Laman

30 December 2016

GEREJA ADALAH RUANG BELAJAR, HIDUP KESEHARIAN ADALAH LADANG UJIAN (Ibrani 10:24-25)

Masih banyak orang Kristen yang memandang aktivitas beribadah “terpisah” dari aktivitas hidup yang lain. Dalam pandangan mereka, gereja dan segala bentuk kegiatan rohani lainnya adalah ruang yang sakral sedangkan lingkup diluar hal tersebut kurang sakral. Dalam satu sisi, pandangan tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Namun jika diperhatikan dengan saksama, maka akan nampak kekurangannya.

Iman Kristen harus dipahami secara utuh. Jika hanya dipahami secara setengah-setengah, maka akan membawa kepada kesesatan. Istilah kesesatan disini janganlah hanya dipahami dalam konteks pengajaran agama, semisal diasumsikan dengan aliran/ajaran sesat seperti Saksi Yehova, Mormonisme, dll. Dalam kasus yang paling sederhana, mengambil atau melakukan sebuah prinsip yang terlihat berasal dari Alkitab – padahal hanya separuh kebenaran saja – adalah satu bentuk kesesatan. Untuk itulah diperlukan sebuah pemahaman yang utuh dan lengkap terhadap iman Kristiani, yang tentunya hal itu bersumber dari penafsiran Alkitab yang disiplin.

Lantas, apa yang seringkali menghambat kita, umat Kristen, untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh terhadap firman Tuhan dalam Alkitab? Apa pula yang harusnya kita upayakan untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tersebut?

Ø  Cherry-picking dan Proof-texting
Saat ini kita akan sedikit membahas satu kesalahan yang hingga saat ini masih sering kali dan mungkin yang paling umum terjadi di kalangan orang Kristen (khususnya, sejauh pengamatan saya, di aliran Pentakosta dan Kharismatik), berkenaan dengan cara memahami Alkitab. Kesalahan tersebut adalah kebiasaan MEMBACA dan lantas MENGAMINI SEBUAH AYAT ALKITAB.

Kesalahan ini disebut cherry-picking, dan dalam istilah hermeneutik dikenal juga sebuah istilah yang lebih terkesan teknis yakni proof-texting. Cherry picking adalah kesalahan logika dimana seseorang membangun argument atau pemahamannya hanya berdasar atas pendapat atau data yang menyokong apa yang diklaimnya saja, tanpa mempertimbangkan keseluruhan data (konteks), yang sebenarnya sebagian data yang diambil tersebut justru kadang melemahkan atau bahkan membantah klaimnya sendiri; biasa disebut cocokmologi. Pengertian proof-texting adalah kesalahan metodologis dimana seseorang mengambil bagian kecil dari Alkitab, seringkali hanya sebuah ayat, kemudian digunakan untuk mendukung sebuah pemikiran atau membangun sebuah doktrin tanpa mempedulikan konteks sastranya. Dengan ungkapan yang sederhana, cherry-picking dan proof-texting adalah kebiasaan pilih-pilih ayat Alkitab.

Cherry-picking dan proof-texting akan menghasilkan sebuah pengajaran kekristenan yang salah serta lemah. Prinsip-prinsip pengajaran yang dibangun dengan pola tersebut kemungkinan besar tidak konsisten bahkan seringkali kontradiktif. Membangun fondasi kehidupan dengan dasar pengajaran yang didapat dengan pola tersebut seperti membangun rumah di atas pasir. Jika ingin membangun iman Kristen yang kuat, lakukan di atas batu karang. Membangun di atas batu karang berbicara tentang memahami firman Tuhan secara benar dan mendasar sehingga membuat kita mampu merumuskan tindakan nyata dari prinsip kebenaran firman Tuhan tersebut.

Lebih buruk lagi, kebiasaan pilih-pilih ayat tersebut seringkali juga dilakukan secara setengah-setengah. Maksudnya seperti ini: Ayat-ayat yang memiliki isi yang menyenangkan, menenangkan, menguatkan, memotifasi serta “memberkati” seringkali menjadi ayat-ayat favorit banyak umat Kristen. Jarang kita dapati seseorang yang menggunakan ayat-ayat yang berisi teguran dan kritikan sebagai ayat nats atau ayat emas favoritnya.

Ø  Gereja (juga) merupakan lembaga pendidikan
Gereja seharusnya tidak lagi dipandang hanya sebagai tempat suci atau tempat ibadah dalam kehidupan umat Kristen. Gereja seharusnya juga menjadi wadah umat Kristen untuk belajar dan mendulang pemahaman yang benar terhadap firman Tuhan, serta relefansinya dalam kehidupan sehari-hari. Memahami prinsip firman Tuhan dengan benar serta mengerjakan prinsip kebenaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari – dengan segala keterbatasan kemampuan – akan membawa kita, umat Kristen, mengenal Tuhan dengan benar.

Dalam konteks membangun dasar-dasar iman, gereja harusnya menghindarkan jemaat dari kebiasaan cherry-picking atau proof-texting tersebut di atas. Teknisnya, Gereja harus mulai membiasakan jemaat untuk menggunakan cara pembacaan Alkitab yang lebih menyeluruh; tidak lagi membaca satu ayat saja, melainkan membaca paling tidak satu paragraf utuh atau satu perikop. Akan lebih baik lagi jika kebiasan membaca tuntas Alkitab digalakkan di kalangan jemaat gereja. Membaca Alkitab hingga tuntas (mulai dari kitab Kejadian hingga Wahyu) akan memberi kita sekilas gambaran besar mengenai alur penulisan Alkitab.

