Laman

17 April 2025

TANDA-TANDA ANGGOTA GEREJA YANG SEHAT

 

TANDA-TANDA ANGGOTA GEREJA YANG SEHAT[1]

 

Tanda 1 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Pendengar Eksposisional

Mendengarkan secara eksposisional adalah mendengarkan untuk memahami makna dari suatu bagian Kitab Suci dan menerima makna tersebut sebagai gagasan utama yang harus dipahami untuk kehidupan (baik sebagai pribadi atau sebagai komunitas/gereja) Kristen.

Mendengar firman Allah (logos) dan memahaminya (rhema) adalah hal yang membawa kepada iman yang menyelamatkan (Roma 10:17). Anggota gereja menjadi sehat ketika mereka berkomitmen untuk mendengar pesan ini sebagai disiplin rohani yang teratur. Mendengarkan secara eksposisional mendukung kesehatan rohani baik bagi individu maupun seluruh gereja.

* Lógos adalah ekspresi dari pemikiran, sedangkan rhḗma merujuk pada isi atau pokok pembicaraan dari kata-kata yang diucapkan.

 

Tanda 2 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah "Teolog" Biblika

Teolog biblika adalah seseorang yang berkomitmen untuk memahami sejarah pewahyuan dan tema-tema besar beserta doktrin-doktrin dalam Alkitab sebagai sebuah kesatuan dan keterkaitan. Jadi anggota gereja yang sehat berusaha memahami kesatuan dan perkembangan Alkitab secara keseluruhan—bukan hanya bagian-bagian yang terpisah atau ayat-ayat favorit saja.

Menurut J. I. Packer, mengenal Allah dimulai dengan mengetahui tentang Dia, tentang karakter-Nya. Ini juga melibatkan menyerahkan diri kepada Allah berdasarkan janji-Nya untuk menjadi Tuhan kita melalui pertobatan dan iman kepada Yesus Kristus, Anak-Nya. Akibatnya, mengenal Allah berarti mengikuti Yesus sebagai murid. Dan pada akhirnya, mengenal Allah berarti menjadi “lebih dari pemenang” dengan bersukacita dalam kecukupan Allah dalam segala hal.

Pengetahuan semacam ini hanya dapat diperoleh dengan menyelami pesan Alkitab secara mendalam, dengan semua tema besarnya yang kaya. Dan pengetahuan akan Allah ini secara khusus dimiliki oleh anggota gereja Kristen yang berkomitmen untuk menjadi teolog biblika.

 

Tanda 3 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Dipenuhi Injil (Gospel Saturated)

Dipenuhi (saturated. Ingg) – (bio.) keadaan keseimbangan dalam komunitas ketika imigrasi atau penambahan berjumlah sama dengan pengurangan ataupun dengan pemusnahan. (KBBI Online). Pemahamannya kontekstualnya adalah keadaan dimana penambahan/input/pengajaran Injili SEBANDING/SAMA/SEIMBANG dengan output/praktik/tindakan Injili dalam kehidupan orang percaya.

Dalam Injil Yesus Kristus (kabar sukacita tentang pribadi, karya penebusan, dan kebangkitan Kristus), Allah menawarkan diri-Nya bagi orang berdosa dan kepada orang berdosa. Injil inilah yang menyadarkan kita akan kasih Allah, kebobrokan kita sebagai manusia, dan kebutuhan kita akan penebusan, serta kemungkinan memperoleh sukacita kekal melalui penyembahan kepada Allah. Injil yang sama, beserta pemahaman yang sehat tentangnya, membangun kesehatan dan kekuatan dalam diri anggota gereja Kristen.

 

Tanda 4 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Benar-Benar Bertobat

Dalam teologi Kristen, “pertobatan” dipahami sebagai perubahan yang radikal. Pertobatan adalah perubahan total dari kehidupan yang terikat dalam dosa menuju kehidupan yang bebas untuk mencari dan menyembah Allah. Pertobatan bukan sekadar sebuah keputusan, tetapi sebuah transformasi hidup. Perubahan ini bukan sekadar soal kesalehan moral, pengembangan diri, atau modifikasi perilaku. Itu bukan sesuatu yang bisa dicapai melalui tindakan lahiriah atau praktik keagamaan, seperti berjalan ke depan altar. Pertobatan mustahil bisa dicapai jika hanya mengandalkan usaha manusia, melainkan oleh campur tangan Allah.

Pertobatan adalah perubahan yang begitu drastis sehingga memerlukan campur tangan Roh Kudus. Dalam kesadaran dan keputusan pertobatan, Roh Kudus menganugerahkan dua kasih karunia sekaligus, yaitu kekuatan iman dan komitmen pertobatan, agar orang berdosa berbalik meninggalkan dosanya dan mengarahkan pandangannya untuk datang kepada Allah melalui iman kepada Yesus Kristus.

