Laman

Showing posts with label setia. Show all posts
Showing posts with label setia. Show all posts

01 May 2020

PEMIMPIN DAN KRITIKAN

Saat sebuah kritik yang ditujukan kepada seseorang yang dianggap memiliki kedudukan atau status yang sejajar, hal tersebut mungkin dianggap sebagai sebuah kewajaran. Namun jika sebuah kritik ditujukan kepada atasan atau orang yang memiliki status dan kedudukan tinggi, hal tersebut seringkali dipandang sebagai sebuah perlawanan. Kata kritik sudah memiliki konotasi negatif dalam masyarakat kita. Namun apakah selalu demikian?

KRITIK – APA ITU?
Kita akan mampu menempatkan kritik di tempat yang tepat saat kita memahami apa itu kritik dan apa fungsinya bagi diri kita.
Menurut kamus bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), kata kritik memiliki arti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat. Banyak orang hanya memandang kritik sebagai sebuah kecaman, atau bahkan serangan. Jarang sekali ada orang yang melihat kritik sebagai sebuah tanggapan. Menurut saya pribadi, kritik adalah sebuah bantuan yang diberikan orang lain untuk melihat hal-hal yang seringkali tidak dapat kita lihat dengan pandangan kita sendiri.
Berdasarkan makna katanya, kritik pada dasarnya bersifat netral. Respon kitalah yang kemudian akan memposisikan kritik tersebut dalam pikiran kita. Kritik akan menjadi sebuah hal yang menyakitkan dan melukai saat kita memandanganya sebagai sebuah serangan kebencian yang dilancarkan oleh orang-orang yang kita anggap ingin menghancurkan hidup kita. Namun di lain pihak, kritik akan menjadi seperti nutrisi yang menyehatkan dan menguatkan, saat kita melihatnya sebagai sebuah alat evaluasi bagi diri kita.
Selembar soal ulangan adalah gambaran yang dapat kita gunakan saat kita memandang sebuah kritik. Selembar soal ulangan dapat dimaknai secara berbeda oleh siswa sekolah. Bagi seorang murid yang sadar akan tujuan pendidikannya, soal ulangan akan menjadi alat untuk mengukur kemampuan dan pemahamannya terhadap sebuah mata pelajaran. Namun di mata seorang murid yang tidak terlalu mempedulikan tujuannya bersekolah, soal ulangan tersebut hanya akan dipandang sebagai hal yang menakutkan dan mengusik kenyamanannya.

ANTI-KRITIK = ANTI-PERKEMBANGAN
Secara nyata: adakah pemikiran dan tindakan seseorang yang bebas dari kesalahan? Tentu saja tidak ada. Semua manusia mengakui bahwa pasti akan ada kelemahan dalam kehidupannya, baik dalam pemikiran maupun tindakannya. Permasalahan yang seringkali timbul adalah bahwa kita sulit untuk melihat kekurangan atau kelemahan kita. Bukan hanya sekedar sulit melihat kesalahan, namun seringkali malah tidak mampu melihatnya.
Sederhananya saja, kita tidak mungkin dapat melihat wajah kita sendiri tanpa bantuan dari pihak lain – baik itu barang atau orang lain. Oleh karena itulah kita sangat membutuhkan pihak lain yang mampu melihat diri kita, baik itu kelemahan maupun kelebihan kita. Dengan adanya mereka, kita akan mampu lebih banyak mengenal diri kita.
Kita akan menjadi manusia yang “utuh” dengan mengenal diri sendiri secara menyeluruh. Kita harus mampu mengidentifikasi diri kita, baik itu kelemahan maupun kelebihan kita. Dari situlah kita akan mampu mengenal setiap potensi diri dan mengembangkannya. Kita juga akan mengenali kelemahan-kelemahan kita dan mencari cara untuk memperbaikinya. Pengembangan diri akan dapat berjalan dengan baik saat kita mengenal diri sendiri dengan baik.

