Laman

22 February 2016

ORANG SAMARIA YANG BAIK HATI (Lukas 10:25-37)



     Pertemuan Tuhan Yesus dengan seorang ahli Taurat yang dikisahkan dalam Lukas 10:25-37 membawa sang ahli Taurat dan para murid Tuhan Yesus masuk dalam sebuah perenungan yang dalam. Dalam pertemuan itu, sang Ahli Taurat mengajukan beberapa pertanyaan kepada Tuhan Yesus. “Apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” adalah pertanyaan pertala yang ia lontarkan. Mungkin karena tujuan awalnya yang salah (yaitu untuk mencobai Tuhan Yesus), sang Ahli Taurat menanyakan pertanyaan yang seharusnya dapat ia jawab sendiri berdasarkan kitab Taurat yang telah ia kuasai. 

     Tuhan Yesus menjawab pertanyaan tersebut dengan balik bertanya kepada sang Ahli Taurat. “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Dan terbukti sang Ahli Taurat pun dapat menjawab dengan benar dengan mengutip dari kitab Ulangan 6:4 dan Imamat 19:18. Tuhan Yesus menjawab dengan mengatakan “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” Tidak berhenti disitu, sang Ahli Taurat melanjutkan pertanyaannya dengan kembali bertanya ”Siapakah sesamaku manusia?”  Bagi kita yang secara umum mengerti pengajaran Tuhan Yesus mengenai kasih, pertanyan tersebut terlihat lucu. Namun saat kita pahami latar belakang orang Yahudi dan kehidupan agamawi mereka, kita akan mengerti alasan kenapa ia bertanya demikian.

     Dalam masyarakat Yahudi, terdapat semacam "lingkaran-lingkaran" kelompok masyarakat yang berlaku. Lingkar terdalam dianggap paling suci dan terhormat, sedangkan lingkar terluar dianggap paling berdosa dan kotor. Imam dan kaum Lewi adalah pemuka agama yang sangat dihormati di kalangan Yahudi. Orang Samaria dan bangsa kafir (gentiles – ingg.) adalah kelompok orang yang sangat dibenci oleh orang Yahudi. Jadi bagi orang Yahudi, “sesama manusia” adalah sesama bangsa Yahudi saja.

     Berdasarkan pandangan tersebut, Tuhan Yesus mengajarkan kepada Ahli Taurat ini arti mengasihi sesama manusia. Tuhan Yesus menggunakan cerita “Orang Samaria Yang Baik Hati” untuk menjelaskan pemahaman yang benar tentang ungkapan “Sesama Manusia.”

     Dalam kisah Orang Samaria yang baik ini ada 3 kelompok orang yang menonjol. Kelompok tersebut adalah para perampok, Imam dan Lewi, serta orang Samaria. Dikisahkan ada seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho. Di tengah jalan ia dirampok dan dihajar perampoh hingga sekarat dan hampir mati kemudian ditinggalkan tergeletak di pinggir jalan. Beberapa waktu kemudian ada Imam yang sedang dalam perjalanan turun dari Yerusalem. Saat sang Imam melihat orang yang terluka itu, ia berjalan menjauh dan meninggalkannya. Hal yang sama juga dilakukan oleh seorang Lewi yang beberawa waktu kemudian juga melewati tempat itu. Ia berjalan menjauh dan tidak menolong orang yang terluka tersebut. Dan kemudian lewatlah pula seorang Samaria. Melihat ada orang yang terluka, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan dan kemudian mendekatinya untuk menolongnya. Ia meminyaki luka-luka orang tersebut, menyiramnya dengan anggur untuk menghindari infeksi, kemudian menaikkan orang tersebut ke atas keledai tunggangannya. Ia membawa orang yang terluka itu ke sebuah penginapan dan merawatnya disana. Saat ia harus melanjutkan perjalanan, ia membayar pemilik penginapan untuk meneruskan proses perawatan tersebut sampai ia kembali lagi. 