 

Tanda 5 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Penginjil Biblika

Penginjil Biblika (biblical evangelist - penginjil yang sesuai dengan Alkitab) adalah seseorang yang dengan setia membagikan kabar baik tentang Yesus Kristus sesuai dengan kebenaran Alkitab. Penginjilan yang alkitabiah tidak bergantung pada metode pragmatis, emosi, atau tekanan, tetapi pada kesetiaan dalam menyampaikan pesan Injil.

Seorang biblical evangelist harus:

1.         Menyampaikan isi Injil secara spesifik, termasuk siapa Allah, siapa manusia, apa itu dosa, siapa Yesus, apa yang telah Yesus lakukan terhadap dosa, dan apa yang harus dilakukan manusia sebagai respons.

2.         Menegaskan bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan (Yohanes 14:6; Kisah Para Rasul 4:12).

3.         Memanggil pendengarnya untuk bertobat dan beriman kepada Kristus.

 

Penginjil yang sejati memahami bahwa keberhasilan penginjilan bukanlah hasil dari usaha manusia, melainkan karya Allah melalui firman-Nya dan Roh Kudus. Oleh karena itu, seorang biblical evangelist menanam dan menyiram benih Injil dengan setia, sambil mempercayakan hasilnya kepada Tuhan (1 Korintus 3:7).

 

Tanda 6 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Anggota yang Berkomitmen

Apa artinya menjadi anggota gereja yang berkomitmen? Gagal menghubungkan diri kita secara tetap dengan Kepala gereja melalui bergabung dengan tubuh-Nya tentu merupakan tanda ketidakbersyukuran, baik karena ketidaktahuan maupun hati yang tumpul. Kita yang memiliki hak istimewa untuk hidup di negara-negara di mana kita dapat dengan bebas bergabung dengan gereja lokal harus mengingat peringatan dari Dietrich Bonhoeffer berikut ini:

“Hanya karena anugerah Allah, sebuah jemaat diizinkan untuk berkumpul secara nyata di dunia ini untuk berbagi Firman Allah dan sakramen. Tidak semua orang Kristen menerima berkat ini. Mereka yang dipenjara, yang sakit, yang terpencar sendirian, para pemberita Injil di tanah-tanah kafir, mereka berdiri sendiri. Mereka tahu bahwa persekutuan yang nyata adalah sebuah berkat. Mereka mengingat, seperti yang dilakukan oleh Pemazmur, bagaimana mereka pergi ‘bersama orang banyak... ke rumah Allah, dengan suara sukacita dan pujian, bersama kumpulan orang yang merayakan hari raya’ (Mzm. 42:4). Oleh karena itu, siapa pun yang hingga saat ini memiliki hak istimewa untuk hidup dalam kehidupan Kristen bersama saudara-saudara seiman, hendaklah memuji anugerah Allah dari lubuk hatinya. Biarlah ia bersyukur kepada Allah sambil berlutut dan menyatakan: Ini adalah anugerah, tidak lain hanyalah anugerah, bahwa kita diperbolehkan hidup dalam komunitas dengan saudara-saudara Kristen.”

 

Tanda 7 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Mencari Disiplin

Disiplin berkaitan dengan pendidikan dan pembelajaran, keteraturan, dan pertumbuhan. Disiplin dalam kehidupan jemaat dan anggota gereja yang sehat menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan. Gereja adalah komunitas dan lingkungan yang hidup dalam kedisiplinan dalam mentalitas dan kerohanian. Tidak mungkin bagi anggota gereja untuk saling memperhatikan secara efektif jika hanya sedikit orang yang mengambil tanggung jawab untuk menegur atau membimbing saudara-saudari yang membutuhkannya. Jika anggota gereja tidak mau melayani sesama dengan mengajarkan Firman dalam sekolah Minggu atau memimpin kelompok kecil, jika mereka menghindari mengenal satu sama lain sehingga tidak ada konteks untuk persekutuan yang bermakna, maka disiplin yang bersifat membangun maupun korektif tidak akan terjadi. Rumah Allah akan menjadi tidak tertata dengan baik, anak-anak-Nya tidak diajarkan dengan benar, dan kesaksian gereja akan tercemar oleh dosa yang tidak bertobat dan tidak dikoreksi.

 

Tanda 8 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Murid yang Bertumbuh

Anggota gereja yang sehat adalah anggota gereja yang senantiasa mengalami pertumbuhan. Secara khusus, ia adalah seseorang yang bertumbuh dalam keserupaan dengan Kristus, kekudusan, dan kedewasaan rohani. Kedewasaan dan kekudusan itu dikembangkan dalam ketergantungan kepada Kristus, Firman-Nya, dan sesama di dalam gereja lokal. Dan yang paling luar biasa, kita tidak akan berhenti bertumbuh sampai kita mencapai kepenuhan Kristus! Tidak mungkin memisahkan kesehatan sebuah gereja lokal dari kesehatan anggotanya. Dan tidak mungkin memisahkan kesejahteraan seorang anggota gereja dari pertumbuhan rohani dan pemuridan mereka.

