Laman

17 November 2018

SEMPURNA SEPERTI BAPA (Matius 5:48)



Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Matius 5:48


Dalam Matius pasal 5 ini, Tuhan Yesus banyak membahas praktik-praktik Taurat. Pengajaran dalam pasal ini secara ketat mengacu kepada Taurat dan kritik terhadap motif
praktiknya yang telah banyak melenceng dari intisari makna hukum itu sendiri. Taurat Tuhan yang sedianya mendewasakan Israel, berubah menjadi alat yang digunakan pemimpin-pemimpin agamanya untuk mengekang umat dalam tradisi-tradisi kesalehan yang kaku dan tanpa makna.
Tradisi di sini dapat dipahami sebagai pola pengulangan dari tindakan, ajaran dan ritual tertentu. Jadi tidak ada makna yang buruk dalam kata tradisi. Ajaran Kristen bukannya tidak memiliki tradisi praktik agamawi. Perjamuan malam terakhir yang dilakukan Yesus dengan murid-murid-Nya, adalah bentuk tradisi orang Yahudi yang didasarkan pada makan Paskah yang dilakukan Israel sesaat sebelum Mesir menerima hukuman tulah kesepuluh pada zaman Musa. Umat Kristen kemudian mlakukannya dalam bentuk yang berkembang dengan pemaknaan yang lebih disucikan – yakni mengenang penebusan manusia dari dosa melalui karya salib, kematian  dan kebangkitan Tuhan Yesus. Tradisi ini kemudian dikenal dengan istilah sakramen Perjamuan Kudus (ekaristi.
Karena saat gereja Kristen dilahirkan, maka ajaran-ajaran kekristenan mulai membentuk sebuah pola tradisi dan hukum-hukum agama, yang kemudian dikenal dengan tradisi kesalehan. Tradisi tersebut kemudian diteruskan dan bahkan mulai dilembagakan oleh generasi umat Tuhan setelah zaman para rasul. Kelahiran gereja sebagai institusi adalah bukti nyatanya. Namun patut disayangkan jika kemudian tradisi-tradisi Kristen tersebut juga mulai kehilangan maknanya saat kekristenan menjelma menjadi agama yang besar. Tradisi yang dibangun oleh para murid Tuhan Yesus tersebut kembali berubah menjadi tradisi yang kaku mengikat umatnya, persis seperti apa yang terjadi pada hukum Taurat kepada umat Israel.
Kembali pada pemaknaan tradisi kesalehan, umat Kristen seharusnya kembali menggunakan pola bagaimana Tuhan Yesus memandang hukum-hukum Tuhan tersebut. Secara garis besar, sedikitnya ada dua cara bagaimana Tuhan Yesus membangun tradisi kesalehan Kristen: (1) Menekankan pemahaman terhadap intisari hukum Tuhan, serta (2) menekankan pada proses yang benar, bukan sekadar hasil.

1.      INTISARI DARI HUKUM TUHAN
Orang Farisi dan ahli Taurat pada zaman Tuhan Yesus menekankan pelaksanaan hukum Tuhan hanya berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab suci Yahudi dan tafsir dari para rabbi. Mereka melakukannya secara literal, apa adanya seperti yang tertulis. Hal inilah yang membuat mereka kehilangan intisari yang jauh lebih penting yang terkandung dalam hukum-hukum Tuhan. Sebut tentang hal persembahan yang pada hakikatnya adalah bentuk kepercayaan total bahwa Tuhan memelihara umat-Nya, berubah menjadi ritual yang memastikan bahwa adas manis, selasih dan jintan pun harus diambil persepuluhannya (band. Matius  23:3, Markus 12:33).
Mari kita ambil contoh perikop tentang kemarahan (Matius 5:21-25). Bukannya sekadar melarang kita untuk marah, melainkan lebih menekankan pada harmonisasi hubungan dengan sesama saudara dan kasih kepada sesama manusia. Juga demikian halnya dengan hal bersumpah (Matius 5:33-37). Larangan bersumpah bukanlah nilai yang sesungguhnya ingin ditekankan dalam hukum Tuhan. Nilai utamanya adalah kejujuran yang seharusnya menjadi karakter kita.
Lebih lagi, ada hal-hal yang tidak tertulis secara spesifik dalam teks Alkitab namun dipercaya sebagai kebenaran. Misalnya mempercayai Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Allah Roh Kudus sebagai tiga hupostasis keallahan dan menyebutnya sebagai Trinitas. Kata Trinitas (Trinity – Ingg.) jelas tidak tertulis dalam Alkitab, namun kita mempercayai konsep tersebut berdasarkan penyelidikan teks-teks Alkitab secara proporsional.