     Mari kita pelajari kembali tiga kelompok orang yang digambarkan dengan menonjol dalam kisah orang Samaria yang baik hati tersebut:

     1. Perampok
     Perampok hanya mengingini milik orang lain untuk dikuasainya. Orang yang tidak pernah merasa puas akan apa yang ia miliki. Saat melihat orang lain yang memiliki lebih, ia menjadi iri dan ingin memilikinya pula. Orang yang iri dan tidak suka melihat keberhasilan orang lain, ingin menjadi lebih dengan motivasi ingin mengalahkan orang lain, pada hakekatnya sama dengan perampok. Ia tidak lagi pedulia akan cara mendapatkannya, yang penting dapat mengalahkan orang lain dan menjadi lebih.

     2.  Imam dan Lewi
     Imam dan Lewi adalah pelayan-pelayan Tuhan yang seharusnya memiliki moralitas yang unggul. Ia harusnya dapat menjadi teladan perbuatan yang baik. Seorang Imam dan Lewi akan menjadi najis dan tidak dapat melayani saat ia menyentuh darah dan mayat selain hewan korban di Bait Allah. Mungkin imam dan lewi tersebut tidak mau menjadi najis dengan menolong sang korban perampokan tersebut, karena proses penyucian imam dan lewi adalah sebuah proses yang panjang dan ribet. Hal ini adalah gambaran dari para pelayan Tuhan yang tidak mengerti intisari dari pelayanan yang sesungguhnya. Pelayanan hanya menjadi aktivitas tanpa nilai luhur. Pelayanan dijadikan bahan pencitraan tingkat kerohanian, karena dengan terlibat dalam pelayanan orang akan dianggap lebih kudus dan dewasa rohani. Pada kenyataannya itu tidaklah tepat.

     3. Orang Samaria
    Kasih tidak memandang siapa orang yang seharusnya dikasihi. Kasih akan mengasihi semua manusia. Seseorang yang memiliki kasih dalam hidupnya, ia akan rela melakukan apa saja untuk mengasihi semua manusia, tanpa memandang batasan apapun. Karena kasih, orang akan rela mengorbankan apapun, seperti halnya Tuhan Yesus yang rela memberi nyawanya, untuk menyatakan kasihNya kepada semua manusia. 

     Secara tersirat, Tuhan Yesus menjawab pertanyaan sang ahli Taurat tersebut dengan menunjukkan bahwa "sesama manusia" adalah orang yang mengasihi siapa saja dengan kasih yang tulus dan tidak pandang bulu. Mari kita menyebarkan kasih Tuhan melalui cara kita mengasihi sesama manusia.  


21 February 2016

MENGHADAPI PENDERITAAN SEBAGAI KONSEKUENSI IMAN (Renungan dari kitab Wahyu 2:8-11)

