Masih banyak orang Kristen yang memandang aktivitas beribadah “terpisah”
dari aktivitas hidup yang lain. Dalam pandangan mereka, gereja dan segala
bentuk kegiatan rohani lainnya adalah ruang yang sakral sedangkan lingkup
diluar hal tersebut kurang sakral. Dalam satu sisi, pandangan tersebut memang
tidak sepenuhnya salah. Namun jika diperhatikan dengan saksama, maka akan
nampak kekurangannya.
Iman Kristen harus dipahami secara utuh. Jika hanya dipahami secara
setengah-setengah, maka akan membawa kepada kesesatan. Istilah kesesatan disini
janganlah hanya dipahami dalam konteks pengajaran agama, semisal diasumsikan
dengan aliran/ajaran sesat seperti Saksi Yehova, Mormonisme, dll. Dalam kasus
yang paling sederhana, mengambil atau melakukan sebuah prinsip yang terlihat
berasal dari Alkitab – padahal hanya separuh kebenaran saja – adalah satu bentuk
kesesatan. Untuk itulah diperlukan sebuah pemahaman yang utuh dan lengkap
terhadap iman Kristiani, yang tentunya hal itu bersumber dari penafsiran
Alkitab yang disiplin.
Lantas, apa yang seringkali menghambat kita, umat Kristen, untuk
memperoleh pemahaman yang menyeluruh terhadap firman Tuhan dalam Alkitab? Apa
pula yang harusnya kita upayakan untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh
tersebut?
Ø
Cherry-picking dan
Proof-texting
Saat ini kita akan sedikit membahas satu kesalahan yang hingga saat ini masih
sering kali dan mungkin yang paling umum terjadi di kalangan orang Kristen
(khususnya, sejauh pengamatan saya, di aliran Pentakosta dan Kharismatik),
berkenaan dengan cara memahami Alkitab. Kesalahan tersebut adalah kebiasaan MEMBACA
dan lantas MENGAMINI SEBUAH AYAT ALKITAB.
Kesalahan ini disebut cherry-picking, dan dalam istilah hermeneutik
dikenal juga sebuah istilah yang lebih terkesan teknis yakni proof-texting.
Cherry picking adalah kesalahan logika dimana seseorang
membangun argument atau pemahamannya hanya berdasar atas pendapat atau data
yang menyokong apa yang diklaimnya saja, tanpa mempertimbangkan keseluruhan
data (konteks), yang sebenarnya sebagian data yang diambil tersebut justru kadang
melemahkan atau bahkan membantah klaimnya sendiri; biasa disebut cocokmologi. Pengertian proof-texting
adalah kesalahan metodologis
dimana seseorang mengambil bagian kecil dari Alkitab, seringkali hanya sebuah
ayat, kemudian digunakan untuk mendukung sebuah pemikiran atau membangun sebuah
doktrin tanpa mempedulikan konteks sastranya. Dengan ungkapan yang sederhana, cherry-picking dan proof-texting adalah kebiasaan pilih-pilih ayat Alkitab.
Cherry-picking dan proof-texting akan menghasilkan
sebuah pengajaran kekristenan yang salah serta lemah. Prinsip-prinsip
pengajaran yang dibangun dengan pola tersebut kemungkinan besar tidak konsisten
bahkan seringkali kontradiktif. Membangun fondasi kehidupan dengan dasar
pengajaran yang didapat dengan pola tersebut seperti membangun rumah di atas
pasir. Jika ingin membangun iman Kristen yang kuat, lakukan di atas batu
karang. Membangun di atas batu karang berbicara tentang memahami firman Tuhan
secara benar dan mendasar sehingga membuat kita mampu merumuskan tindakan nyata
dari prinsip kebenaran firman Tuhan tersebut.
Lebih buruk lagi, kebiasaan pilih-pilih
ayat tersebut seringkali juga dilakukan secara setengah-setengah. Maksudnya
seperti ini: Ayat-ayat yang memiliki isi yang menyenangkan, menenangkan,
menguatkan, memotifasi serta “memberkati” seringkali menjadi ayat-ayat favorit
banyak umat Kristen. Jarang kita dapati seseorang yang menggunakan ayat-ayat
yang berisi teguran dan kritikan sebagai ayat
nats atau ayat emas favoritnya.
Ø
Gereja
(juga) merupakan lembaga pendidikan
Gereja seharusnya tidak lagi dipandang hanya sebagai tempat suci atau
tempat ibadah dalam kehidupan umat Kristen. Gereja seharusnya juga menjadi
wadah umat Kristen untuk belajar dan mendulang pemahaman yang benar terhadap
firman Tuhan, serta relefansinya dalam kehidupan sehari-hari. Memahami prinsip
firman Tuhan dengan benar serta mengerjakan prinsip kebenaran tersebut dalam
kehidupan sehari-hari – dengan segala keterbatasan kemampuan – akan membawa
kita, umat Kristen, mengenal Tuhan dengan benar.