2.      PENTINGNYA PROSES
Saat kita memandang Matius 5:48 dalam sudut pandang hasil, maka hal tersebut tidak akan mungkin terjadi. Seberapapun keras usaha kita, kita masih dibatasi oleh sifat keberdosaan kita dalam mencapai kesempurnaan tersebut. Dan jika Tuhan mengukur dari pencapaian hasil, maka Ia tidak akan mendapati hasilnya.
Mari kita pertimbangkan kisah perjalanan bangsa Israel di padang gurun yang tertuang dalam Ulangan 8:1-5. Musa berkata bahwa perintah yang disampaikannya berdasarkan firman Tuhan tersebut harus dilakukan dengan setia. Kesetiaan didapatkan dari proses yang panjang. Tujuan dari proses padang gurun yang dialami oleh bangsa Israel adalah membentuk kerendahan hati dan motifasi yang benar. Proses tersebut dibungkus dengan kasih Allah, selayaknya seorang Bapa mengajari anaknya.
Tuhan Yesus berkata dengan tegas dalam Matius 5:17 bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya. Itu berarti bahwa hukum Taurat sendiri menjadi dasar pemahaman kita akan pengajaran Tuhan Yesus. Melalui pengajaran-Nya, kita dapat melihat makna dan tujuan hakiki dari hukum Taurat Tuhan.
Dalam ayat 20, Tuhan Yesus memberikan standart dalam pelaksanaan hukum Tuhan dalam kehidupan kita. “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Dari sinilah kesalehan Kristiani berasal, yakni pelaksanaan hukum Tuhan dengan pemahaman yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Artinya bukan sekedar apa yang tersurat, melainkan juga apa yang tersirat di dalam hukum-hukum Tuhan tersebut.
Tuhan memang menuntut kita untuk menjadi sempurna. Kesempurnaan itu harus terus kita upayakan seumur hidup kita, dalam setiap bentuk aktivitas kita yang didasari pada pelaksanaan firman Tuhan. Tuhan ingin kita mengerjakan setiap prosesnya dengan maksimal. Kita harus berusaha sekuat dan sekeras mungkin demi mengejar kesempurnaan tersebut. Ingatlah bahwa Tuhan sangat menghargai proses kita mencapai kesempurnaan. Jadi mari pastikan kita menjalani proses pembentukan yang Tuhan kerjakan dalam hidup kita, dengan benar sesuai dengan standart firman-Nya. 
https://unsplash.com/photos/3zp7mC4yTCw


12 July 2018

SENDIRI: Mandiri dan Bertanggung Jawab (Lukas 4:1-2)

Disadari atau tidak, kita harus menghadapi setiap pergumulan dalam kehidupan kita ini seorang diri. Diri kita sendirilah yang secara langsung akan mengalami baik buruknya konsekuensi dari setiap pilihan kita. Urusan iman kita kepada Tuhan adalah urusan diri kita sendiri. Iman kepada Tuhan tidak dapat dipaksakan untuk dimiliki oleh seseorang, karena pada hakikatnya iman adalah keputusan pribadi seseorang untuk mempercayai Tuhan. lantas bagaimana peranan orang tua dan orang-orang di sekitar kita? Semua orang yang ada di sekitar kita memang memiliki pengaruh dalam pertumbuhan iman kita. Ada yang meberi pengaruh besar dan ada yang berpengaruh kecil. Namun perlu kita semua sadari bahwa pertumbuhan iman kita berasal dari setiap respon dan keputusan diri kita sendiri.