Selain Alkitab, gereja seharusnya juga harus mampu mengedukasi anggota jemaat untuk membaca buku-buku atau sumber-sumber bacaan yang lain. Hal tersebut penting sekali untuk memperluas cakrawala berpikir anggota gereja.

Ø  Dengarkan saja, maka imanmu akan bertumbuh. Oh really? Come on….!!
Dalam sebuah ibadah formal hari minggu, mimbar gereja memang merupakan sebuah mimbar monolog. Melalui mimbar tersebut seorang pendeta atau hamba Tuhan menyampaikan renungan dari sebuah bagian dari Alkitab. Kita tentu saja tidak akan mendapati adanya dialog yang terjadi antara jemaat dengan sang pengkhotbah dalam kesempatan tersebut. Hal itu adalah semacam aturan tidak tertulis yang umum berlaku dalam sebuah ibadah. Namun apakah mimbar gereja hanya diisi oleh kegiatan ibadah semacam itu saja?

Gereja harus menyediakan ruang untuk pendalaman pemahaman akan firman Tuhan bagi jemaat. Kata Ruang yang saya maksudkan disini lebih mengarah pada waktu atau kesempatan. Yang harus ditentukan oleh para gembala jemaat atau majelis gereja adalah kapan pelaksanaanya. Itu hanyalah masalah teknis dari jadwal kegiatan gereja. Permasalah yang lebih mendesak sebenarnya adalah ada atau tidaknya kesempatan tersebut, bukan?

Saat kita mendengarkan khotbah yang disampaikan pada waktu ibadah umum, tidak jarang muncul tanggapan di dalam pikiran kita. Tanggapan tersebut dapat berupa pertanyaan atau bahkan pendapat atau pemahaman yang tidak jarang justru berseberangan dengan apa yang telah dikatakan oleh sang pengkhotbah.

Tanggapan tersebut muncul karena kita mungkin saja telah menerima sebuah informasi yang berhubungan dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang pengkhotbah. Bisa saja kita pernah membaca sebuah buku atau artikel tertentu, mendengarkan khotbah dari internet, atau teringat percakapan dengan seorang teman, atau mungkin saja kita pernah mengalami “serangan” terhadap iman kita dari orang yang beragama lain dan kita tidak dapat menjawabnya. Tanggapan-tanggapan yang ada dalam pikiran kita tersebut, saya yakin, membutuhkan jawaban atau tanggapan balik.

Jadi, memang mendengarkan khotbah saja tidaklah dapat membuat iman seseorang bertumbuh. Lantas kenapa ada ayat Alkitab yang berkata bahwa “iman timbul dari pendengaran akan firman Kristus?” (Roma 10:17) Apakah artinya ayat tersebut salah?

Ada minimal dua ayat yang menurut saya menarik untuk diperhatikan, berkenaan dengan pertumbuhan iman yang didasarkan pada pengajaran firman Tuhan. Ayat yang pertama sebenarnya secara tidak langsung telah saya kutip di atas, yakni Matius 7:24-27. Dalam bagian tersebut, Tuhan Yesus memberikan penakanan bahwa saat seseorang “mendengarkan” firman Tuhan dan melakukannya, maka ia akan memiliki iman yang kuat untuk menghadapi gempuran pengaruh dunia serta dapat bertahan dalam pergumulan hidupnya. Rasul Paulus menulis dalam surat Roma 10:17 bahwa “iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”

Kedua bagian kutipan ayat Alkitab tersebut memuat sebuah kata yang sama, yakni mendengarkan. Bahasa Inggris membedakan kata hear dan kata listen, yang dalam Bahasa Indonesia sama-sama diterjemahkan dengan dengar atau mendengarkan. Kata hear bermakna sekadar mendengar sebuah suara, namun kata listen memiliki makna memperhatikan dengan saksama. Kata “mendengarkan” dalam bahasa Yunani yang digunakan penulis kitab, dalam hal ini adalah Rasul Matius dan Rasul Paulus, adalah kata dasar yang sama yang dibaca akoe.

Kata akoe ini hanya akan menunjukkan perbedaan makna saat dimasukkan ke dalam konteks kalimatnya. Dalam hal ini, kata akoe memiliki makna memperhatikan karena perkataan tersebut merupakan paket pengajaran yang diberikan oleh seorang pengajar firman.

Tuhan Yesus dan Rasul Paulus sudah sangat terbiasa dengan kalimat tersebut. Secara meyakinkan, mereka pastilah mendasari pemahamannya dengan ayat yang berasal dari kitab Keluaran 15:26 “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan (listen – KJV) suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan apa yang benar di mata-Nya, dan memasang telingamu kepada perintah-perintah-Nya dan tetap mengikuti segala ketetapan-Nya, maka Aku tidak akan menimpakan kepadamu penyakit manapun, yang telah Kutimpakan kepada orang Mesir; sebab Aku Tuhanlah yang menyembuhkan engkau.” Masyarakat Yahudi sangatlah mengenal bagian ini. Bagi mereka, firman Tuhan sangatlah sakral dan mereka harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh ketika firman Tuhan tersebut diajarkan.