Saudara, tentu kita semua seringkali mendengar pemberitaan tentang Islamic State (IS) atau mungkin lebih dikenal dengan nama ISIS. Mereka adalah kelompok militan radikal yang ingin mendirikan sebuah negara Islam di wilayah Iraq dan Siria. Demi menjalankan rencana tersebut, mereka menggunakan cara-cara yang kejam dan sadis. Sampai hari ini mereka telah banyak membunuh orang-orang yang berseberangan paham dan kepercayaan dengan mereka. Beberapa waktu yang lalu, para militan ISIS telah menyandera 230 orang Kristen Siria. 230 orang tersebut terdiri dari 51 anak-anak, 84 orang wanita, dan 95 pria (sumber: europe.newsweek.com, 1 Mei 2015, pukul 2:44 PM). Para sandera ini telah ditangkap ISIS sejak bulan Februari lalu. Demi membebaskan mereka penduduk Siria telah mengumpulkan uang untuk menebus mereka. Uang yang telah terkumpul sebesar 1,1 juta dolar Amerika. Sebuah angka yang fantastis. Namun diluar dugaan, kelompok ISIS menolak uang tebusan tersebut. Alasan mereka menolak uang itu karena mereka berharap dengan menyandera 230 orang tersebut, meraka dapat menarik perhatian yang besar dari negara-negara barat. Kondisi saudara-saudara seiman di Siria tersebut tentunya harus terus kita doakan. Mereka berada dalam tekanan yang luar biasa demi mempertahankan iman mereka kepada Tuhan Yesus Kristus.
Bentuk-bentuk tekanan seperti itu sebenarnya kita dapati juga di Indonesia, walaupun tidak seekstrem kondisi di Timur Tengah tersebut. Saudaraku, tentunya kita bertanya-tanya bukan? Kenapa mereka, dan mungkin juga kita, diijinkan Tuhan mengalami penderitaan yang sedemikian berat? Saudaraku, kadangkala penderitaan harus kita alami sebagai konsekuensi ketika kita mempertahankan iman Kristen kita. Lantas, Apa yang Tuhan ingin kita lakukan ketika penderitaan tersebut datang sebagai konsekuensi kita mempertahankan iman Kristen kita?