 

Tanda 9 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Pengikut yang Rendah Hati

Kepemimpinan dalam gereja lokal ditetapkan oleh Allah untuk memberkati umat-Nya. Namun, agar kepemimpinan itu efektif, diperlukan dorongan dan dukungan dari anggota gereja. Banyak pria setia yang mengalami kehancuran karena menghadapi anggota jemaat yang keras kepala dan menolak bimbingan. Hal ini seharusnya tidak terjadi di antara umat Allah. Sebaliknya, anggota gereja yang sehat harus berusaha dan mendorong orang lain untuk berusaha mengikuti pemimpin mereka dengan hati yang terbuka lebar, ketaatan yang penuh semangat, dan penundukan yang penuh sukacita.

 

Tanda 10 - Seorang Anggota Gereja yang Sehat Adalah Pejuang Doa.

Adakah hak istimewa yang lebih menakjubkan daripada yang telah diberikan kepada orang Kristen melalui Kristus: berdiri di hadapan Allah Bapa kita dan merespons dalam doa oleh Roh-Nya terhadap Firman-Nya yang disampaikan kepada kita? Jika kita ingin menjadi pendengar eksposisional, dipenuhi Injil, dan teolog Alkitabiah, maka kita harus berdoa dengan keyakinan penuh akan apa yang Allah sedang lakukan di dunia melalui Kristus, Putra-Nya, serta berdoa untuk kemajuan Injil dan kehendak-Nya di seluruh dunia.



[1] Ringkasan buku karya Thabiti M. Anyabwile, What is a Healthy Church Member?, Crossway, 2008.

01 May 2020

PEMIMPIN DAN KRITIKAN

Saat sebuah kritik yang ditujukan kepada seseorang yang dianggap memiliki kedudukan atau status yang sejajar, hal tersebut mungkin dianggap sebagai sebuah kewajaran. Namun jika sebuah kritik ditujukan kepada atasan atau orang yang memiliki status dan kedudukan tinggi, hal tersebut seringkali dipandang sebagai sebuah perlawanan. Kata kritik sudah memiliki konotasi negatif dalam masyarakat kita. Namun apakah selalu demikian?

KRITIK – APA ITU?
Kita akan mampu menempatkan kritik di tempat yang tepat saat kita memahami apa itu kritik dan apa fungsinya bagi diri kita.
Menurut kamus bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), kata kritik memiliki arti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat. Banyak orang hanya memandang kritik sebagai sebuah kecaman, atau bahkan serangan. Jarang sekali ada orang yang melihat kritik sebagai sebuah tanggapan. Menurut saya pribadi, kritik adalah sebuah bantuan yang diberikan orang lain untuk melihat hal-hal yang seringkali tidak dapat kita lihat dengan pandangan kita sendiri.
Berdasarkan makna katanya, kritik pada dasarnya bersifat netral. Respon kitalah yang kemudian akan memposisikan kritik tersebut dalam pikiran kita. Kritik akan menjadi sebuah hal yang menyakitkan dan melukai saat kita memandanganya sebagai sebuah serangan kebencian yang dilancarkan oleh orang-orang yang kita anggap ingin menghancurkan hidup kita. Namun di lain pihak, kritik akan menjadi seperti nutrisi yang menyehatkan dan menguatkan, saat kita melihatnya sebagai sebuah alat evaluasi bagi diri kita.
Selembar soal ulangan adalah gambaran yang dapat kita gunakan saat kita memandang sebuah kritik. Selembar soal ulangan dapat dimaknai secara berbeda oleh siswa sekolah. Bagi seorang murid yang sadar akan tujuan pendidikannya, soal ulangan akan menjadi alat untuk mengukur kemampuan dan pemahamannya terhadap sebuah mata pelajaran. Namun di mata seorang murid yang tidak terlalu mempedulikan tujuannya bersekolah, soal ulangan tersebut hanya akan dipandang sebagai hal yang menakutkan dan mengusik kenyamanannya.

