Laman

17 February 2018

IBLIS: SIAPA SESUNGGUHNYA SANG PENCOBA? (Matius 4:1-11; Markus 1:12-13; Lukas 4:1-13)


Kisah pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun merupakan salah satu kisah yang sangat terkenal dari Alkitab. Banyak erenungan yang dapat kita ambil dari kisah tersebut. Dalam perenungan kali ini, kita akan melihat siapa sebenarnya Sang Pencoba, yang ternyata sering kali datang kepada Tuhan hingga saat ini.
Kisah pencobaan tersebut dimulai saat Tuhan Yesus selesai dibabtis oleh Nabi Yohanes Pembabtis. Setelah keluar dari air dan Roh Kudus yang nampak seperti burung merpati turun atas-Nya, Tuhan Yesus dipimpin oleh Roh Kudus ke padang gurun untuk dicobai oleh iblis. Perhatikanlah bahwa Roh Kudus Allah-lah yang membawa Tuhan Yesus ke padang gurun. Penulis Injil Markus bahkan mengungkapkan kata “dibawa” dengan nuansa yang kasar, yang berarti dibuang atau dilemparkan. Hal ini menunjukkan bahwa proses yang sedang dihadapi Tuhan Yesus kala itu adalah sebuah proses yang berat.
Dalam Injil Matius dan Lukas dituliskan bahwa Roh Kudus sepertinya sengaja membawa Tuhan Yesus untuk dicobai. Hal tersebut menegaskan bahwa posisi Tuhan Yesus adalah sama seperti manusia pada umumnya. Ia tetap harus menghadapi segala bentuk cobaan dan ujian terhadap iman-Nya kepada Bapa.
Sekarang marilah kita sedikit memahami tentang kata “dicobai.” Kata “Dicobai” berasal dari kata Yunani “Peirazo” diterjemahkan dalam dua kata dalam bahasa Inggris: (1) Temp - tujuannya agar melakukan kejahatan/kesalahan/dosa. Dalam konteks inilah kemudian penterjemah Alkitab kita menterjemahkannya dengan kata dicoba atau pencobaan. Kata dicobai selalu membawa konotasi negative di dalamnya, karena memang pada kenyataannya tidak ada seseorang yang dicobai untuk berbuat baik. Kemudian (2) Test - bertujuan untuk mengungkapkan atau memunculkan kebenaran dan hal yang murni agar terungkap. Dalam konteks ini kita memahami bahwa Abraham sedang diuji oleh Tuhan dan bukannya dicobai. Tujuan Tuhan adalah untuk mengungkap apa yang ada dalam hati terdalam Abraham terhadap Tuhan. Demikian juga dengan bangsa Israel selama pengembaraan mereka di padang gurun. Mereka menghadapi ujian untuk mengungkapkan siapa mereka yang sebenarnya dari hati yang terdalam. Dan di akhir kisah pengembaraan tersebut, kita melihat bahwa kecenderungan bangsa Israel adalah melakukan kejahatan. Ada satu kata lain yang seringkali juga diterjemahkan dengan kata dicobai, yaitu kata “Dokime,” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai “Trial.” Kata ini mengandung makna persidangan, pembuktian dengan fakta, menunjukkan kemurnian.

Mari sekarang kita perhatikan salah satu tokoh sentral dalam kisah ini, yakni si Iblis. Setan (bahasa Caldea - red) atau iblis ini sebenarnya adalah sebuah gelar dari sang tokoh yang mencobai Tuhan Yesus. Gelar tersebut berarti penuduh, jahat, pemfitnah, pembohong. Jadi gelar tersebut menunjukkan sifat-sifat dari si iblis itu sendiri. Berhubung kata iblis atau setan ini adalah bentukan kata sifat, maka sebenarnya kata tersebut dapat berlaku bagi siapa sebagai person-nya, termasuk kita. Inilah yang sebenarnya harus menjadi perenungan kita semua.