Tidak sekedar didengarkan, firman Tuhan haruslah dipahami. Ukuran dari paham atau tidaknya kita terhadap prinsip kebenaran firman Tuhan adalah saat kita mampu merumuskan tindakan nyata untuk kita kerjakan dalam kehidupan kita sehari-hari, berdasarkan prinsip kebenaran dari bagian firman Tuhan yang kita renungkan tersebut. Di sisi yang lain, seorang hamba Tuhan harus dapat memberikan pengertian yang mendasar kepada jemaat dari bagian firman Tuhan yang dia bawakan dalam khotbahnya.

Ø  Gereja adalah kelas belajar seumur hidup
Mari kita sejenak mengingat proses pendidikan kita saat berada, misalnya, di sekolah dasar. Di kelas 1 sekolah dasar, kita diajar untuk menghafalkan perkalian 1 x 1 hingga 10 x 10. Adakah diantara kita yang mampu menghafalkan sekian banyak perkalian tersebut hanya dalam satu kali pertemuan pelajaran matematika? Mustahil, bukan? Mari kita bayangkan ada berapa banyak persoalan kehidupan yang kita hadapi. Apakah mungkin semua permasalah tersebut dapat terjawab dengan satu atau dua kali pergi beribadah ke gereja? Jawabannya akan sama, yakni mustahil.

Gereja harusnya menjadi tempat untuk kita menimba pemahaman mengenai prinsip-prinsip kebenaran Tuhan. Seperti halnya ruang kelas, pola pembelajaran di gereja haruslah dinamis dan holistik, artinya prinsip kebenaran yang dipelajari dapat menjangkau dan diterapkan di semua sudut kehidupan kita.

Jika kita hanya mengandalkan pertemuan ibadah sekali seminggu pada waktu ibadah umum saja, sejauh mana prinsip kebenaran yang akan kita pahami? Tentunya akan sangat dangkal bukan? Belum lagi jika kita tidak memiliki semangat untuk belajar, dan disaat yang sama ada begitu banyak permasalahan kehidupan yang tidak mungkin kita abaikan begitu saja.

Pertemuan-pertemuan ibadah dalam komunitas gereja seharusnya mengusung pemahaman mengenai pendidikan warga gereja ini dengan lebih serius. Pertemuan ibadah selain ibadah umum minggu seharusnya dapat menjadi wadah yang mengasyikkan bagi jemaat untuk berkumpul dan menggali kebenaran firman Tuhan.

Ø  Siapa yang bertanggung jawab? Seluruh warga gereja.
Seorang Kristen yang dewasa dan bertanggung jawab terhadap iman Kristennya, akan berusaha dengan keras untuk bertumbuh dengan baik. Ada dua aspek kehidupan orang Kristen: aspek pribadi dan komunal. Kita dituntut untuk sadar akan konsekuensi iman kita secara pribadi. Berani mempertanggungjawabkan iman kita dalam hal pola pikir, perkataan dan tingkah laku.

Dalam konteks komunal, gereja sebenarnya memiliki pengertian komunitas orang beriman, bukan sekedar sebuah bangunan tempat ibadah. Jadi sebagai komunitas, semua anggota dari komunitas tersebut mengemban tanggung jawab yang sama, yakni untuk terus memastikan kebenaran Tuhan tetap ditegakkan di dalamnya. Dari sinilah muncul tanggung jawab untuk bertumbuh bersama, saling membangun, saling menjaga dan saling menasihati. Dalam hal ini, penulis surat Ibrani menuliskan demikian: “Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:24-25)

SIKAP KRITIS DALAM KEIMANAN (1 Yohanes 4:1)

“Saudara-saudara yang tercinta! Janganlah percaya kepada semua orang yang mengaku mempunyai Roh Allah, tetapi ujilah dahulu mereka untuk mengetahui apakah roh yang ada pada mereka itu berasal dari Allah atau tidak.”
1 Yohanes 4:1 - IBIS

  Problematika Kekristenan Modern
Bagi kita yang mengikuti perkembangan teknologi informasi dewasa ini, pastinya akan merasa kagum dan disaat yang sama terselip kekhawatiran. Kita akan kagum karena banyak informasi dapat kita peroleh dengan sangat mudah dan cepat. Kita mungkin juga akan menjadi khawatir karena sangat sulitnya membedakan apakah informasi tersebut benar atau salah. Mari perhatikan beberapa contoh informasi yang sering kita temui beredar di media sosial. Informasi tentang khasiat tanaman obat atau buah seringkali disaling-bagikan oleh banyak orang tanpa melihat apakah informasi tersebut sudah teruji secara medis atau belum. Informasi yang seperti inilah yang justru paling sering dipercaya banyak orang.

Kekristenan mengalami problematika yang sama, dalam konteks yang berkenaan dengan pengajaran keimanan. Banyak sekali pengajaran yang beredar, yang secara substansial (isi pengajarannya) saling bertentangan. Parahnya, tidak sedikit juga pengajaran yang beredar tersebut secara esensial (inti pengajarannya) bahkan bertentangan dengan Alkitab. Permasalahan seperti ini bukanlah sebuah permasalahan yang baru dalam kekristenan. Sejak masa awal berdirinya gereja Kristen yang universal, yakni pada momentum Pentakosta di Kisah Rasul pasal 2, banyak sekali muncul pengajaran-pengajaran yang menyimpang. Penyimpangan-penyimpangan pengajaran tersebut rata-rata bersumber dari pencampuran antara pengajaran Kristen dengan pengajaran-pengajaran lain. Sebut saja salah satunya paham Gnostik yang usianya lebih tua dari kekristenan itu sendiri, seringkali menyusup masuk dalam jemaat mula-mula. Para pengajar Gnostik ini memang secara sengaja menentang kekristenan. Mereka seringkali membuat orang Kristen kala itu terkesan dengan khotbah-khotbah mereka, yang kemudian mempengaruhi cara pandang jemaat dan kemudian jalan hidupnya. Ada lebih banyak lagi pengajaran-pengajaran yang membingungkan jemaat gereja kala itu, yang memang berniat menghancurkan kekristenan.