ANTI-KRITIK = ANTI-PERKEMBANGAN
Secara nyata: adakah pemikiran dan tindakan seseorang yang bebas dari kesalahan? Tentu saja tidak ada. Semua manusia mengakui bahwa pasti akan ada kelemahan dalam kehidupannya, baik dalam pemikiran maupun tindakannya. Permasalahan yang seringkali timbul adalah bahwa kita sulit untuk melihat kekurangan atau kelemahan kita. Bukan hanya sekedar sulit melihat kesalahan, namun seringkali malah tidak mampu melihatnya.
Sederhananya saja, kita tidak mungkin dapat melihat wajah kita sendiri tanpa bantuan dari pihak lain – baik itu barang atau orang lain. Oleh karena itulah kita sangat membutuhkan pihak lain yang mampu melihat diri kita, baik itu kelemahan maupun kelebihan kita. Dengan adanya mereka, kita akan mampu lebih banyak mengenal diri kita.
Kita akan menjadi manusia yang “utuh” dengan mengenal diri sendiri secara menyeluruh. Kita harus mampu mengidentifikasi diri kita, baik itu kelemahan maupun kelebihan kita. Dari situlah kita akan mampu mengenal setiap potensi diri dan mengembangkannya. Kita juga akan mengenali kelemahan-kelemahan kita dan mencari cara untuk memperbaikinya. Pengembangan diri akan dapat berjalan dengan baik saat kita mengenal diri sendiri dengan baik.

*Celoteh senja 

17 November 2018

SEMPURNA SEPERTI BAPA (Matius 5:48)



Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.”
Matius 5:48


Dalam Matius pasal 5 ini, Tuhan Yesus banyak membahas praktik-praktik Taurat. Pengajaran dalam pasal ini secara ketat mengacu kepada Taurat dan kritik terhadap motif
praktiknya yang telah banyak melenceng dari intisari makna hukum itu sendiri. Taurat Tuhan yang sedianya mendewasakan Israel, berubah menjadi alat yang digunakan pemimpin-pemimpin agamanya untuk mengekang umat dalam tradisi-tradisi kesalehan yang kaku dan tanpa makna.
Tradisi di sini dapat dipahami sebagai pola pengulangan dari tindakan, ajaran dan ritual tertentu. Jadi tidak ada makna yang buruk dalam kata tradisi. Ajaran Kristen bukannya tidak memiliki tradisi praktik agamawi. Perjamuan malam terakhir yang dilakukan Yesus dengan murid-murid-Nya, adalah bentuk tradisi orang Yahudi yang didasarkan pada makan Paskah yang dilakukan Israel sesaat sebelum Mesir menerima hukuman tulah kesepuluh pada zaman Musa. Umat Kristen kemudian mlakukannya dalam bentuk yang berkembang dengan pemaknaan yang lebih disucikan – yakni mengenang penebusan manusia dari dosa melalui karya salib, kematian  dan kebangkitan Tuhan Yesus. Tradisi ini kemudian dikenal dengan istilah sakramen Perjamuan Kudus (ekaristi.
Karena saat gereja Kristen dilahirkan, maka ajaran-ajaran kekristenan mulai membentuk sebuah pola tradisi dan hukum-hukum agama, yang kemudian dikenal dengan tradisi kesalehan. Tradisi tersebut kemudian diteruskan dan bahkan mulai dilembagakan oleh generasi umat Tuhan setelah zaman para rasul. Kelahiran gereja sebagai institusi adalah bukti nyatanya. Namun patut disayangkan jika kemudian tradisi-tradisi Kristen tersebut juga mulai kehilangan maknanya saat kekristenan menjelma menjadi agama yang besar. Tradisi yang dibangun oleh para murid Tuhan Yesus tersebut kembali berubah menjadi tradisi yang kaku mengikat umatnya, persis seperti apa yang terjadi pada hukum Taurat kepada umat Israel.
Kembali pada pemaknaan tradisi kesalehan, umat Kristen seharusnya kembali menggunakan pola bagaimana Tuhan Yesus memandang hukum-hukum Tuhan tersebut. Secara garis besar, sedikitnya ada dua cara bagaimana Tuhan Yesus membangun tradisi kesalehan Kristen: (1) Menekankan pemahaman terhadap intisari hukum Tuhan, serta (2) menekankan pada proses yang benar, bukan sekadar hasil.

1.      INTISARI DARI HUKUM TUHAN
Orang Farisi dan ahli Taurat pada zaman Tuhan Yesus menekankan pelaksanaan hukum Tuhan hanya berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab suci Yahudi dan tafsir dari para rabbi. Mereka melakukannya secara literal, apa adanya seperti yang tertulis. Hal inilah yang membuat mereka kehilangan intisari yang jauh lebih penting yang terkandung dalam hukum-hukum Tuhan. Sebut tentang hal persembahan yang pada hakikatnya adalah bentuk kepercayaan total bahwa Tuhan memelihara umat-Nya, berubah menjadi ritual yang memastikan bahwa adas manis, selasih dan jintan pun harus diambil persepuluhannya (band. Matius  23:3, Markus 12:33).
Mari kita ambil contoh perikop tentang kemarahan (Matius 5:21-25). Bukannya sekadar melarang kita untuk marah, melainkan lebih menekankan pada harmonisasi hubungan dengan sesama saudara dan kasih kepada sesama manusia. Juga demikian halnya dengan hal bersumpah (Matius 5:33-37). Larangan bersumpah bukanlah nilai yang sesungguhnya ingin ditekankan dalam hukum Tuhan. Nilai utamanya adalah kejujuran yang seharusnya menjadi karakter kita.
Lebih lagi, ada hal-hal yang tidak tertulis secara spesifik dalam teks Alkitab namun dipercaya sebagai kebenaran. Misalnya mempercayai Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Allah Roh Kudus sebagai tiga hupostasis keallahan dan menyebutnya sebagai Trinitas. Kata Trinitas (Trinity – Ingg.) jelas tidak tertulis dalam Alkitab, namun kita mempercayai konsep tersebut berdasarkan penyelidikan teks-teks Alkitab secara proporsional.