*Celoteh senja 

17 November 2018

SEMPURNA SEPERTI BAPA (Matius 5:48)



Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Matius 5:48


Dalam Matius pasal 5 ini, Tuhan Yesus banyak membahas praktik-praktik Taurat. Pengajaran dalam pasal ini secara ketat mengacu kepada Taurat dan kritik terhadap motif
praktiknya yang telah banyak melenceng dari intisari makna hukum itu sendiri. Taurat Tuhan yang sedianya mendewasakan Israel, berubah menjadi alat yang digunakan pemimpin-pemimpin agamanya untuk mengekang umat dalam tradisi-tradisi kesalehan yang kaku dan tanpa makna.
Tradisi di sini dapat dipahami sebagai pola pengulangan dari tindakan, ajaran dan ritual tertentu. Jadi tidak ada makna yang buruk dalam kata tradisi. Ajaran Kristen bukannya tidak memiliki tradisi praktik agamawi. Perjamuan malam terakhir yang dilakukan Yesus dengan murid-murid-Nya, adalah bentuk tradisi orang Yahudi yang didasarkan pada makan Paskah yang dilakukan Israel sesaat sebelum Mesir menerima hukuman tulah kesepuluh pada zaman Musa. Umat Kristen kemudian mlakukannya dalam bentuk yang berkembang dengan pemaknaan yang lebih disucikan – yakni mengenang penebusan manusia dari dosa melalui karya salib, kematian  dan kebangkitan Tuhan Yesus. Tradisi ini kemudian dikenal dengan istilah sakramen Perjamuan Kudus (ekaristi.
Karena saat gereja Kristen dilahirkan, maka ajaran-ajaran kekristenan mulai membentuk sebuah pola tradisi dan hukum-hukum agama, yang kemudian dikenal dengan tradisi kesalehan. Tradisi tersebut kemudian diteruskan dan bahkan mulai dilembagakan oleh generasi umat Tuhan setelah zaman para rasul. Kelahiran gereja sebagai institusi adalah bukti nyatanya. Namun patut disayangkan jika kemudian tradisi-tradisi Kristen tersebut juga mulai kehilangan maknanya saat kekristenan menjelma menjadi agama yang besar. Tradisi yang dibangun oleh para murid Tuhan Yesus tersebut kembali berubah menjadi tradisi yang kaku mengikat umatnya, persis seperti apa yang terjadi pada hukum Taurat kepada umat Israel.
Kembali pada pemaknaan tradisi kesalehan, umat Kristen seharusnya kembali menggunakan pola bagaimana Tuhan Yesus memandang hukum-hukum Tuhan tersebut. Secara garis besar, sedikitnya ada dua cara bagaimana Tuhan Yesus membangun tradisi kesalehan Kristen: (1) Menekankan pemahaman terhadap intisari hukum Tuhan, serta (2) menekankan pada proses yang benar, bukan sekadar hasil.

1.      INTISARI DARI HUKUM TUHAN
Orang Farisi dan ahli Taurat pada zaman Tuhan Yesus menekankan pelaksanaan hukum Tuhan hanya berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab suci Yahudi dan tafsir dari para rabbi. Mereka melakukannya secara literal, apa adanya seperti yang tertulis. Hal inilah yang membuat mereka kehilangan intisari yang jauh lebih penting yang terkandung dalam hukum-hukum Tuhan. Sebut tentang hal persembahan yang pada hakikatnya adalah bentuk kepercayaan total bahwa Tuhan memelihara umat-Nya, berubah menjadi ritual yang memastikan bahwa adas manis, selasih dan jintan pun harus diambil persepuluhannya (band. Matius  23:3, Markus 12:33).
Mari kita ambil contoh perikop tentang kemarahan (Matius 5:21-25). Bukannya sekadar melarang kita untuk marah, melainkan lebih menekankan pada harmonisasi hubungan dengan sesama saudara dan kasih kepada sesama manusia. Juga demikian halnya dengan hal bersumpah (Matius 5:33-37). Larangan bersumpah bukanlah nilai yang sesungguhnya ingin ditekankan dalam hukum Tuhan. Nilai utamanya adalah kejujuran yang seharusnya menjadi karakter kita.
Lebih lagi, ada hal-hal yang tidak tertulis secara spesifik dalam teks Alkitab namun dipercaya sebagai kebenaran. Misalnya mempercayai Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Allah Roh Kudus sebagai tiga hupostasis keallahan dan menyebutnya sebagai Trinitas. Kata Trinitas (Trinity – Ingg.) jelas tidak tertulis dalam Alkitab, namun kita mempercayai konsep tersebut berdasarkan penyelidikan teks-teks Alkitab secara proporsional.