Surat 1 Yohanes adalah perwujudan perlawanan Rasul Yohanes terhadap pengajaran-pengajaran yang menyesatkan umat Tuhan kala itu. Yudaisme, Gnostisisme, Doketisme, dan pengajaran Cerintus, adalah pengajaran yang banyak berkembang di kawasan Asia, dimana jemaat Tuhan yang digembalakan oleh Rasul Yohanes ada dan berkembang. Pengajaran tersebut pada intinya membawa jemaat untuk mengecilkan pribadi Tuhan Yesus Kristus. Mereka mendorong jemaat untuk tetap melaksanakan ritual Taurat. Gnostisisme menganggap Yesus adalah allah yang terperangkap dalam tubuh hina manusia. Doketisme percaya bahwa tubuh jasmani Yesus hanyalah sebuah ilusi, demikian halnya dengan penyaliban-Nya. Dan ada banyak macam pengajaran sesat lagi yang beredar kala itu, yang banyak mempengaruhi gereja. Jika itu semua dibiarkan, maka jemaat Tuhan akan banyak yang terhilang.[1]

Memiliki sikap kritis terhadap pengajaran
Sikap kritis dan berhati-hati dalam gereja yang dewasa ini banyak dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas, justru merupakan sikap yang dikembangkan oleh para pemimpin gereja mula-mula. Hal tersebut semata-mata bertujuan menjaga kemurnian pengajaran Tuhan Yesus yang mereka turunkan dari generasi ke generasi. Ironisnya, karena ada embel-embel bahwa pengajaran tersebut berasal dari Tuhan, maka orang tidak mau lagi memperhatikan dan memikirkannya dengan kritis. Ditambah lagi dengan adanya anggapan bahwa orang yang banyak bertanya dan mendiskusikan pengajaran, adalah orang yang cenderung memberontak dan tidak taat. Pandangan seperti inilah yang harus kita hilangkan dari gereja. Dengan adanya sikap kritis ini, iman kita akan terus dapat dijaga dan bertumbuh dengan sehat, dalam jalur kebenaran firman Tuhan.

1 Yohanes 4:1 ini memberikan prinsip kepada kita bahwa kita hendaknya tidak mudah percaya kepada pengajaran-pengajaran yang mengatasnamakan Tuhan. Realita yang saat ini dihadapi oleh umat beragama adalah apa yang telah Rasul Paulus tuliskan dalam 2 Timotius 4:3-4:

“Sebab akan sampai waktunya orang tidak mau lagi menerima ajaran yang benar. Sebaliknya, mereka akan menuruti keinginan mereka sendiri, dan mengumpulkan banyak guru guna diajarkan hal-hal yang enak didengar di telinga mereka. ...menutup telinga terhadap yang benar, ...memasang telinga terhadap cerita-cerita dongeng.” – IBIS

Dalam bahasa Yunani, kata roh juga digunakan untuk mengacu pada pikiran yang rasional, jiwa yang menggerakkan seseorang,[2] yang kemudian makna tersebut digunakan dalam konsep bahasa Inggris dalam kata spirit yang diartikan semangat. Kata ini kemudian juga diasosiasikan dengan motivasi dari sebuah tindakan. Hal itu berarti bahwa kita juga harus berhati-hati terhadap motivasi sebuah pemberitaan firman Tuhan. Tidak dapat disangkal bahwa ada juga pemberita firman yang memiliki motivasi yang salah. Materi dan popularitas mungkin adalah daftar teratas dari sekian banyak motivasi yang salah tersebut. Pemberita firman disini juga tidak hanya dari kelompok pendeta. Dewasa ini telah banyak muncul orang-orang yang terlihat rohani dan memiliki kecakapan mengajar firman Tuhan, namun dengan prinsip-prinsip yang salah. Sekalipun mungkin mereka memiliki ketulusan motivasi, namun pengajaran tersebut harus menggunakan prinsip yang tepat juga.

Rasul Yohanes mengukur kebenaran ilahi firman Tuhan yang diberitakan berdasarkan isinya, yakni memberitakan Tuhan Yesus Kristus yang berinkarnasi menjadi manusia, yang menanggung hukuman salib untuk menebus dosa manusia. Jika pengajaran yang ada tidak mengarahkan pendengarnya untuk menyembah Yesus Kristus sebagai Tuhan (theos – Yun.) dan Tuan (kurios – Yun.), maka itu pasti bukanlah pengajaran yang benar. Jika motivasi sebuah pengajaran tidak membuat pendengarnya datang menyembah dan mempersembahkan hidupnya kepada Tuhan Yesus Kristus, kemudian menggerakkan aktivitas kesehariannya sebagai tindakan nyata ibadahnya, maka dapat dipastikan itu adalah sebuah pengajaran yang salah.

Kritis dalam memahami kebenaran Firman Tuhan dan menjalankannya

“Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia.”