2.      PENTINGNYA PROSES
Saat kita memandang Matius 5:48 dalam sudut pandang hasil, maka hal tersebut tidak akan mungkin terjadi. Seberapapun keras usaha kita, kita masih dibatasi oleh sifat keberdosaan kita dalam mencapai kesempurnaan tersebut. Dan jika Tuhan mengukur dari pencapaian hasil, maka Ia tidak akan mendapati hasilnya.
Mari kita pertimbangkan kisah perjalanan bangsa Israel di padang gurun yang tertuang dalam Ulangan 8:1-5. Musa berkata bahwa perintah yang disampaikannya berdasarkan firman Tuhan tersebut harus dilakukan dengan setia. Kesetiaan didapatkan dari proses yang panjang. Tujuan dari proses padang gurun yang dialami oleh bangsa Israel adalah membentuk kerendahan hati dan motifasi yang benar. Proses tersebut dibungkus dengan kasih Allah, selayaknya seorang Bapa mengajari anaknya.
Tuhan Yesus berkata dengan tegas dalam Matius 5:17 bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya. Itu berarti bahwa hukum Taurat sendiri menjadi dasar pemahaman kita akan pengajaran Tuhan Yesus. Melalui pengajaran-Nya, kita dapat melihat makna dan tujuan hakiki dari hukum Taurat Tuhan.
Dalam ayat 20, Tuhan Yesus memberikan standart dalam pelaksanaan hukum Tuhan dalam kehidupan kita. “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Dari sinilah kesalehan Kristiani berasal, yakni pelaksanaan hukum Tuhan dengan pemahaman yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Artinya bukan sekedar apa yang tersurat, melainkan juga apa yang tersirat di dalam hukum-hukum Tuhan tersebut.
Tuhan memang menuntut kita untuk menjadi sempurna. Kesempurnaan itu harus terus kita upayakan seumur hidup kita, dalam setiap bentuk aktivitas kita yang didasari pada pelaksanaan firman Tuhan. Tuhan ingin kita mengerjakan setiap prosesnya dengan maksimal. Kita harus berusaha sekuat dan sekeras mungkin demi mengejar kesempurnaan tersebut. Ingatlah bahwa Tuhan sangat menghargai proses kita mencapai kesempurnaan. Jadi mari pastikan kita menjalani proses pembentukan yang Tuhan kerjakan dalam hidup kita, dengan benar sesuai dengan standart firman-Nya. 
https://unsplash.com/photos/3zp7mC4yTCw


12 July 2018

SENDIRI: Mandiri dan Bertanggung Jawab (Lukas 4:1-2)

Disadari atau tidak, kita harus menghadapi setiap pergumulan dalam kehidupan kita ini seorang diri. Diri kita sendirilah yang secara langsung akan mengalami baik buruknya konsekuensi dari setiap pilihan kita. Urusan iman kita kepada Tuhan adalah urusan diri kita sendiri. Iman kepada Tuhan tidak dapat dipaksakan untuk dimiliki oleh seseorang, karena pada hakikatnya iman adalah keputusan pribadi seseorang untuk mempercayai Tuhan. lantas bagaimana peranan orang tua dan orang-orang di sekitar kita? Semua orang yang ada di sekitar kita memang memiliki pengaruh dalam pertumbuhan iman kita. Ada yang meberi pengaruh besar dan ada yang berpengaruh kecil. Namun perlu kita semua sadari bahwa pertumbuhan iman kita berasal dari setiap respon dan keputusan diri kita sendiri.