SENDIRI
Para penulis Injil menulis beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa ada masa dimana Tuhan Yesus menjalani proses-Nya seorang diri. Semisal dalam Lukas 4:1-2 menuliskan demikian “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai Iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah waktu itu Ia lapar.” Setelah mengikuti babtisan Yohanes Pembabtis, Tuhan Yesus dibawa Roh Kudus untuk menjalani proses ujian yang sangat berat di padang gurun. Roh Kudus Allah yang mengantar-Nya. Di akhir proses ujian berat tersebut kita ketahui bersama bahwa Yesus dilayani oleh para malaikat. Tetapi di tengah padang gurun itu, saat proses ujian terjadi, Yesus benar-benar seorang diri, melakukan semuanya sendirian, termasuk berhadapan dengan iblis.
Mari kita mundur ke sebuah peristiwa di Perjanjian Lama yang juga dapat memberi kita gambaran yang jelas, bagaimana keputusan kita harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Dalam Daniel pasal 3 diceritakan bahwa Raja Nebukadnezar membuat patung emas dirinya dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk menyembah patung tersebut. Bagi siapapun yang menolak menyembah akan dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Singkat cerita, Hananya, Misael dan Azarya, menolak untuk menyembah patung sang Raja. Mereka membuat sebuah pernyataan yang sangat berani dengan mengatakan “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Daniel 3:16-18)
Kita semua tahu bahwa pada akhirnya mereka mengalami pertolongan Tuhan. Tetapi mari kita kembali pada fase dimana setelah mereka menyatakan menolak menyembah patung Nebukadnezar tersebut, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kemudian diikat dengan erat, tungku api dinyalakan dengan panas yang tujuh kali lipat dari yang biasa, kemudian mereka dicampakkan ke dalamnya. Sampai pada batas itu, mereka tidak melihat ada keajaiban atau mujizat dari Tuhan untuk menolong mereka. Butuh sebuah keberanian yang besar untuk mengambil keputusan yang menyangkut sebuah konsekuensi yang besar. Dan itulah yang mereka alami.
Menyadari bahwa kita harus mempertanggungjawabkan secara pribadi setiap pilihan dan tindakan kita adalah sebuah sikap yang penting. Tanpa kesadaran tersebut, kita akan memiliki frame berpikir yang salah tentang realitas kehidupan. Lebih parahnya lagi, kedewasaan kita tidak akan terbentuk. Satu ciri menonjol dari sebuah kedewasaan adalah sifat kemandirian.
Mandiri artinya berada dalam keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Fase ketergantungan dalam proses pertumbuhan adalah fase kanak-kanak.  Kita menganggap sebagai hal yang wajar saat anak-anak tergantung pada orang tua mereka. Saat masih dalam fase bayi atau balita, kita tidak dapat menuntut banyak kepada anak-anak kita untuk dapat, misalnya, makan sendiri. Mereka masih butuh disuapi makanan karena ketidakmampuan mereka secara fisik.
Namun hal tersebut tidak lagi berlaku bagi anak-anak kita yang sudak berusia enam tahun keatas. Mereka harus mulai belajar mengurus kebutuhan mereka sendiri. Mengambil makan sendiri, makan tanpa disuapi, mandi sendiri, mempersiapkan seragam sekolah sendiri, dll. Bahkan untuk anak yang lebih besar, kita sebagai orang tua sering menuntut mereka untuk mulai terlibat dalam mengurus rumah dan mengambil tanggung jawab yag lebih besar. Mereka harus mampu menghadapi pergumulan hidup mereka sendiri, secara mandiri. Walaupun adakalanya mereka masih membutuhkan pertolongan orang tua, namun pada intinya mereka akan menghadapi kenyataan bahwa mereka harus menghadapi dan menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.