1 Yohanes 4:4 telah lama menjadi ayat favorit banyak orang Kristen, namun dengan pemaknaan yang telah bergeser dari aslinya. Jadi jika ayat tersebut dipahami dalam konteksnya, maka kita akan mendapat kesimpulan yang berbeda. Pengajaran yang benarlah yang akan membuat kita kuat. Kekuatan rohani yang kita miliki pastilah memiliki dasar yang kuat, dan dasar itu adalah pengertian yang benar terhadap kebenaran firman Tuhan. Dalam surat Roma 10:17 Rasul Paulus mengatakan “No one can have faith without hearing the message about Christ.”[3] Membaca Alkitab tanpa tahu maksudnya tidak akan dapat merubah apapun dalam kehidupan kita. Untuk dapat menggunakan Alkitab sebagai sandaran kebenaran, kita harus tahu maksud yang sebenarnya dari setiap ayat yang kita baca. Paulus menggunakan kata Yunani rhema, yang kemudian diterjemahkan dengan kata firman dalam ayat ini. Kata rhema memiliki arti sebuah ujaran atau pernyataan yang jelas. Namun bukan sekedar perkataan, rhema adalah rangkuman dari seluruh pemikiran yang ingin dijelaskan. Sebuah pesan yang jelas dari firman Tuhan, yang dibangun dengan dasar pemahaman yang benar, akan membangun iman seseorang dengan kuat.

Pengajaran yang benar berasal dari sebuah pencarian dan penggalian spiritual akan firman Tuhan, yang kemudian dinyatakan dalam tindakan keseharian. “Roh yang lebih besar” adalah Roh Tuhan yang menggerakkan roh kita untuk menggunakan standart/dasar hidup yang terbaik, yaitu firman Tuhan. Roh Tuhan membuat kita memiliki motivasi yang murni, yakni melayani Tuhan melalui segala aktivitas kita. Motivasi untuk memuliakan Tuhan Yesus Kristus melalui setiap aspek kehidupan kita.

Kata dunia dalam bahasa aslinya memiliki pengertian sistem dan standart/dasar kehidupan masyarakat pada umumnya. Dalam proses pengiringan kita kepada Tuhan, kita akan dibawa Roh Kudus untuk memiliki pola pikir yang ilahi, yang berfokus kepada kekekalan. Pola pikir ilahi tersebut bukan hanya diterapkan di lingkup gereja saja tapi harus dapat diterapkan dalam keseharian kita. Kita dituntut menjadi pribadi-pribadi yang memiliki standart lebih tinggi dari orang-orang pada umumnya.[4] Misalnya, kejujuran kita, kedisiplinan, kecintaan kepada lingkungan, rasa welas asih, penghormatan terhadap sesama manusia, harusnya melebihi orang-orang pada umumnya. Itulah contoh nyata pribadi Kristen yang memiliki “roh lebih besar dari dunia ini.”

Mari kita terus mendorong diri kita masing-masing sebagai seorang Kristen, untuk memahami kebenaran firman Tuhan yang murni. Kita pergunakan setiap waktu yang kita miliki untuk mempelajari firman Tuhan dengan sungguh-sungguh. Selain harus memberikan waktu untuk duduk diam dan mempelajari Firman Tuhan, kita juga dapat memahami firman Tuhan dengan lebih baik saat kita menerapkannya dalam keseharian. Jangan mudah terbawa arus pengajaran yang mistis dan seolah-olah lebih rohani dari yang lain, namun tidak dapat diaplikasikan dalam kehidupan kita. Kebenaran firman Tuhan yang murni harusnya merubah karakter kita secara pribadi, dan dapat menginspirasi orang-orang di sekitar kita. Tuhan Yesus memberkati kita semua.



[1] Constable, Thomas L., Notes on 1 John 2005 Edition (E-book Published by Sonic Light, http://www.soniclight.com/) 1-5
[2] The Complete Word Study Dictionary (©1992 By AMG International, Inc. Chattanooga, TN 37422, U.S.A. Revised edition, 1993) keyword: pneuma.
[3] Terjemahan Contemporary English Version.
[4] Smalley, Stephen S., WBC: 1,2,3 John vol. 51 (New York: Word Inc. 1984) 220-33



MENANG MELAWAN PENCOBAAN

”Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.”
Matius 4:4

     Semua manusia pasti pernah merasakan berada ditengah-tengah pencobaan. Masalah yang terasa pelik, berat dan silih berganti datang dalam kehidupan kita. Tidak ada satu manusiapun di dunia ini yang sama sekali tidak pernah merasakan pencobaan. Tidak ada satu manusiapun yang kebal terhadap pencobaan. Bahkan seperti yang kita ketahui, Tuhan Yesus Kristus sendiripun seringkali dicobai oleh iblis. Kisah yang paling kita kenal tentang pencobaan yang dialami oleh Tuhan Yesus ditulis dalam injil Matius 4:1-11.

     Kisah dicobainya Tuhan Yesus oleh iblis bermula saat Tuhan Yesus selesai dibabtis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembabtis. Matius 4:1 menulis “Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis.” Dalam Markus 1:12 dikatakan segera sesudah Tuhan Yesus dibabtis, Roh Kudus menuntun Tuhan Yesus untuk pergi ke padang gurun dan berpuasa disana selama 40 hari. Diakhir masa puasanya iblis menemui Tuhan Yesus dan kemudian mencobainya. Mari kita belajar bagaimana cara Tuhan Yesus mengalahkan pencobaan-pencobaan yang dilancarkan oleh iblis tersebut. 