SENDIRI
Para penulis Injil menulis beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa ada masa dimana Tuhan Yesus menjalani proses-Nya seorang diri. Semisal dalam Lukas 4:1-2 menuliskan demikian “Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya dan dicobai Iblis. Selama di situ Ia tidak makan apa-apa dan sesudah waktu itu Ia lapar.” Setelah mengikuti babtisan Yohanes Pembabtis, Tuhan Yesus dibawa Roh Kudus untuk menjalani proses ujian yang sangat berat di padang gurun. Roh Kudus Allah yang mengantar-Nya. Di akhir proses ujian berat tersebut kita ketahui bersama bahwa Yesus dilayani oleh para malaikat. Tetapi di tengah padang gurun itu, saat proses ujian terjadi, Yesus benar-benar seorang diri, melakukan semuanya sendirian, termasuk berhadapan dengan iblis.
Mari kita mundur ke sebuah peristiwa di Perjanjian Lama yang juga dapat memberi kita gambaran yang jelas, bagaimana keputusan kita harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Dalam Daniel pasal 3 diceritakan bahwa Raja Nebukadnezar membuat patung emas dirinya dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk menyembah patung tersebut. Bagi siapapun yang menolak menyembah akan dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup. Singkat cerita, Hananya, Misael dan Azarya, menolak untuk menyembah patung sang Raja. Mereka membuat sebuah pernyataan yang sangat berani dengan mengatakan “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.” (Daniel 3:16-18)
Kita semua tahu bahwa pada akhirnya mereka mengalami pertolongan Tuhan. Tetapi mari kita kembali pada fase dimana setelah mereka menyatakan menolak menyembah patung Nebukadnezar tersebut, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kemudian diikat dengan erat, tungku api dinyalakan dengan panas yang tujuh kali lipat dari yang biasa, kemudian mereka dicampakkan ke dalamnya. Sampai pada batas itu, mereka tidak melihat ada keajaiban atau mujizat dari Tuhan untuk menolong mereka. Butuh sebuah keberanian yang besar untuk mengambil keputusan yang menyangkut sebuah konsekuensi yang besar. Dan itulah yang mereka alami.
Menyadari bahwa kita harus mempertanggungjawabkan secara pribadi setiap pilihan dan tindakan kita adalah sebuah sikap yang penting. Tanpa kesadaran tersebut, kita akan memiliki frame berpikir yang salah tentang realitas kehidupan. Lebih parahnya lagi, kedewasaan kita tidak akan terbentuk. Satu ciri menonjol dari sebuah kedewasaan adalah sifat kemandirian.
Mandiri artinya berada dalam keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Fase ketergantungan dalam proses pertumbuhan adalah fase kanak-kanak.  Kita menganggap sebagai hal yang wajar saat anak-anak tergantung pada orang tua mereka. Saat masih dalam fase bayi atau balita, kita tidak dapat menuntut banyak kepada anak-anak kita untuk dapat, misalnya, makan sendiri. Mereka masih butuh disuapi makanan karena ketidakmampuan mereka secara fisik.
Namun hal tersebut tidak lagi berlaku bagi anak-anak kita yang sudak berusia enam tahun keatas. Mereka harus mulai belajar mengurus kebutuhan mereka sendiri. Mengambil makan sendiri, makan tanpa disuapi, mandi sendiri, mempersiapkan seragam sekolah sendiri, dll. Bahkan untuk anak yang lebih besar, kita sebagai orang tua sering menuntut mereka untuk mulai terlibat dalam mengurus rumah dan mengambil tanggung jawab yag lebih besar. Mereka harus mampu menghadapi pergumulan hidup mereka sendiri, secara mandiri. Walaupun adakalanya mereka masih membutuhkan pertolongan orang tua, namun pada intinya mereka akan menghadapi kenyataan bahwa mereka harus menghadapi dan menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.

DALAM PENYERTAAN DAN PENJAGAAN TUHAN
Matius 14:22-23 mencatat dalam peristiwa yang lain demikian “Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.” Kita sering mendapati kisah dimana Tuhan Yesus memisahkan diri dari keramaian dan mengambil waktu sendiri. Kesendirian-Nya ini selalu dilakukan dengan tujuan yan jelas, yakni untuk bersekutu dengan Bapa-Nya, dalam doa. Namun setelah Tuhan Yesus menyelesaikan doa-Nya, apakah problematika pelayanan-Nya menjadi lebih mudah? Setelah doa di taman Getsemani, apakah kemudian penyaliban dibatalkan? Tentu tidak, bukan? Itulah kenyataan hidup dan tanggung jawab yang memang harus Yesus pikul. Problematikan kehidupan tidak akan menjadi lebih mudah setelah kita berdoa. Hal tersebut juga berlaku bagi semua orang tanpa kecuali, bahkan bagi pelayan Tuhan sekalipun.
Namun jika kita perhatikan semua tokoh dalam Alkitab yag menyerahkan kehidupan mereka kepada Tuhan, termasuk Tuhan Yesus Kristus yang berserah kepada Bapa, mereka justru terlihat semakin teguh dan kuat menjalani kehidupan, sekalipun harus menghadapi akhir kisah yang berat. Persekutuan para murid Yesus semakin intens dengan Tuhan, dan mereka menghadapi tekanan berat karena iman dan berujung martir. Mereka menyadari hal itu dan tetap berani menghadapinya. Mengapa demikian? Karena mereka tahu tujuan akhir dari semua itu dan melihat serta merasakan penyertaan Tuhan di dalamnya. 
Selama kita hidup di dunia ini, kita harus mandiri dan menghadapi semua pergumulan hidup itu sendiri. Mungkin akan ada banyak orang di sekitar kita yang datang menolong, tapi hal itu tidak akan selalu terjadi. Di akhir dari semuanya itu, hanya ada kita seorang diri berhadapan dengan permasalahan dan pergumulan hidup. Hadapi fakta ini dan berjuanglah. Ingatlah bahwa ditengah segala hal yang terjadi, seberat apapun itu, ada Tuhan yang mengawasi dan menjaga kita. Ia tidak akan membiarkan kita menghadapi permasalahan yang tidak dapat kita tanggung. Ia menggunakan semua bentuk pergumulan kita untuk mendewasakan kita. Hingga pada akhirnya, ia akan memberikan kelegaan yang sempurna di hadirat-Nya. 