DALAM PENYERTAAN DAN PENJAGAAN TUHAN
Matius 14:22-23 mencatat dalam peristiwa yang lain demikian “Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.” Kita sering mendapati kisah dimana Tuhan Yesus memisahkan diri dari keramaian dan mengambil waktu sendiri. Kesendirian-Nya ini selalu dilakukan dengan tujuan yan jelas, yakni untuk bersekutu dengan Bapa-Nya, dalam doa. Namun setelah Tuhan Yesus menyelesaikan doa-Nya, apakah problematika pelayanan-Nya menjadi lebih mudah? Setelah doa di taman Getsemani, apakah kemudian penyaliban dibatalkan? Tentu tidak, bukan? Itulah kenyataan hidup dan tanggung jawab yang memang harus Yesus pikul. Problematikan kehidupan tidak akan menjadi lebih mudah setelah kita berdoa. Hal tersebut juga berlaku bagi semua orang tanpa kecuali, bahkan bagi pelayan Tuhan sekalipun.
Namun jika kita perhatikan semua tokoh dalam Alkitab yag menyerahkan kehidupan mereka kepada Tuhan, termasuk Tuhan Yesus Kristus yang berserah kepada Bapa, mereka justru terlihat semakin teguh dan kuat menjalani kehidupan, sekalipun harus menghadapi akhir kisah yang berat. Persekutuan para murid Yesus semakin intens dengan Tuhan, dan mereka menghadapi tekanan berat karena iman dan berujung martir. Mereka menyadari hal itu dan tetap berani menghadapinya. Mengapa demikian? Karena mereka tahu tujuan akhir dari semua itu dan melihat serta merasakan penyertaan Tuhan di dalamnya. 
Selama kita hidup di dunia ini, kita harus mandiri dan menghadapi semua pergumulan hidup itu sendiri. Mungkin akan ada banyak orang di sekitar kita yang datang menolong, tapi hal itu tidak akan selalu terjadi. Di akhir dari semuanya itu, hanya ada kita seorang diri berhadapan dengan permasalahan dan pergumulan hidup. Hadapi fakta ini dan berjuanglah. Ingatlah bahwa ditengah segala hal yang terjadi, seberat apapun itu, ada Tuhan yang mengawasi dan menjaga kita. Ia tidak akan membiarkan kita menghadapi permasalahan yang tidak dapat kita tanggung. Ia menggunakan semua bentuk pergumulan kita untuk mendewasakan kita. Hingga pada akhirnya, ia akan memberikan kelegaan yang sempurna di hadirat-Nya. 

17 February 2018

BERGEREJA ITU PENTING (Kisah Para Rasul 2:42-47)


There is nothing more unchristian than a solitary Christian.” (John Wesley)

Bagi banyak orang dan bahkan termasuk banyak umat Kristen sendiri, pengertian tentang gereja sering kali dipahami secara sempit. Gereja sering kali hanya dimaknai sebagai gedung atau tempat di mana umat Kristen melakukan ibadah di hari Minggu.
Dalam Alkitab Terjemahan Baru 1974 dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), kita tidak akan menemukan kata “gereja” di dalamnya. Namun jika kita menggunakan terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari dari LAI atau Versi Mudah Dibaca dari lembaga penterjemahan Alkitab World Bible Translation Center, kita baru akan menemukan kata gereja. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Inggris, kata “church” telah digunakan lebih lama. Lantas, apa makna kata gereja (church – Ingg.) ini?
Dalam bahasa asli Perjanjian Baru, yakni bahasa Yunani, terdapat kata ekklesia, yang kemudian diterjemahkan dengan kata church atau gereja. Kata ekklesia berarti orang-orang dipanggil keluar. Dalam perspektif kekristenan, kata ini memiliki makna umat yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang Tuhan. Kata ini sejajar dengan kata Yunani sunagoge, yang kemudian dalam perkembangannya mengalami pembedaan konteks. Pada dasarnya, kedua kata tersebut bermakna sama, yakni “jemaat.” Bedanya, kata sunagoge mengacu pada jemaat Israel/Yahudi, sedangkan ekklesia mengacu pada jemaat Kristus/Kristen. Dalam kedua kata tersebut – ekklesia dan sunagoge – terkandung kekayaan makna yang sama, yakni kumpulan jemaat/umat yang berkumpul menjadi sebuah kesatuan atau keluarga. Jadi kata gereja sebenarnya lebih berarti kumpulannya, daripada tempat berkumpulnya. Lebih diartikan sebagai komunitasnya daripada gedungnya.
Tabib Lukas mencatat proses lahirnya ekklesia (komunitas jemaat Kristus) ini dalam kitab Kisah Para Rasul 2:42-47. Dalam ayat 42 dikatakan demikian “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Tabib Lukas menunjukkan empat buah komitmen yang dipegang oleh jemat mula-mula sebagai dasar dalam membangun komunitas ekklesia tersebut.