I. UBAHLAH BATU MENJADI ROTI (Matius 4:1-4)
     Pencobaan yang pertama yang dilancarkan iblis kepada Tuhan Yesus berkenaan dengan rasa lapar dan haus-Nya setelah 40 hari berpuasa. Kita dapat membayangkan betapa sangat lapar dan hausnya Tuhan Yesus kala itu. Ditengah rasa lapar yang mendera tersebut, iblis seolah-olah mengingatkan Tuhan Yesus bahwa Ia memiliki kuasa untuk mencipta. Tentu bukan hal yang mustahil dilakukan bagi Tuhan Yesus untuk mengubah batu menjadi roti. Namun kita ketahui bahwa Tuhan Yesus tidak menuruti perkataan si iblis tersebut.

     Kebutuhan daging memang bagian dari kehidupan manusia. Rasa lapar dan haus adalah bagian dari kehidupan jasmaniah manusia. Hal tersebut tidak dapat dielakkan. Namun yang perlu kita perhatikan disini adalah bagaimana Tuhan Yesus memandang kebutuhan jasmani tersebut. Dalam Matius 4:4, Tuhan Yesus menjawab si iblis dengan mengutip kisah perjalanan bangsa Israel di padang gurun yang tertulis dalam kitab Ulangan 8:3 “Jadi Ia merendahkan hatimu, membiarkan engkau lapar dan memberi engkau makan manna, yang tidak kaukenal dan yang juga tidak dikenal oleh nenek moyangmu, untuk membuat engkau mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN.” Tujuan Tuhan memberkati dan memelihara kita sebenarnya adalah supaya kita mengerti (artinya mengetahui, belajar, merasakan, melihat dengan cerdas, mengalami, mengakui, mempertimbangkan, tahu cara melakukan, dan menjadi ahli) tentang Firman Tuhan. Firman Tuhanlah yang sebenarnya menghidupkan kita. Kita tidak boleh menjadikan pemenuhan kebutuhan daging / hawa nafsu sebagai prioritas kita. Namun kita harus fokus dalam memperagakan kebenaran firman Tuhan dalam hidup kita di dunia ini. 

II. JATUHKANLAH DIRI-MU (Matius 4:5-7)
     Pencobaan yang kedua ini bicara tentang mencobai Tuhan. Dalam pencobaan ini, iblis bahkan mengutip Mazmur 91:11-12 untuk “membenarkan” perkataannya. Kita melihat bahwa jika kita secara asal-asalan mencomot firman Tuhan, yang kemudian kita gunakan untuk membenarkan tindakan kita, itu menjurus kepada mencobai Tuhan. Firman Tuhan adalah dasar hidup. Dan tujuan kita melakukan atau mempraktekkan Firman Tuhan dalam kehidupan kita bukanlah demi kepentingan kita atau keuntungan kita sendiri, melainkan demi kepentingan Tuhan. saat kita menggunakan firman Tuhan demi keuntungan kita sendiri, kita sedang mencobai Tuhan. Kisah pemberontakan Yudas Iskariot hendaknya menjadi pelajaran berharga untuk kita. Karena berpikir dapat memaksa Tuhan Yesus menyatakan dirinya sebagai Mesias, Yudas mengkhianati Tuhan Yesus. Semua rencananya gagal saat ternyata Tuhan Yesus ditangkap dan dihukum salib oleh pemerintahan Roma. Yudas gagal memahami inti rencana Allah yang sebenarnya, yang sedang dikerjakan oleh Tuhan Yesus. 

III. SEMUANYA KUBERIKAN…JIKA SUJUD MENYEMBAH AKU (Matius 4:8-10)
     Pencobaan iblis yang terakhir ini adalah serangan langsung kepada hukum yang pertama dari 10 hukum dasar (Dasa Firman/ Dekalog). Iblis ingin dirinya disembah. Dia mengiming-imingi orang yang mau menyembahnya dengan kekuasaan atas dunia ini (harta, kedudukan, kehormatan, kemuliaan, dsb.). Tidak mengherankan jika banyak kita lihat orang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan, salah satunya dengan cara menjual hidupnya kepada iblis dan kuasa kegelapan. Ingatlah bahwa hanya Tuhanlah yang layak disembah, karena DIA adalah penguasa sejati jagad raya ini. Saat kita merendahkan diri dihadapan Tuhan, maka Tuhanlah yang akan meninggikan kita pada waktu-Nya.

    Tuhan Yesus menang melawan pencobaan dengan cara berpegang teguh dan melakukan firman Tuhan dengan tepat. Diakhir dari pergumulan-Nya tersebut, Bapa mengirim malaikat-Nya untuk melayani Tuhan Yesus. Menyediakan apa yang diperulak oleh Tuhan Yesus. Kenyang tanpa merubah batu menjadi roti, malaikat datang melayani tanpa menjatuhkan diri dari bumbungan bait Allah, dan menerima kekuasaan atas bumi dan surga tanpa menyembah kepada iblis.

21 December 2016

QUO VADIS PENTAKOSTA (B)


Memperhatikan konteks yang lebih luas: “Diisi untuk Beraksi”
Ada sebuah pola yang dapat kita perhatikan dalam Kisah Para Rasul ini, yang akan menerangkan kepada kita tentang penekanan yang ingin ditunjukkan oleh Lukas sebagai penulisnya.

Kisah 4:8 “..penuh Roh Kudus..”
Kisah 4:13 “...keberanian Petrus dan Yohanes... keduanya orang biasa yang tidak terpelajar,...dan mereka mengenal keduanya sebagai pengikut Yesus.”