Dalam konteks membangun dasar-dasar iman, gereja harusnya menghindarkan
jemaat dari kebiasaan cherry-picking
atau proof-texting tersebut di atas. Teknisnya,
Gereja harus mulai membiasakan jemaat untuk menggunakan cara pembacaan Alkitab
yang lebih menyeluruh; tidak lagi membaca satu ayat saja, melainkan membaca paling
tidak satu paragraf utuh atau satu perikop. Akan lebih baik lagi jika kebiasan
membaca tuntas Alkitab digalakkan di kalangan jemaat gereja. Membaca Alkitab
hingga tuntas (mulai dari kitab Kejadian hingga Wahyu) akan memberi kita sekilas
gambaran besar mengenai alur penulisan Alkitab.
Selain Alkitab, gereja seharusnya juga harus mampu mengedukasi anggota
jemaat untuk membaca buku-buku atau sumber-sumber bacaan yang lain. Hal
tersebut penting sekali untuk memperluas cakrawala berpikir anggota gereja.
Ø
Dengarkan
saja, maka imanmu akan bertumbuh. Oh
really? Come on….!!
Dalam sebuah ibadah formal hari minggu, mimbar gereja memang merupakan
sebuah mimbar monolog. Melalui mimbar tersebut seorang pendeta atau hamba Tuhan
menyampaikan renungan dari sebuah bagian dari Alkitab. Kita tentu saja tidak
akan mendapati adanya dialog yang terjadi antara jemaat dengan sang pengkhotbah
dalam kesempatan tersebut. Hal itu adalah semacam aturan tidak tertulis yang
umum berlaku dalam sebuah ibadah. Namun apakah mimbar gereja hanya diisi oleh
kegiatan ibadah semacam itu saja?
Gereja harus menyediakan ruang untuk pendalaman pemahaman akan firman
Tuhan bagi jemaat. Kata Ruang yang
saya maksudkan disini lebih mengarah pada waktu atau kesempatan. Yang harus
ditentukan oleh para gembala jemaat atau majelis gereja adalah kapan
pelaksanaanya. Itu hanyalah masalah teknis dari jadwal kegiatan gereja.
Permasalah yang lebih mendesak sebenarnya adalah ada atau tidaknya kesempatan
tersebut, bukan?
Saat kita mendengarkan khotbah yang disampaikan pada waktu ibadah umum,
tidak jarang muncul tanggapan di dalam pikiran kita. Tanggapan tersebut dapat
berupa pertanyaan atau bahkan pendapat atau pemahaman yang tidak jarang justru berseberangan
dengan apa yang telah dikatakan oleh sang pengkhotbah.
Tanggapan tersebut muncul karena kita mungkin saja telah menerima sebuah
informasi yang berhubungan dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang
pengkhotbah. Bisa saja kita pernah membaca sebuah buku atau artikel tertentu,
mendengarkan khotbah dari internet, atau teringat percakapan dengan seorang
teman, atau mungkin saja kita pernah mengalami “serangan” terhadap iman kita
dari orang yang beragama lain dan kita tidak dapat menjawabnya.
Tanggapan-tanggapan yang ada dalam pikiran kita tersebut, saya yakin, membutuhkan
jawaban atau tanggapan balik.
Jadi, memang mendengarkan khotbah saja tidaklah dapat membuat iman
seseorang bertumbuh. Lantas kenapa ada ayat Alkitab yang berkata bahwa “iman
timbul dari pendengaran akan firman Kristus?” (Roma 10:17) Apakah artinya ayat
tersebut salah?
Ada minimal dua ayat yang menurut saya menarik untuk diperhatikan,
berkenaan dengan pertumbuhan iman yang didasarkan pada pengajaran firman Tuhan.
Ayat yang pertama sebenarnya secara tidak langsung telah saya kutip di atas,
yakni Matius 7:24-27. Dalam bagian tersebut, Tuhan Yesus memberikan penakanan
bahwa saat seseorang “mendengarkan” firman Tuhan dan melakukannya, maka ia akan
memiliki iman yang kuat untuk menghadapi gempuran pengaruh dunia serta dapat
bertahan dalam pergumulan hidupnya. Rasul Paulus menulis dalam surat Roma 10:17
bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”
Kedua bagian kutipan ayat Alkitab tersebut memuat sebuah kata yang sama,
yakni mendengarkan. Bahasa Inggris
membedakan kata hear dan kata listen, yang dalam Bahasa Indonesia
sama-sama diterjemahkan dengan dengar
atau mendengarkan. Kata hear bermakna
sekadar mendengar sebuah suara, namun kata listen memiliki makna memperhatikan
dengan saksama. Kata “mendengarkan” dalam bahasa Yunani yang digunakan penulis
kitab, dalam hal ini adalah Rasul Matius dan Rasul Paulus, adalah kata dasar
yang sama yang dibaca akoe.