Sebelum lebih jauh lagi, mari kita perhatikan tiga peristiwa pencobaan yang dialami Tuhan Yesus kala itu. Tujuan si iblis mencobai Yesus adalah agar muncul keraguan terhadap Bapa-Nya. Dalam kondisi Yesus yang sedang sangat lapar karena berpuasa selama 40 hari, si setan mencoba-Nya dengan pencobaan pertama, mengubah batu menjadi roti. Perhatikan kalimat “Jika Engkau Anak Allah” yang dilontarkan oleh iblis. Kalimat tersebut seakan meminta pembuktian bahwa Yesus adalah benar anak Allah. Seolah ada pertanyaan seperti “Apakah benar Bapa menganggapmu sebagai anak-Nya? Lantas kenapa Dia membiarkan kamu dalam situasi seperti ini – kelaparan, sendirian, tersiksa?” Iblis ingin Tuhan Yesus meragukan pemeliharaan Tuhan secara fisik dengan memunculkan pikiran “Daripada mati kelaparan, kamu dapat mengubah batu ini jadi roti, bukan? Kan kamu memiliki kuasa yang besar jika memang benar kamu adalah Sang Anak Allah.”
Dalam pencobaan kedua, nada yang sama digunakan oleh si iblis untuk menyerang Tuhan Yesus. Iblis mungkin berpikir dengan meminta Yesus untuk menjatuhkan diri dari atap Bait Suci, dengan kemudian menambahkannya dengan pernyataan firman Tuhan dari Mazmur 91, akan dapat menggoncangkan iman Yesus. Iblis ingin memunculkan pikiran meragukan jaminan penyertaan dan perlindungan Bapa, dalam pikiran Yesus. Iblis seolah bertanya “Benarkah Tuhan akan menjaga nyawamu saat kamu dalam bahaya?” Dan dalam pencobaan ketiga, iblis seolah membawa Yesus untuk berpikir dan meragukan otoritas dari panggilan-nya sebagai Juru Selamat, Mesias bagi umat manusia. Iblis seolah bertanya “Menjadi Mesias artinya menjadi Raja yang berkuasa atas seluruh dunia, bukan? Apakah Tuhan akan memberikan kekuasaan sebesar itu?
Inti dari semua pencobaan Iblis adalah mengguncang Yesus dengan tantangan-tantangan untuk menunjukkan otoritas-Nya sebagai Anak Allah yang diurapi, Sang Mesias yang dijanjikan kepada umat manusia. Namun jika kemudian Tuhan Yesus menuruti tantangan-tantangan tersebut, maka Tuhan Yesus telah gagal memenuhi rancangan Bapa-Nya. Tuhan Yesus telah melencengdari rancangan Bapa yang hakiki mengenai kehadiran-Nya di dunia ini. Dan kegagalan tersebut akan membuat Tuhan Yesus tidak layak lagi menyandang predikat sebagai Anak Allah, Sang Mesias itu.
Sekarang, mari kita melihat jawaban Tuhan Yesus atas pertanyaan-pertanyaan setan. Pada pencobaan pertama, Tuhan Yesus menjawab “Manusia tidak hidup dari roti SAJA, tapi dari firman yang keluar dari mulut Allah.” Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa hidup ini bukan melulu masalah fisik dan pemenuhan keinginan jasmaniah saja, tapi juga harus memperhatikan kehidupan jiwani/rohani. Kenyataannya, jika fokus kita hanya kepada pemenuhan keinginan-keinginan tubuh, maka kita tidak akan ada bedanya dengan binatang. Kesadaran inilah yang harus kita miliki, dan mulai lebih memperhatikan kehidupan rohani kita.
Pada pencobaan kedua, Tuhan Yesus menjawab “Jangan cobai Tuhan Allahmu.” Penobaan ini masih berhubungan erat dengan pencobaan pertama. Kita harus ingat dan benar-benar menekankan pada diri kita bahwa Tuhan bukanlah pelayan kita, yang harus selalu memenuhi semua keinginan kita. Kitalah yang harus tunduk pada perintah-Nya. Mencobai Tuhan seringkali ditunjukkan dengan sikap seperti seorang anak-anak yang selalu meminta keinginannya selalu dipenuhi. Hal ini mengingatkan kita tentang arti kedewasaan rohani. Seseorang yang dewasa secara rohani, akan menundukkan dirinya kepada Tuhan dan bukannya menuntut Tuhan “tunduk” pada keinginannya.
Dalam pencobaan ketiga, Tuhan Yesus terlihat mulai jengah akan keberadaan setan ini. Di sisi lain, setan terlihat berganti taktik karena menyinggung posisi Yesus sebagai Anak Allah ternyata tidak berhasil. Kali ini Setan menunjukkan “takdir yang seharusnya” diperoleh Yesus sebagai seorang Mesias, yakni berkuasa sebagai raja atas dunia. “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” Yesus memiliki kesadaran penuh bahwa Ia adalah Sang Mesias. Namun kemesiasan-Nya bukanlah Mesias yang seperti dibayangkan akan berkuasa sebagai raja. Kemesiasan-Nya adalah yang tetap tunduk kepada rencana Bapa-Nya: Penebusan dosa umat manusia.
Sifat-sifat setan seperti yang telah kita lihat di atas, sebenarnya dapat juga ada dalam hidup kita. Bukankah tidak jarang kita bersikap seperti anak-anak kepada Tuhan? kita sering kali menuntut Tuhan untuk selalu memenuhi semua keinginan kita. Saat keinginan kita tidak dipenuhi, kita mulai menuduh dan menyalahkan Tuhan. Ingatlah bahwa Tuhan bukanlah budak kita. Kita tidak hidup untuk memenuhi keinginan diri kita sendiri. Tuhan menciptakan kita untuk memenuhi tujuan dan rencana-Nya. Itulah bentuk pribadi yang telah dewasa secara rohani.