17 February 2018

BERGEREJA ITU PENTING (Kisah Para Rasul 2:42-47)


There is nothing more unchristian than a solitary Christian.” (John Wesley)

Bagi banyak orang dan bahkan termasuk banyak umat Kristen sendiri, pengertian tentang gereja sering kali dipahami secara sempit. Gereja sering kali hanya dimaknai sebagai gedung atau tempat di mana umat Kristen melakukan ibadah di hari Minggu.
Dalam Alkitab Terjemahan Baru 1974 dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), kita tidak akan menemukan kata “gereja” di dalamnya. Namun jika kita menggunakan terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari dari LAI atau Versi Mudah Dibaca dari lembaga penterjemahan Alkitab World Bible Translation Center, kita baru akan menemukan kata gereja. Sedangkan dalam terjemahan bahasa Inggris, kata “church” telah digunakan lebih lama. Lantas, apa makna kata gereja (church – Ingg.) ini?
Dalam bahasa asli Perjanjian Baru, yakni bahasa Yunani, terdapat kata ekklesia, yang kemudian diterjemahkan dengan kata church atau gereja. Kata ekklesia berarti orang-orang dipanggil keluar. Dalam perspektif kekristenan, kata ini memiliki makna umat yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang Tuhan. Kata ini sejajar dengan kata Yunani sunagoge, yang kemudian dalam perkembangannya mengalami pembedaan konteks. Pada dasarnya, kedua kata tersebut bermakna sama, yakni “jemaat.” Bedanya, kata sunagoge mengacu pada jemaat Israel/Yahudi, sedangkan ekklesia mengacu pada jemaat Kristus/Kristen. Dalam kedua kata tersebut – ekklesia dan sunagoge – terkandung kekayaan makna yang sama, yakni kumpulan jemaat/umat yang berkumpul menjadi sebuah kesatuan atau keluarga. Jadi kata gereja sebenarnya lebih berarti kumpulannya, daripada tempat berkumpulnya. Lebih diartikan sebagai komunitasnya daripada gedungnya.
Tabib Lukas mencatat proses lahirnya ekklesia (komunitas jemaat Kristus) ini dalam kitab Kisah Para Rasul 2:42-47. Dalam ayat 42 dikatakan demikian “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Tabib Lukas menunjukkan empat buah komitmen yang dipegang oleh jemat mula-mula sebagai dasar dalam membangun komunitas ekklesia tersebut.

LEARNING – “Pengajaran”
Didache: pengajaran para rasul tentang injil, yakni kisah tentang Kristus: Kelahiran – kematian – kebangkitan-Nya. Ingatlah bahwa kala itu belum ada kitab Perjanjian Baru seperti yang kita miliki sekarang. Pengajaran para rasul berasal dari pengalaman mereka saat hidup bersama-sama dengan Kristus: apa yang Kristus sabdakan (orthodoksis) dan praktikkan (orthopraksis). Itulah yang diajarkan – diceritakan kembali – kepada jemaat mula-mula. Prinsip utamanya adalah untuk meniru kehidupan Kristus semirip mungkin.
Dalam KPR 11:26 kemudian kita ketahui bahwa pola hidup yang dipraktikkan oleh jemaat mula-mula itu melahirkan sebuah istilah olok-olok yang akhirnya menjadi nama agama kita saat ini: Kristen. Menariknya, menurut kamus The Complete Word Study Dictionary edisi revisi terbitan AMG International tahun 1993, dalam konteks kebahasaan, kata Kristen (christianos – Yun) memiliki padanan makna/bersinonim dengan kata mathētḗs (murid), pistós (orang yang setia), adelphós (saudara), dan hágios (orang kudus).