Kata akoe ini hanya akan
menunjukkan perbedaan makna saat dimasukkan ke dalam konteks kalimatnya. Dalam
hal ini, kata akoe memiliki makna
memperhatikan karena perkataan tersebut merupakan paket pengajaran yang
diberikan oleh seorang pengajar firman.
Tuhan Yesus dan Rasul Paulus sudah sangat terbiasa dengan kalimat
tersebut. Secara meyakinkan, mereka pastilah mendasari pemahamannya dengan ayat
yang berasal dari kitab Keluaran 15:26 “Jika
kamu sungguh-sungguh mendengarkan
(listen – KJV) suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya,
dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala
ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang
telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan
engkau.” Masyarakat Yahudi sangatlah mengenal bagian ini. Bagi mereka,
firman Tuhan sangatlah sakral dan mereka harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh
ketika firman Tuhan tersebut diajarkan.
Tidak sekedar didengarkan, firman Tuhan haruslah dipahami. Ukuran dari
paham atau tidaknya kita terhadap prinsip kebenaran firman Tuhan adalah saat
kita mampu merumuskan tindakan nyata untuk kita kerjakan dalam kehidupan kita
sehari-hari, berdasarkan prinsip kebenaran dari bagian firman Tuhan yang kita
renungkan tersebut. Di sisi yang lain, seorang hamba Tuhan harus dapat
memberikan pengertian yang mendasar kepada jemaat dari bagian firman Tuhan yang
dia bawakan dalam khotbahnya.
Ø
Gereja
adalah kelas belajar seumur hidup
Mari kita sejenak mengingat proses pendidikan kita saat berada, misalnya,
di sekolah dasar. Di kelas 1 sekolah dasar, kita diajar untuk menghafalkan
perkalian 1 x 1 hingga 10 x 10. Adakah diantara kita yang mampu menghafalkan
sekian banyak perkalian tersebut hanya dalam satu kali pertemuan pelajaran
matematika? Mustahil, bukan? Mari kita bayangkan ada berapa banyak persoalan
kehidupan yang kita hadapi. Apakah mungkin semua permasalah tersebut dapat
terjawab dengan satu atau dua kali pergi beribadah ke gereja? Jawabannya akan
sama, yakni mustahil.
Gereja harusnya menjadi tempat untuk kita menimba pemahaman mengenai prinsip-prinsip
kebenaran Tuhan. Seperti halnya ruang kelas, pola pembelajaran di gereja
haruslah dinamis dan holistik, artinya prinsip kebenaran yang dipelajari dapat
menjangkau dan diterapkan di semua sudut kehidupan kita.
Jika kita hanya mengandalkan pertemuan ibadah sekali seminggu pada waktu
ibadah umum saja, sejauh mana prinsip kebenaran yang akan kita pahami? Tentunya
akan sangat dangkal bukan? Belum lagi jika kita tidak memiliki semangat untuk
belajar, dan disaat yang sama ada begitu banyak permasalahan kehidupan yang
tidak mungkin kita abaikan begitu saja.
Pertemuan-pertemuan ibadah dalam komunitas gereja seharusnya mengusung
pemahaman mengenai pendidikan warga gereja ini dengan lebih serius. Pertemuan
ibadah selain ibadah umum minggu seharusnya dapat menjadi wadah yang
mengasyikkan bagi jemaat untuk berkumpul dan menggali kebenaran firman Tuhan.
Ø
Siapa
yang bertanggung jawab? Seluruh warga gereja.
Seorang Kristen yang dewasa dan bertanggung jawab terhadap iman
Kristennya, akan berusaha dengan keras untuk bertumbuh dengan baik. Ada dua
aspek kehidupan orang Kristen: aspek pribadi dan komunal. Kita dituntut untuk
sadar akan konsekuensi iman kita secara pribadi. Berani mempertanggungjawabkan
iman kita dalam hal pola pikir, perkataan dan tingkah laku.
Dalam konteks
komunal, gereja sebenarnya memiliki pengertian komunitas orang beriman, bukan
sekedar sebuah bangunan tempat ibadah. Jadi sebagai komunitas, semua anggota
dari komunitas tersebut mengemban tanggung jawab yang sama, yakni untuk terus
memastikan kebenaran Tuhan tetap ditegakkan di dalamnya. Dari sinilah muncul
tanggung jawab untuk bertumbuh bersama, saling membangun, saling menjaga dan saling
menasihati. Dalam hal ini, penulis surat Ibrani menuliskan demikian: “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah
kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan
oleh beberapa orang, tetapi marilah kita
saling menasihati, dan semakin giat
melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:24-25)