LEARNING – “Pengajaran”
Didache: pengajaran para rasul tentang injil, yakni kisah tentang Kristus: Kelahiran – kematian – kebangkitan-Nya. Ingatlah bahwa kala itu belum ada kitab Perjanjian Baru seperti yang kita miliki sekarang. Pengajaran para rasul berasal dari pengalaman mereka saat hidup bersama-sama dengan Kristus: apa yang Kristus sabdakan (orthodoksis) dan praktikkan (orthopraksis). Itulah yang diajarkan – diceritakan kembali – kepada jemaat mula-mula. Prinsip utamanya adalah untuk meniru kehidupan Kristus semirip mungkin.
Dalam KPR 11:26 kemudian kita ketahui bahwa pola hidup yang dipraktikkan oleh jemaat mula-mula itu melahirkan sebuah istilah olok-olok yang akhirnya menjadi nama agama kita saat ini: Kristen. Menariknya, menurut kamus The Complete Word Study Dictionary edisi revisi terbitan AMG International tahun 1993, dalam konteks kebahasaan, kata Kristen (christianos – Yun) memiliki padanan makna/bersinonim dengan kata mathētḗs (murid), pistós (orang yang setia), adelphós (saudara), dan hágios (orang kudus).

SHARING – “Persekutuan”
Koinonia: dalam bahasa Inggris seringkali diterjemahkan sebagai fellowship. Terjemahan CEV memaknainya dengan hidup seperti layaknya saudara/keluarga satu dengan yang lain. Ada istilah bahasa Indonesia yang mengungkapkannya dengan rasa senasib sepenanggungan. Konotasi umum kata ini juga memuat unsur komunikasi di dalamnya. Hal tersebut menunjukkan kesan bahwa dalam persekutuan atau hubungan keluarga, komunikasi merupakan sebuah unsur yang tak terpisahkan dari dalamnya. Ada anggapan bahwa persekutuan ini adalah mujizat yang sesungguhnya dari peristiwa Pentakosta, dimana orang dari berbagai bangsa dapat berkumput dan bersekutu hingga menjadi sebuah kesatuan keluarga besar.

Being TOGETHER – “Memecah roti”
Frasa “memecahkan roti” seringkali mengacu pada perjamuan terakhir sebelum Tuhan Yesus disalibkan – memang secara harfiah dimaknai sebagai acara makan bersama oleh Jemaat Perdana. Dalam pemahaman orang Yahudi, meja makan akan menjadi sebuah mezbah suci karena di sana dipanjatkan doa berkat, dan acara makan menjadi sebuah aktivitas yang kudus. Tapi marilah kita lebih memperhatikan Injil Lukas. Kita akan mendapati bahwa perjamuan atau acara makan yang melibatkan Tuhan Yesus di dalamnya selalu menjadi kesempatan untuk membangun kedekatan dalam persekutuan, menerima wahyu kebenaran firman Tuhan dalam bentuk pengajaran dan diskusi, dan bahkan melahirkan pertentangan – saat dimana Yesus menerima orang berdosa untuk makan bersama-Nya (Luke 15:2). Dalam meja perjamuan makan Tuhan Yesus, kita semua akan mendapati penerimaan yang tulus hingga proses pendewasaan oleh kebenaran Tuhan.

 WORSHIPING – “Berdoa”
Proseuche: terjemahan literalnya adalah doa. Dalam KPR 2:42, kata doa ini berbentuk jamak/plural, sehingga pengertian yang dibangun adalah bahwa jemaat para Rasul menaikkan banyak doa atau memberi porsi yang besar terhadap aktivitas doa ini. Doa dipandang sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan. Ada beberapa pola doa yang umum diterapkan oleh jemaat Kristen mula-mula, kala itu. Beberapa pola doa tersebut adalah Doa Yahudi Shema yang biasanya dilakukan tiga kali sehari, kemudian ada juga siklus doa yang diambil dari kitab Mazmur, dan kemudian juga doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus

 Berdasarkan pola tersebut kita dapat jelas melihat bahwa doa-doa yang digunakan dalam aktivitas jemaat perdana tersebut agak berbeda dari pemahaman tentang doa di masa sekarang ini, yang biasanya adalah menaikkan “permintaan-permintaan” kita kepada Tuhan. Doa kala itu juga dipahami sebagai persembahan pujian dan sebagai bentuk penyembahan mereka.

