadap iman kita dari orang yang beragama lain dan kita tidak dapat menjawabnya. Tanggapan-tanggapan yang ada dalam pikiran kita tersebut, saya yakin, membutuhkan jawaban atau tanggapan balik.

Jadi, memang mendengarkan khotbah saja tidaklah dapat membuat iman seseorang bertumbuh. Lantas kenapa ada ayat Alkitab yang berkata bahwa “iman timbul dari pendengaran akan firman Kristus?” (Roma 10:17) Apakah artinya ayat tersebut salah?

Ada minimal dua ayat yang menurut saya menarik untuk diperhatikan, berkenaan dengan pertumbuhan iman yang didasarkan pada pengajaran firman Tuhan. Ayat yang pertama sebenarnya secara tidak langsung telah saya kutip di atas, yakni Matius 7:24-27. Dalam bagian tersebut, Tuhan Yesus memberikan penakanan bahwa saat seseorang “mendengarkan” firman Tuhan dan melakukannya, maka ia akan memiliki iman yang kuat untuk menghadapi gempuran pengaruh dunia serta dapat bertahan dalam pergumulan hidupnya. Rasul Paulus menulis dalam surat Roma 10:17 bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”

Kedua bagian kutipan ayat Alkitab tersebut memuat sebuah kata yang sama, yakni mendengarkan. Bahasa Inggris membedakan kata hear dan kata listen, yang dalam Bahasa Indonesia sama-sama diterjemahkan dengan dengar atau mendengarkan. Kata hear bermakna sekadar mendengar sebuah suara, namun kata listen memiliki makna memperhatikan dengan saksama. Kata “mendengarkan” dalam bahasa Yunani yang digunakan penulis kitab, dalam hal ini adalah Rasul Matius dan Rasul Paulus, adalah kata dasar yang sama yang dibaca akoe.

Kata akoe ini hanya akan menunjukkan perbedaan makna saat dimasukkan ke dalam konteks kalimatnya. Dalam hal ini, kata akoe memiliki makna memperhatikan karena perkataan tersebut merupakan paket pengajaran yang diberikan oleh seorang pengajar firman.

Tuhan Yesus dan Rasul Paulus sudah sangat terbiasa dengan kalimat tersebut. Secara meyakinkan, mereka pastilah mendasari pemahamannya dengan ayat yang berasal dari kitab Keluaran 15:26 “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan (listen – KJV) suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan engkau.” Masyarakat Yahudi sangatlah mengenal bagian ini. Bagi mereka, firman Tuhan sangatlah sakral dan mereka harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh ketika firman Tuhan tersebut diajarkan.

Tidak sekedar didengarkan, firman Tuhan haruslah dipahami. Ukuran dari paham atau tidaknya kita terhadap prinsip kebenaran firman Tuhan adalah saat kita mampu merumuskan tindakan nyata untuk kita kerjakan dalam kehidupan kita sehari-hari, berdasarkan prinsip kebenaran dari bagian firman Tuhan yang kita renungkan tersebut. Di sisi yang lain, seorang hamba Tuhan harus dapat memberikan pengertian yang mendasar kepada jemaat dari bagian firman Tuhan yang dia bawakan dalam khotbahnya.

Ø  Gereja adalah kelas belajar seumur hidup
Mari kita sejenak mengingat proses pendidikan kita saat berada, misalnya, di sekolah dasar. Di kelas 1 sekolah dasar, kita diajar untuk menghafalkan perkalian 1 x 1 hingga 10 x 10. Adakah diantara kita yang mampu menghafalkan sekian banyak perkalian tersebut hanya dalam satu kali pertemuan pelajaran matematika? Mustahil, bukan? Mari kita bayangkan ada berapa banyak persoalan kehidupan yang kita hadapi. Apakah mungkin semua permasalah tersebut dapat terjawab dengan satu atau dua kali pergi beribadah ke gereja? Jawabannya akan sama, yakni mustahil.

Gereja harusnya menjadi tempat untuk kita menimba pemahaman mengenai prinsip-prinsip kebenaran Tuhan. Seperti halnya ruang kelas, pola pembelajaran di gereja haruslah dinamis dan holistik, artinya prinsip kebenaran yang dipelajari dapat menjangkau dan diterapkan di semua sudut kehidupan kita.

Jika kita hanya mengandalkan pertemuan ibadah sekali seminggu pada waktu ibadah umum saja, sejauh mana prinsip kebenaran yang akan kita pahami? Tentunya akan sangat dangkal bukan? Belum lagi jika kita tidak memiliki semangat untuk belajar, dan disaat yang sama ada begitu banyak permasalahan kehidupan yang tidak mungkin kita abaikan begitu saja.

Pertemuan-pertemuan ibadah dalam komunitas gereja seharusnya mengusung pemahaman mengenai pendidikan warga gereja ini dengan lebih serius. Pertemuan ibadah selain ibadah umum minggu seharusnya dapat menjadi wadah yang mengasyikkan bagi jemaat untuk berkumpul dan menggali kebenaran firman Tuhan.

Ø  Siapa yang bertanggung jawab? Seluruh warga gereja.
Seorang Kristen yang dewasa dan bertanggung jawab terhadap iman Kristennya, akan berusaha dengan keras untuk bertumbuh dengan baik. Ada dua aspek kehidupan orang Kristen: aspek pribadi dan komunal. Kita dituntut untuk sadar akan konsekuensi iman kita secara pribadi. Berani mempertanggungjawabkan iman kita dalam hal pola pikir, perkataan dan tingkah laku.

Dalam konteks komunal, gereja sebenarnya memiliki pengertian komunitas orang beriman, bukan sekedar sebuah bangunan tempat ibadah. Jadi sebagai komunitas, semua anggota dari komunitas tersebut mengemban tanggung jawab yang sama, yakni untuk terus memastikan kebenaran Tuhan tetap ditegakkan di dalamnya. Dari sinilah muncul tanggung jawab untuk bertumbuh bersama, saling membangun, saling menjaga dan saling menasihati. Dalam hal ini, penulis surat Ibrani menuliskan demikian: “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:24-25)