I.     Tuhan ingin supaya kita tidak takut, karena penderitaan yang kita alami bersifat sementara (ayt. 10a).
Saudaraku, saya rasa rasa takut adalah perasaan yang normal dialami oleh banyak orang saat sedang mengalami ancaman bahaya. Bahkan, kita pun tentu akan merasa takut saat kita berada di posisi yang sama seperti saudara-saudara seiman kita yang ada di Siria dan Iraq tersebut, yang karena mempertahankan iman mereka kepada Kristus, nyawa mereka menjadi taruhannya.
Alkitab menyatakan dalam jemaat Smirna juga mengalami tekanan yang hebat. Wahyu 2:9 menyinggung tentang kondisi yang dihadapi oleh jemaat Smirna tersebut demikian:
“Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu--namun engkau kaya--dan fitnah mereka, yang menyebut dirinya orang Yahudi, tetapi yang sebenarnya tidak demikian: sebaliknya mereka adalah jemaah Iblis.”
Kala itu di Smirna, sekarang ini adalah kota Ishmir – Siria, Yudaisme dianggap sebagai sebuah sekte kuno yang lebih dulu ada. Mereka juga memiliki pengaruh yang kuat sehingga pemerintahan Roma mengijinkan mereka untuk tidak terlibat dalam aktifitas religius Romawi, yang biasanya diharuskan bagi negara jajahannya. Pemerintah Roma tidak terlalu berusaha untuk mengetahui bahwa sebenarnya kekristenan dan Yudaisme memiliki akar yang sama. Hal tersebut menjadikan jemaat Kristen di Smirna terhimpit oleh peraturan Roma. Oleh pemerintahan Romawi, mereka diharuskan terlibat dalam upacara penyembahan dewa-dewa Roma, namun jemaat Kristen ini menolak. Penolakan orang Kristen inilah yang kemudian membuat mereka dianiaya. Saat itu, jika masyarakat mengetahui bahwa seseorang adalah pengikut Kristus, mereka akan ditangkap, dianiaya atau mereka akan dikucilkan dari masyarakat. Para pedagang Kristen kemungkinan diboikot barang dagangannya sehingga tidak ada yang mau membeli barang mereka. Sehingga banyak dari mereka menjadi jatuh miskin.
Merupakan sebuah penghiburan bagi jemaat Smirna bahwa Kristus mengetahui semua penderitaan mereka: Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu--namun engkau kaya! Selain menderita aniaya, mereka juga mengalami kemiskinan. Kata Yunani dari kemiskinan yang diugunakan dalam ayat 9 ini berarti sebuah kondisi miskin yang sangat parah. Namun walaupun sangat miskin, mereka kaya akan janji-janji yang Kristus berikan kepada mereka. Mereka dianiaya tidak hanya oleh orang kafir penyembah berhala, tapi juga oleh orang Yahudi. Sedangkan kata kesusahan berarti hidup dalam penganiayaan dan kesulitan yang begitu menghimpit. Penganiayaan menghasilkan kemiskinan karena pekerjaan dan sumber-sumber penghasilan jemaat dirampas. Jadi orang percaya di Smirna mungkin telah mengalami penyitaan harta benda.
Rupanya jemaat Yahudi setempat disebut oleh Tuhan – dalam penglihatan Rasul Yohanes yang diterima rasul Yohanes di pulau Patmos tersebut – sebagai jemaah Iblis. Hal tersebut dapat kita bandingkan dalam pasal 3:9. Setan disebut dalam empat dari tujuh surat: 2:9, 13, 24; 3:9. Dalam sejarah gereja, penganiayaan yang keras justru dilakukan oleh orang-orang beragama.
Kalimat “sapaan” Tuhan Yesus kepada jemaat Smirna di atas bermakna bahwa Tuhan Yesus sepenuhnya menyadari kesusahan dan kemiskinan orang Kristen di sana yang harus bertekun karena nama Kristus.
Kita melihat di ayat 10, Tuhan Yesus menyerukan kepada jemaat Smirna Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita! Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari.Rata-rata penafsir Alkitab setuju bahwa arti dari frasa sepuluh hari di bagian ayat ini adalah penganiayaan yang hanya sementara atau jangka waktu yang pendek. Jadi, disini kita melihat bahwa Tuhan ingin supaya kita tidak takut, karena penderitaan yang kita alami hanya akan bersifat sementara.
Saudaraku, tentunya kita semua pasti mengetahui proses kehamilan hingga pada saat persalinan bukan? Ibu-ibu pastilah sangat memahami hal ini. Dalam proses kehamilan, seorang ibu tentunya akan terus berusaha untuk merawat kandungannya selama kurang lebih sembilan bulan, hingga tiba saat untuk melahirkan. Nah, bagian persalinan inilah yang paling menegangkan dan sangat menakutkan karena resikonya yang sangat besar, yaitu kematian. Pada puncak proses persalinan, rasa sakit yang dialami oleh seorang wanita yang melahirkan begitu hebatnya. Kemudian saat sang bayi sudah dilahirkan, pastilah sang ibu akan mengalami kelegaan yang luar biasa. Penderitaan dan rasa sakit ibu tersebut seolah terbayar lunas saat mendengar tangis sang jabang bayi. Dengan rasa sakit yang luar biasa tersebut, kita patut bersyukur kepada Tuhan bukan, bahwa proses persalinan tidak memakan waktu yang sangat lama, hingga satu minggu misalnya…
Saudaraku, mungkin banyak diantara kita masih merasa takut saat membayangkan mengalami penderitaan seperti jemaat di Smirna, ditekan karena iman kepada Kristus. Itu adalah hal yang wajar. Namun kita telah melihat bersama bahwa tekanan dan penderitaan seperti itu hanya bersifat sementara saja. Seperti halnya jemaat Smirna, saat kita diijinkan oleh Tuhan mengalami penderitaan karena mempertahankan iman Kristen kita, kita akan menjadi pribadi yang kaya secara rohani.