Kata kunci yang sangat penting yang menyatukan paket komitmen jemaat Kristen perdana, yang terdapat dalam KPR 2:42, adalah kata “bertekun.” Kata ini memiliki arti bertahan, berpegang teguh, melekat dan terus mendekat dengan seseorang atau sesuatu. Ketekunan tentu saja bukanlah kualitas yang dihasilkan dalam jangka waktu yang pendek, melainkan panjang. Gereja perdana memegang komitmen mereka secara tekun, konsisten dan setia. Itulah kualitas yang kemudian membuahkan kualitas-kualitas yang luar biasa, yakni rasa persatuan, rasa kekeluargaan, rasa saling peduli, serta karakter yang dewasa yang dimiliki oleh jemaat. Dan buah dari kualitas-kualitas tersebut adalah pertumbuhan jumlah yang sangat signifikan setiap harinya (KPR 2:47).

Dalam konteks gereja modern, komitmen-komitmen Jemaat Perdana tersebut hendaknya tetap dipegang teguh. Lebih jauh lagi, mari kita pandang hal tersebut sebagai indikator kemurnian gereja. Artinya, kita harus memastikan bahwa nilai-nilai komitmen tersebut terjadi secara nyata dalam komunitas gereja kita. Dan sebaliknya, jika nilai-nilai tersebut tidak terlihat secara nyata, kita harus berani mengakui bahwa komunitas gereja kita sedang bermasalah. 

Marilah kita bangun sebuah komunitas gereja yang sehat: ada pengajaran/didikan yang murni di dalamnya, ada persekutuan yang indah selayaknya keluarga, ada penerimaan yang tulus, serta ada doa penyembahan di dalamnya. Kita harus terus berjuang bersama-sama untuk menjadi pribadi yang dewasa, komunitas yang dewasa, yang kemudian menjadi berkat untuk sesama.

IBLIS: SIAPA SESUNGGUHNYA SANG PENCOBA? (Matius 4:1-11; Markus 1:12-13; Lukas 4:1-13)


Kisah pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun merupakan salah satu kisah yang sangat terkenal dari Alkitab. Banyak erenungan yang dapat kita ambil dari kisah tersebut. Dalam perenungan kali ini, kita akan melihat siapa sebenarnya Sang Pencoba, yang ternyata sering kali datang kepada Tuhan hingga saat ini.
Kisah pencobaan tersebut dimulai saat Tuhan Yesus selesai dibabtis oleh Nabi Yohanes Pembabtis. Setelah keluar dari air dan Roh Kudus yang nampak seperti burung merpati turun atas-Nya, Tuhan Yesus dipimpin oleh Roh Kudus ke padang gurun untuk dicobai oleh iblis. Perhatikanlah bahwa Roh Kudus Allah-lah yang membawa Tuhan Yesus ke padang gurun. Penulis Injil Markus bahkan mengungkapkan kata “dibawa” dengan nuansa yang kasar, yang berarti dibuang atau dilemparkan. Hal ini menunjukkan bahwa proses yang sedang dihadapi Tuhan Yesus kala itu adalah sebuah proses yang berat.
Dalam Injil Matius dan Lukas dituliskan bahwa Roh Kudus sepertinya sengaja membawa Tuhan Yesus untuk dicobai. Hal tersebut menegaskan bahwa posisi Tuhan Yesus adalah sama seperti manusia pada umumnya. Ia tetap harus menghadapi segala bentuk cobaan dan ujian terhadap iman-Nya kepada Bapa.
Sekarang marilah kita sedikit memahami tentang kata “dicobai.” Kata “Dicobai” berasal dari kata Yunani “Peirazo” diterjemahkan dalam dua kata dalam bahasa Inggris: (1) Temp - tujuannya agar melakukan kejahatan/kesalahan/dosa. Dalam konteks inilah kemudian penterjemah Alkitab kita menterjemahkannya dengan kata dicoba atau pencobaan. Kata dicobai selalu membawa konotasi negative di dalamnya, karena memang pada kenyataannya tidak ada seseorang yang dicobai untuk berbuat baik. Kemudian (2) Test - bertujuan untuk mengungkapkan atau memunculkan kebenaran dan hal yang murni agar terungkap. Dalam konteks ini kita memahami bahwa Abraham sedang diuji oleh Tuhan dan bukannya dicobai. Tujuan Tuhan adalah untuk mengungkap apa yang ada dalam hati terdalam Abraham terhadap Tuhan. Demikian juga dengan bangsa Israel selama pengembaraan mereka di padang gurun. Mereka menghadapi ujian untuk mengungkapkan siapa mereka yang sebenarnya dari hati yang terdalam. Dan di akhir kisah pengembaraan tersebut, kita melihat bahwa kecenderungan bangsa Israel adalah melakukan kejahatan. Ada satu kata lain yang seringkali juga diterjemahkan dengan kata dicobai, yaitu kata “Dokime,” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “Trial.” Kata ini mengandung makna persidangan, pembuktian dengan fakta, menunjukkan kemurnian.