Marilah kita berjuang untuk menjadi pribadi rohani yang dewasa. Sadarlah bahwa kita hidup untuk menjalankan rancangan Allah bagi kita. Saat kita memaksakan keinginan dan rancangan kita kepada Allah, pada hakikatnya kita telah berdosa dan telah berubah menjadi iblis itu sendiri. Perjuangkan pendewasaan ini adalah sebuah proses yang berat. Oleh karena itu gantungkanlah hidup kita sebenuhnya pada kasih karunia Tuhan dan kebenaran firman-Nya. 

05 April 2017

NIKODEMUS: “Percayalah Kepada-Ku Dalam Setiap Proses Kehidupan” (Renungan Yohanes 3:1-21)


Nikodemus adalah seorang Farisi, sebuah kelompok yang sangat ketat memelihara hukum Musa dan tradisi Yudaisme yang berdasar pada pengajaran Rabi-rabi (tulisan-tulisan rabinik). Kemungkinan besar ia juga adalah seorang pejabat Sanhedrin. Melihat latar belakangnya sebagai seorang Farisi, kita dapat memastikan bahwa Niko-demus adalah seorang yang paham betul aturan dan tradisi Taurat yang berlaku dalam masyarakat Yahudi.
Kisah yang ditulis Rasul Yohanes dalam Yohanes 3:1-21, menceritakan interaksi pertama antara Nikodemus dengan Tuhan Yesus. Pada bagian ini diceritakan bahwa Nikodemus mendatangi Tuhan Yesus pada waktu malam hari. Kenapa malam hari? Menurut pengajaran rabi Yahudi, malam hari adalah waktu terbaik untuk belajar. Namun hal ini kemungkinan besar bukanlah dasar maksud Nikodemus mendatangi Yesus di malam hari. Alasan yang paling masuk akal adalah Nikodemus tidak ingin orang tahu bahwa ia mendatangi Yesus, seorang rabi yang kala itu menjadi sorotan orang banyak karena pengajaran-Nya yang “berani dan berbeda.”
Nikodemus, dan dan mungkin juga banyak orang Farisi lainnya, menilai bawa Yesus adalah seorang yang benar-benar diutus oleh Tuhan. Dia berkata kepada Yesus “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab tidak ada seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu, jika Allah tidak menyertainya.” (Ayt. 2) Perlu diingat bahwa Injil Yohanes tidak menulis peristiwa sepenuhnya berdasarkan waktu peristiwanya (kronologis). Saat Nikodemus mengatakan hal tersebut, kemungkinan Yesus sudah melakukan banyak mujizat yang disaksikan oleh banyak orang. Dari hal tersebutlah kemudian Nikodemus dan beberapa orang Farisi lainnya menyimpulkan bahwa Yesus adalah benar-benar “utusan Tuhan.”

Kelahiran Baru
Tuhan Yesus kemudian mengatakan sebuah pernyataan yang sempat membingungkan Nikodemus, dalam kapasitasnya sebagai seorang pengajar hukum Yahudi. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Dengan kebingungan, Nikodemus menjawab: “Bagaimanakah mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi?... Bagaimanakah mungkin hal itu terjadi?” (Ayt. 4, 9)
Kelahiran baru adalah sebuah komitmen yang diambil oleh seorang Kristen untuk memindahkan fokus kehidupannya, dari hal-hal duniawi/daging kepada hal-hal surgawi/rohani. Secara harafiah, Yohanes 3:3 diterjemahkan seperti ini: “Truly, truly, I say to you, If one is not generated from above…” (LITV) Jika  kalimat ini diterjemah dengan bebas, maka kurang lebih bermakna: “kamu harus mengalami pembaharuan kerohanian melalui iman.
Mengenai hal ini, Tuhan Yesus mengatakan bahwa seperti halnya Nikodemus, kita harus dilahirkan kembali dari air dan Roh. Banyak yang memaknai bahwa frasa air dan Roh mengacu pada babtisan air Yohanes Pembabtis dan babtisan roh oleh Tuhan Yesus. Jika kita melihat substansi dari kedua jenis babtisan tersebut, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa kelahiran baru berkenaan dengan pembaharuan jiwa (pikiran dan perasaan) dan pembaharuan iman (band. Roma 12:2). Dalam Kolose 3:10 Rasul Paulus menulis demikian “Each of you is now a new person. You are becoming more and more like your Creator, and you will understand him better.” Dari hari ke sehari, kita dituntut untuk menjadi semakin serupa dengan karakter Kristus Sang Firman yang menciptakan. Disaat yang sama, kita akan terus belajar untuk memahami isi hati dan pikiran-Nya.