Kisah 4:29 “...berikanlah kepada hamba-hamba-Mu keberanian untuk memberitakan firman-Mu.”
Kisah 4:31 “..mereka semua penuh dengan Roh Kudus, lalu mereka memberitakan firman Allah dengan berani.

Kisah 9:17 “..Lalu pergilah Ananias ke situ dan masuk ke rumah itu. Ia menumpangkan tangannya ke atas Saulus, katanya: "Saulus, saudaraku, Tuhan Yesus, yang telah menampakkan diri kepadamu di jalan yang engkau lalui, telah menyuruh aku kepadamu, supaya engkau dapat melihat lagi dan penuh dengan Roh Kudus.

Kisah 9:28 “Dan Saulus tetap bersama-sama dengan mereka di Yerusalem, dan dengan keberanian mengajar dalam nama Tuhan
Kisah 13:2 “berkatalah Roh Kudus: "Khususkanlah Barnabas dan Saulus bagi-Ku untuk tugas yang telah Kutentukan bagi mereka.”

Kisah 13:9 “Tetapi Saulus, juga disebut Paulus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap dia,”
Kisah 13:46 “Tetapi dengan berani Paulus dan Barnabas berkata: "Memang kepada kamulah firman Allah harus diberitakan lebih dahulu..”

Dari kutipan beberapa ayat di atas, kita dapat melihat sebuah pola yang jelas yang menggambarkan tujuan Lukas menampilkan beberapa kejadian kepenuhan Roh Kudus pada masa gereja mula-mula. Saat Roh Kudus memenuhi kehidupan para murid, muncullah keberanian untuk mewartakan Injil, terlepas terjadi fenomena tanda kepenuhan yakni bahasa roh atau tidak. Hal ini terlihat relevan jika kemudian kita sejajarkan dengan pesan dari Tuhan Yesus sendiri mengenai kehadiran Roh Kudus setelah kenaikan-Nya ke surga.

“..tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.
(Yohanes 14:26)

“Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.”
(Yohanes 15:26)

“Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu. Dan kalau Ia datang, Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman; akan dosa, karena mereka tetap tidak percaya kepada-Ku;”
(Yohanes 16:7-9)

“Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku. Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.
(Yohanes 16:13-15)

“Maka kata Yesus sekali lagi: "Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu." Dan sesudah berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: "Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.
(Yohanes 20:21-23)

“Apabila orang menghadapkan kamu kepada majelis-majelis atau kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, janganlah kamu kuatir bagaimana dan apa yang harus kamu katakan untuk membela dirimu. Sebab pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan.”
(Lukas 12:11-12)

“Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.
(Kisah Rasul 1:8)

Tuhan Yesus sendiri membawa murid-murid-Nya (juga termasuk kita di zaman modern ini) untuk melihat nilai tujuannya, dan bukan lagi sekedar fenomena dari diutusnya Roh Kudus untuk menguasai kehidupan orang percaya. Jadi sangatlah naif dan sempit jika kita mengartikan kepenuhan Roh Kudus hanya dengan dimilikinya karunia-karunia roh atau tidak. Kepenuhan Roh Kudus berbicara lebih dari itu.

Kita dapat melihat dalam catatan sejarah mengenai kehidupan jemaat Kristen mula-mula. Keberanian mereka untuk menghadapi kematian sekalipun, demi mengabarkan berita keselamatan yang telah merubah hidup mereka secara mendasar. Berbicara mengenai kepenuhan Roh Kudus yang relevan dalam kehidupan sehari-hari, Kisah Rasul 2:47 harusnya menjadi ayat acuan kita. Dalam ayat tersebut, tabib Lukas menuliskannya dengan tepat, yakni “Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.” Mengulang sedikit mengenai pengertian tentang kata disukai yang telah disinggung di atas, kata ini bermakna dapat dinikmati dan diterima oleh masyarakat di sekitarnya. Dan sebagai hasilnya, jumlah jemaat gereja mula-mula terus bertambah dengan luar biasa. Dari angka 3000 orang, kemudian ditambah 5000 orang laki-laki (Kisah Rasul 4:4), dan kemudian dalam Kisah Rasul 9:31 tertulis demikian “Selama beberapa waktu jemaat di seluruh Yudea, Galilea dan Samaria berada dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus.

Kekristenan berkembang dengan dahsyat setelah Roh Kudus memenuhi kehidupan para murid Tuhan Yesus kala itu. Kehidupan yang berubah secara menyeluruh tersebut rupanya menginspirasi banyak orang. Kehidupan jemaat Kristen mula-mula adalah bentuk kehidupan yang dapat diterima bahkan dinikmati oleh orang-orang yang belum percaya. Kehidupan yang diubahkan, ditambah dengan mujizat yang kala itu berguna untuk menunjukkan kuasa Tuhan kepada orang yang belum percaya, membuat kekristenan “meledak” dan berpengarus secara masif.