Mari sekarang kita perhatikan salah satu tokoh sentral dalam kisah ini, yakni si Iblis. Setan (bahasa Caldea - red) atau iblis ini sebenarnya adalah sebuah gelar dari sang tokoh yang mencobai Tuhan Yesus. Gelar tersebut berarti penuduh, jahat, pemfitnah, pembohong. Jadi gelar tersebut menunjukkan sifat-sifat dari si iblis itu sendiri. Berhubung kata iblis atau setan ini adalah bentukan kata sifat, maka sebenarnya kata tersebut dapat berlaku bagi siapa sebagai person-nya, termasuk kita. Inilah yang sebenarnya harus menjadi perenungan kita semua.

Sebelum lebih jauh lagi, mari kita perhatikan tiga peristiwa pencobaan yang dialami Tuhan Yesus kala itu. Tujuan si iblis mencobai Yesus adalah agar muncul keraguan terhadap Bapa-Nya. Dalam kondisi Yesus yang sedang sangat lapar karena berpuasa selama 40 hari, si setan mencoba-Nya dengan pencobaan pertama, mengubah batu menjadi roti. Perhatikan kalimat “Jika Engkau Anak Allah” yang dilontarkan oleh iblis. Kalimat tersebut seakan meminta pembuktian bahwa Yesus adalah benar anak Allah. Seolah ada pertanyaan seperti “Apakah benar Bapa menganggapmu sebagai anak-Nya? Lantas kenapa Dia membiarkan kamu dalam situasi seperti ini – kelaparan, sendirian, tersiksa?” Iblis ingin Tuhan Yesus meragukan pemeliharaan Tuhan secara fisik dengan memunculkan pikiran “Daripada mati kelaparan, kamu dapat mengubah batu ini jadi roti, bukan? Kan kamu memiliki kuasa yang besar jika memang benar kamu adalah Sang Anak Allah.”
Dalam pencobaan kedua, nada yang sama digunakan oleh si iblis untuk menyerang Tuhan Yesus. Iblis mungkin berpikir dengan meminta Yesus untuk menjatuhkan diri dari atap Bait Suci, dengan kemudian menambahkannya dengan pernyataan firman Tuhan dari Mazmur 91, akan dapat menggoncangkan iman Yesus. Iblis ingin memunculkan pikiran meragukan jaminan penyertaan dan perlindungan Bapa, dalam pikiran Yesus. Iblis seolah bertanya “Benarkah Tuhan akan menjaga nyawamu saat kamu dalam bahaya?” Dan dalam pencobaan ketiga, iblis seolah membawa Yesus untuk berpikir dan meragukan otoritas dari panggilan-nya sebagai Juru Selamat, Mesias bagi umat manusia. Iblis seolah bertanya “Menjadi Mesias artinya menjadi Raja yang berkuasa atas seluruh dunia, bukan? Apakah Tuhan akan memberikan kekuasaan sebesar itu?
Inti dari semua pencobaan Iblis adalah mengguncang Yesus dengan tantangan-tantangan untuk menunjukkan otoritas-Nya sebagai Anak Allah yang diurapi, Sang Mesias yang dijanjikan kepada umat manusia. Namun jika kemudian Tuhan Yesus menuruti tantangan-tantangan tersebut, maka Tuhan Yesus telah gagal memenuhi rancangan Bapa-Nya. Tuhan Yesus telah melencengdari rancangan Bapa yang hakiki mengenai kehadiran-Nya di dunia ini. Dan kegagalan tersebut akan membuat Tuhan Yesus tidak layak lagi menyandang predikat sebagai Anak Allah, Sang Mesias itu.