2.      PENTINGNYA PROSES
Saat kita memandang Matius 5:48 dalam sudut pandang hasil, maka hal tersebut tidak akan mungkin terjadi. Seberapapun keras usaha kita, kita masih dibatasi oleh sifat keberdosaan kita dalam mencapai kesempurnaan tersebut. Dan jika Tuhan mengukur dari pencapaian hasil, maka Ia tidak akan mendapati hasilnya.
Mari kita pertimbangkan kisah perjalanan bangsa Israel di padang gurun yang tertuang dalam Ulangan 8:1-5. Musa berkata bahwa perintah yang disampaikannya berdasarkan firman Tuhan tersebut harus dilakukan dengan setia. Kesetiaan didapatkan dari proses yang panjang. Tujuan dari proses padang gurun yang dialami oleh bangsa Israel adalah membentuk kerendahan hati dan motifasi yang benar. Proses tersebut dibungkus dengan kasih Allah, selayaknya seorang Bapa mengajari anaknya.
Tuhan Yesus berkata dengan tegas dalam Matius 5:17 bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya. Itu berarti bahwa hukum Taurat sendiri menjadi dasar pemahaman kita akan pengajaran Tuhan Yesus. Melalui pengajaran-Nya, kita dapat melihat makna dan tujuan hakiki dari hukum Taurat Tuhan.
Dalam ayat 20, Tuhan Yesus memberikan standart dalam pelaksanaan hukum Tuhan dalam kehidupan kita. “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Dari sinilah kesalehan Kristiani berasal, yakni pelaksanaan hukum Tuhan dengan pemahaman yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Artinya bukan sekedar apa yang tersurat, melainkan juga apa yang tersirat di dalam hukum-hukum Tuhan tersebut.
Tuhan memang menuntut kita untuk menjadi sempurna. Kesempurnaan itu harus terus kita upayakan seumur hidup kita, dalam setiap bentuk aktivitas kita yang didasari pada pelaksanaan firman Tuhan. Tuhan ingin kita mengerjakan setiap prosesnya dengan maksimal. Kita harus berusaha sekuat dan sekeras mungkin demi mengejar kesempurnaan tersebut. Ingatlah bahwa Tuhan sangat menghargai proses kita mencapai kesempurnaan. Jadi mari pastikan kita menjalani proses pembentukan yang Tuhan kerjakan dalam hidup kita, dengan benar sesuai dengan standart firman-Nya. 
https://unsplash.com/photos/3zp7mC4yTCw


21 February 2016

MENGHADAPI PENDERITAAN SEBAGAI KONSEKUENSI IMAN (Renungan dari kitab Wahyu 2:8-11)

Saudara, tentu kita semua seringkali mendengar pemberitaan tentang Islamic State (IS) atau mungkin lebih dikenal dengan nama ISIS. Mereka adalah kelompok militan radikal yang ingin mendirikan sebuah negara Islam di wilayah Iraq dan Siria. Demi menjalankan rencana tersebut, mereka menggunakan cara-cara yang kejam dan sadis. Sampai hari ini mereka telah banyak membunuh orang-orang yang berseberangan paham dan kepercayaan dengan mereka. Beberapa waktu yang lalu, para militan ISIS telah menyandera 230 orang Kristen Siria. 230 orang tersebut terdiri dari 51 anak-anak, 84 orang wanita, dan 95 pria (sumber: europe.newsweek.com, 1 Mei 2015, pukul 2:44 PM). Para sandera ini telah ditangkap ISIS sejak bulan Februari lalu. Demi membebaskan mereka penduduk Siria telah mengumpulkan uang untuk menebus mereka. Uang yang telah terkumpul sebesar 1,1 juta dolar Amerika. Sebuah angka yang fantastis. Namun diluar dugaan, kelompok ISIS menolak uang tebusan tersebut. Alasan mereka menolak uang itu karena mereka berharap dengan menyandera 230 orang tersebut, meraka dapat menarik perhatian yang besar dari negara-negara barat. Kondisi saudara-saudara seiman di Siria tersebut tentunya harus terus kita doakan. Mereka berada dalam tekanan yang luar biasa demi mempertahankan iman mereka kepada Tuhan Yesus Kristus.
Bentuk-bentuk tekanan seperti itu sebenarnya kita dapati juga di Indonesia, walaupun tidak seekstrem kondisi di Timur Tengah tersebut. Saudaraku, tentunya kita bertanya-tanya bukan? Kenapa mereka, dan mungkin juga kita, diijinkan Tuhan mengalami penderitaan yang sedemikian berat? Saudaraku, kadangkala penderitaan harus kita alami sebagai konsekuensi ketika kita mempertahankan iman Kristen kita. Lantas, Apa yang Tuhan ingin kita lakukan ketika penderitaan tersebut datang sebagai konsekuensi kita mempertahankan iman Kristen kita?