II.  Tuhan ingin supaya kita tetap setia sampai mati, karena Dia akan memberikan kepada kita mahkota kehidupan (ayt. 10b).
Saudaraku, akhir-akhir ini kesetiaan adalah sebuah kualitas yang mulai langka. Selain dalam hal pernikahan, lunturnya kesetiaan juga mulai terlihat dalam hal keimanan. Banyak orang Kristen yang meninggalkan iman mereka demi hal-hal duniawi.
Dalam penderitaan mereka, jemaat Smirna didorong untuk “setia sampai mati.” Ketika para penganiaya tubuh mereka dapat merenggut tubuh jasmani, saat itulah jemaat akan menerima “mahkota kehidupan.” Rupanya hingga pada waktu surat tersebut diterima oleh jemaat Smirna, belum ada jemaat yang meninggal. Namun beberapa waktu kemudian, sejarah menuliskan bahwa Polikarpus yang adalah uskup dari gereja Smirna, mati sebagai martir pertama disana, yang tidak diragukan lagi disusul oleh banyak anggota jemaat yang lain.
Kesetiaan yang ditulis dalam bagian ayat 10 ini menggunakan kata πιστος, yang sebenarnya juga bermakna iman. Jadi dalam terjemahan bebas, kalimat setia sampai mati dapat kita pahami sebagai beriman (kepada Kristus) sampai mati. Berdasarkan denah Smirna, para penafsir tidak sulit melihat kaitan antara Mahkota Smirna dengan mahkota yang dijanjikan bagi para pengikut Kristus yang setia. Tetapi Tuhan Yesus berbicara tentang “mahkota kehidupan,” yang membuatnya berbeda dan penuh arti. Istilah “mahkota kehidupan” ini mungkin merupakan suatu idiom, muncul pula pada Yakobus 1:12 dan bisa diterjemahkan sebagai “mahkota, yaitu kepenuhan hidup.” Kata itu melambangkan “sukacita dan kegembiraan kemuliaan dan kekekalan yang paling tinggi.” Jika orang-orang kudus di Smirna membayar kesaksian Kristus dengan hidup mereka, maka mereka akan memperoleh hidup yang tidak bisa binasa dalam kemuliaan kekal.
Tuhan Yesus telah menunjukkan sebuah sikap kesetiaan yang luar biasa, yang harusnya kita teladani bersama. Tuhan Yesus tahu bahwa keberadaan-Nya di dunia adalah demi mewujudkan rencana Bapa-Nya, yakni rencana penebusan manusia dari dosa. Ada sebuah perjalanan yang panjang yang Ia tempuh. Ujung dari perjalananan tersebut juga sudah Ia ketahui, yakni siksaan dan kematian di kayu salib. Namun kita dapat melihat Kesetiaan Tuhan Yesus menjalani panggilan tersebut. Dalam surat Filipi 2:8-9, Rasul Paulus menuliskan demikian: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,” Kesetiaan Tuhan Yesus terhadap keinginan Bapa-Nya inilah yang membuat Bapa meninggikan Dia dan mengaruniakan pada-Nya nama diatas segala nama.
Saudaraku, ada berapa banyak di antara kita yang sudah menikah? Ingkatkah Saudara akan janji pernikahan yang saudara ikrarkan pada waktu itu? Dihadapan Allah dan jemaat, saya.......menerima engkau........menjadi isteriku yang sah dan aku berjanji untuk setia baik dalam suka/duka, sehat/sakit, kaya/miskin sampai kematian memisahkan kita. Bukankah itu adalah sebuah janji setia yang indah, Saudara? Sebuah janji yang jika diwujudnyatakan akan membentuk sebuah keluarga yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan.
Demikian juga halnya dengan kita, Saudara. Kita juga harus setia kepada Tuhan, baik dalam suka atau duka, sehat atau sakit, kaya atau miskin. Ada banyak hal yang dunia tawarkanuntuk membeli iman kita. Apakah itu pangkat, jabatan, status sosial, kekayaan, atau pasangan hidup. Bahkan, dunia mungkin juga akan memaksa kita dengan kekerasan, supaya kiat meninggalkan iman Kristen kita. Akan tetapi Saudaraku, kita harus tetap setia dan berpegang teguh kepada Tuhan Yesus Kristus. Kita harus tetap setia beriman kepada Kristus, dan tidak akan menukarnya dengan apapun juga.
 Saudaraku, kita telah melihat bersama bahwa penganiayaan yang dialami oleh jemaat Smirna bukanlah karena mereka melakukan kesalahan, namun karena mereka bertahan untuk tetap beriman kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus dalam kitab Matius pernah mengatakan bahwa mengikut Dia bukan membuat kita senang. Mengikut dia artinya menderita bagi dia. Penderitaan sudah pasti tidak bisa kita elakkan. Oleh karena itu, mari kita tetap setia. Karena Yesus tahu dan peduli dengan segala yang kita derita. Ia tidak akan tinggal diam. Bahkan saat ini, Ia sudah menyiapkan sebuah mahkota kehidupan, bagi setiap orang yang mau setia dalam iman kepada-Nya. Mahkota kehidupan adalah kehidupan kekal bersama dengan Tuhan Yesus di Kerajaan Sorga yang permai. Mari, janganlah takut menderita demi iman kita kepada Kristus, melainkan tetaplah setia kepada-Nya.