Sekarang, mari kita melihat jawaban Tuhan Yesus atas pertanyaan-pertanyaan setan. Pada pencobaan pertama, Tuhan Yesus menjawab “Manusia tidak hidup dari roti SAJA, tapi dari firman yang keluar dari mulut Allah.” Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa hidup ini bukan melulu masalah fisik dan pemenuhan keinginan jasmaniah saja, tapi juga harus memperhatikan kehidupan jiwani/rohani. Kenyataannya, jika fokus kita hanya kepada pemenuhan keinginan-keinginan tubuh, maka kita tidak akan ada bedanya dengan binatang. Kesadaran inilah yang harus kita miliki, dan mulai lebih memperhatikan kehidupan rohani kita.
Pada pencobaan kedua, Tuhan Yesus menjawab “Jangan cobai Tuhan Allahmu.” Penobaan ini masih berhubungan erat dengan pencobaan pertama. Kita harus ingat dan benar-benar menekankan pada diri kita bahwa Tuhan bukanlah pelayan kita, yang harus selalu memenuhi semua keinginan kita. Kitalah yang harus tunduk pada perintah-Nya. Mencobai Tuhan seringkali ditunjukkan dengan sikap seperti seorang anak-anak yang selalu meminta keinginannya selalu dipenuhi. Hal ini mengingatkan kita tentang arti kedewasaan rohani. Seseorang yang dewasa secara rohani, akan menundukkan dirinya kepada Tuhan dan bukannya menuntut Tuhan “tunduk” pada keinginannya.
Dalam pencobaan ketiga, Tuhan Yesus terlihat mulai jengah akan keberadaan setan ini. Di sisi lain, setan terlihat berganti taktik karena menyinggung posisi Yesus sebagai Anak Allah ternyata tidak berhasil. Kali ini Setan menunjukkan “takdir yang seharusnya” diperoleh Yesus sebagai seorang Mesias, yakni berkuasa sebagai raja atas dunia. “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” Yesus memiliki kesadaran penuh bahwa Ia adalah Sang Mesias. Namun kemesiasan-Nya bukanlah Mesias yang seperti dibayangkan akan berkuasa sebagai raja. Kemesiasan-Nya adalah yang tetap tunduk kepada rencana Bapa-Nya: Penebusan dosa umat manusia.
Sifat-sifat setan seperti yang telah kita lihat di atas, sebenarnya dapat juga ada dalam hidup kita. Bukankah tidak jarang kita bersikap seperti anak-anak kepada Tuhan? kita sering kali menuntut Tuhan untuk selalu memenuhi semua keinginan kita. Saat keinginan kita tidak dipenuhi, kita mulai menuduh dan menyalahkan Tuhan. Ingatlah bahwa Tuhan bukanlah budak kita. Kita tidak hidup untuk memenuhi keinginan diri kita sendiri. Tuhan menciptakan kita untuk memenuhi tujuan dan rencana-Nya. Itulah bentuk pribadi yang telah dewasa secara rohani.

Marilah kita berjuang untuk menjadi pribadi rohani yang dewasa. Sadarlah bahwa kita hidup untuk menjalankan rancangan Allah bagi kita. Saat kita memaksakan keinginan dan rancangan kita kepada Allah, pada hakikatnya kita telah berdosa dan telah berubah menjadi iblis itu sendiri. Perjuangkan pendewasaan ini adalah sebuah proses yang berat. Oleh karena itu gantungkanlah hidup kita sebenuhnya pada kasih karunia Tuhan dan kebenaran firman-Nya.