I.     Tuhan ingin supaya kita tidak takut, karena penderitaan yang kita alami bersifat sementara (ayt. 10a).
Saudaraku, saya rasa rasa takut adalah perasaan yang normal dialami oleh banyak orang saat sedang mengalami ancaman bahaya. Bahkan, kita pun tentu akan merasa takut saat kita berada di posisi yang sama seperti saudara-saudara seiman kita yang ada di Siria dan Iraq tersebut, yang karena mempertahankan iman mereka kepada Kristus, nyawa mereka menjadi taruhannya.
Alkitab menyatakan dalam jemaat Smirna juga mengalami tekanan yang hebat. Wahyu 2:9 menyinggung tentang kondisi yang dihadapi oleh jemaat Smirna tersebut demikian:
“Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu--namun engkau kaya--dan fitnah mereka, yang menyebut dirinya orang Yahudi, tetapi yang sebenarnya tidak demikian: sebaliknya mereka adalah jemaah Iblis.”
Kala itu di Smirna, sekarang ini adalah kota Ishmir – Siria, Yudaisme dianggap sebagai sebuah sekte kuno yang lebih dulu ada. Mereka juga memiliki pengaruh yang kuat sehingga pemerintahan Roma mengijinkan mereka untuk tidak terlibat dalam aktifitas religius Romawi, yang biasanya diharuskan bagi negara jajahannya. Pemerintah Roma tidak terlalu berusaha untuk mengetahui bahwa sebenarnya kekristenan dan Yudaisme memiliki akar yang sama. Hal tersebut menjadikan jemaat Kristen di Smirna terhimpit oleh peraturan Roma. Oleh pemerintahan Romawi, mereka diharuskan terlibat dalam upacara penyembahan dewa-dewa Roma, namun jemaat Kristen ini menolak. Penolakan orang Kristen inilah yang kemudian membuat mereka dianiaya. Saat itu, jika masyarakat mengetahui bahwa seseorang adalah pengikut Kristus, mereka akan ditangkap, dianiaya atau mereka akan dikucilkan dari masyarakat. Para pedagang Kristen kemungkinan diboikot barang dagangannya sehingga tidak ada yang mau membeli barang mereka. Sehingga banyak dari mereka menjadi jatuh miskin.
Merupakan sebuah penghiburan bagi jemaat Smirna bahwa Kristus mengetahui semua penderitaan mereka: Aku tahu kesusahanmu dan kemiskinanmu--namun engkau kaya! Selain menderita aniaya, mereka juga mengalami kemiskinan. Kata Yunani dari kemiskinan yang diugunakan dalam ayat 9 ini berarti sebuah kondisi miskin yang sangat parah. Namun walaupun sangat miskin, mereka kaya akan janji-janji yang Kristus berikan kepada mereka. Mereka dianiaya tidak hanya oleh orang kafir penyembah berhala, tapi juga oleh orang Yahudi. Sedangkan kata kesusahan berarti hidup dalam penganiayaan dan kesulitan yang begitu menghimpit. Penganiayaan menghasilkan kemiskinan karena pekerjaan dan sumber-sumber penghasilan jemaat dirampas. Jadi orang percaya di Smirna mungkin telah mengalami penyitaan harta benda.