Kesimpulan: “Pergilah dan Tuailah” adalah arah perjalanan Pentakosta
Tuhan Yesus bersabda dalam Yohanes 4:35 “Lihatlah sekelilingmu dan pandanglah ladang-ladang yang sudah menguning dan matang untuk dituai.” Fenomena Pentakosta yang dialami para murid di Yerusalem tersebut adalah bentuk tindak lanjut dari sabda Tuhan Yesus itu. Mulai dari momen Pentakosta di Yerusalem tersebut, kekristenan tersebar ke seluruh penjuru dunia. Kekristenan berdampak sangat besar saat itu dengan jumlah pengikut yang semakin bertambah banyak, hingga dianggap sebagai “gerakan radikal” yang membuat para kaisar Roma khawatir. Walaupun pada kenyataannya kekristenan hanyalah pergerakan rohani dan bukan sebuah pergerakan politik, hal itu membuat kekristenan dimusuhi dan dilawan dengan kekuatan fisik. Itulah yang menyebabkan orang-orang Kristen kala itu mengalami penganiayaan. Perlu kita ingat bahwa penganiayaan yang dialami gereja mula-mula tidaklah menghentikan mereka untuk hidup dalam keimanan kepada-Nya dan terus bersaksi tentang Kristus.

Amanat Agung Tuhan Yesus memerintahkan kita untuk PERGI dan menjadikan semua suku bangsa murid-Nya. Pribadi Roh Kudus, sang Parakletos yang dijanjikan Tuhan Yesus dalam Yohanes 14:16-17 dan ayat 26 itulah, yang akan mengiringi langkah hidup kita dalam mengabarkan kesaksian tentang keselamatan yang diberikan Tuhan melalui pribadi Yesus Kristus. Saat kita mengaku sebagai seorang Kristen yang telah dipenuhi Roh Kudus, kita hendaknya tidak berpuas diri hanya karena sudah berbahasa roh.

Kepenuhan Roh Kudus secara esensial menunjuk kepada perubahan hidup yang radikal. Kepenuhan tersebut terlihat dari perubahan mendasar dalam pemikiran, perasaan dan pengambilan keputusan. Pribadi yang telah penuh Roh Kudus akan menunjukkan pola pikir yang dewasa dan tidak kekanak-kanakan. Secara emosional, pribadi yang telah penuh Roh Kudus juga akan menunjukkan kematangannya. Hal sederhana seperti menahan ledakan amarah, tidak berlarut-larut dalam kesedihan, juga tidak terlalu terbawa dalam kesenangan, akan dapat terlihat dengan jelas. Kematangan dalam pemikiran dan emosionalitas akan membawa perubahan besar dalam pengambilan keputusan seseorang.

Seseorang yang penuh Roh Kudus tidak lagi mengambil keputusan secara serampangan. Pribadi tersebut akan terlatih untuk memiliki pertimbangan-pertimbangan yang mendalam, karena pikirannya telah dikuasai oleh Roh Kudus. Dia memiliki tujuan yang jelas dalam mengambil keputusan. Tujuan tersebut adalah bahwa hasil dari keputusan tersebut adalah demi kemuliaan Tuhan. Dia akan berpikir dengan sehat dan terarah, tidak lagi mengutamakan dirinya sendiri, dan mampu melihat kebutuhan orang lain yang harus dia akomodir. Setiap buah pemikirannya, baik itu berkenaan dengan pribadinya atau untuk orang lain, akan membawa dampak kekekalan. Tujuan yang dibidik dari hasil tindakan tersebut adalah kehidupan kekal bersama Tuhan di surga. 

Orang yang penuh Roh Kudus tersebut juga tidak akan mengambil keputusan karena terlarut dalam perasaan. Kita tahu bahwa saat paling berbahaya dalam hal pengambilan keputusan, terutama yang berkenaan dengan masa depan, adalah saat keputusan tersebut diambil dalam kondisi emosional. Keputusan untuk membenci seseorang dan memutuskan tali persaudaraan, seringkali diambil saat kemarahan sedang berkuasa dalam hati seseorang. Memilih menikah dengan orang yang ternyata di kemudian hari tidak bertanggung jawab, biasanya diputuskan saat perasaan cinta menutupi pertimbangan logika dan masukan dari orang-orang tercinta. Roh Kudus akan mengontrol kita dalam aspek emosional ini.  

Roh Kuduslah yang akan menolong kita menyeimbangkan penggunaan logika dan perasaan. Hal tersebut tentunya tidak akan diperoleh hanya dari pengalaman kepenuhan Roh Kudus dalam semalam saja. Tuhan Yesus menegaskan bahwa Roh Kudus akan menyertai kita dalam hidup keseharian. Pribadi Roh Kudus akan mengajarkan dan mengingatkan kita akan kebenaran firman Tuhan (Yohanes 14:26) dan yang akan memimpin kita mengerjakan kebenaran firman Tuhan dalam keseharian dan dalam setiap aktivitas kita. (Yohanes 16:13-15). Dengan perananan Roh Kudus yang seperti ini, maka akan muncullah pribadi-pribadi Kristen yang unggul secara karakter. Pribadi dengan karakter yang unggul inilah yang akan berdampak besar dalam kehidupan dunia ini. Pribadi-pribadi inilah yang akan membawa orang-orang yang belum percaya, datang menyerahkan hidup mereka untuk percaya kepada Tuhan Yesus dan menjadi milik Tuhan seutuhnya. Seorang Kristen sejati yang telah dipenuhi Roh Kudus, akan mendedikasikan hidupnya untuk bersaksi tentang Kristus dalam perkataannya dan juga dalam tingkah lakunya. Dia juga akan MENUAI dan kemudian membawa jiwa-jiwa kepada Kristus. Biarlah intisari Pentakosta ini selalu kita hidupi dalam perkataan dan tingkah laku kita sehari-hari. Tuhan Yesus memberkati. (Selesai)