*tulisan ini adalah tugas kuliah Homiletika 1, yang dibimbing oleh Bapak Dr. Benny Solihin, di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, Jawa Timur.

PERTOBATAN "ORANG BENAR" (Renungan Kisah Rasul 9:1-9)

                    Kita pasti akan menuntut seorang yang telah terbukti melakukan kesalahan untuk menyesali dan mengakui kesalahannya. Itulah harapan kebanyakan orang terhadap seseorang yang bersalah. Akan tetapi kita tentunya tidak pernah berpikir untuk menuntut permintaan maaf dari seorang yang melakukan hal yang benar. Namun bagaimanapun juga pernyataan ini hanya memiliki sebagian kebenaran saja.

Suatu komunitas biasanya memiliki standartnya sendiri, yang diterapkan dalam komunitas tersebut. Dalam konteks Kisah Rasul 9:1-9, pernyataan tadi dapat kita lihat dengan jelas. Rasul Paulus, yang kala itu masih dikenal dengan nama Saulus-nya, berjuang menerapkan prinsip kebenaran komunitasnya, yaitu komunitas Farisi dalam Yudaisme. Tabib Lukas menulis Kisah 9:1-2 sebagai gambaran singkat namun mendalam mengenai kesungguhan Saulus menegakkan ajaran Yudaisme yang dianutnya, yang akhir-akhir itu terusik dengan munculnya gerakan kekristenan. Saulus sangat membenci orang-orang yang mempercayai bahwa Yesus dari Nazaret adalah pribadi Mesias yang dijanjikan oleh kitab-kitab para nabi. Oleh karena itulah ia bejuang sekuat tenaga dan dengan semangat membara, untuk menghentikan perkembangan gerakan kekristenan dengan segala cara, termasuk memenjarakan dan menghukum mati mereka. Kisah martir Stefanus dalam Kisah Rasul 7 adalah bukti nyata dari tindakan Saulus tersebut. Mari kita sejenak merenungkan hal-hal apa yang ingin ditunjukkan Tuhan melalui tulisan Tabib Lukas di bagian ini.