Rupanya jemaat Yahudi setempat disebut oleh Tuhan – dalam penglihatan Rasul Yohanes yang diterima rasul Yohanes di pulau Patmos tersebut – sebagai jemaah Iblis. Hal tersebut dapat kita bandingkan dalam pasal 3:9. Setan disebut dalam empat dari tujuh surat: 2:9, 13, 24; 3:9. Dalam sejarah gereja, penganiayaan yang keras justru dilakukan oleh orang-orang beragama.
Kalimat “sapaan” Tuhan Yesus kepada jemaat Smirna di atas bermakna bahwa Tuhan Yesus sepenuhnya menyadari kesusahan dan kemiskinan orang Kristen di sana yang harus bertekun karena nama Kristus.
Kita melihat di ayat 10, Tuhan Yesus menyerukan kepada jemaat Smirna Jangan takut terhadap apa yang harus engkau derita! Sesungguhnya Iblis akan melemparkan beberapa orang dari antaramu ke dalam penjara supaya kamu dicobai dan kamu akan beroleh kesusahan selama sepuluh hari.Rata-rata penafsir Alkitab setuju bahwa arti dari frasa sepuluh hari di bagian ayat ini adalah penganiayaan yang hanya sementara atau jangka waktu yang pendek. Jadi, disini kita melihat bahwa Tuhan ingin supaya kita tidak takut, karena penderitaan yang kita alami hanya akan bersifat sementara.
Saudaraku, tentunya kita semua pasti mengetahui proses kehamilan hingga pada saat persalinan bukan? Ibu-ibu pastilah sangat memahami hal ini. Dalam proses kehamilan, seorang ibu tentunya akan terus berusaha untuk merawat kandungannya selama kurang lebih sembilan bulan, hingga tiba saat untuk melahirkan. Nah, bagian persalinan inilah yang paling menegangkan dan sangat menakutkan karena resikonya yang sangat besar, yaitu kematian. Pada puncak proses persalinan, rasa sakit yang dialami oleh seorang wanita yang melahirkan begitu hebatnya. Kemudian saat sang bayi sudah dilahirkan, pastilah sang ibu akan mengalami kelegaan yang luar biasa. Penderitaan dan rasa sakit ibu tersebut seolah terbayar lunas saat mendengar tangis sang jabang bayi. Dengan rasa sakit yang luar biasa tersebut, kita patut bersyukur kepada Tuhan bukan, bahwa proses persalinan tidak memakan waktu yang sangat lama, hingga satu minggu misalnya…
Saudaraku, mungkin banyak diantara kita masih merasa takut saat membayangkan mengalami penderitaan seperti jemaat di Smirna, ditekan karena iman kepada Kristus. Itu adalah hal yang wajar. Namun kita telah melihat bersama bahwa tekanan dan penderitaan seperti itu hanya bersifat sementara saja. Seperti halnya jemaat Smirna, saat kita diijinkan oleh Tuhan mengalami penderitaan karena mempertahankan iman Kristen kita, kita akan menjadi pribadi yang kaya secara rohani.