Memandang Tuhan
Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” (Ayt. 14-15) Kelahiran baru diawali dengan sebuah komitmen; komitmen yang muncul oleh kesadaran akan dosa-dosa yang telah diampuni Tuhan, dan oleh dorongan Roh Kudus menyerahkan diri pada proses pemurnian yang akan dikerjakan Tuhan dalam kehidupan kita selanjutnya. Jadi komitmen kelahiran baru seperti sebuah pintu masuk kedalam proses Tuhan.
Proses pembentukan karakter dan keimanan dengan Kristus sebagai acuannya, bukanlah sebuah proses yang mudah dan secara asal-asalan dikerjakan oleh Tuhan. Proses tersebut besar dan sangat rumit. Jika kita ditugaskan untuk menyusun permainan puzzle seluas meja makan saja pasti akan merasa kesulitan. Bagaimana jika puzzle tersebut seukuran lapangan bola. Setidaknya seperti itulah gambaran sederhananya betapa sulit dan beratnya proses yang Tuhan kerjakan dalam membentuk karakter kita hingga serupa dengan karakter Kristus. Disitulah iman kita bekerja.
Iman yang kuat sangatlah diperlukan dalam proses hidup yang harus kita lalui. Bagaimanakah mungkin bangsa Israel dapat selamat dari racun ular yang mematikan hanya dengan cara memandang kepada ular tembaga Musa (Bilangan 21:4-9)? Itulah iman. Ada bagian-bagian proses yang menuntut kita untuk sepenuhnya percaya kepada Tuhan, sekalipun itu kadang terasa tidak masuk akal.
           Saat proses itu terlihat mustahil dan tidak masuk akal, pandanglah salib Kristus. Di salib itulah manusia didamaikan dengan Tuhan melalui curahan darah Tuhan Yesus Kristus. Seperti halnya seorang penjahat yang disalib disebelah Kristus, bertobat disaat-saat terakhir kehidupannya dan ia menerima Firdaus, demikianlah pertolongan Tuhan juga akan dinyatakan disaat-saat terberat dalam proses yang harus kita jalani. Ambillah komitmen kelahiran baru. Masukilah proses pembentukan yang Tuhan kerjakan dalam kehidupan kita. Percayalah sepenuhnya dengan apa yang Tuhan kerjakan, dan lihatlah bagaimana kasih Tuhan dicurahkan melalui proses-proses kehidupan tersebut. Amin.

(Renungan dari Yohanes 3:1-21)

MENGIKUT KRISTUS ADALAH MEMATIKAN KEINGINAN DIRI (Kolose 3:5)