1. Merasa Benar, ternyata Salah
Dalam pandangan Saulus, berjuang untuk menjaga kemurnian ajaran Yudaisme adalah sebuah tindakan yang mulia. Oleh karena itulah dia melakukan hal tersebut dengan semangat yang berkobar-kobar. Dia menangkap, memenjarakan, dan bahkan menghukum mati banyak orang Kristen demi melaksanakan “panggilan pelayanannya” tersebut. Tindakan Saulus tersebut mendapat dukungan dari komunitas Farisinya dan kebanyakan pemimpin agama Yahudi. Hal tersebut terbukti dari diperolehnya surat rekomendasi dari Imam Besar demi memuluskan aksinya tersebut. Ditengah perjalanannya menjalankan misi “suci” itu, Saulus mengalami peristiwa yang mengejutkan dan merubah kehidupannya, selamanya. Seberkas cahaya dari langit menjatuhkannya ke tanah dan membutakan matanya. Bersamaan dengan itu ada suara dari langit yang berkata dengan jelas menegur keras tindakannya berjuang demi agamanya. Tuhan Yesus sendirilah yang langsung menghadang Saulus dan mengatakan hal yang sesungguhnya, bahwa sebenarnya selama ini Saulus sedang menganiaya Dia – dengan cara menganiaya jemaat Tuhan. Apa yang Saulus pikir dia lakukan demi kemuliaan Tuhan, ternyata adalah tindakan yang justru menyakiti Tuhan. 
Hal yang mungkin kita anggap benar ternyata belum tentu itu adalah sebuah kebenaran yang hakiki. Banyak dari kita mungkin sudah mengambil bagian dalam pelayanan di gereja. Kita tentunya berpikir bahwa apa yang kita lakukan dalam pelayanan tersebut adalah untuk Tuhan, demi menyenangkan hati-Nya, demi kemuliaan-Nya. Namun pernahkan kita merenungkannya kembali dan bertanya dengan jujur kepada diri kita sendiri: “Apakah benar saya melakukan pelayanan saya untuk memuliakan Tuhan? Ataukah untuk kebanggaan pribadi saya?” Pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh kita masing-masing, saat kita mendengarkan hati nurani kita dan mengakui dengan jujur.

2. Kebenaran Pasti Membawa Perubahan
Saulus menghadapi sebuah kenyataan pahit. Niatan untuk melayani Tuhan dengan seluruh hidupnya, justru malah menjadi tindakan yang mendukakan hati Tuhan. Namun setelah peristiwa di jalan menuju Damsyik tersebut, kehidupan Saulus berubah secara drastis. Tuhan menunjukkan kebenaran yang sejati kepada Saulus, menggantikan standart kebenaran yang selama ini dia percayai. Kehidupan Saulus berubah total, dari seorang yang kejam dengan semangat membinasakan, menjadi seorang penuh kasih dengan semangat menghidupkan dan menyelamatkan. Itulah yang dikerjakan Kebenaran yang hakiki – Firman Tuhan, yaitu mentransformasi kehidupan seseorang.
Saat kita bertanya kepada banyak orang Kristen apa tujuan pergi ke gereja, maka sebagian besar akan menjawab “untuk beribadah” atau dengan kalimat indah “untuk mencari Tuhan.” Namun apakah kita telah benar-benar bertemu dengan Tuhan di setiap ibadah yang kita ikuti? Indikator/tanda yang jelas dari sebuah perjumpaan dengan Tuhan adalah terjadinya perubahan pola pikir yang mendasar dalam pribadi kita. Inilah makna sesungguhnya dari pertobatan. Jadi, jika kita berjumpa dengan Tuhan dalam ibadah-ibadah kita, maka pasti akan terjadi banyak sekali perubahan dalam hidup kita – sebuah perubahan karakter yang mengarah pada satu tujuan, yakni menjadi sama dengan karakter Yesus.
Terlahir Kristen tidak otomatis membuat kita menjadi manusia yang baik. Menjadi orang Kristen selama bertahun-tahun juga bukanlah jaminan. Kita tetap harus memastikan bahwa kehidupan kekristenan kita bertumbuh. Kita juga harus pastikan bahwa dalam setiap ibadah yang kita ikuti, kita dapat mendengar dengan jelas apa yang Tuhan katakan kepada kita secara pribadi. Tidak berhenti disitu, perkataan Tuhan untuk kita tersebut harus terus kita renungkan setiap saat dan terlebih lagi kita nyatakan dalam tindakan kita. Mari, kita pastikan diri kita terus mengalami pertumbuhan hari lepas hari, semakin menajdi serupa dengan Kristus.

*Renungan yang saya ketik di warta jemaat GPdI Air Hidup Singosari, tanggal 20 Februari 2016. Judul renungan ini saya pinjam dari judul khotbah Pdt. Erastus Sabdono, namun dengan isi yang berbeda dengan apa yang beliau sampaikan dalam khotbahnya.