II.  Tuhan ingin supaya kita tetap setia sampai mati, karena Dia akan memberikan kepada kita mahkota kehidupan (ayt. 10b).
Saudaraku, akhir-akhir ini kesetiaan adalah sebuah kualitas yang mulai langka. Selain dalam hal pernikahan, lunturnya kesetiaan juga mulai terlihat dalam hal keimanan. Banyak orang Kristen yang meninggalkan iman mereka demi hal-hal duniawi.
Dalam penderitaan mereka, jemaat Smirna didorong untuk “setia sampai mati.” Ketika para penganiaya tubuh mereka dapat merenggut tubuh jasmani, saat itulah jemaat akan menerima “mahkota kehidupan.” Rupanya hingga pada waktu surat tersebut diterima oleh jemaat Smirna, belum ada jemaat yang meninggal. Namun beberapa waktu kemudian, sejarah menuliskan bahwa Polikarpus yang adalah uskup dari gereja Smirna, mati sebagai martir pertama disana, yang tidak diragukan lagi disusul oleh banyak anggota jemaat yang lain.
Kesetiaan yang ditulis dalam bagian ayat 10 ini menggunakan kata πιστος, yang sebenarnya juga bermakna iman. Jadi dalam terjemahan bebas, kalimat setia sampai mati dapat kita pahami sebagai beriman (kepada Kristus) sampai mati. Berdasarkan denah Smirna, para penafsir tidak sulit melihat kaitan antara Mahkota Smirna dengan mahkota yang dijanjikan bagi para pengikut Kristus yang setia. Tetapi Tuhan Yesus berbicara tentang “mahkota kehidupan,” yang membuatnya berbeda dan penuh arti. Istilah “mahkota kehidupan” ini mungkin merupakan suatu idiom, muncul pula pada Yakobus 1:12 dan bisa diterjemahkan sebagai “mahkota, yaitu kepenuhan hidup.” Kata itu melambangkan “sukacita dan kegembiraan kemuliaan dan kekekalan yang paling tinggi.” Jika orang-orang kudus di Smirna membayar kesaksian Kristus dengan hidup mereka, maka mereka akan memperoleh hidup yang tidak bisa binasa dalam kemuliaan kekal.
Tuhan Yesus telah menunjukkan sebuah sikap kesetiaan yang luar biasa, yang harusnya kita teladani bersama. Tuhan Yesus tahu bahwa keberadaan-Nya di dunia adalah demi mewujudkan rencana Bapa-Nya, yakni rencana penebusan manusia dari dosa. Ada sebuah perjalanan yang panjang yang Ia tempuh. Ujung dari perjalananan tersebut juga sudah Ia ketahui, yakni siksaan dan kematian di kayu salib. Namun kita dapat melihat Kesetiaan Tuhan Yesus menjalani panggilan tersebut. Dalam surat Filipi 2:8-9, Rasul Paulus menuliskan demikian: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,” Kesetiaan Tuhan Yesus terhadap keinginan Bapa-Nya inilah yang membuat Bapa meninggikan Dia dan mengaruniakan pada-Nya nama diatas segala nama.
Saudaraku, ada berapa banyak di antara kita yang sudah menikah? Ingkatkah Saudara akan janji pernikahan yang saudara ikrarkan pada waktu itu? Dihadapan Allah dan jemaat, saya.......menerima engkau........menjadi isteriku yang sah dan aku berjanji untuk setia baik dalam suka/duka, sehat/sakit, kaya/miskin sampai kematian memisahkan kita. Bukankah itu adalah sebuah janji setia yang indah, Saudara? Sebuah janji yang jika diwujudnyatakan akan membentuk sebuah keluarga yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan.
Demikian juga halnya dengan kita, Saudara. Kita juga harus setia kepada Tuhan, baik dalam suka atau duka, sehat atau sakit, kaya atau miskin. Ada banyak hal yang dunia tawarkanuntuk membeli iman kita. Apakah itu pangkat, jabatan, status sosial, kekayaan, atau pasangan hidup. Bahkan, dunia mungkin juga akan memaksa kita dengan kekerasan, supaya kiat meninggalkan iman Kristen kita. Akan tetapi Saudaraku, kita harus tetap setia dan berpegang teguh kepada Tuhan Yesus Kristus. Kita harus tetap setia beriman kepada Kristus, dan tidak akan menukarnya dengan apapun juga.
 Saudaraku, kita telah melihat bersama bahwa penganiayaan yang dialami oleh jemaat Smirna bukanlah karena mereka melakukan kesalahan, namun karena mereka bertahan untuk tetap beriman kepada Tuhan Yesus. Tuhan Yesus dalam kitab Matius pernah mengatakan bahwa mengikut Dia bukan membuat kita senang. Mengikut dia artinya menderita bagi dia. Penderitaan sudah pasti tidak bisa kita elakkan. Oleh karena itu, mari kita tetap setia. Karena Yesus tahu dan peduli dengan segala yang kita derita. Ia tidak akan tinggal diam. Bahkan saat ini, Ia sudah menyiapkan sebuah mahkota kehidupan, bagi setiap orang yang mau setia dalam iman kepada-Nya. Mahkota kehidupan adalah kehidupan kekal bersama dengan Tuhan Yesus di Kerajaan Sorga yang permai. Mari, janganlah takut menderita demi iman kita kepada Kristus, melainkan tetaplah setia kepada-Nya.

*tulisan ini adalah tugas kuliah Homiletika 1, yang dibimbing oleh Bapak Dr. Benny Solihin, di Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, Jawa Timur.