SHARING – “Persekutuan”
Koinonia: dalam bahasa Inggris seringkali diterjemahkan sebagai fellowship. Terjemahan CEV memaknainya dengan hidup seperti layaknya saudara/keluarga satu dengan yang lain. Ada istilah bahasa Indonesia yang mengungkapkannya dengan rasa senasib sepenanggungan. Konotasi umum kata ini juga memuat unsur komunikasi di dalamnya. Hal tersebut menunjukkan kesan bahwa dalam persekutuan atau hubungan keluarga, komunikasi merupakan sebuah unsur yang tak terpisahkan dari dalamnya. Ada anggapan bahwa persekutuan ini adalah mujizat yang sesungguhnya dari peristiwa Pentakosta, dimana orang dari berbagai bangsa dapat berkumput dan bersekutu hingga menjadi sebuah kesatuan keluarga besar.

Being TOGETHER – “Memecah roti”
Frasa “memecahkan roti” seringkali mengacu pada perjamuan terakhir sebelum Tuhan Yesus disalibkan – memang secara harfiah dimaknai sebagai acara makan bersama oleh Jemaat Perdana. Dalam pemahaman orang Yahudi, meja makan akan menjadi sebuah mezbah suci karena di sana dipanjatkan doa berkat, dan acara makan menjadi sebuah aktivitas yang kudus. Tapi marilah kita lebih memperhatikan Injil Lukas. Kita akan mendapati bahwa perjamuan atau acara makan yang melibatkan Tuhan Yesus di dalamnya selalu menjadi kesempatan untuk membangun kedekatan dalam persekutuan, menerima wahyu kebenaran firman Tuhan dalam bentuk pengajaran dan diskusi, dan bahkan melahirkan pertentangan – saat dimana Yesus menerima orang berdosa untuk makan bersama-Nya (Luke 15:2). Dalam meja perjamuan makan Tuhan Yesus, kita semua akan mendapati penerimaan yang tulus hingga proses pendewasaan oleh kebenaran Tuhan.

 WORSHIPING – “Berdoa”
Proseuche: terjemahan literalnya adalah doa. Dalam KPR 2:42, kata doa ini berbentuk jamak/plural, sehingga pengertian yang dibangun adalah bahwa jemaat para Rasul menaikkan banyak doa atau memberi porsi yang besar terhadap aktivitas doa ini. Doa dipandang sebagai sebuah persembahan kepada Tuhan. Ada beberapa pola doa yang umum diterapkan oleh jemaat Kristen mula-mula, kala itu. Beberapa pola doa tersebut adalah Doa Yahudi Shema yang biasanya dilakukan tiga kali sehari, kemudian ada juga siklus doa yang diambil dari kitab Mazmur, dan kemudian juga doa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus

 Berdasarkan pola tersebut kita dapat jelas melihat bahwa doa-doa yang digunakan dalam aktivitas jemaat perdana tersebut agak berbeda dari pemahaman tentang doa di masa sekarang ini, yang biasanya adalah menaikkan “permintaan-permintaan” kita kepada Tuhan. Doa kala itu juga dipahami sebagai persembahan pujian dan sebagai bentuk penyembahan mereka.

Kata kunci yang sangat penting yang menyatukan paket komitmen jemaat Kristen perdana, yang terdapat dalam KPR 2:42, adalah kata “bertekun.” Kata ini memiliki arti bertahan, berpegang teguh, melekat dan terus mendekat dengan seseorang atau sesuatu. Ketekunan tentu saja bukanlah kualitas yang dihasilkan dalam jangka waktu yang pendek, melainkan panjang. Gereja perdana memegang komitmen mereka secara tekun, konsisten dan setia. Itulah kualitas yang kemudian membuahkan kualitas-kualitas yang luar biasa, yakni rasa persatuan, rasa kekeluargaan, rasa saling peduli, serta karakter yang dewasa yang dimiliki oleh jemaat. Dan buah dari kualitas-kualitas tersebut adalah pertumbuhan jumlah yang sangat signifikan setiap harinya (KPR 2:47).

Dalam konteks gereja modern, komitmen-komitmen Jemaat Perdana tersebut hendaknya tetap dipegang teguh. Lebih jauh lagi, mari kita pandang hal tersebut sebagai indikator kemurnian gereja. Artinya, kita harus memastikan bahwa nilai-nilai komitmen tersebut terjadi secara nyata dalam komunitas gereja kita. Dan sebaliknya, jika nilai-nilai tersebut tidak terlihat secara nyata, kita harus berani mengakui bahwa komunitas gereja kita sedang bermasalah. 

Marilah kita bangun sebuah komunitas gereja yang sehat: ada pengajaran/didikan yang murni di dalamnya, ada persekutuan yang indah selayaknya keluarga, ada penerimaan yang tulus, serta ada doa penyembahan di dalamnya. Kita harus terus berjuang bersama-sama untuk menjadi pribadi yang dewasa, komunitas yang dewasa, yang kemudian menjadi berkat untuk sesama.