Kekristenan bukanlah sebuah pilihan hidup yang mudah. Menjadi seorang yang beriman kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, menuntut sebuah pengorbanan yang sangat besar. Kekristenan menuntut umatnya untuk menjadi pribadi yang dewasa dalam hal keimanan dan karakter.
Adalah sebuah hal yang salah jika mengidentikkan kekristenan dengan kenyamanan, keamanan, berkat yang tiada berhenti, atau kehidupan sukacita tanpa derita. Justru sebaliknya. Iman kepada Kristus akan selalu berhadapan dengan kebalikan dari kondisi-kondisi tersebut. Hal tersebut juga bukan berarti bahwa mengikut Yesus hanya akan diisi dengan penderitaan. Proses pembentukan karakter adalah hal utama. Dalam proses tersebut tentunya melibatkan “latihan-latihan” dimana karakter yang dewasa akan terbentuk. Di tengah proses kehidupan, Tuhan juga selalu memberi waktu/kesempatan untuk “beristirahat.”
Para murid Tuhan Yesus telah merasakan hal yang sama, saat kita bicara mengenai proses pendewasaan rohani. Sebagaimana kita semua ketahui, latar belakang para murid Tuhan Yesus (dan bahkan Tuhan Yesus sendiri) adalah masyarakat Yahudi. Pada awalnya, mereka melihat pribadi Yesus sebagai calon pembebas masyarakat Yahudi dari tekanan penjajah Romawi. Mereka, dan kebanyakan masyarakat Yahudi kala itu, berharap bahwa bangsa Yahudi akan menjadi bangsa yang besar, berkuasa di seluruh dunia. Melalui Yesus yang dengan demonstrasi kuasa-Nya mereka percayai sebagai mesias, bangsa Yahudi akan dikembalikan kepada masa kejayaannya.
Kenyataan berbicara lain. Yesus yang awalnya diharapkan akan menjadi mesias pembebas bangsa Yahudi dari tekanan Romawi, terlihat menerapkan ajaran Taurat dengan sangat berbeda. Tuhan Yesus menekankan pada hakikat Taurat, lebih daripada praktik jasmaniahnya. Yesus terlihat tidak berminat untuk membangun kejayaan kerajaan Israel secara fisik. Mulai saat itu, banyak orang Yahudi yang menjadi murid dan mengikut Yesus, menjadi sangat kecewa dan meninggalkan-Nya. Hal tersebut tercatat dalam injil Yohanes 6:60-66.
Pada ayat 63 perikop tersebut, Tuhan Yesus berkata “Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup.” Konteks yang melatarbelakangi perikop tersebut adalah perbincangan mengenai posisi Yesus sebagai sumber kehidupan bagi manusia, yang digambarkan-Nya dengan penggambaran yang terkenal: “Roti Hidup.” Kembali Yesus menekankan bahwa berita yang dibawa-Nya bukanlah kemerdekaan secara fisik, melainkan secara rohani: hidup kekal bersama Tuhan, bukan kemerdekaan sementara di dunia.
Surat 1 Yohanes 2:18-19 menulis bahwa antikristus berasal dari kalangan umat percaya. Ayat 19 menulis demikian: “Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita. Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita.” Hal tersebut senada dengan catatan dalam Yohanes 6:66 “Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.” Siapa yang dimaksud dengan antikristus? Yaitu para murid Yesus yang kecewa kepada Yesus karena tidak memenuhi keinginan atau harapan mereka.
Saat ini telah banyak ditemui pengajaran-pengajaran Kristen yang menyimpang. Dalam pengajaran menyimpang tersebut, rata-rata selalu mengedepankan tentang berkat tanpa batas yang seharusnya diterima oleh orang Kristen. Kebanyakan orang akan senang dengan model pengajaran seperti itu; pengajaran yang memenuhi keinginan pribadinya. Lantas apa hubungannya dengan topik yang sedang kita bicarakan?
Pengajaran yang salah akan menghasilkan pemahaman yang salah. Saat pemahaman yang salah terbentur dengan realita kehidupan, maka hal tersebut akan memunculkan orang-orang yang kecewa. Seperti halnya para murid yang meninggalkan Yesus karena pengajaran-Nya yang tidak seperti yang mereka harapkan, maka demikianlah konteks pengajaran menyimpang di masa sekarang ini. Antikristus akan muncul dari orang-orang yang salah memahami pengajaran firman Tuhan. Mereka kecewa dan menyalahkan Tuhan karena tidak memberikan apa yang mereka inginkan.
Kita disebut dewasa secara rohani, saat kita dapat memahami kehendak Tuhan dan hidup seturut dengannya. Alkitab dengan jelas mengarahkan kita untuk memindahkan fokus kehidupan: dari hal-hal atau keinginan duniawi kepada hal-hal atau keinginan surgawi. Orang-orang yang telah melakukan hal tersebut pasti akan menunjukkan sebuah kedewasaan karakter dan keimanan. Bukti nyata dari hal tersebut adalah pribadi dan kehidupan para murid Tuhan Yesus setelah Tuhan Yesus naik ke surga.
Para murid hidup dalam tekanan yang sangat besar dari bangsa Yahudi yang memusuhi mereka dan pemerintahan Romawi yang menganggap mereka sebagai pemberontak. Banyak dari mereka yang mati dibunuh dan diumpankan pada binatang buas. Dengan semua kejadian yang menyakitkan tersebut, tidak ada kekecewaan yang muncul dari mulut mereka. Sebaliknya, mereka menjalani penderitaan tersebut dengan sukacita dan kebanggaan.
Para murid Tuhan Yesus tersebut telah mati terhadap keinginan diri sendiri dan mereka menghidupi kehendak Tuhan. Demikianlah kita seharusnya hidup di masa sekarang ini. Kesenangan dunia, kelimpahan harta, tingginya jabatan dan kehormatan bukanlah ukuran berkat yang sesungguhnya. Tujuan hidup kita sebagai pengikut Yesus adalah mematikan keinginan daging dan fokus pada penyataan kebenaran firman Tuhan melalui keseharian. Amin.

"Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi..." (Kolose 3:5)